Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh Testriono NIM: 102022024390
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Skripsi berjudul POTRET SANTRI KELAS MENENGAH MASA ORDE BARU: KUNTOWIJOYO DAN PANDANGANNYA TENTANG ISLAM INDONESIA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 Januari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 4 Januari 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. H.M. Ma'ruf Misbah, M.A. Akhmad Saehudin, M.Ag.
NIP: 150 247 010 NIP: 150 303 001
Penguji, Pembimbing,
Dr. Jajat Burhanudin, M.A. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A.
TENTANG ISLAM INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh Testriono NIM: 102022024390
Pembimbing,
NIP. 150240083
Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 Desember 2007
i Testriono
Potret Santri Kelas Menengah Masa Orde Baru:
Kuntowijoyo dan Pandangannya Tentang Islam Indonesia
Kelas menengah santri adalah golongan Muslim taat dan ortodoks, yang berorientasi kepada doktrin dan kebudayaan Islam, yang terdapat dalam kelompok sosial dinamis yang tumbuh dalam ruang di antara borjuasi dan proletariat, terlepas dari variasi kepercayaan dan warna ortodoksi keislamannya.
Kelas menengah santri yang tumbuh di masa Orde Baru adalah bagian dari kelas menengah baru atau borjuis kecil baru, yang terdiri dari para pekerja penerima upah yang tidak produktif, termasuk di dalamnya para pegawai negeri, kaum intelektual, mahasiswa, ahli hukum, kelompok profesional, pegawai bergaji dari lembaga swasta, dan lain-lain. Sementara kelas menengah santri yang menjadi bagian dari kelas menengah lama, yang terdiri dari para produsen berskala kecil, pengusaha menengah, petani kaya, pedagang kecil, pengrajin kecil dan usaha-usaha keluarga kecil-kecilan, yang pada masa Orde Lama menjadi pendukung utama Islam politik dan merupakan tulang punggung kekuatan Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama, semakin terdesak ketika Orde Baru mulai mengembangkan kebijaksanaan ekonomi pasar serta memberi peluang bagi masuknya modal asing.
Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Kuntowijoyo muncul dan menjadi bagian dari kelas menengah santri masa Orde Baru. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan pendekatan sejarah sosial intelektual, yakni dengan melihat sejarah perkembangan suatu golongan sosial serta konteks sejarah tumbuhnya seorang intelektual.
Subjek penelitian ini adalah ekspresi pemikiran dan sikap intelektual Kuntowijoyo dalam perspektif kelas menengah santri, yang difokuskan pada aktivisme Kuntowijoyo dan pemikirannya tentang Islam Indonesia.
Kuntowijoyo adalah bagian dari kelas menengah santri Orde Baru yang seiring dengan kemunduran Islam politik di Indonesia melalui restrukturisasi politik yang dijalankan oleh Orde Baru, berjuang melalui jalur kultural yang lebih menekankan pada substansiasi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam.
ii
Pertama-tama, tentunya, rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini hadir dengan berhutang budi kepada sejumlah individu dan
berbagai pihak. Pertama-tama, saya ingin menyatakan penghargaan saya yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Sudarnoto Abdul Hakim. Ia tidak hanya meyakinkan
saya untuk mengangkat tema ini, melainkan juga tak kenal lelah memberi
masukan, baik kritik maupun komentar, terhadap studi ini, dan tak kenal jemu
mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada AE. Priyono, Profesor Djoko
Suryo, Adaby Darban, dan Ibu Susilaningsih (istri Alm. Kuntowijoyo) yang telah
meluangkan waktu untuk wawancara dengan penulis di tengah kesibukannya
masing-masing, dan memberikan bahan-bahan mengenai Kuntowijoyo.
Selanjutnya, selayaknya saya menyampaikan penghargaan kepada staf
Perpustakaan LP3ES, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan
Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama', Perpustakaan PP
Muhammadiyah Jakarta, dan Perpustakaan Nasional yang telah memberikan
bahan-bahan yang penulis butuhkan untuk penulisan skripsi ini.
Rasa terima kasih yang besar juga penulis sampaikan kepada Drs. Azhar
Saleh (pembimbing akademik) dan Dr. Budi Sulistiono (yang waktu itu menjadi
Kepala Jurusan SPI), yang telah menyetujui penulis mengambil tema skripsi ini.
Tentunya juga, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta Dr. Abd. Chair,
Jurusan (sementara) SPI Akhmad Saehudin, juga segenap dosen jurusan SPI, serta
Dr. Jajat Burhanudin yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini.
Penelitian lapangan dan penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa
bantuan dari berbagai individu. Untuk itu saya ingin menyampaikan penghargaan
kepada Muhammad Rifa'i yang telah mengantarkan penulis selama wawancara di
Yogyakarta, Olman Dahuri dan Setyadi Sulaiman yang telah menjadi teman
diskusi bagi skripsi ini, dan meminjamkan buku-buku yang penulis butuhkan,
Yusuf Sidik yang telah menemani penulis mengajukan judul skripsi ini, serta
Ridwansyah Rahman yang telah menjadi teman perjalanan penulis selama di
Yogyakarta.
Penghargaan tak terhingga juga saya sampaikan kepada Formaci (Forum
Mahasiswa Ciputat) yang telah menjadi “kuliah kedua” penulis di bidang
pemikiran, khususnya kepada Adry Nugraha dan Seif El-Jihadi, yang telah
membuka mata penulis terhadap teks berbahasa Inggris, serta seluruh
teman-teman di Formaci yang telah menjadi teman-teman diskusi yang mencerahkan. Juga,
kepada Rudi Utomo yang menjadikan penulisan skenario dan sinematografi
sebagai “kuliah ketiga” penulis selama di Jakarta, sesuatu yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya.
Dalam kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih kepada kedua orang tua, W. Handoko dan Zaleha yang telah
membesarkan, mendidik, dan mengenalkan penulis pada kehidupan. Juga, seluruh
keluarga, Eka Sarana Ningsih, Dwi Novari, dan Indra Wira S. Serta, yang tak
terlupakan, kepada Bogie Satria dan Mama Hj. Juairiyah sekeluarga, yang telah
juga ingin menyampaikan penghargaan kepada dua orang guru tercinta,
Muhammad Zaki dan Nasirudin, yang telah mengenalkan penulis kepada dunia
kata dan kepenulisan.
Akhirnya, saya ingin menyampaikan penghargaan saya kepada segenap
rekan di kelas SPI angkatan 2002: Ajie, Ubay, Gojel, Koben, Novi, Lukman,
Koboy, Aden, Fahrizal, Tri Gunardi, Japong, Marzuki, Cungkring, M. Nur, dan
nama-nama lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini. Kehadiran
mereka menjadikan masa hampir enam tahun belajar di UIN Jakarta lebih
menyenangkan. Serta, rekan kosku, Agus Bre, yang kerap menjadi pendengar
setia untuk celotehan penulis, juga yang telah meminjamkan buku-bukunya untuk
penulisan skripsi ini, Tak lupa, penghargaan juga kepada Inshums (sebuah ruang
diskusi yang hangat), Paradise—dan semua gunung yang sangat inspiratif, LPM
Institut, khususnya Istikhori, yang telah berbagi pengalaman di dunia jurnalistik.
Dan penghargaan saya yang terbesar, tentu saja saya alamatkan kepada
yang terkasih, Nurseha Marzuki. Kesabaran dan pengertiannya membuat
tahun-tahun terakhir kuliah saya di Jakarta menjadi lebih bermakna. Terima kasih untuk
kesediaannya menjadi rumah terindah bagi penulis.
Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang meminati
sejarah sosial-intelektual dalam berbagai artikulasinya. Tapi, di atas semua itu,
saya sendirilah yang bertanggung jawab atas segala kesalahan dan
ketidaksempurnaan dalam studi ini.
Jakarta, 27 Desember 2007
ه
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Tinjauan Pustaka ... 12
E. Kerangka Teoritis ... 14
F. Metodologi Penelitian ... 22
G. Sistematika Penulisan ... 26
BAB II SANTRI KELAS MENENGAH INDONESIA MASA ORDE BARU 1970-1990 A. Setting Sosial-Politik Orde Baru 1970-1990 ... 28
B. Tumbuhnya Kelas Menengah Santri ... 42
C. Ciri-ciri Santri Kelas Menengah ... 55
BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL KUNTOWIJOYO A. Hidup dan Karya Kuntowijoyo ... 66
B. Kuntowijoyo dalam Arus Kelas Menengah Santri ... 81
C. Kuntowijoyo dalam Peta Pemikiran Islam Indonesia ... 89
BAB IV PANDANGAN KUNTOWIJOYO TENTANG ISLAM INDONESIA A. Islam dan Cita-cita Sosial-Politik ... 98
B. Islam dan Negara ... ..113
C. Historiografi Islam Indonesia dan Pendekatan Modernisasi Kuntowijoyo ... ..124
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... ..131
B. Saran-saran ... ..133
DAFTAR PUSTAKA ... ..134
1 A. Latar Belakang Masalah
“Kita ingin melihat sejarah bergerak kembali, tetapi tidak tanpa arah. Manusia masih merupakan aktor sejarah. Kita tidak percaya kepada determinisme. Satu-satunya pelajaran dari sejarah runtuhnya sosialisme ialah tidak adanya determinisme. Sejarah itu terbuka. Barangkali kita menjadi percaya kepada kesaktian dari mekanisme pasar, setelah ekonomi komando runtuh. Tetapi kita jangan lagi terjatuh pada determinisme manapun. Sejarah tetap terbuka. Salah satu prasyarat terbukanya kembali sejarah ialah terbentuknya sistem politik yang demokratis. Kita percaya bahwa kelas menengah yang telah tercerahkan tentu akan mendukung demokrasi.”1
Skripsi ini membahas ekspresi pemikiran dan sikap intelektual
Kuntowijoyo dalam perspektif kelas menengah santri. Penulisannya diilhami oleh
dua hal. Pertama, keprihatinan bahwa seringkali pemikiran dan aksi seorang
intelektual dikaji dengan mencabutnya dari konteks sosial masyarakatnya.
Seolah-olah pemikiran dapat lahir dari ruang hampa sejarah dan tanpa dialektika.
Kalaupun dikaitkan kepada konteks, lebih kepada organisasi atau lembaga mana
intelektual tersebut berkiprah. Skripsi ini mencoba memperkenalkan sebuah
pendekatan yang berbeda dari kecenderungan tersebut, meski bukan sesuatu yang
baru. Kedua, keyakinan bahwa manusia, melalui ide dan aktivismenya, turut
memberi sumbangan terhadap perubahan sosial. Dan dalam rangka itu, kehadiran
kelas menengah, terutama dari golongan intelektual menjadi penting.2 Di
1
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 375.
2
Barrington Moore, Jr dalam bukunya Social Origins of Dictatorship and Democracy, (USA: Penguin University Books, 1974), yang melalui analisa sosial historisnya terhadap negara-negara di Eropa, Amerika, dan Asia, menyimpulkan bahwa ada tiga alternatif pokok sebagai jalan menuju masyarakat modern, yaitu: revolusi borjuis, fasisme dan komunisme. Borjuis dalam penjelasan ini adalah kelas pedagang dalam masyarakat feodal yang merupakan sosok awal kelas menengah.
Indonesia, telah diakui secara luas bahwa kelas menengah santri senantiasa
memberikan peranannya dalam setiap babakan sejarah.3
Kebangkitan kelas menengah santri tidak dapat dipisahkan dari
kemunculan kelas menengah pribumi pada dasawarsa pertama abad 20,4 yang
disebabkan oleh ketakseimbangan struktur sosial serta ketegangan di antara
strata-strata sosial sebagai akibat kebijakan sistem ekonomi kolonial Belanda yang
monopolistis dan diskriminatif.5 Ketidakadilan ekonomi tersebut telah
membangunkan kesadaran politik dan ideologi kaum pribumi. Mereka terdiri dari
golongan bangsawan, kaum elite pendidikan Barat, pedagang, kaum profesional
dan pemimpin-pemimpin agama yang mentransformasikan diri menjadi pemimpin
politik dan ideologi.6 Mereka inilah yang menandai lahirnya kelas menengah
pribumi, terkhusus kelas menengah Muslim-santri.7
Islam, hal. 373, Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal. 129, dan Daniel S. Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan Awal,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk., (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 24.
3
Mengenai peranan politik kalangan menengah Muslim-santri sejak zaman pergerakan, lihat misalnya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), Ahmad Syafii Maarif, "Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin," serta Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan Dalam Islam (Yogyakarta: Sipress, 1994) dan M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995)
4
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini lihat Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, terj. Zahara Deliar Noer, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
5
Salah satu kebijakan diskriminatif itu adalah pemberian lisensi kepada golongan Cina sebagai perantara dalam perdagangan dan pemungutan pajak. Maka, akhir abad 19 golongan Cina tumbuh menjadi feodal baru, kapitalis pedagang yang menguasai perdagangan eceran, bahkan juga perdagangan besar yang berhubungan dengan produsen dan konsumen di pedesaan maupun di luar desa, dan daerah-daerah lain. Kesempatan akumulai kapital itu digunakan oleh golongan Cina untuk mendirikan industri, salah satunya industri gula di Jawa. Kondisi yang timpang ini tidak memungkinkan bagi pedagang-pedagang pribumi untuk berkembang. Inilah prakondisi bagi berdirinya SDI dan kemudian SI: sebagai reaksi bermotifkan sosial-ekonomi dari kalangan pengusaha dan pedagang kecil pribumi terhadap monopoli pengusaha Cina. Lihat M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 234-238. Lihat pula Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 115-116.
6
Farchan Bulkin, "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian," Prisma, no. 2 (Februari 1984), hal. 16.
7
Terbentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909, dan diikuti
berdirinya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912,8 meneguhkan kemunculan kelas
menengah santri ini. Kuntowijoyo menyatakan bahwa kebangkitan kaum santri di
abad 20 ini bersifat kekotaan, reformis, dan dinamis.9
Kebangkitan kelas menengah pribumi ini juga merupakan suatu
konsekuensi yang tidak disengaja dari kebijaksanaan politik etis pemerintah
Belanda yang telah melahirkan sejumlah golongan terdidik. Mengenai hal ini,
Bulkin mencatat bahwa “...Pada pertengahan tahun 1920-an hasil dari politik etis
bukanlah suatu masyarakat pribumi yang kuat dan bersatu, tetapi suatu
masyarakat di mana kaum elitnya secara sosial telah diradikalkan dan secara
politik teragitasi...”10
Kondisi tersebut disebabkan karena kebangkitan kelas menengah pribumi
ini dibarengi dengan proses ideologisasi, yaitu mereka mulai terbuka pada
ideologi dan pemikiran Islam modern, demokrasi liberal, sosialisme dan
Marxisme-Leninisme, dan yang lebih penting lagi nasionalisme.11 SI yang pada
tahun 1920-an menjelma menjadi organisasi politik pertama yang bersifat
nasional, memperlihatkan dirinya benar-benar sebagai organisasi politik yang
dinamis, yang diwarnai pertentangan ideologis, meski ini juga menjadi salah satu
penyebab perpecahannya.12
kulit, perak, dan emas. Lihat Abdurrahman Wahid, “Kelas Menengah Islam di Indonesia,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, ed, Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk, (Jakarta: LP3ES, 1996), , hal 19-20.
8
Mengenai sejarah terbentuknya SDI dan SI, lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 114-170.
9
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 81. 10
Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 16 11
Ibid., hal. 15. 12
Di bidang sosial keagamaan, Muhammadiyah (1912) didirikan sebagai
wakil dari kaum santri pembaharu, dan jauh kemudian Nahdlatul Ulama (NU,
1926) juga didirikan, yang merupakan wadah bagi kaum santri tradisional. Para
pengurus dan anggota SI seringkali merangkap sebagai pengurus dan anggota baik
Muhammadiyah maupun NU. Setelah terjadi kemunduran SI, para santri kelas
menengah bergabung ke Muhammadiyah dan NU.13
Peran besar kelas menengah santri dalam pergerakan Islam modern dapat
dilihat melalui kiprah mereka di dalam SI, yaitu pada usahanya mengarahkan
kesadaran umat Islam dalam berbangsa dan bernegara dengan suatu wawasan
baru: kemerdekaan politik dan ekonomi. Setelah SI, lalu berdirilah partai-partai
Islam lain, seperti Permi (Persatuan Muslimin Indonesia, 1930) dan PII (Partai
Islam Indonesia, 1938). Surutnya peran SI kemudian digantikan oleh
organisasi-organisasi yang lebih berdasarkan nasionalisme, seperti GAPI (Gabungan Politik
Indonesia, 1938) dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia, 1941).14 Dan yang lebih
penting, SI seolah membuka jalan dan memberi keberanian para pemimpin
Indonesia dari kalangan kebangsaan untuk mendirikan partai politik, sebagaimana
ditunjukkan oleh PNI (Partai Nasional Indonesia, 1927), Partai Indonesia (1929),
Pendidikan Nasional Indonesia (1929), dan Partai Indonesia Raya (Parindra).
Yang patut dicatat di sini adalah bahwa struktur perekonomian kolonial
telah memacetkan pertumbuhan pengusaha dan pedagang Muslim-santri untuk
menjadi pengusaha yang besar dan mandiri; sementara kelas menengah yang
terdidik terpaksa mencari pekerjaan bebas seperti wartawan dan profesi-profesi
disebut juga kelompok Sarekat Islam Merah—dari partai. Lihat Noer, Gerakan Moderen Islam, hal. 141.
13
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 91-93. 14
lain,15 yang pada akhirnya membuat sebagian santri kelas menengah yang menjadi
pemimpin di masa kebangkitan nasional ini, sangat bergantung kepada politik
dengan menjadi pemimpin-pemimpin politik dan perjuangan. Meski para
pedagang dan pengusaha Muslim-santri, terutama dari industri pertekstilan, batik,
dan rokok, mampu bergerak dan melakukan mobilitas terutama di Bandung dan
kota-kota sepanjang pantai utara Jawa Tengah antara Tegal dan Semarang,
Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan daerah Kediri serta Tulungagung, juga
industri rokok di Kudus, namun industri yang tumbuh tersebut pada dasarnya
merupakan industri rumah tangga; sedangkan sistem manufaktur dan pabrik
kebanyakan adalah milik modal asing.16
Maka, kehadiran kaum menengah santri dengan organisasi yang mereka
pimpin merupakan reaksi terhadap ketidakadilan sistem perekonomian kolonial
yang pada akhirnya melahirkan kesadaran untuk mempertanyakan legitimasi
politik negara kolonial, dan menolak seluruh orde masyarakat kolonial negara
jajahan.17
Adalah Jepang yang, pada masa pendudukannya yang singkat, berusaha
merangkul kaum Muslim santri—terutama dari golongan tradisional—dan
memberikan kesempatan yang besar kepada mereka untuk mengorganisasi diri,
15
Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara,” hal. 15. 16
Matsuo Hiroshi, The Development of Javanese Cotton Industry, (Tokyo: The Institute of Developing Economics, 1970), sebagaimana dikutip Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 79.
17
seperti pendirian kantor urusan agama, pendirian Masyumi—untuk menggantikan
MIAI (1938), serta membentuk organisasi setengah militer, Hisbullah. Ini,
tentunya, dilandasi oleh kepentingan Jepang dalam menggalang kekuatan massa
rakyat untuk kepentingan perang mereka.18
Pada masa pascakemerdekaan, kelas menengah santri ini secara tiba-tiba
menjadi elite politik dan mereka pun semakin terpolitikkan, namun tanpa dasar
ekonomi yang kuat.19 Kelas menengah santri ini tersebar ke dalam
kelompok-kelompok profesi, pegawai negeri, kaum intelektual, pejabat-pejabat militer,20 dan
tentunya juga pejabat-pejabat politik.
Kelas menengah santri bisnis tidak tumbuh karena pada masa Orde Lama
ini watak patrimonialisme masyarakat menonjol dengan jelas. Proses hubungan
bisnis yang terbentuk antara pengusaha dan penguasa (birokrasi) berwujud
patron-client.21 Kapitalisme pinggiran warisan kolonial yang ingin dihilangkan
dengan menggantinya melalui nasionalisasi dan pribumisasi, seperti Program
Benteng (Maret 1951) yang bertujuan membantu kelompok pedagang dan
komersial pribumi untuk meloncat ke sektor-sektor industri besar dan modern,
mengalami kegagalan karena tidak ada yang bisa ditawarkan untuk menggantikan
peranan ekonomi asing.22 Tentu saja, kultur politik patrimonialistik juga turut
18
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 99-100. 19
Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 17 20
Wahid, “Kelas Menengah Islam di Indonesia,” hal. 21. 21
Penguasa di sini menjadi patron (bapak) sebagai tempat bergantung bagi pengusaha, client (anak buah). Lihat Muhaimin, “Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” hal. 67.
22
menjadi penyebabnya. Akhirnya, struktur kapitalisme pinggiran tetap dibiarkan
dan ini berakibat pada matinya para pengusaha Muslim-santri.
Politisasi kelas menengah santri ini tersalurkan melalui partai-partai politik
seperti Masyumi (1945), Perti (1945-1946), PSII (1947), dan Partai NU (1952).23
Secara ekonomi, sikap dominan yang muncul dari kelas menengah santri ini
adalah pragmatisme-konservatif. Watak ini agaknya merupakan pengaruh dari
kalangan menengah perkotaan berpendidikan Barat yang lebih tertarik kepada
perubahan ekonomi yang damai sifatnya, yang akan mengamankan posisi
ekonomi mereka.24 Sementara aspirasi politik golongan ini berpusat pada
formalisasi Islam dalam kehidupan negara. Meski upaya melegalkan aspirasi
tersebut mengalami kegagalan dalam sidang Dewan Konstituante pada tahun
1959.25
Ketika Orde Baru naik ke pentas kekuasaan, sejalan dengan perubahan di
bidang ekonomi dan politik yang terjadi, kelas menengah juga mengalami
pergeseran dan pertumbuhan. Sistem perekonomian pasar terbuka melalui
masuknya modal asing dan kenaikan anggaran belanja pemerintah melalui
kenaikan ekspor minyak, telah memicu tumbuhnya kelas menengah profesional
yang begitu pesat dan tumbuhnya pengusaha-pengusaha nasional. Namun, watak
patriomonial tetap bertahan,26 sehingga kebanyakan pengusaha yang muncul
adalah para birokrat, perwira-perwira ABRI, atau anak-anak dan keluarga mereka,
atau orang-orang yang memiliki hubungan dengan para pejabat di pemerintahan.
23
Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru,” Prisma, no. 5, 1988, hal. 40-42. 24
Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 18-19. 25
Wahid, “Kelas Menengah Islam di Indonesia,” hal. 21. Lihat Ahmad Syafii Maarif, “Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin,” Prisma, no. 5, 1988 dan Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1987).
26
Karena mereka bukan pengusaha yang sesungguhnya, maka mereka menggandeng
para pengusaha Cina yang memang sejak awal sudah merupakan orang-orang
enterprener.27
Watak patrimonial itu tidak hanya membuat pengusaha kecil pribumi tak
bisa tumbuh, para pengusaha Muslim-santri yang telah dimatikan pada masa Orde
Lama pun tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Sebagai contoh,
hancurnya industri rokok di Kudus dan industri tekstil di Pekajangan milik
pengusaha santri akibat kebijakan ekonomi-politik pemerintah.28 Inilah
sebab-sebab sosial yang mendorong masuknya kaum santri ke sektor-sektor birokrasi.
Frustasi yang timbul di kalangan swasta Muslim-santri ini menyebabkan
mereka terdorong menyekolahkan anak-anaknya agar dapat masuk ke
sektor-sektor birokrasi, atau menjadi pekerja profesional. Inilah basis sosial yang
mungkin bisa menjelaskan panen besar golongan inteligensia Muslim-santri pada
dasawarsa 1970-an. Melalui proses runtuhnya dikotomi santri-priyayi dengan
masuknya kelas menengah Muslim-santri terpelajar ini ke dalam sektor birokrasi,
terjadilah apa yang disebut priyayisasi santri dan santrinisasi priyayi, atau dengan
sebutan yang lain, Islamisasi birokrasi dan birokratisasi Islam.29
Pada masa Orde Baru ini, kita menyaksikan bahwa Islam politik berhasil
dijinakkan oleh pemerintah. Fakta ini mendorong para pemikir dan aktivis Islam
untuk mereorientasi pola-pola gerakan dan pemikirannya dengan mengembangkan
format baru yang lebih harmonis antara Islam dan negara, yaitu melalui pemikiran
27
Lihat Loekman Sutrisno, “Pergeseran dalam Golongan Menengah di Indonesia,” Prisma, no. 2, Februari 1984, hal. 25-26.
28
Lihat Jajat Burhanudin, “Pasang Surut Industri Batik Kaum Santri Pekajangan,” Ulumul Qur’an III, no. 3, 1992.
29
keagamaan dan kegiatan praksis yang lebih legitimatif terhadap pemerintah
daripada kritis terhadap kekuasaan.30 Terbentuknya ICMI di tahun 1990 menjadi
simbol sekaligus bukti kuat bagi hubungan yang harmonis antara Islam dan
negara tersebut.31
Kuntowijoyo, sebagai seorang intelektual Muslim-santri, lahir dari latar
belakang setting sosial-politik yang demikian. Sebagai intelektual Muslim,
Kuntowijoyo jelas merupakan bagian dari kelas menengah santri yang dikandung
dan dilahirkan oleh Orde Baru. Kuntowijoyo juga merupakan salah seorang tokoh
yang mengisi gerbong lokomotif pemikiran Islam Orde Baru, selain Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, M. Dawam Rahardjo, Harun
Nasution, Taufik Abdullah, serta nama-nama lainnya.
Berdasarkan basis historis yang menunjukkan keterlibatan Islam dalam
proses-proses politik di Indonesia, adalah tidak mengejutkan jika para intelektual
Muslim-santri yang dilahirkan Orde Baru ini memiliki perhatian yang besar
terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Maka, meski
seorang sejarawan, tidaklah mengherankan bila Kuntowijoyo mencurahkan
sebagian besar pemikirannya pada upaya transformasi umat Islam.
Dalam situasi di mana kelas menengah pengusaha tidak bisa diharapkan
menjadi pengimbang dan pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah,
sebagaimana yang dikonsepsikan di Barat,32 harapan terhadap kelas menengah
intelektual, khususnya dari kalangan Muslim-santri, sebagai penghela perubahan
30
Penjelasan mendalam mengenai hubungan antara Islam dan negara masa Orde Baru lihat Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998).
31
Untuk penjelasan lebih lanjut lihat M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995).
32
menjadi begitu besar. Melalui Kuntowijoyo, skripsi ini setidaknya dapat
menunjukkan jejak-jejak historis mengenai spirit perubahan yang melekat dalam
aktivisme dan pemikiran seorang intelektual Muslim-santri kelas menengah di
masa Orde Baru.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
Untuk menjelaskan Kuntowijoyo dalam perspektif kelas menengah santri,
kajian dan analisis skripsi ini diawali oleh konteks sosial politik Orde Baru yang
tentunya menjadi latar historis kemunculan kelas menengah santri di masa itu,
sekaligus menerangkan bagaimana kelas menengah santri tumbuh dan
berkembang. Melalui deskripsi kemunculan kelas menengah santri di masa Orde
Baru inilah, fokus utama kajian skripsi ini, yaitu studi sejarah sosial-intelektual
Kuntowijoyo dimungkinkan.
Berkenaan dengan pokok kajian skripsi ini, setidaknya beberapa
permasalahan yang mengemuka dapat kita catat di sini:
1. Bagaimanakah kondisi sosial-politik-agama era Orde Baru?
2. Bagaimanakah proses tumbuh dan berkembangnya kelas menengah santri di
masa Orde Baru?
3. Apa kecenderungan sikap politik, agama, dan ideologi kelas menengah santri
itu?
4. Bagaimana Kuntowijoyo muncul dan menjadi bagian dari kelas menengah
santri?
5. Bagaimanakah, lantas, seorang Kuntowijoyo memandang sejarah dan
Karena luasnya cakupan permasalahan yang mengemuka berkaitan dengan
tema kajian dalam penelitian ini, maka konteks sosial politik Orde Baru akan
dibatasi antara tahun 1970-1990. Pembatasan tahun menyangkut masa
kebangkitan intelektualisme Islam sejak munculnya cendekiawan-cendekiawan
Muslim pada tahun 1970-an yang secara mencolok dapat dilihat melalui respons
mereka terhadap kebijakan modernisasi yang dijalankan oleh Orde Baru, dan
memuncak pada tahun 1990 ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
didirikan.
Sementara dengan semakin menyebar dan terdiferensiasinya kelas
menengah, kajian skripsi ini berusaha melihat salah satu unsur dalam kelas
menengah Indonesia, yaitu kelas menengah santri. Selanjutnya kajian difokuskan
pada kaum cendekiawan Muslim yang merupakan salah satu pengisi gerbong
kelas menengah santri. Sebagai studi kasus, kajian dalam skripsi ini mencoba
memotret sosok Kuntowijoyo sebagai salah seorang intelektual Muslim-santri.
Maka, dari identifikasi dan pembatasan topik kajian di atas, rumusan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana Kuntowijoyo
muncul dan menjadi bagian dari kelas menengah santri, serta bagaimanakah
pemikirannya? Pertanyaan ini akan terjawab dengan menganalisa bagaimanakah
Kuntowijoyo memainkan peranannya sebagai sosok santri kelas menengah dan
bagaimana seorang Kuntowijoyo memandang Islam dan masyarakatnya.
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu kepada pembatasan dan perumusan masalah di atas,
mengenai: (1) bagaimana Kuntowijoyo muncul dan menjadi bagian dari kelas
menengah santri. Terkait dengan tujuan yang pertama, maka penting pula
dijawab: (2) bagaimana Kuntowijoyo memainkan peranannya sebagai sosok santri
kelas menengah, yang tercermin dalam aktivisme dan pemikirannya, terutama
pandangannya tentang Islam Indonesia.
Untuk sampai pada kedua jawaban tersebut, pertama-tama skripsi ini akan
melihat bagaimana kelas menengah santri tumbuh dalam konteks historis Orde
Baru 1970-1990, di mana kaum intelektual Muslim termasuk di dalamnya, bahkan
memainkan peranan yang signifikan.
Selain itu, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi tugas akhir
sebagai persyaratan menyelesaikan masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di samping, untuk menambah khazanah kepustakaan di bidang kesejarahan
D. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai kelas menengah Indonesia, khususnya kelas menengah
santri, masih tergolong langka. Prisma edisi Februari 1984 yang mengkhususkan
diri pada kelas menengah baru agaknya merupakan pengenalan resmi terhadap
kajian struktur sosial Indonesia yang berporos pada kelas menengah. Buku Politik
Kelas Menengah Indonesia33 yang merupakan kumpulan tulisan pengamat
Indonesia dan intelektual Indonesia yang berasal dari konferensi yang
diselenggarakan di Universitas Monash pada Juni 1986, dapat disebutkan pula di
sini. Namun, kajian buku tersebut lebih bersifat teoritis dan sedikit menyentuh
kajian historis. Buku lainnya mengenai kelas menengah Indonesia adalah Kelas
33
Menengah Bukan Ratu Adil,34 yang merupakan buku kumpulan artikel koran dan
majalah berisi perdebatan mengenai kelas menengah Indonesia yang pernah
mengemuka di tahun 1990-an. Hanya beberapa artikel di bagian awal buku
tersebut yang merupakan tulisan teoretis.
Sementara penelitian yang mengkhususkan diri pada kelas menengah
santri pada masa Orde Baru, sejauh yang penulis telusuri, belum diperoleh. Dalam
Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru35 karya Syafi’i Anwar, memang terdapat bab
khusus mengenai kelas menengah santri, namun isu Islam dan birokrasi yang
menjadi fokus utama kajian buku tersebut.
Untuk buku yang mengkaji tipologi pemikiran Kuntowijoyo, buku
Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa
Orde Baru36 karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendy bisa dianggap cukup
representatif. Meski kemudian lahir penelitian lanjutan yang lebih melihat tipologi
dalam kaitan sikap politik dan pandangan tentang Islam dan negara, seperti
Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru karya M. Syafi’i Anwar dan Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia37 karya Bahtiar
Effendy. Namun buku-buku tersebut tidak menganalisa pemikiran Kuntowijoyo
secara khusus, melainkan bersama dengan cendekiawan-cendekiawan Muslim
lainnya.
34
Hadijaya, ed, Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). 35
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995).
36
Fachry Ali dan Bahtiar, Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986).
37
Sedangkan untuk kajian khusus mengenai kehidupan Kuntowijoyo sejauh
ini belum ditemukan. Untuk kajian mengenai pemikirannya, beberapa skripsi
sarjana S1 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dapat disebutkan di sini, seperti
Pandangan Kuntowijoyo Tentang Transformasi Sosial Politik Umat Islam
Indonesia,38 Pemikiran Keagamaan dan Politik Kuntowijoyo,39 dan Paradigma
Alquran untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Analisis Kuntowijoyo.40
Namun, kajian skripsi tersebut lebih difokuskan pada pemikiran politik dan agama
Kuntowijoyo, dan tentunya mengabaikan konteks historis dan situasi
sosial-intelektual lahirnya pemikiran tersebut.
Skripsi ini menjadi penting karena mengajukan sebuah pendekatan yang
yang berbeda, yaitu dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual. Pemikiran yang
dikaji pun dipotret dan dilihat dalam kaitan pemikiran kaum intelektual Muslim
santri lain yang mengemuka di masanya
E. Kerangka Teoritis
Penelitian ini berangkat dari asumsi dasar bahwa kelas sosial ada dalam
setiap struktur masyarakat manapun. Tak hanya di Eropa, tetapi juga di Asia,
termasuk di Indonesia. Dan, meski proses pembentukan dan perkembangan kelas
sosial dalam setiap negara boleh jadi memiliki karakteristik khas yang berbeda,
namun terdapat ciri-ciri umum yang menyebabkannya memiliki kemiripan
maupun kesamaan dengan kelas sosial di negara lain.
38
Abdul Aziz Nurizun, "Pandangan Kuntowijoyo tentang Transformasi Sosial Politik Umat Islam Indonesia," (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006).
39
Herudin, "Pemikiran Keagamaan dan Politik Kuntowijoyo," (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005).
40
Pembicaraan mengenai kelas sosial sesungguhnya berakar pada pandangan
dua sosiolog besar yang secara khusus mendefinisikan analisa kelas dalam ilmu
sosial dalam karya-karyanya, yaitu Karl Marx dan Max Weber. Dalam pandangan
Marx, yang kemudian juga diafirmasi oleh Weber, kelas merupakan ciri-ciri
objektif dalam hubungan ekonomi yang didasarkan atas
hubungan-hubungan pemilikan.41
Marx mendikotomikan masyarakat modern ke dalam dua kelas: borjuasi
(kapitalis) dan proletariat (pekerja upahan). Borjuasi merupakan kelas yang terdiri
dari kapitalis modern yang memiliki sarana produksi sosial dan menjadi majikan.
Sementara proletariat merupakan kelas yang terdiri dari pekerja yang tidak
memiliki sarana produksi dan yang menjual tenaganya kepada kapitalis untuk
mempertahankan hidupnya.42 Kapitalis adalah mereka yang memiliki pabrik dan
mesin yang telah menggantikan tanah sebagai alat produksi utama. Tenaga kerja
upahan atau buruh adalah kelas pekerja yang tidak mempunyai milik, yang telah
kehilangan kontrolnya terhadap alat-alat produksi.43
Di antara dua kelas ini, tumbuh sejumlah kelas menengah. Mereka terdiri
dari para pedagang kecil, pemilik toko, pengrajin, dan petani. Marx menyebut
mereka sebagai "orang-orang yang berdiri di antara pekerja pada satu sisi, dan
kapitalis serta tuan tanah pada sisi yang lain."44
Kelas borjuis berkembang selama kelas itu dapat menguasai dan
menambah modal yang ada. Sebaliknya, kelas proletar hanya dapat hidup selama
41
Anthony Giddens dan David Held, ed, Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, terj. Vedi R. Hadiz, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), hal. 10.
42
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, (England: Penguin Books, 1985), hal. 79
43
Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik, hal. 3-5. 44
mendapat pekerjaan. Dengan demikian, kondisi esensial eksistensi kelas borjuis
adalah pembentukan dan pengembangan modal yang syaratnya adalah pemilikan
tenaga kerja.45 Sementara, kelas menengah akan menjadi kelas proletar karena
mereka tidak memiliki modal besar, sebagian lagi karena keterampilan mereka
diambil alih oleh mesin, sehingga kalah dalam persaingan dengan kelas borjuis.46
Berbeda dengan Marx, dalam pandangan Weber, kelas merupakan
himpunan manusia yang mempunyai persamaan peluang hidup pada pasar tenaga
kerja dan komoditas, dan dalam kepemilikan barang. Istilah kelas di sini merujuk
kepada suatu kelompok masyarakat yang ditemukan dalam suatu situasi kelas
yang sama, yang mengacu kepada persamaan kepentingan para individu.47 Kelas
sosial tidak hanya ditentukan oleh hubungan-hubungan pemilikan, tetapi juga
status sosial, pola konsumsi, gaya hidup, dan distribusi kekuasaan.48
Menurut Weber, kelas terdiri dari kelas pemilikan yang positif, yaitu orang
yang memperoleh pendapatan dari sumber-sumber: manusia, tanah, tambang,
instalasi (pabrik), kapal-kapal, kreditor (ternak, pertanian, dan uang), dan
surat-surat berharga. Kelas ini terdiri dari para pengusaha, yakni para pedagang, pemilik
kapal, pengusaha industri dan pertanian, pemilik bank, para profesional,
pihak-pihak yang mempunyai kualifikasi monopolistik, dan lain-lain. Selain kelas
pemilikan yang positif ini, terdapat kelas pemilikan yang negatif, yaitu terdiri dari
mereka yang tidak bebas, proletar, orang yang berhutang, dan orang melarat.
45
Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik, hal. 16-17. 46
Marx dan Engels, The Communist Manifesto, hal. 88 47
Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, (New York: Oxford University Press, 1958), hal. 181.
48
Mereka adalah para tenaga kerja, baik yang terampil, setengah terampil, maupun
yang tidak terampil.49
Di antara kedua bentuk inilah terdapat kelas-kelas menengah, yang hidup
dari miliknya atau keterampilannya, yang beberapa di antaranya mungkin
tergolong kelas komersial. Mereka ini adalah para petani yang bekerja sendiri,
pengusaha kerajinan tangan, pegawai negeri maupun swasta, kalangan profesional
liberal, maupun tenaga kerja yang mempunyai kualifikasi eksepsional.50
Berdasarkan penjelasan tersebut, Weber membagi kelas sosial dalam
masyarakat kapitalis ke dalam lima kelas, yaitu: (1) kelas pemilik di lapisan
teratas yang identik dengan kelas borjuasi dalam pemikiran Marx, (2) kelas
pekerja di tingkat terbawah yang identik dengan kelas buruh. Di antara kedua
kelas itu ada, (3) kelas-kelas inteligensia, (4) manajer dan administrator, dan (5)
borjuis kecil, dalam arti tradisional yang terdiri dari golongan pengusaha kecil,
pedagang, dan petani.51
Dari dua penjelasan tersebut, tampak bahwa jika analisa Marxian kurang
memperhitungkan kelas menengah melalui simplifikasi dualisme kelasnya, maka
analisa Weberian justru membuat pengertian kelas menengah menjadi terlalu
longgar dan sulit didefinisikan, kecuali kepada siapa ia dilekatkan.
Pada dasarnya, kelas menengah atau yang disebut Marx sebagai borjuis
kecil (petty bourgeoisie), merupakan semua kelompok sosial kecuali borjuis dan
proletariat atau disebut juga sebuah kumpulan dinamis yang tumbuh dalam ruang
49
Ibid., hal. 25. 50
Ibid., hal. 25-26. 51
di antara dua kelas yang terpolarisasi.52 Mengingat jumlahnya yang sangat besar,
Poulantzas berupaya membagi borjuis kecil ini ke dalam dua kelompok. Pertama,
borjuis kecil tradisional, yang terdiri dari para produsen berskala kecil, pedagang
kecil, pengrajin kecil dan usaha-usaha keluarga kecil-kecilan. Borjuis kecil lama
ini lebih merupakan bentuk transisi dari pola produksi feodal ke pola kapitalis.
Kedua, borjuis kecil baru yang terdiri dari para pekerja penerima upah yang tidak
produktif, termasuk di dalamnya para pegawai negeri.53 Dalam borjuis kecil baru
inilah tercakup kaum intelektual, mahasiswa, ahli hukum, kelompok profesional,
pegawai bergaji dari lembaga swasta, artis, dan lain-lain. Untuk membedakannya
dengan kapitalisme atau bahkan kelas menengah lama yang bermodalkan uang,
aset utama borjuis kecil baru atau kelas menengah baru ini adalah keterampilan
ilmiah, kewenangan birokrasi, dan pengetahuan mutakhir, atau apa yang dijuluki
sebagai modal budaya, modal manusiawi, modal simbolik, atau aset
organisasional.54
Meski memiliki ciri-ciri politik dan ideologi yang berbeda, namun terdapat
beberapa persamaan yang kerap dilekatkan pada dua kelas menengah ini, yaitu
individualisme, kompetensi, independensi (mandiri), kecenderungan
52
Dale L. Johnson, ed, Middle Class in Dependent Countries, (Beverly Hills: Sage Books, 1985). Dikutip dari Daniel S. Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan Awal,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk., (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 25.
53
Poulantzas, “Kelas-kelas Sosial,” dalam Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik dan Kontemporer, hal. 54-57. Secara ideologis, borjuis kecil tradisional biasanya anti kapitalis, walau dalam posisi status-quo. Mereka takut jika terjadi transformasi sosial secara mendasar, juga proletarisasi. Karena itu tuntutan mereka adalah kesempatan yang sama, persaingan sehat, jangan monopoli, dan sebagainya. Sementara borjuis kecil baru agak cenderung antikapitalis, tetapi lebih kepada ilusi reformis. Biasanya mereka lebih berkepentingan dalam soal partisipasi, yang karena kekhawatiran akan terjadi proletarisasi, cenderung menginginkan karir, promosi, mobilitas vertikal, dan sebagainya. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Hadimulyo, “Kelas Menengah, Kelas Apa?,” sebuah tinjauan atas buku Classes in Contemporary Capitalism (Nicos Poulantzas) dalam Prisma 2, Februari 1984, hal. 85-88.
54
mempertahankan status-quo dan ketakutan terhadap revolusi, aspirasi untuk
mencapai status borjuis, dan kecenderungan mendukung rezim penguasa.55 Tapi,
apakah ciri-ciri ideologi dan politik kelas menengah ini dapat pula dilekatkan pada
kelas menengah Indonesia, terkhusus kelas menengah santri? Persoalan ini akan
dijelaskan kemudian. Yang jelas, demikian Giddens, para pekerja kerah putih—
profesional, manager, atau pegawai adiministrasi lainnya—atau apa yang biasa
disebut sebagai 'kelas menengah baru' ini menunjukkan bahwa mereka mampu
menjadi suatu kekuatan politik signifikan dalam masyarakat kontemporer.
"Malahan, ekspansi kelas menengah baru menjadi suatu faktor yang
menstabilisasi, mengerosi kelas pekerja; proletariat diserap ke dalam kelas
menengah, daripada sebaliknya."56
Terminologi santri57 dalam penelitian ini adalah dalam pengertian yang
dipakai oleh Geertz ketika membagi masyarakat Jawa, melalui penelitiannya di
Mojokuto (1953-1954), dalam tiga varian sosio-kultural yang terkenal: abangan,
santri, dan priyayi.58 Abangan mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari
55
Poulantzas, “Kelas-kelas Sosial,” dalam Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik dan Kontemporer, hal. 55. Lihat pula Yahya Muhaimin, “Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” dalam Prisma 3, Maret 1984. Hubungan kelas menengah dengan penguasa (negara) memang yang sering dibicarakan para ilmuwan. Kelas menengah dianggap “meletakkan satu kakinya pada borjuasi dan satu kaki lagi pada para proletariat.” Dalam ungkapan Ariel Heryanto: mereka kadang-kadang bisa tampil sebagai oportunis politik atau ekonomi, penjilat, plin-plan, atau pejuang hak-hak asasi manusia dan tertib hukum, atau bahkan aktivis radikal. Pendeknya, sebagian pragmatis dan konservatif, sementara sebagian lain berkarakter progresif dan radikal. Lihat Ariel Heryanto, “Memperjelas Sosok Yang Samar: Sebuah Pengantar,” dalam Tanter dan Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, hal. xx, dan Ariel Heryanto, “Kelas Menengah Yang Majemuk,” dalam Hadijaya, ed., Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 11.
56
Giddens, Sociology, hal. 72-74. 57
Mengenai pengertian santri secara khusus sebagai murid atau pelajar pesantren, lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 18-55. Lihat pula Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, (Jakarta Pustaka Jaya, 1981), hal. 268, catatan kaki 1.
58
seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di
kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan pada aspek-aspek Islam dari
sinkretisme di atas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang (juga
unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani); dan priyayi menekankan
aspek-aspek Hinduistis dan berkaitan dengan birokrasi.59
Pada dasarnya, Muslim yang menjalankan agamanya secara benar dan
menjauhi segala larangan agama harus diakui sebagai Muslim yang taat dan
ortodoks, terlepas apakah ia ikut menjadi anggota suatu organisasi keagamaan
tertentu atau tidak.60 Mereka inilah yang oleh Geertz dikategorikan sebagai santri.
Untuk memperjelas sosok santri, Geertz membandingkannya dengan abangan.
Jika kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin, maka kalangan
santri sangat peduli dengan doktrin Islam, terutama penafisran moral dan
sosialnya atau penerapan doktrin Islam dalam kehidupan. Perbedaan kedua,
adalah dalam masalah organisasi sosial. Bagi kalangan abangan unit sosial yang
paling dasar tempat hampir semua upacara berlangsung adalah rumah tangga,
sementara untuk kalangan santri rasa perkauman—terhadap umat—adalah yang
terutama. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris,
perkauman yang makin lama makin lebar. Islam dipahami sebagai agama yang
dilembagakan dalam kelompok sosial. Pendeknya, satu apologia terhadap
organisasi sosial.61 Perbedaan lainnya juga tampak pada komitmen santri dalam
memenuhi kewajiban ibadah, pemahaman agama yang mendalam, dan penolakan
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hal. 15-16, dan Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 23-24, catatan kaki 33.
59
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, (Jakarta Pustaka Jaya, 1981), hal. 8.
60
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad 20, (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 140-141.
61
terhadap unsur-unsur animisme dan Hindu-Budisme, baik dalam hal keyakinan
maupun adat-istiadat.62
Dalam tingkat ajaran, Geertz kemudian membedakan kalangan santri
antara variasi kepercayaan yang modern dan kolot (konservatif).63 Kaum santri
kolot inilah yang dipandang Geertz dekat sekali kepada jenis pandangan dunia
abangan.64 Warna ortodoksi yang modern dan konservatif ini, secara
kelembagaan, direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan NU. Jika
Muhammadiyah cenderung lebih rigid dan puritan, sebaliknya, NU lebih toleran
terhadap berbagai praktik dan tradisi yang tidak memiliki landasan yang jelas
dalam doktrin pokok agama Islam.65
Maka, kelas menengah santri dalam penelitian ini dipahami sebagai
golongan Muslim taat dan ortodoks, yang berorientasi kepada doktrin dan
kebudayaan Islam, yang terdapat dalam kelompok sosial dinamis yang tumbuh
dalam ruang di antara borjuasi dan proletariat, terlepas variasi kepercayaan dan
warna ortodoksi keislamannya.
Meski kelas menengah santri ini merupakan satu segmen dalam kelas
menengah Indonesia, tetap saja kita tidak bisa menghindar dari cakupannya yang
sangat luas dan pertumbuhannya yang menyebar serta tidak bersifat homogen.
Oleh karena itu, pembagian kelas menengah santri ke dalam tiga lapis yang
dilakukan oleh Aswab Mahasin, meski secara acak dan sangat longgar, bisa kita
pakai di sini. Lapisan atas dari kelompok menengah santri terdiri dari
anggota-anggota birokrasi negara, staf kementrian, anggota-anggota DPR, direktur-jenderal, para
62
Saleh, Teologi Pembaruan, 142. 63
Mengenai lima kecenderungan yang membedakan antara antara kaum modernis dan konservatif ini dapat dilihat dalam Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, hal. 203-204.
64
Ibid., hal. 217. 65
direktur, kepala-kepala biro dan sub-direktorat, dan mereka yang menduduki
posisi-posisi penting di dalam berbagai departemen dan BUMN. Lapisan
selanjutnya diisi oleh kaum profesional seperti para eksekutif, manajer, ahli
teknik, dan juga konsultan, akuntan, dan pengacara. Dalam lapisan
menengah-tengah inilah dimasukkan kaum intelektual dan masyarakat pers secara umum—
kaum profesional bebas seperti pengacara dan dokter, fungsionaris LSM, dan juga
pegawai negeri sipil yang menjabat eselon tiga dan empat dalam birokrasi. Dalam
lapisan bawah, Aswab Mahasin memasukkan seluruh kelas
menengah-bawah urban seperti pegawai negeri rendahan, usahawan kecil, buruh pabrik, dan
mereka yang bekerja di bidang angkutan dan jasa-jasa urban lainnya.66
Dari pembagian lapisan secara kasar di atas, dapat ditegaskan bahwa posisi
kaum akademisi dan intelektual berada di tengah lapisan kelas menengah santri.
Bila lapisan atas kelompok menengah santri lebih bersifat pragmatis dan
cenderung mempertahankan status-quo karena sebab kepentingan mereka
tertanam kuat dalam sistem yang ada, maka lapisan tengah kelas menengah santri
lebih bersifat liberal dan berjarak dengan negara, meski tidak beroposisi secara
terang-terangan. Sebagian lagi dari lapisan ini bersifat radikal dan cenderung
formalistik dengan mempertunjukkan simbol-simbol agama di ranah publik.67
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Studi
Penelitian ini menggunakan metode sejarah, dengan pendekatan sejarah
sosial-intelektual. Yang dimaksud metode sejarah di sini adalah proses menguji
66
Aswab Mahasin, “Kelas Menengah Santri: Pandangan dari Dalam,” dalam Tanter dan Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, hal. 153-155.
67
dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
dengan menempuh proses tersebut disebut historiografi (penulisan sejarah).68
Sementara pendekatan sejarah sosial dalam penelitian ini adalah dalam
pengertian bahwa penelitian ini berupaya memanifestasikan kehidupan sosial
suatu komunitas atau kelompok.69 Mengenai tema-tema pokok dan bidang
garapan sejarah sosial ini tentunya sangatlah luas dan beraneka ragam. Sartono
Kartodirdjo mengklasifikasikan pokok-pokok utama dalam mengartikan sejarah
sosial dalam beberapa tema, yaitu sejarah gerakan sosial, sejarah demografis,
sejarah kota, sejarah perkembangan golongan-golongan sosial serta gaya
hidupnya, dan sejarah kesenian.70 Sementara Kuntowijoyo membagi sejarah sosial
ke dalam beberapa tema pokok kajian: sejarah masyarakat secara keseluruhan,
kelas sosial, peristiwa sosial, institusi sosial, dan fakta sosial.71 Karena luasnya
tema dan pemaknaan sejarah sosial, maka penelitian ini memfokuskan diri pada
sejarah suatu kelas sosial, yakni kelas menengah santri.
Sedang pendekatan sejarah intelektual dalam penelitian ini diperlukan
untuk menganalisa sosok Kuntowijoyo dalam aktivisme dan pemikirannya,
sebagai bagian dari kelas menengah santri. Karenanya, sejarah intelektual di sini
dipahami dalam pengertian bahwa struktur pikiran khususnya, dan struktur
kesadaran pada umumnya, perlu dimengerti dalam hubungan dengan latar
68
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. ke-5, hal. 32.
69
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 50.
70
Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial, hal. 158-159. 71
belakang sosial-kultural masyarakat di mana pemikir hidup.72 Kuntowijoyo lebih
senang menyebutnya dengan “sejarah pemikiran”, di mana salah satu tugasnya
adalah melihat konteks sejarah pemikiran tersebut muncul, tumbuh, dan
berkembang.73
Berdasarkan metode dan pendekatan tersebut, maka, pertama-tama
penelitian ini berusaha mengungkap kondisi sosial politik Orde Baru yang dibatasi
pada periode 1970-1990. Dari periode inilah bisa diketahui bagaimana tumbuh
dan berkembangnya kelas menengah santri, yang melahirkan salah seorang
tokohnya, yaitu Kuntowijoyo. Selanjutnya, perhatian utama penelitian ini akan
diarahkan kepada analisis pemikiran dan praktik intelektual Muslim Kuntowijoyo,
untuk mengetahui pengaruh posisi dan sikap kelas menengah santri dari golongan
intelektual, terhadap negara dan agama, dalam pemikiran dan praktik
intelektualnya.
2. Sumber Data
Menurut Gottschalk, menulis sejarah mengenai suatu tempat, periode,
peristiwa, lembaga atau orang, bertumpu pada empat kegiatan pokok: (1)
pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis, dan lisan yang relevan; (2)
menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik (dengan menguji bahan-bahan
atau sumber-sumber tersebut); (3) menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya
mengenai bahan-bahan yang otentik tersebut; dan (4) menyusun kesaksian yang
dapat dipercaya tersebut menjadi suatu cerita.74
Langkah pertama adalah mengumpulkan data-data atau sumber-sumber
(heuristik). Sumber-sumber tulisan dan lisan terbagi atas dua jenis: sumber primer
72
Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial, hal. 180. 73
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, hal. 191. 74
dan sumber sekunder. Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan
mata-kepala sendiri atau dengan pancaindera yang lain, atau dengan alat mekanis,
pendeknya orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya.
Sementara sumber sekunder merupakan kesaksian dari seseorang yang tidak hadir
pada peristiwa yang dikisahkannya.75
Sementara sumber lisan diperlukan dalam mengungkap biografi intelektual
Kuntowijoyo. Maka, metode wawancara menjadi salah satu cara memperoleh
data-data dalam penelitian ini. Penggunaan sumber lisan, selain untuk melengkapi
sumber tertulis yang telah ada, juga dalam rangka verifikasi data-data serta
mencari data-data baru yang mungkin belum dituliskan.
Data primer mengenai pemikiran Kuntowijoyo diperoleh melalui
karya-karyanya, sementara data-data sekunder mengenai pemikiran dan praktik
intelektual Kuntowijoyo dapat ditemukan pada buku-buku tulisan cendekiawan
Indonesia mengenai pemikiran dan aksi Islam Indonesia masa Orde Baru. Selain
itu, data-data dalam penelitian ini juga didasarkan pada sumber-sumber tertulis
yang berasal dari jurnal, majalah, dan koran, serta artikel yang diperoleh melalui
internet.
3. Pengolahan dan Analisa Data
Setelah pengumpulan data dan sumber, tahap selanjutnya adalah memilah
data-data yang otentik dan yang tidak. Data-data yang telah diperoleh kemudian
diverifikasi untuk memperoleh akurasi dan kredibilitas sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini, salah satu langkah yang
penting adalah membandingkan data tertulis dengan kesaksian hasil wawancara.
75
Untuk langkah berikutnya, setelah fakta-fakta yang hendak dikaji
dikumpulkan dan diverifikasi, adalah tahap analisa. Sebagai penelitian sejarah
yang menggunakan pendekatan sejarah sosial-intelektual, maka dalam tahap
analisa ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Pendekatan ini
tidak hanya berupaya memberi gambaran segi prosesual, urutan kejadian, dan
perkembangan peristiwa, tetapi juga berupaya menjelaskan struktur peristiwa, ciri,
unsur, faktor-faktor kausal dan kondisionalnya. Dengan pendekatan analitis ini,
diharapkan dapat mengungkapkan pelbagai aspek atau dimensi gejala sejarah baik
secara makro maupun secara mikro.76
Sebagai langkah terakhir adalah tahap historiografi, yakni menyintesiskan
sumber-sumber dan data-data yang telah diperoleh77 dalam rangka merekonstruksi
masa lampau: menuliskan data-data yang telah diperoleh dan dianalisa dalam
suatu tulisan sejarah. Dalam penulisan, penelitian ini menggunakan bahasa
Indonesia yang baku, baik, dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD).
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dalam 5 bab. Bab 1 adalah pendahuluan yang
memuat latar belakang masalah; identifikasi, pembatasan, dan perumusan
masalah; tujuan penelitian; tinjauan pustaka; kerangka teoritis; metodologi
penelitian dan sistematika penulisan. Melalui pendahuluan yang memuat tinjauan
umum penelitian ini, penulis berharap agar pokok utama dan arah tujuan dari
penelitian ini dapat dipahami dengan jelas.
76
Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial, hal. 110-111. 77
Pada bab 2, penulis akan mengkaji terlebih dulu setting sosial-politik Orde
Baru periode 1970-1990. Dari konteks historis yang umum tersebut, kemudian
dikaji bagaimana kelas menengah santri tumbuh, yang akan difokuskan pada
kaum intelektual Muslim. Lantas, akan diteliti apa saja ciri-ciri (ideologi atau
sikap politik dan agama) kelas menengah santri tersebut. Dari sanalah kemudian
akan diketahui bagaimana posisi Kuntowijoyo dalam arus kelas menengah santri
Pada bab 3, akan diungkap bagaimana biografi intelektual Kuntowijoyo.
Dimulai dari riwayat hidup beserta karya-karya yang dihasilkannya, posisinya
dalam arus kelas menengah santri, serta posisinya dalam peta pemikiran Islam di
Indonesia, tentunya dengan sejumlah komentar.
Bab 4 akan mengkaji pandangan-pandangan Kuntowijoyo secara khusus
tentang Islam Indonesia. Dari sanalah kemudian dapat dianalisis
pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo tentang cita-cita sosial-politik Islam dan transformasi
sosial yang berisi usulannya mengenai Ilmu Sosial Profetik; serta, pandangannya
tentang Islam dan negara yang meliputi pandangannya tentang ideologi Pancasila
dan demokrasi. Terakhir, tentunya yang sangat penting dalam kajian kesejarahan
ini, adalah pandangan Kuntowijoyo tentang historiografi Islam Indonesia dan
pendekatannya. Tentunya dengan sejumlah kritik.
Sedangkan bab 5, yang merupakan penutup dari skripsi ini, terdiri dari
kesimpulan yang tidak dimaksudkan sebagai ringkasan keseluruhan isi penelitian
ini. Melainkan, sekadar untuk menunjukkan bahwa permasalahan yang diangkat
28 1970-1990
A. Setting Sosial-Politik Orde Baru 1970-1990
Meski pemerintah Orde Baru Indonesia berkuasa sejak 1966, namun
secara resmi Soeharto menjabat sebagai presiden adalah setelah sidang umum
MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada bulan Maret 1968.1
Berdiri di atas puing-puing kehancuran Orde Lama di bawah kekuasaan rezim
Soekarno, awal kekuasaan Soeharto ditandai oleh upaya mereorientasi dan menata
ulang struktur politik Indonesia. Sebagai akibat krisis ekonomi dan krisis politik
yang diwariskan rezim sebelumnya, serta melihat berbagai tantangan yang
bersumber pada sisa-sisa pendukung Soekarno dan gerakan komunis, perhatian
utama Orde Baru diarahkan untuk menciptakan mekanisme yang dapat
meminimalkan konflik-konflik sosial dan pada saat yang sama memaksimalkan
produktivitas ekonomi. Atau, bagaimana menyusun kembali sistem politik
menjadi politik yang “tertib”.2
Maka, dua tujuan Orde Baru yang dipandang paling penting oleh para
pemimpinnya adalah pertumbuhan ekonomi dan penciptaan ketertiban atau
stabilitas politik. Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut para elite Orde Baru,
syarat-syarat yang diperlukan adalah suatu ekonomi yang berorientasi ke luar dan
suatu politik teknokratik yang tertib. Terkait dengan hal ini, maka, pertama,
pemerintah harus menerapkan kebijaksanaan ekonomi yang mendukung
pertumbuhan yang cepat dan mampu memanfaatkan sumber-sumber ekonomi
1 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj. Satrio Wahono, dkk, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 579.
asing. Kedua, pemerintah harus memelihara suatu “sistem ekonomi dan
masyarakat yang terkendali secara ketat dan tertib.”3
Untuk membina suatu sistem politik yang tertib demi mendukung program
ekonomi tersebut, pemerintah Orde Baru mendasari semua usahanya itu dengan
doktrin-doktrin baru menggantikan doktrin dan slogan lama, seperti politik
sebagai panglima, yang digantikan slogan baru ekonomi sebagai panglima. Slogan
baru ini didukung oleh ideologi baru ciptaan Orde Baru yang berwujud
Pembangunanisme atau Modernisasi dan doktrin Dwi-Fungsi ABRI. Ideologi
pembangunanisme (developmentalism)4 adalah ideologi teknokratik yang
menekankan nilai-nilai seperti efisiensi, efektivitas, harmoni, dan konsensus
sebagai prasyarat terpenting pembangunan ekonomi. Sementara Dwi-Fungsi
ABRI adalah suatu doktrin yang mengesahkan peranan militer dalam
urusan-urusan nonmiliter, seperti kegiatan politik dan ekonomi.5
Modernisasi yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang dimotori
kaum intelektual lulusan Amerika6
3
Ibid., hal. 148-149. 4
Salah seorang pemikir yang gagasannya mengenai pembangunan sering menjadi acuan adalah W.W. Rostow (bukunya: The Stages of Economic Growth) yang terkenal dengan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi: tahap-tahap masyarakat tradisonal (the traditional society), tahap-tahap prakondisi untuk lepas landas (the preconditions for take-off), tahap lepas landas (the take-off), tahap dorongan ke arah kematangan (the drive to maturity), masa konsumsi tinggi massa (the age of high mass consumption), dan masa setelah konsumsi tinggi (beyond consumption). Sebagai catatan, tahap-tahap ini merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman negara Eropa dan Amerika. Dasar pemikiran mengenai pembangunan ini dapat ditemukan pada idea of progress yang melandasi pemikiran para pemikir pencerahan di abad 17, yang beranggapan bahwa peradaban telah, sedang, dan akan terus berkembang ke arah yang dikehendaki. Dan fondasi dasar semua itu adalah metafora pertumbuhan (metaphor of growth), yaitu pertumbuhan dilihat sebagai organisme. Maka, pembangunan dipahami sebagai organik, imanen (mendunia), kumulatif, tidak berbalik dan bertujuan. Lihat Fachry Ali, dan Bahtiar, Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 98-103.
5 Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, hal. 24.
yang berorientasi pembaruan dan antikomunis,
6