• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 33 A Kesimpulan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hotspot Sebagai Indikator Kebakaran

Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Desa Sepahat Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis. Desa Sepahat merupakan salah satu wilayah yang setiap tahunnya terdeteksi adanya hotspot. Kebakaran di wilayah ini menimbulkan dampak yang besar yakni kerusakan dan pencemaran lingkungan khususnya pencemaran udara yang tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi meluas hingga luar negeri.

Kebakaran yang tejadi di Desa Sepahat hampir 80% terjadi di lahan warga, sisanya merupakan lahan perkebunan sawit dari program pemberantasan kemiskinan, kebodohan, dan infrastuktur milik pemerintah. Teknologi yang berkembang saat ini, penyimpangan iklim dalam fenomena kebakaran hutan dan lahan dapat dianalisis dari jumlah hotspot yang terdeteksi pada setiap jenis penutupan lahan pada berbagai keadaan curah hujan (Adiningsih et al. 2005).

Jumlah hotspot bulanan yang terdeteksi di Desa Sepahat berdasarkan data satelit NOOA-18 yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan RI selama periode 2008-2010 disajikan pada Gambar 3

Sumber data : Kementrian Kehutanan RI (Satelit NOAA-18)

Gambar 3 Jumlah hotspot tahunan di Desa Sepahat, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis melalui Satelit NOAA tahun 2008-2010

Berdasarkan Gambar 3 di atas terlihat deteksi hotspot melalui pantauan satelit NOAA-18 tahun 2008 hingga tahun 2010 mengalami penurunan. Jumlah deteksi hotspot tertinggi terlihat pada tahun 2008 yang mencapai 15 hotspot. Sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 jumlah deteksi hotspot pada Desa Sepahat sebanyak 6 hotspot. Pada bulan Februari 2008 terdeteksi 14 hotspot yang terdapat di Desa Sepahat. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi deteksi hotspot dari tahun 2008-2010. Deteksi hotspot yang terpantau oleh satelit NOOA-18 pada tahun 2008-2010 berada pada bulan-bulan awal yakni Januari, Februari, dan Maret. Hal ini berhubungan dengan jatuhnya musim kemarau di Riau yaitu pada bulan Februari hingga Maret dan bulan Juli-September.

Sumber : Kementrian Kehutanan RI

Gambar 4 Jumlah hotspot bulanan di Desa Sepahat, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis melalui satelit NOAA tahun 2008-2010

Berdasarkan Gambar 4 terlihat jelas bahwa pada tahun 2008 merupakan jumlah deteksi hotspot tertinggi yang ditangkap oleh sensor AVHRR. Pada tahun 2008 deteksi hotspot yang terekam oleh sensor AVHRR pada bulan Februari sebanyak 14 hotspot dan bulan April sebanyak 1 hotspot. Pada tahun 2009 deteksi hotspot yang terekam oleh sensor AVHRR terdapat pada bulan Maret, Agustus, dan November, yang masing-masing terdeteksi 2 hotspot. Sedangkan pada tahun 2010, deteksi hotspot yang terekam oleh sensor AVHRR terjadi pada bulan Januari dan Februari yang masing-masing terdeteksi 3 hotspot.

Berbeda dengan satelit NOAA-18, satelit TERRA-AQUA yang mempunyai cakupan lebih luas daripada sensor AVHRR yang dimiliki oleh Satelit NOAA. Pada tahun 2008 satelit TERRA-AQUA dengan menggunakan sensor MODIS dapat

mendeteksi 103 hotspot, pada tahun 2009 terdeteksi 148 hotspot dan pada tahun 2010 terdeteksi 107 hotspot.

Sumber data : Center for Applied Biodiversity Science (CABS).

Gambar 5 Jumlah hotspot tahunan di Desa Sepahat Kabupaten Bengkalis, Riau melalui Satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010

Gambar 5 menunjukkan deteksi hotspot tertinggi yang ditangkap oleh sensor MODIS terjadi pada tahun 2009 sedangkan deteksi hotspot terendah terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2009 jumlah deteksi hotspot tertinggi terdapat pada bulan Januari yaitu sebanyak 48 hotspot. Hal ini berbeda dengan deteksi hotspot yang tertangkap satelit NOAA yang tidak mendeteksi hotspot pada bulan Januari tahun 2009.

Berdasarkan Gambar 6, data yang diperoleh sensor MODIS hotspot tertinggi dalam kurun waktu tahun 2008-2010 terjadi pada bulan Februari. Sedangkan jumlah hotspot terendah bulanan pada kurun waktu 2008-2010 terjadi pada bulan Maret, September, dan Oktober. Bulan Februari tahun 2008 merupakan jumlah deteksi hotspot tertinggi dalam kurun waktu 2008-2010 yaitu sebanyak 93 hotspot. Bulan Desember 2009 dan bulan April 2010 merupakan jumlah deteksi hotspot terendah dalam kurun waktu 2008-2010 yaitu sebanyak 1 hotspot.

Pada tahun 2008 deteksi hotspot yang tertangkap oleh sensor MODIS terjadi pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan Desember. Deteksi hotspot tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan Februari yaitu sebanyak 93 hotspot. Sedangkan deteksi hotspot terendah pada tahun 2008 terjadi pada bulan Mei yaitu sebanyak 2 hotspot. Pada tahun 2009 deteksi hotspot yang tertangkap oleh sensor MODIS terjadi pada

bulan Januari, Februari, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember.

Sumber data : Center for Applied Biodiversity Science (CABS).

Gambar 6 Jumlah hotspot bulanan di Desa Sepahat Kabupaten Bengkalis, Riau melalui Satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010

Deteksi hotspot tertinggi pada tahun 2009 terjadi pada bulan Januari yaitu sebanyak 48 hotspot. Deteksi hotspot terendah terjadi pada bulan Desember yaitu 1 hotspot. Pada tahun 2010, deteksi hotspot yang tertangkap oleh sensor MODIS terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Juni, Juli Agustus, Oktober, dan Desember. Deteksi hotspot tertinggi pada tahun 2010 terjadi pada bulan Oktober sebanyak 49 titik. Deteksi hotspot terendah pada tahun 2010 terjadi pada bulan April yang terdeteksi 1 hotspot.

Pada bulan Mei, Juni, Juli, September, Oktober, dan Desember dari kurun waktu tahun 2008-2010 satelit NOAA-18 mendeteksi tidak ditemukan hotspot pada bulan tersebut. Hasil deteksi hotspot yang dilakukan Satelit MODIS, pada enam bulan tersebut terdeteksi adanya hotspot dengan jumlah rata-rata hotspot tertinggi berada pada bulan Oktober sebanyak 18 hotspot.

Pada Februari 2008 terdapat perbedaan yang signifikan antara deteksi hotspot yang diterima sensor MODIS dengan sensor AVHRR. Sensor AVHRR mendeteksi terdapat 14 hotspot di Desa Sepahat sedangkan untuk sensor MODIS mendeteksi 93 hotspot.

Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa dalam kurun waktu 2008-2010 jumlah deteksi hotspot yang ditangkap oleh satelit NOAA dan TERRA-AQUA bulan Februari memiliki tingkat deteksi hotspot tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan

tersebut dalam kurun waktu tiga tahun tersebut wilayah Desa Sepahat merupakan awal periode rawan kebakaran.

Gambar 7 Rata-rata hotspot selama tahun 2008-2010 berdasarkan Satelit NOAA dan Satelit TERRA-AQUA

Perbedaan jumlah deteksi hotspot antara satelit NOAA-18 dengan MODIS merupakan hal yang wajar. Perbedaan ini diakibatkan adanya perbedaan dari sistem kerja sensor kedua satelit ini. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Adminitration) menggunakan sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) untuk membaca perbedaan suhu permukaan di daratan dengan suhu permukaan di laut. Sedangkan sensor MODIS, dimiliki oleh satelit TERRA (yang beroperasi pada siang hari) dan satelit AQUA (yang beroperasi pada malam hari). Sensor MODIS juga dapat menerima patulan gelombang elektromagnetik sebanyak 36 band, sedangkan sensor AVHRR hanya mempunyai cakupan 1.21 km2 dan hanya dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam sehari (Christinawati 2008).

Satelit NOAA memiliki resolusi citra sekitar 1.1 km x 1.1 km. Dalam luasan 1,21 km2 tersebut kita tidak dapat mengetahui lokasi kebakaran secara persis. Selain itu, jika jumlah titik kebakaran dalam satu luasan lebih dari satu titik, akan tetapi luasan tersebut akan tetap diwakili oleh satu titik hotspot yang berada tepat di tengah luasan persegi tersebut. Penentuan luasan areal terbakar dengan menggunakan data hotspot satelit NOAA sebaiknya tidak dilakukan karena akan menyebabkan bias yang cukup besar (Thoha 2008). Satelit NOAA memiliki sensor optis (sinyal pasif), berbeda dengan radar yang mempunyai sinyal aktif yang dapat menembus awan dan aktif pada malam hari. Kelemahan yang lain yang dimiliki oleh satelit NOAA adalah resolusi

spasial yang rendah. Sedangkan satelit TERRA-AQUA dengan sensor MODIS mengorbit bumi secara polar yaitu dari utara menuju selatan pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada pukul 10:30 waktu lokal (Thoha 2008).

B. Hubungan antara Curah Hujan dengan Hotspot

Pada Gambar 8 menjelaskan bahwa curah hujan bulanan di Kecamatan Bukit Batu dari tahun 2008 hingga 2010 berkisar antara 1511 mm hingga 1768 mm. Curah hujan terendah terjadi pada tahun 2008, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010. Pada tahun 2008 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah 1511 mm. Pada tahun 2009 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah 1574.5 mm. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah 1768 mm.

Sumber Data: Dinas Pertanian Kabupaten Bengkalis Riau

Gambar 8 Curah hujan tahunan di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun 2008-2010

Nilai kisaran curah hujan bulanan pada tahun 2008 berkisar antara 77 mm hingga 315 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan nilai perbedaan kisaran curah hujan sebesar 238 mm. Nilai kisaran curah hujan bulanan yang terjadi daripada tahun 2009 berkisar antara 63 mm hingga 279 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dengan nilai perbedaan kisaran curah hujan sebesar 216 mm. Nilai kisaran curah hujan bulanan yang terjadi pada tahun 2010 berkisar antara 147 mm hingga 207 mm, curah hujan terendah terjadi ada bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dengan nilai

perbedaan kisaran curah hujan sebesar 60 mm. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September yaitu sebesar 27 mm/hari, sedangkan rata-rata curah hujan terendah adalah bulan Oktober sebesar 84.67 mm/hari.

Sumber Data: Dinas Pertanian Kabupaten Bengkalis Riau

Gambar 9 Rata-rata curah hujan bulanan Kecamatan Bukit Batu, Propinsi Riau tahun 2008-2010

Menurut Syaufina (2008) pola iklim di Bengkalis berbeda dengan pola iklim di Pulau Jawa. Pola iklim di Pulau Jawa umumnya hanya mempunyai satu periode musim kemarau, yaitu Juni-September akan tetapi di daerah Bengkalis berbeda. Daerah Bengkalis mempunyai dua periode musim kemarau, yaitu pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli- September. Keadaan yang yang terjadi saat ini dimungkinkan adanya efek pemanasan global yang terjadi di saat ini, yang memberikan dampak perubahan periode musim kemarau dan musim penghujan.

Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot akan berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Pada Gambar 10 dan Gambar 11 terlihat disaat curah hujan tinggi maka titik hotspot akan berkurang, begitu sebaliknya jika curah hujan rendah maka deteksi hotspot akan lebih tinggi. Pada bulan Agustus, terjadi kenaikan intensitas hujan, yang menyebabkan jumlah hotspot dari satelit NOAA maupun satelit TERRA-AQUA juga mengalami penurunan.

Tetapi tidak selalu hotspot pada suatu bulan rendah disebabkan karena curah hujan yang tinggi, begitu pun sebaliknya. Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada bulan Mei dan Juli dan Gambar 11 pada bulan April, curah hujan yang rendah tidak serta merta meningkatkan hotspot.

Gambar 10 Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot NOAA-18 dari tahun 2008-2010

Gambar 11 Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot MODIS dari tahun 2008- 2010

Dalam menentukan model persamaan terbaik dari hubungan antara nilai curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot baik dari satelit NOAA dan satelit TERRA- AQUA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, terlebih dahulu dilakukan pengujian korelasi untuk melihat signifikansi hubungan antara curah hujan dengan data titik panas (hotspot). Jika diketahui hubungan curah hujan dan hotspot di Desa Sepahat signifikan, maka dilanjutkan dengan mencari model persamaan hubungan antara jumlah curah hujan dengan deteksi hotspot di Desa Sepahat.

Dilihat dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil pengujian korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit NOAA adalah -0.893. Sedangkan pengujian korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit TERRA-AQUA adalah -0.588. Notasi negatif (-) pada hasil uji korelasi tersebut menunjukkan arah

kedua hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah data hotspot baik data yang diperoleh dari satelit NOAA maupun satelit TERRA-AQUA mempunyai hubungan terbalik. Hubungan terbalik memberikan arti kenaikan suatu variabel akan diikuti dengan penurunan variabel berikutnya.

Tabel 1 Hasil pengujian korelasi antara jumlah deteksi titik panas (hotspot) terhadap curah hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun 2008- 2010.

No Parameter Nilai korelasi P-Value

1. Korelasi jumlah titik panas (hotspot) dari data satelit NOAA-18 bulanan rata-rata dengan curah hujan rata-rata

-0.893 0.017

2 Korelasi jumlah titik panas (hotspot) dari data satelit TERRA-AQUA bulanan rata-rata dengan curah hujan rata-rata

-0.588 0.008

Korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari data satelit NOAA adalah 0.893 yang dapat dikategorikan memiliki hubungan yang sangat kuat dan berdasarkan uji signifikan hasilnya menunjukkan nilai 0.017 yang berarti asosiasi kedua variabel adalah signifikan. Begitu juga dengan korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah hotspot dari data satelit TERRA-AQUA adalah 0.588 dapat dikategorikan memiliki hubungan yang kuat dan berdasarkan uji signifikan hasilnya menunjukkan nilai 0.008 yang berarti asosiasi kedua variabel adalah signifikan. Hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot akan dianggap signifikan jukan nilai P-Value <0.05. Nilai korelasi dari hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah deteksi hotspot yang lebih dari 0.5 membuat hubungan jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dapat dilakukan pengujian dengan mengunakan regresi polynomial kubik untuk mendapatkan model dan persamaan terbaik.

Hasil pengujian regresi polynomial kubik antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot berdasarkan data dari satelit NOAA-18 diketahui nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.963, nilai adjusted R Square sebesar 90.7% dengan standar devisiasi (S) sebesar 9.16856 (Gambar 12). Model terbaik berdasarkan nilai koefisien determinasi terbesar, model persamaannya adalah sebagai berikut:

y = 146.5 – 17.49x + 8.52x2 – 0.5444x3, dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan 14 12 10 8 6 4 2 0 300 250 200 150 100 x1 y S 9.16856 R-Sq 96.3% R-Sq(adj) 90.7%

Fitted Line Plot y = 146.5 - 17.49 x1 + 8.52 x1* * 2 - 0.5444 x1* * 3

Gambar 12 Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit NOAA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau tahun 2008-2010

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 300 250 200 150 100 50 x2 y S 46.0095 R- Sq 57.4% R- Sq ( ad j ) 48.9% Fi t t e d Li ne P l ot y = 239. 6 - 14. 90 x2 + 0 .4 2 0 4 x2 * * 2 - 0 .0 0 3 0 0 2 x2 * * 3  

Gambar 13 Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau tahun 2008- 2010

Analisis hubungan antara curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat pada tahun 2008-2010 dengan menggunakan regresi polynomial kubik, didapat nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.574, nilai adjusted R Square sebesar 48.9% dengan standar deviasi 46.0095

(Gambar 13). Model terbaik berdasarkan nilai koefisien determinasi terbesar, model persamaannya adalah sebagai berikut:

y = 239.6 – 14.9x + 0.4204x2 – 0.003002x3, dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan.

Jika dibandingkan antara nilai korelasi hubungan jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA, nilai korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA jauh lebih baik daripada hubungan korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot daripada satelit TERRA-AQUA.

C. Analisis Kejadian Kebakaran Lahan Gambut

Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh unsur dari perilaku api. Perilaku api merupakan dasar dalam mempelajari dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan sebagai penilaian kerusakan yang ditimbulkan serta menentukan strategi dalam pengendaliannya (Syaufina 2008). Perilaku api dicirikan dengan segitiga lingkungan api yang saling terkait satu dengan yang lain. Unsur dari segitiga lingkungan api adalah bahan bakar, cuaca/iklim dan topografi. Perubahan kondisi dari setiap unsur lingkungan dan interaksi antar unsur tersebut sangat menentukan karakteristik serta perilaku api.

Ekosistem gambut memberikan manfaat yang luas bagi kehidupan di muka bumi ini. Ekosistem gambut memberikan kehidupan bagi flora dan fauna dan berperan sebagai pengatur tata air sehingga daerah di sekitarnya dapat terhindar dari intrusi air laut pada musim kemarau dan terhindar dari banjir saat musim penghujan. Lahan gambut mampu menyimpan dan menyerap gas rumah kaca atau karbon dalam jumlah besar sehingga secara tidak langsung juga berperan penting dalam mengatur iklim lokal maupun global (Wibisono et al 2005). Propinsi Riau merupakan wilayah yang mempunyai lahan gambut terbesar di Pulau Sumatera, yakni 4.044 juta Ha. Kandungan karbon tanah gambut di Riau tergolong paling tinggi di Sumatera bahkan ke Asia Tenggara (Muslim dan Kurniawan 2008). Propinsi Riau saat ini tidak hanya terkenal dengan Propinsi yang mempunyai luasan gambut terbesar di Pulau Sumatera akan tetapi wilayah yang juga penyumbang asap terbesar hingga ke negara tetangga akibat kebakaran hutan dan lahan.

Populasi manusia yang semakin hari semakin bertambah membuat kebutuhan hidup juga semakin besar, sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan pendapatan masyarakat memanfaatkan sumber daya hutan. Pemafaatan sumber daya hutan cenderung hanya terfokus kepada aktifitas penebangan pohon- pohon yang bernilai ekonomis untuk diperdagangkan tanpa memperhatikan aturan dan pengelolaan hutan yang berlaku. Perbedaan sudut pandang mengenai fungsi dan manfaat langsung hutan sering berujung pada perubahan status kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan seperti lahan perkebunan, pertanian, bahkan areal pemukiman (Wibisono et al 2005).

Perubahan status kawasan hutan gambut menjadi kawasan non-hutan menjadi lahan perkebunan di desa Sepahat misalnya, membuat masyarakat atau para pengusaha membuat saluran drainase. Saluran drainase dibuat untuk mengatur muka air tanah. Pembuatan saluran drainase sepanjang tahun akan mengalirkan air dari lahan gambut. Akan tetapi pada musim kemarau saluran drainase tidak saja menguras air yang tergenang tetapi juga air yang terikat dalam tanah gambut, sehingga menurunkan muka air tanah dan gambut menjadi kering.

Lahan gambut yang mengering akan mengurangi kemampuan daya mengikat air secara drastis dan pada saat musim kemarau panjang gambut akan lebih cepat mengering dan mudah terbakar. Saluran drainase juga dapat menyebabkan menurunnya ketebalan amblesnya gambut secara permanen (subsidence).

Desa Sepahat yang merupakan salah satu desa yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Akan tetapi saat ini hutan tersebut sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan karet. Luas perkebunan kepala sawit yang dimiliki oleh masyarakat hingga tahun 2011 sudah mencapai luas 3200 Ha.

Berdasarkan Gambar 14,15, dan 16, deteksi hotspot yang ditangkap oleh satelit NOAA dan TERRA-AQUA pada tahun 2008-2010 di desa Sepahat berada di lahan gambut dalam, dengan kedalaman gambut lebih dari 2 m. Pada tahun 2010 berdasarkan deteksi satelit TERRA-AQUA terdapat 2 hotspot yang berada di lahan gambut dengan kedalaman 75-200 cm

Gambar 14 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2008 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat

Gambar 15 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2009 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat

Gambar 16 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2010 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat

Berdasarkan sistem penyiapan lahan atau alih fungsi lahan, masyarakat Desa Sepahat menggunakan metode penyiapan lahan dengan cara membakar lahan untuk membersihkan lahan dari semak-semak belukar. Cara ini dianggap paling efektif serta tidak perlu menggunakan modal yang besar. Akan tetapi pengetahuan masyarakat untuk mengendalikan api beserta dampak yang ditimbulkan jika membersihkan lahan dengan cara membakar, sering kali membuat kebakaran lahan meluas sehingga tidak terkendali.

Tiupan angin yang besar, keadaan tanah gambut yang sulit mengikat air membuat kebakaran lahan di Desa Sepahat menjadi kebakaran yang sangat besar hingga menimbulkan asap tebal hingga ke negeri tetangga. Tahun 2009, merupakan tahun terjadinya kebakaran yang paling tinggi di antara kurun waktu 2008-2010. Kebakaran tahun 2009 telah membakar ribuan hektar perkebunan milik masyarakat. Pada tahun 2010 kebakaran juga kembali di tempat yang sama akan tetapi luasan yang terbakar hanya 20 Ha.

Kebakaran gambut merupakan kebakaran yang digolongkan sebagai kebakaran bawah (ground fire). Kebakaran bawah adalah keadaan dimana api yang berasal dari permukaan, kemudian menjalar ke bawah membakar bahan organik melalui pori-pori gambut. Ujung api bergerak dan menyebar kearah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1.29 cm/jam (Kurnain 2008). Api

membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap berwarna putih saja yang tampak di atas permukaan (Adinugroho et al. 2005).

Kebakaran yang terjadi di lahan gambut dapat mengakibatkan hilangnya lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan yang terganggu, gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem transportasi dan komunikasi. Dampak utama yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan gambut adalah asap yang ditimbulkan yang mempengaruhi jarak pandang dan kualitas udara. Asap bertahan cukup lama di lapisan atmosfer akibat rendahnya kecepatan angin permukaan (Kurnain 2008). Kebakaran yang terjadi di Desa Sepahat pada tahun 2010 telah menyebabkan kepungan asap tebal yang menyebar hingga negara tetangga yaitu Singapore dan Malaysia.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perbandingan jumlah deteksi hotspot antara satelit NOAA dengan satelit TERRA-AQUA menunjukkan bahwa pada tahun 2008 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 14.5% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Pada tahun 2009 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 4.05% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Sedangkan pada tahun 2010 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 5.6% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Sehingga persentase jumlah rata-rata hotspot dari tahun 2008-2010 melalui data Satelit NOAA adalah 7% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA.

2. Persentase jumlah deteksi hotspot yang lebih kecil antara deteksi hotspot Satelit NOAA dengan satelit TERRA-AQUA disebabkan karena Satelit TERAA-AQUA dengan sensor MODIS memiliki cakupan lebih luas dari pada

Dokumen terkait