a) Hubungan Aktivitas Individu Betina dengan Spesies Vegetasi
Analisis PCA aktivitas lutung betina dewasa pada berbagai spesies vegetasi menunjukkan total akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.47. Total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.65%, 8.00% dan 3.83%. Berdasarkan komponen 1 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah P. umbelliflora, L. elegans, G. arborescens, dengan PCA score berturut-turut 5.84, 4.62 dan 2.26. Pada komponen 2 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah Q. argentea, F. punctata dan L. sundaicus dengan nilai PCA score berturut-turut 1.35, 0.95 dan 0.94. Jenis vegetasi yang paling berpengaruh berdasarkan komponen 3 adalah X. noronhianum, A. indica dan P. edule dengan nilai PCA score masing-masing sebesar 0.96, 0.78 dan 0.62.
b a
Gambar 27 Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2.
Berdasarkan Gambar 27 diketahui bahwa aktivitas makan dan sosial pada lutung betina dewasa berhubungan dengan keberadaan vegetasi M. eminii dan L. elegans, sedangkan pada aktivitas istirahat berhubungan dengan keberadaan vegetasi G. arborescens dan pada aktivitas bergerak terkait dengan keberadaan vegetasi Q. argentea, F. punctata. Hubungan aktivitas betina dengan speseis vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28 Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3.
betina_makan betina_gerak betina_sosial betina_istirahat Ai Am Fe Bj Ce Cg Cj Dm Es Fe Fp Ga Le Ls Mc Me Na Pe Pex Pu Qa Qj Sn Sr Xn -1,6 -0,8 0,8 1,6 2,4 3,2 4 4,8 Komponen 1 -1,8 -1,5 -1,2 -0,9 -0,6 -0,3 0,3 0,6 K o m p o n e n 2 betina_makan betina_gerak betina_sosial betina_istirahat Ai Am Fe Bj Ce Cg Cj Dm Es Fe Fp Ga Le Ls Mc Me Na Pe Pex Pu Qa Qj Sn Sr Xn -1,6 -0,8 0,8 1,6 2,4 3,2 4 4,8 Komponen 1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0,2 0,4 0,6 0,8 K o m p o n e n 3
Aktivitas istirahat pada lutung betina dipengaruhi oleh keberadaan G. arborescens, sedangkan aktivitas makan berhubungan dengan keberadaan vegetasi M. eminii.
b)Hubungan Aktivitas Individu Jantan dengan Spesies Vegetasi
Analisis PCA aktivitas lutung jantan dewasa pada berbagai spesies vegetasi menunjukkan total akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.33. Total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 83.32%, 8.08% dan 6.68%. Grafik PCA berdasarkan komponen 1 dan 2 disajikan pada Gambar 29, dan berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 30.
Gambar 29 Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2.
Gambar 30 Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3.
jantan_makan jantan_gerak jantan_sosial jantan_istirahat Ai Am Fe Bj Ce Cg Cj Dm Es Fe Fp Ga Le Ls Mc Me Na Pe Pex Pu Qa Qj Sn Sr Xn -1,6 -0,8 0,8 1,6 2,4 3,2 4 4,8 Komponen 1 -2 -1,6 -1,2 -0,8 -0,4 0,4 0,8 1,2 1,6 K o m p o n en 2 jantan_makan jantan_gerak jantan_sosial jantan_istirahat AiAm Fe Bj Ce Cg Cj Dm Es Fe Fp Ga Le Ls Mc Me Na Pe Pex Pu Qa Qj Sn Sr Xn -1,6 -0,8 0,8 1,6 2,4 3,2 4 4,8 Komponen 1 -0,9 -0,6 -0,3 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8 K o m p o n en 3
Berdasarkan komponen 1 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah P. umbelliflora, L. elegans, G. arborescens, dengan PCA score berturut-turut 5.37, 4.63 dan 2.08. Pada komponen 2 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah Q. argentea, P. excelsa dan B. javanica dengan nilai PCA score berturut-turut 1.35, 1.09 dan 0.99. Jenis vegetasi yang paling berpengaruh berdasarkan komponen 3 adalah X. noronhianum, E. subumbrans dan L. sundaicus dengan nilai PCA score masing-masing 1.92, 0.85 dan 0.61. Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 30.
Berdasarkan Gambar 29 dan 30 diketahui bahwa aktivitas makan jantan dewasa dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi M. eminii, L. elegans dan P. excelsa sedangkan aktivitas sosial sangat terkait dengan keberadaan vegetasi P. excelsa. Aktivitas istirahat berhubungan dengan keberadaan vegetasi G. arborescens dan X. noronhianum, dan aktivitas bergerak sangat terkait dengan keberadaan vegetasi Q. argentea, B. javanica dan F. punctata.
c) Hubungan Aktivitas Total dengan Spesies Vegetasi
Analisis PCA pada aktivitas total berdasarkan matriks korelasi menunjukkan total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.46. Total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.43%, 7.90% dan 4.20%. Hubungan aktivitas total lutung jantan dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2 disajikan pada Gambar 31, sedangkan berdasarkan komponen 1 dan 3 disajikan pada Gambar 32.
Gambar 31 Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 2.
Berdasarkan komponen 1 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah P. umbelliflora, L. elegans dan G. arborescens dengan nilai PCA score berturut-turut 5.67, 4.72 dan 2.15. Pada komponen 2 jenis vegetasi yang paling berpengaruh adalah Q. argentea, F. punctata dan B. javanica dengan nilai PCA score berturut- turut 1.36, 0.96 dan 0.92. Jenis vegetasi yang paling berpengaruh berdasarkan
makan gerak sosial istirahat Ai Am Fe Bj Ce Cg Cj Dm Es Fe Fp Ga Le Ls Mc Me Na Pe Pex Pu Qa Qj Sn Sr Xn -1,6 -0,8 0,8 1,6 2,4 3,2 4 4,8 Komponen 1 -1,8 -1,5 -1,2 -0,9 -0,6 -0,3 0,3 0,6 K o m p o n e n 2
komponen 3 adalah X. noronhianum, P. edule dan A. indica dengan nilai PCA score masing-masing 1.34, 0.58 dan 0.55.
Gambar 32 Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi berdasarkan komponen 1 dan 3.
Berdasarkan Gambar 31 dan 32 diketahui bahwa aktivitas makan dan sosial dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi L. elegans dan M. eminii. Aktivitas istirahat berhubungan dengan keberadaan vegetasi G. arborescens, sedangkan aktivitas istirahat terkait dengan keberadaan vegetasi Q. argentea, F. punctata dan B. javanica.
Pembahasan
Populasi Lutung Jawa
Populasi lutung jawa di Gunung Pancar relatif kecil dibandingkan dengan beberapa habitat yang lain. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kelompok lutung jawa biasanya terdiri dari 6-23 ekor dengan satu jantan pemimpin, beberapa betina dewasa, anak dan bayi (Medway 1970, Kartikasari 1982, Cannon 2009).
Kondisi habitat hutan yang terfragmentasi dan terisolasi serta tingginya faktor gangguan aktivitas manusia menjadi faktor utama yang diduga berpengaruh terhadap ukuran populasi lutung jawa di Gunung Pancar. Laurence (2000) menyatakan bahwa fragmentasi habitat hutan berimplikasi terhadap perubahan dinamikla hutan, struktur, komposisi dan mikroklimat serta menekan keanekeragaman hayati, selain itu perburuan ilegal berhubungan langsung terhadap meningkatnya tekanan pada fragmen habitat.
makan gerak sosialistirahat Ai Am Fe Bj Ce Cg Cj Dm Es Fe Fp Ga Le Ls Mc Me Na Pe Pex Pu Qa Qj Sn Sr Xn -1,6 -0,8 0,8 1,6 2,4 3,2 4 4,8 Komponen 1 -0,9 -0,6 -0,3 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8 K o m p o n e n 3
Perubahan komposisi habitat akan berdampak pada bergesernya dinamika faktor fisik dan biotik, sehingga akan berimbas pada ketersediaan air, cover dan pakan yang merupakan komponen utama habitat. Cannon (2009) menyatakan ukuran kelompok dipengaruhi oleh faktor iklim dan musim yang implikasinya terkait dengan ketersediaan pakan.
Pada kasus seperti Gunung Pancar dimana kondisi iklim dan mikroklimat relatif basah, maka regenerasi vegetasi untuk tumbuh dan berkembang dapat berlangsung dengan baik sehingga memungkinkan ketersediaan daun (pakan) sepanjang waktu. Namun demikian tingginya gangguan aktivitas manusia terhadap habitat menyebabkan regenerasi vegetasi menjadi terganggu. Aktivitas pertanian dan penebangan kayu yang cukup intensif serta berkurangnya populasi satwa pemancar biji merupakan faktor ancaman yang utama. Di Tahura R. Soerjo tercatat ancaman utama keletarian lutung jawa adalah perambahan hutan, kebekaran hutan serta aktivitas perburuan liar yang cukup tinggi (Profauna 2011).
Hilangnya sebagian besar vegetasi di Gunung Pancar menjadi ancaman serius bagi eksistensi populasi lutung jawa yang merupakan satwa pemakan daun (folifora) (Bismark 1993). Ukuran kelompok yang kecil merupakan salah satu bentuk strategi dalam menghadapi kondisi habitat yang kurang mendukung.
Densitas populasi adalah parameter yang dapat digunakan untuk menduga ukuran populasi pada suatu area tertentu. Beberapa metode pengukuran populasi primata sangat tergantung dari kondisi habitat dan karakteristik satwa yang diamati (Tobing ISL 2008). Diketahui kepadatan populasi lutung jawa di Gunung Pancar sangat rendah (0.14 ind/ha) jika dibandingkan dengan lokasi lain. Penelitian Megantara (2004) di TWA Pangandaran menunjukkan kepadatan kelompok lutung jawa berkisar antara 18-26 kel/km2. Di TN Alas Purwo tercatat kepadatan lutung jawa 50 ind/km2 (Susetyo 2004); 88-158 ind/km2 (Purnomo 2003). Beberapa studi lain juga mencatat kepadatan rata-rata berkisar 7.9 – 8.8 kelompok/km2 dengan estimasi 114 – 147.9 individu/km2 (Meijaard & Nijman diacu dalam IUCN 2012).
Densitas jenis-jenis mamalia yang bergantung pada keberadaan hutan biasanya akan berubah ketika terjadi isolasi dan perubahan habitat akibat aktivitas manusia (Ickes et al. 2005). Tekanan isolasi habitat menyebabkan populasi tidak dapat berkembang dengan baik akibat menurunya sumberdaya, kemampuan reproduksi serta hilangnya diversitas genetik (Bailey 2007). Efek ganda dari faktor internal (degradasi genetik) dan faktor eksternal (degradasi lingkungan) dapat menyebabkan populasi lutung jawa menjadi stagnan bahkan cenderung menurun. Megantara (2004) menyatakan bahwa populasi lutung jawa di Taman Wisata Pangandaran mengalami penurunan dari 158 ekor menjadi 130 ekor mulai tahun 1979 sampai 2003 yang diperkirakan sebagai akibat degradasi habitat.
Harcourt & Gibbons (2009) menyatakan bahwa ada sebagian jenis primata yang tetap dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada fragmen habitat yang terbatas yaitu spesies yang memiliki bobot tubuh kecil atau jenis yang bersifat komensal dan tersebar luas. Lutung jawa dengan distribusi populasi yang terpencar di Jawa, Bali dan Lombok (Richardson 2005, Nijman & Supriatna, 2008) diperkirakan banyak hidup pada fragmen-fragmen habitat yang tersisa sehingga sangat rentan terhadap kepunahan (Nijman 2000). Pada kondisi habitat yang terbatas, diperkirakan ketersediaan pakan menjadi faktor utama yang mempengaruhi keberadaan populasi lutung jawa. Harcourt & Gibbons (2009)
menyatakan bahwa dari banyak variabel demografi dan lingkungan, hanya variabel pakan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap keberadaan populasi primata.
Laurence & Laurence (1999) menyatakan bahwa sisa-sisa fragmen hutan masih dapat menjadi kantung habitat atau koridor bagi satwa arboreal. Terkait dengan pendapat tersebut Cardilo et al.(2006) menyatakan bahwa fokus perhatian konservasi seharusnya tidak hanya pada hotspot biodiversity, namun juga harus diarahkan pada kawasan dengan tingkat gangguan yang tinggi sehingga dapat meminimalisir resiko kepunahan di masa depan. Gunung Pancar sebagai fragmen habitat penting bagi banyak satwaliar di sekitar kawasan hendaknya mendapatkan perhatian serius dalam kaitannya dengan upaya konservasi satwaliar di Indonesia.
Distribusi Aktivitas Harian Lutung Jawa
Distribusi aktivitas harian lutung jawa menunjukkan variasi yang beragam pada tiap variabel lingkungan (fisik dan biotik). Secara umum proporsi aktivitas lutung jawa di Gunung Pancar adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%), bergerak (27.08%) dan aktivitas sosial (8.60%). Hasil ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya. Ambarwati (1999) menyatakan di TN Baluran persentase aktivitas lutung jawa adalah istirahat sebesar 49%, makan 23%, berjalan 22%, tidur 10% dan bersuara 3%. Prilyanto (2005) juga mencatat proporsi aktivitas lutung jawa di RPH Claket Mojokerto berturut-turut adalah resting, moving, feeding, grooming, playing dan aggressive.
Alokasi waktu aktivitas dominan pada pagi hari dengan proporsi aktivitas tertinggi adalah makan. Kondisi suhu dan kelembaban yang relatif tinggi pada pagi hari (10-30o C) menyebabkan lutung jawa memilih berkumpul untuk makan di bawah naungan pohon (Nadler et al. 2002). Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase durasi aktivitas istirahat dan makan pada lutung betina dewasa (50.66% & 58.80%). Pada siang hari lutung jawa lebih banyak bergerak dan istirahat. Aktivitas ini terkait dengan upaya mencari sumber pakan serta kegiatan orientasi dalam daerah jelajah. Prayogo (2006) menyatakan bahwa kegiatan istirahat pada primata termasuk lutung umumnya dipengaruhi oleh tingkat suhu dan kelembaban. Suhu yang relatif tinggi pada siang hari menyebabkan lutung jawa banyak beristirahat dengan cara berteduh di bawah kerimbunan tajuk pohon.
Sebaran frekuensi tiap jenis aktivitas lutung jawa menunjukkan pola yang seragam, hal ini disebabkan lutung jawa beraktivitas hampir sepanjang hari dengan intensitas yang relatif merata, khususnya aktivitas bergerak dan makan. Hasil pengamatan menunjukkan lutung jawa selalu tercatat beraktivitas makan dan bergerak baik pada pagi, saing maupun sore hari.
Distribusi aktivitas harian pada variabel stratum pohon dominan dijumpai pada stratum C dengan rentang tinggi pohon 4 – 20 meter. Struktur dan komposisi masyarakat vegetasi di Gunung Pancar diduga berpengaruh terhadap pola ini. Diketahui populasi vegetasi di habitat lutung jawa didominasi oleh vegetasi pada stratum C dengan persentase 80.50%. Pola distribusi ini relatif berbeda dengan beberapa lokasi lain. Zainal (2008) mengungkapkan bahwa penggunaan stratum tertinggi pada lutung jawa adalah stratum tengah (49.22%) untuk di penangkaran dan stratum atas (43.11%) di habitat alami. Selanjutnya Subarkah dkk. (2011)
juga menyebutkan bahwa lutung dalam aktivitasnya 50.53% menggunakan wilayah puncak kanopi tumbuhan, 41.99% menggunakan kanopi tumbuhan bagian tengah dan hanya 2.49% yang menggunakan kanopi bawah. Perbedaan pola penggunaan stratum pohon diperkirakan dipengaruhi oleh kondisi hutan Gunung Pancar yang relatif terganggu. Pada hutan terganggu kerapatan/densitas vegetasi menjadi berkurang sehingga stratum tajuk bagian tengah menjadi lebih dominan. Hal ini berimplikasi kepada tingginya durasi aktivitas pada stratum tajuk bagian tengah (stratum C).
Pola sebaran aktivitas pada peralihan hutan-kebun dodiminasi pada area peralihan hutan-kebun (46.69%), sedangkan pada habitat hutan hanya tercatat sebesar 39.93%. Diversitas vegetasi diperkirakan mempengaruhi pola sebaran yang demikian. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa kekayaan jenis vegetasi pada peralihan hutan-kebun paling tinggi (40.13%) dibandingkan dengan hutan alam (31.91%) dan kebun (27.66%). Diversitas vegetasi pada suatu tipe habitat tertentu biasanya berbanding lurus dengan potensi ketersediaan pakan.
Berdasarkan variabel kemiringan lereng (slope) diketahui bahwa sebaran aktivitas lutung jawa dominan pada kelerengan yang agak curam/bergelombang. Diduga pemilihan ini terkait dengan strategi dalam mendeteksi dan menghindari gangguan serta ancaman predator pada saat siang hari termasuk kehadiran manusia. Beberapa studi terhadap owa jawa menunjukkan tingkat kesesuaian habitat yang tinggi pada tempat dengan kemiringan lereng yang bergelombang hingga sangat curam (Dewi 2005 dan Berliana 2009). Terkait dengan faktor fisik lingkungan, Bailey (1984) menyatakan bahwa selain vegetasi, faktor fisik alami seperti sungai besar, jurang, tebing yang terjal dan kemiringan lereng juga mungkin sangat berpengaruh bagi satwa liar.
Distribusi frekuensi perjumpaan pada variabel ketinggian tempat paling dominan pada rentang ketinggian 801-850 m dpl. Pola ini diduga terkait dengan kondisi topografi Gunung Pancar dimana pada rentang ketinggian tersebut merupakan lokasi keberadaan habitat hutan alam dan habitat peralihan hutan- kebun dengan komposisi vetegasi yang paling dominan. Changcheng et al. (2007) mengungkapkan bahwa vegetasi pada habitat mempengaruhi perilaku dan daya hidup satwa primata, bukan hanya sekedar tempat untuk bermain dan didiami tetapi juga sebagai sumber pakan utamanya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa komposisi dan struktur vegetasi pada habitat mempunyai hubungan dengan biomasa, distribusi waktu makan dan preferensi habitat primata.
Tingginya frekuensi perjumpaan lutung jawa pada area yang dekat dengan jalan dan kebun diduga terkait dengan keberadaan vegetasi cover dan pakan. Pada area yang terbuka biasanya akan banyak ditumbuhi jenis-jenis vegetasi muda yang menyediakan banyak daun muda sebagai sumber pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Morrison et al. (2006) yang menyatakan bahwa ketertarikan berbagai spesies pada area sepanjang batas antara hutan dan area terbuka biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya, diduga terkait dengan keberadaan sumber pakan. Pada beberapa kali perjumpaan selama observasi tercatat lutung jawa selalu menghindar setiap mendeteksi adanya aktivitas manusia di sekitarnya, namun demikian faktor ketersediaan vegetasi pakan yang cukup banyak di sepanjang jalur jalan dan kebun membuat frekuensi aktivitas lutung jawa menjadi tinggi.
Pola sebaran aktivitas berdasarkan variabel diameter pohon menunjukkan pengelompokkan pada kategori diameter pohon > 20 cm. Kecenderungan ini diduga terkait dengan ukuran profil pohon yang berimplikasi terhadap ketersediaan pakan dan faktor perlindungan. Matsuda et al. (2011) menyatakan bahwa satwaliar memilih suatu habitat yang optimal disebabkan kemampuan habitat menyediakan pakan dan aman dari predator, di samping faktor lainnya seperti cuaca dan sistem sosial yang kadang kala juga turut mempengaruhi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel diameter dan tinggi pohon memiliki kontribusi yang penting terhadap ketersediaan pakan dan tempat berlindung bagi kelompok lutung jawa.
Sebaran frekuensi perjumpaan lutung jawa berbeda pada setiap variabel lingkungan kecuali waktu aktivitas. Pada kategori frekuensi aktivitas, pola sebarannya relatif homogen pada setiap variabel lingkungan. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum aktivitas lutung jawa mengelompok berdasarkan pemilihan rentang tertentu pada setiap variabel lingkungan, namun demikian frekuensi tiap jenis aktivitas cenderung merata pada tiap rentang variabel lingkungan tersebut.
Durasi aktivitas menunujukkan pola sebaran yang berbeda pada beberapa variabel lingkungan. Tercatat durasi aktivitas relatif berbeda pada berbagai kategori variabel waktu aktivitas, jarak dari jalan, jarak dari kebun dan tutupan lahan. Hal ini mengindikasikan adanya preferensi aktivitas tertentu pada tiap variabel tersebut. Sebagai contoh durasi aktivitas makan cedenrung tinggi pada pagi hari karena terkait dengan tingkat kesegaran pakan.
Hubungan Aktivitas Harian dengan Variabel Lingkungan
Hubungan keterkaitan antara fragmentasi habitat, eksistensi spesies serta struktur komunitas merupakan fokus yang sangat penting dalam kajian ekologi dan biologi konservasi (Laurence & Bierregaard 1997). Terkait dengan hal tersebut maka kajian hubungan antara aktivitas harian dengan berbagai variabel lingkungan merupakan pengungkapan informasi yang penting bagi upaya konservasi. Hasil pengujian Cannonical Corespondence Analysis menunjukkan keterkaitan yang tinggi pada beberapa variabel lingkungan terhadap aktivitas harian lutung jawa, diantaranya variabel diameter pohon, variabel stratum tinggi pohon, variabel jarak dari jalan dan kebun serta variabel tutupan lahan.
Variabel diameter pohon dan stratum tinggi pohon sangat terkait dengan bentuk dan ukuran pohon yang berimplikasi terhadap ketersediaan pakan dan faktor perlindungan (cover). Beberapa studi menunjukkan bahwa ukuran pohon adalah indikator dari ketersediaan pakan primata (Chapman et al.1992) yang dapat diukur dengan pendekatan diameter setinggi dada atau secara sederhana dengan mengkuantifikasi sejumlah pohon yang berukuran besar (Arroyo-Rodríguez et al. 2007, Wieczkowski 2004). Penelitian Febriyanti (2008) di TN Bromo Tengger menyebutkan bahwa pohon cover (tempat berlindung) lutung jawa memiliki diameter rata-rata 53.56 cm. Nursal (2001) juga menunjukan bahwa kelompok lutung jawa di TNGGP paling sering mengunakan pohon dengan diameter 20-30 cm, sedangkan pada kelompok owa jawa banyak mengunakan pohon dengan ukuran diameter berkisar antara 26-36 cm (Iskandar 2007). Hasil-hasil penelitian
tersebut mendukung data observasi di Gunung Pancar dimana lutung jawa lebih dominan beraktivitas pada vegetasi dengan diameter lebih dari 20 cm.
Tingginya aktivitas lutung jawa pada kategori stratum C dengan rentang ketinggian pohon 4 – 20 meter terkait dengan struktur dan komposisi vegetasi di Gunung Pancar. Diketahui struktur dan komposisi vegetasi di Gunung Pancar berturut-turut adalah stratum A (5%), stratum B (14.5%), stratum C (80.5 %), stratum D (0%) dan stratum E (0%). Adanya perbedaan tinggi dari jenis tumbuhan menurut umur maupun jenis dan sifat tumbuhnya menciptakan stratifikasi hutan seperti adanya bentuk dan tipe tajuk. Keadaan struktur hutan ini berpengaruh pada ketersediaan makanan primata sesuai dengan relung ekologinya, seperti terlihat pada ketinggian tempat masing-masing primata di pohon (Oates 1977 diacu dalam Bismark, 1983).
Tingginya aktivitas pada stratum C juga terkait dengan faktor ketersediaan pakan. Menurut Vickery (1984) pada stratum C vegetasi berasosiasi dengan berbagai jenis epifit, tumbuhan memanjat dan parasit sehingga menambah diversitas pakan yang tersedia. Analisis vegetasi menunjukkan rata-rata tinggi pohon di Gunung Pancar adalah 16.18 meter dengan habitus berupa pohon muda dengan regenerasi daun muda yang cukup tinggi sehingga potensial sebagai sumber pakan. Febriyanti (2008) juga menyatakan bahwa pohon yang digunakan sebagai cover lutung jawa di TN Bromo Tengger memiliki ketinggian rata-rata 19.16 m. Subarkah dkk. (2011) menyatakan bahwa penggunaan stratum tajuk pada lutung jawa berkaitan dengan ketinggian dan kerapatan tajuk serta kekayaan jenis vegetasi yang berfungsi antara lain sebagai sumber pakan, tempat berlindung dan tempat beraktivitas.
Variabel kemiringan lereng (slope) berhubungan erat dengan aktivitas lutung jawa karena terkait dengan faktor keamanan dan perlindungan. Pohon yang berada di kemiringan lereng yang curam diduga sangat membantu lutung jawa dalam mendeteksi dan menghindari gangguan serta ancaman dari predator saat siang hari. Bailey & Provenza (2008) menyatakan bahwa faktor abiotik seperti kemiringan lahan dan ketinggian tempat selain merupakan hambatan bagi beberapa jenis satwa juga dapat menjadi faktor penting yang menyediakan perlindungan dan keamanan terutama bagi satwa primata arborteal (Gambar 32).
Gambar 33 Aktivitas lutung jawa pada area lereng Gunung Pancar. (a) Lutung betina beristirahat di cabang pohon mindi (A. indica) yang berada di sisi lereng yang curam pada siang hari; (b) Lutung jantan berdiam di cabang pohon ki haji (D. macrocarpum) sambil mengamati sekeliling untuk memastikan keamanan kelompoknya.
b a
Variabel tutupan lahan berkaitan erat dengan kerapatan vegetasi dimana tingkat tutupan tajuk akan sangat mempengaruhi koneksi antar tajuk pohon sehingga memudahkan pergerakan lutung jawa dari satu pohon ke pohon lainnya. Arroyo-Rodríguez et al. (2007) berpendapat bahwa kesinambungan dari kanopi pohon sangat penting terutama untuk sejumlah spesies primata yang amat jarang turun ke tanah dan hidup dalam kanopi hutan yang berdekatan. Habitat peralihan hutan-kebun selain menyediakan koneksi tajuk yang mendukung pergerakan lutung jawa, juga menyediakan sumberdaya pakan yang lebih beragam. Diketahui pada kawasan peralihan sering ditumbuhi jenis-jenis vegetasi buah baik yang tumbuh secara alami maupun ditanam oleh penduduk sekitar.
Aktivitas bergerak cenderung dipengaruhi oleh variabel ketinggian tempat dan jarak dari jalan. Aktivitas makan relatif berhubungan dengan variabel jarak dari kebun dan tutupan lahan, sedangkan aktivitas sosial dan istirahat tidak terlalu terpengaruh oleh berbagai variabel lingkungan.
Hubungan Aktivitas Harian dengan Spesies Vegetasi
Sudah banyak diungkapkan bahwa keberadaan vegetasi berhubungan dengan ketersediaan pakan serta terkait dengan pola aktivitas dan home range primata (Bismark 1983). Adanya keragaman struktur fisik tumbuhan dan keragaman jenisnya baik secara terpisah atau bersama-sama akan menyediakan berbagai relung yang potensial dalam sebaran satwa. Hubungan antara aktivitas