• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lutung Jawa

Morfologi

Beberapa peneliti membagi lutung jawa menjadi subspesies tertentu berdasarkan ciri morfologi dan distribusinya. Brandon-Jones (1995, 2004) dan Weitzel (1985) menyatakan bahwa terdapat dua subspesies Trachypithecus auratus di Jawa yaitu T. auratus auratus dan T. auratus mauritius. Supriatna (2000) menambahkan satu subspesies yaitu T. auratus cristatus. Secara morfologis lutung jawa memiliki panjang tubuh rata-rata dari ujung kepala sampai tungging 517 mm dan panjang ekornya 742 mm dengan berat tubuh rata-rata 6.3 kg (Written 1982 diacu dalam Bismark 1993). Rowe (1996) mencatat rata-rata bobot tubuh lutung jawa berkisar ± 7 kg dengan panjang tubuh berkisar 44-65 cm dan panjang ekor 61-87 cm.

Warna rambut dominan hitam diselingi dengan warna keperak-perakan dengan bagian ventral berwarna kelabu pucat dengan jambul yang menyembul di kepala. Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga tidak berjambul dan warnanya akan berubah semakin gelap menjadi hitam kelabu seiring pertumbuhan usianya (Rowe 1996). Pada betina terdapat bercak kuning di sekitar organ genitanya (Brandon-Jones 1995). Jenis primata arboreal ini memiliki bentuk ibu jari yang besar dengan telapak tangan berupa segitiga dan datar yang merupakan bentuk adaptasi lutung untuk dapat hidup di pohon (arboreal). Lutung jawa berjalan, berlari dan bergerak secara horizontal dan kontinyu menggunakan keempat tungkainya (quadrupedally) (Fleagle 1978, Rowe 1996). Formula gigi lutung jawa adalah 2:1:2:3 di kedua rahangnya (Ankel-Simons 2000) serta memiliki lambung sacculated yang membantu pencernaan sellulosa (Kool 1993, Nijman 2000, Primate Info Net 2007, Richardson 2005) serta memiliki kelenjar ludah yang besar untuk membantu memecah makanan.

Habitat dan Persebaran

Lutung jawa adalah primata endemik Indonesia yang hanya dapat ditemukan di Jawa, Bali, Lombok, Pulau Sempu dan Nusa Barung (IUCN 2011), dengan populasi di Lombok diindikasikan merupakan introduksi (Groves 2001). Populasi lutung jawa dapat ditemukan baik di hutan pedalaman Indonesia bagian barat demikian juga di kawasan pantai di bagian selatan (Nijman & Supriatna, 2008, Nijman 2000, Richardson 2005). Berbagai tipe habitat tercatat menjadi habitat lutung jawa seperti hutan mangrove, hutan pesisir, hutan rawa air tawar; hutan dataran rendah dan perbukitan yang selalu basah, hutan kerangas, hutan gugur dan hutan pegunungan sampai ketinggian 3500 m dpl, serta di beberapa hutan tanaman Jati Tectona grandis, Rasamala Altingiaexcelsa dan Akasia Acacia spp (Nijman 2000, Richardson 2005, Nijman & Supriatna 2008, Primate Info Net 2007). Lutung jawa juga tercatat menghuni kawasan dalam maupun tepi hutan

hujan (Nijman & van Balen 1998, Gurmaya et al. 1994). Kool (1986) menyatakan bahwa di CA Pangandaran lutung jawa hidup di hutan dataran rendah campuran dan hutan tanaman sekunder seperti Tectonia grandis, Swietenia macrophylla, dan tegakan Acacia auriculiformis.

Nijman (2000) telah mencatat sebanyak 42 titik distribusi lutung jawa di Jawa, Bali dan Lombok salah satunya adalah di Gunung Pancar. Di Jawa Timur, populasi-populasi tertentu memiliki dua tipe morfologi (dimorfis) yaitu jenis yang berwarna hitam (melanic) yang lebih umum dan jenis yang berwarna kuning (erythristic) yang ditemukan di bagian paling timur Jawa dengan batasnya Gunung Penanggungan dan sekitar Mojokerto ke arah selatan melalui Wonosalam dan Blitar menuju Pegunungan Kidul (Nijman 2000). Brandon-Jones (1995) menyatakan persebaran subspesies T. auratus auratus meliputi Jawa sebelah timur, Bali, Lombok, Palau Sempu and Nusa Barung. Subspesies ini memiliki dua bentuk morfologi dimana jenis yang berwarna merah tersebar secara terbatas antara Blitar, Ijen, dan Pugeran (Groves 2001). Morfologi yang lebih umum berwarna hitam dan ditemukan di Jawa sebelah timur menuju ke barat sampai Gunung Ujungtebu (Brandon-Jones 1995). Groves (2001) mencatat persebaran T. auratus mauritius terbatas di Jawa Barat menuju ke utara sampai Jakarta termasuk Bogor, Cisalak, dan Jasinga, Ujung Kulon dan Cikaso/Ciwangi. Lutung jawa tercatat juga ditemukan di Gunung Prahu (Nijman & van Balen 1998); Taman Nasional Ujung Kulon (Gurmaya et al. 1994); Pegunungan Dieng (Nijman & van Balen 1998) dan Gunung Pancar (Nijman 2000). Profauna (2010) mencatat bahwa di Tahura R Soerjo ditemukan 11 kelompok lutung jawa dengan total individu sebanyak 80 ekor.

Distribusi lutung jawa relatif luas dan merata dengan habitat yang beragam sesuai dengan kondisi topografi. Tercatat lutung jawa ditemukan mulai dari habitat hutan primer sampai pada habitat terbuka. Kondisi habitat lutung jawa saat ini sudah sangat berkurang akibat desakan kebutuhan manusia yang semakin tinggi akan lahan. Sebagian besar hutan dataran rendah khususnya di Jawa bisa dikatakan telah habis dan hanya tersisa sebagian kecil pada kantong-kantong kawasan konservasi sehingga mengakibatkan banyak populasi lutung jawa hidup pada habitat hutan pegunungan sampai dataran tinggi sebagai implikasi hilangnya hutan dataran rendah.

Hutan pegunungan dataran rendah sampai hutan tropis pegunungan tinggi ternyata juga tidak lepas dari tekanan aktivitas manusia. Pada level tertentu gangguan hanya bersifat temporer, namun pada kondisi yang sudah sangat parah konversi hutan menjadi areal penggunaan lain tidak bisa lagi dihindarkan. Gunung Pancar adalah salah satu potret kondisi hutan pegunungan dataran rendah terganggu yang masih tersisa di kawasan Bogor. Status kawasan yang merupakan taman wisata alam merupakan salah satu alasan mengapa sampai saat ini Gunung Pancar masih memiliki hutan alam walaupun dengan kondisi yang amat memprihatinkan.

Fragmen-fragmen habitat yang tersebar merata di seluruh Indonesia khususnya di Pulau Jawa telah membentuk populasi-populasi kecil yang terpisah satu sama lain (metapopulasi) sehingga mengakibatkan resiko ancaman kepunahan semakin tinggi. Faktor pemanfaatan secara ilegal melalui mekanisme perburuan dan perdagangan liar menjadi ancaman serius kelestarian lutung jawa

saat ini. Belum lagi faktor internal seperti degradasi genetik yang lazim terjadi pada populasi yang kecil akan semakin mengancam kelestarian lutung jawa.

Struktur Kelompok

Lutung jawa adalah primata yang hidup berkelompok dan bersifat diurnal serta arboreal dengan sebagian besar aktivitas dihabiskan diatas pohon (Lekagul & McNeely 1977). Kartikasari (1982) menyatakan bahwa dalam satu kelompok lutung jawa rata-rata terdiri dari 10 individu dengan satu jantan, beberapa betina dewasa, anak dan bayi. Menurut Medway (1970) lutung jawa berkelompok dengan anggota 6–23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin. Cannon (2009) juga menyatakan dalam satu kelompok lutung jawa biasanya terdiri dari 1-2 jantan dengan 5-6 betina, ukuran kelompok bisa mencapai 23 individu dengan tetap 1-2 jantan dalam kelompok. Jumlah betina dalam kelompok lebih dominan dibanding jantan, hal ini terkait dengan sistem perkawinan poligami dimana satu jantan akan mengawini banyak betina dalam kelompoknya. Jantan muda biasanya akan terpisah dengan kelompoknya dan membentuk kelompok dengan para jantan muda lainnya. Ukuran kelompok dipengaruhi oleh faktor iklim dan musim (Cannon 2009). Pada musim kering yang panjang ukuran kelompok biasanya akan lebih besar, hal ini terkit dengan ketersediaan sumber daya pakan. Watanabe et al. (1996) mencatat bahwa populasi lutung jawa di Cagar Alam Pangandaran membentuk kelompok kecil yang padat dan cenderung menghindari perkebunan jati. Hasil penelitian Megantara (2004) menunjukkan bahwa secara umum penyebaran lutung di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran tidak merata, di Taman Wisata lebih mengelompok daripada yang terdapat di Cagar Alam. Tercatat masing-masing 7 kelompok lutung jawa di Taman Wisata dan Cagar Alam dengan kepadatan kelompok 18-26 kel/km2 dan 3.5 kel/km2. Beberapa studi mencatat kepadatan rata-rata berkisar 7.9 – 8.8 kelompok/km2 dengan estimasi individu 114 – 147.9 individu/km2 (Meijaard & Nijman komunikasi pers dalam IUCN 2011). Rata-rata lutung jawa dapat hidup selama kira-kira 20 tahun (Delson 2008).

Reproduksi

Pola reproduksi lutung jawa adalah poligami dimana jantan dominan akan mengawini beberapa betina dalam kelompoknya. Betina akan memulai masa bereproduksi pada umur 3-4 tahun dan dapat melahirkan satu anak dalam setahun. Reproduksi dan kelahiran dapat terjadi sepanjang tahun (Cannon 2009). Pola pengasuhan anak dilakukan oleh betina dalam kelompok secara bersama-sama (allomothering) (Bristol Zoo Gardens 2009, Nijman 2000, Primate Info Net 2007). Dalam masa mengasuh anak betina akan bersifat agresif terhadap betina dari kelompok lain (Kool 1991, Nijman and Supriatna 2008, Nijman 2000, Primate Info Net 2007, Richardson 2005). Bayi lutung akan tumbuh dengan cepat dan mandiri pada usia 1 tahun (Cannon 2009).

Perilaku

Perilaku satwa dapat dikategorikan dalam beberapa kategori sesuai dengan fungsinya meliputi perilaku pemeliharaan, perilaku makan, orientasi dan navigasi dan beberapa perilaku sosial baik interspesifik maupun intraspesifik yang lazim disebut sosiobiologi (Slater 1990 diacu dalam Setiawan 1996). Perilaku harian dibagi ke dalam empat kategori yaitu perilaku istirahat (resting), makan (feeding), perilaku bergerak (moving) (Chiver & Raemakers 1980) serta aktivitas sosial (social activities) (Chalmers 1980). Aktivitas berpindah (moving) meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon (Betrand 1969). Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Aktivitas istirahat meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Aktivitas sosial meliputi social grooming, kawin, bermain, dan berkelahi.

Biorithme harian lutung jawa relatif tetap, kecuali jika ada perubahan yang signifikan terkait pakan maupun cuaca. Ambarwati (1999) mencatat bahwa aktivitas lutung jawa dimulai pada pukul 05.30 sampai 17.30 dengan persentase 49% istirahat, 23% makan, 22% berjalan, 10% tidur dan 3% bersuara. Aktivitas lutung jawa juga dipengaruhi oleh suhu (Nadler et al 2002) dimana pada suhu kurang dari 10oC lutung cenderung bergerak cepat, makan dengan cepat kemudian berpindah ke tempat yang kering seperti semak belukar, sedangkan pada suhu 10- 30oC lutung lebih suka berkumpul bersama di bawah naungan pohon untuk istirahat dan makan.

Salah satu jenis aktivitas yang cukup penting adalah makan. Ada beberapa cara yang dilakukan lutung dalam memperoleh makanannya. Biasanya lutung akan langsung makan dengan mulutnya jika makanannya adalah pucuk daun; jika berupa ranting atau tangkai daun maka lutung biasanya akan meraihnya lebih dahulu dengan tungkainya baru kemudian dimasukkan ke dalam mulut; untuk jenis buah biasanya lutung akan memetiknya baru kemudian dimakannya. Persentase aktivitas makan lutung sebesar 10.49 % dari aktivitas total dengan aktivitas tertinggi pada pukul 08.00 sebesar 4.38 % (Pratiwi 2008).

Zainal (2008) mengungkapkan bahwa perilaku lutung jawa baik di penangkaran maupun di habitat alami relatif sama dengan aktivitas makan tertinggi berupa daun (58.68% di penangkaran dan 98% di habitat alami), aktivitas bergerak tertinggi adalah berjalan (43.49% dan 46.47%), aktivitas istirahat tertinggi adalah duduk (86.48% dan 99.69%), aktivitas sosial tertinggi adalah bersuara (33.51% dan 78.17%), dan penggunaan strata tertinggi adalah strata tengah (49.22%) untuk di penangkaran dan strata atas (43.11%) di habitat alami. Hal ini menunjukkan adanya adaptasi yang berbeda untuk kondisi habitat yang berbeda. Bentuk komunikasi pada lutung jawa biasanya menggunakan kontak suara, fisik maupun visual. Mereka menggunakan komunikasi suara saat terjadi ancaman, biasanya jantan dewasa mengeluarkan suara peringatan jika ada ancaman yang mendekati kelompoknya (Cannon 2009).

Wilayah Jelajah

Wilayah jelajah lutung jawa berkisar antara 20-30 ha dan akan cenderung lebih luas di wilayah pulau Jawa dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia.

Nijman & Supriatna (2008) mencatat kepadatan populasi lutung jawa 23 ind/km2 di Pegunungan Dieng. Luas wilayah jelajah lutung di Taman Wisata Alam Pangandaran (TWAP) (Brotoisworo & Dirgayusa 1991, Megantara & Dirgayusa 1992) adalah seluas 4.7–8.8 ha, sedangkan menurut Husodo & Megantara (2002) luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2.78–6.67 ha atau rata-rata 3.46 ha. Hendratmoko (2009) mencatat rata-rata daerah jelajah lutung jawa di Cagar Alam Pangandaran seluas 10.07 ha. Djuwantoko (1994) menyatakan bahwa di kawasan hutan jati Jawa Tengah daerah jelajah lutung jawa sebesar 32-43 ha. Selanjutnya Susetyo (2004) menjelaskan bahwa kepadatan populasi lutung di Taman Nasional Alas Purwo adalah 50 ekor per km2. Pergerakan harian lutung jawa dapat mencapai 500-1300 m (Supriatna 2000). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa luas wilayah jelajah lutung jawa bersifat dinamis sesuai dengan kondisi habitat.

Pakan

Menurut Written (1982) diacu dalam Bismark (1993) meyebutkan lutung merupakan pemakan daun dengan komposisi pakan berupa daun 50%, buah 32% dan 13% sisanya berupa bagian tumbuhan lain dan serangga. Supriatna & Hendras (2000) mencatat terdapat 66 jenis tumbuhan sumber pakan lutung dimana 50% dimanfaatkan daunnya, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga. Lutung jawa lebih memilih daun yang tinggi protein dan rendah serat (Cannon 2009). Pemilihan jenis dan bagian pakan tersebut diduga menyebabkan lutung sering buang air besar dan buang air kecil serta banyak beristirahat (tidur). Hal ini didukung oleh Kay (1984) yang menyatakan bahwa satwa bertubuh kecil yang membutuhkan energi tinggi biasanya lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa bertubuh besar yang tidak memerlukan energi tinggi cenderung memakan dedaunan.

Pakan lutung terdiri dari dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993) dan menyukai daun yang masih muda atau berupa pucuk (Pratiwi 2008, Kurniawaty 2009). Iskandar (2003) juga menyatakan bahwa lutung memanfaatkan buah kedawung sebagai salah satu sumber pakan. Menurut Kool (1992, 1993) separuh pakan lutung jawa terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang dipilih untuk dikonsumsi yaitu mempunyai kandungan serat rendah dan mudah dicerna. Pucuk daun jati (Tectona grandis) merupakan sumber pakan penting apabila jumlah pakan langka. Buah-buahan juga dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Menurut Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) kadar tanin ini berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Kool (1993) dalam Hendratmoko (2009) menyatakan bahwa pakan lutung di CAP 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5–27% buah-buahan mentah dan 10–12% buah masak dengan tumbuhan penting sumber pakan meliputi Ficus sinuata, Ficussumatrana dan Vitex pinnata. Kurniawan & Herna (2005) mencatat bahwa lembayungan (Turpinia sp), pasang (Quercus sp), sapen (Engehaidia spicata) dan tutup (Homalanthus sp) merupakan jenis tumbuhan pakan lutung jawa di SM Dataran Tinggi Hyang, Malang.

Dalam memanfaatkan sumber daya pakan, kelompok yang berbeda dapat berbagi tanpa adanya konfrontasi yang signifikan. Jantan dewasa memiliki proporsi makan yang lebih sedikit dibandingkan betina dan anak-anak (Kool 1993, Primate Info Net 2007, Richardson 2005).

Status Perlindungan

Lutung jawa merupakan satwa primata yang dilindungi di Indonesia berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 733/Kpts-II/1999 tentang penetapan lutung jawa (T. auratus) sebagai satwa yang dilindungi. Dasar penetapan ini adalah mengingat terjadinya penurunan populasi yang cukup drastis di alam sehingga jika tidak dilakukan perlindungan maka jenis satwa ini akan punah. Selain itu lutung jawa termasuk dalam kategori vulnerable A2dc dimana populasi diidikasikan menurun 30% sepanjang 30 tahun (3 generasi) dan beresiko punah jika tidak dilakukan penanganan (IUCN 2011). CITES juga memasukkan lutung jawa dalam kategori Appendix II.

Ancaman utama kelestarian lutung jawa adalah hilangnya habitat serta degradasi habitat terkait aktivitas pertanian dan permukiman (IUCN 2011), selain itu perburuan dan perdagangan ilegal juga menjadi ancaman serius. Tercatat setidaknya 2500 ekor lutung jawa diburu dan diperdagangkan setiap tahun untuk kebutuhan konsumsi (Anonim 2010). Predator alami lutung jawa adalah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) and macan tutul (Primate Info Net 2007, Richardson 2005). Lebih jauh IUCN (2011) mencatat beberapa faktor yang mengancam populasi alami lutung jawa seperti permukiman dan pembangunan komersil, perkembangan daerah urban, kegiatan pertanian, penggunaan sumber daya alam, pemanenan hasil hutan non kayu, perburuan satwa serta pemanfaatan lutung jawa dengan tujuan khusus.

Komponen Habitat

Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas tanah, topografi dan iklim serta komponen biotik yang terdiri atas tumbuhan dan satwa (Bailey 1984). Primata merupakan satwa arboreal yang sangat tergantung dengan keberadaan vegetasi. Selain itu beberapa faktor fisik dan biologi juga berpengaruh terhadap kelimpahan maupun distribusi satwa primata.

Komponen fisik yang sangat penting bagi kehidupan satwa adalah air. Satwa liar mendapatkan air dari berbagai sumber yaitu air bebas yang tersedia (danau, sungai, kolam atau irigasi), air yang terkandung pada beberapa bagian vegetasi, embun dan air yang dihasilkan dari proses metabolisme. Embun yang menempel di daun dan air yang mengenang pada batang-batang pohon dimanfaatkan oleh berbagai jenis burung dan primata untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Bailey 1984). Faktor topografi juga diketahui berpengaruh terhadap penyebaran tumbuhan dan satwa. Komponen fisik lingkungan penyusun topografi terdiri dari ketinggian tempat (elevasi), tingkat kemerengan lereng (slope) dan arah kemiringan lereng (aspect).

Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis spesies tumbuhan dan satwa. Terdapat zona-zona vegetasi menurut ketinggian yang masing-masing zona terbentuk karena adanya perbedaan kondisi iklim pada ketinggian yang berbeda. Pada masing-masing zona biasanya memiliki perbedaan spesies yang dominan. Ketinggian tempat dapat memepengaruhi keberadaan sumber pakan. Semakin tinggi suatu tempat menyebabkan semakin sedikit keanekaragaman jenis tumbuhan sehingga variasi dalam memilih sumber pakan menjadi terbatas (Primack et al. 1998).

Komponen biotik merupakan komponen utama dalam suatu habitat. Pemilihan habitat oleh satwaliar sangat ditentukan pada sejauh mana komponen- komponen tersebut dapat menyediakan kebutuhannya akan pakan, tempat berlindung, tidur dan melakukan reproduksi. Faktor lain yang mempengaruhi keberadaan tumbuhan pakan adalah cuaca, produktifitas tumbuhan pakan dan ketahanan tumbuhan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh herbivora (Bailey 1984).

Deforestasi, Degradasi dan Fragmentasi Hutan

Belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan dalam rangka pelestarian, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya hutan salah satunya disebabkan oleh tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan. Tapal batas hutan juga belum dibenahi dengan baik sehingga menimbulkan ancaman pada pengelolaan kawasan hutan terutama di kawasan konservasi. Ketidakjelasan kawasan hutan juga memicu terjadinya tumpang tindih kawasan hutan dengan kegiatan sektor lain serta alih fungsi kawasan hutan untuk penggunaan lain di luar kehutanan yang tidak terkendali. Hal inilah yang memicu tingginya deforestasi, degradasi dan fragmentasi hutan di Indonesia (BAPPENAS 2010).

Dalam lima tahun terakhir ini, laju deforestasi telah mencapai sekitar 1 juta ha per tahun. Hutan yang sudah mengalami degradasi adalah kawasan hutan yang mengalami penurunan kualitas ekosistem hutan, dari hutan primer ke hutan sekunder, dari hutan sekunder menjadi semak belukar dan alang-alang yang mencapai lebih dari 50 juta hektar. Laju deforestasi yang cukup tinggi dan degradasi hutan yang terus meluas tersebut merupakan penyebab meningkatnya luas lahan kritis. Luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia mencapai 30,19 juta ha yang tersebar di 472 Daerah Aliran Sungai (BAPPENAS 2010).

Permasalahan lain yang menyebabkan kerusakan kawasan hutan adalah kejadian kebakaran hutan dan tekanan demografi. Faktor terakhir merupakan pangkal permasalahan dimana pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya secara langsung menekan sumber daya hutan beserta kekayaan hayati di dalamnya. Saat ini setidaknya 27.3 juta ha kawasan konservasi dan 31.60 juta ha hutan lindung mengalami tekanan oleh masyarakat sehingga dikhawatirkan mengganggu fungsi dan perannya sebagai penyangga kehidupan. Tekanan demografi kepada kawasan konservasi menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat satwa yang berdampak pada menurunnya atau terancam punahnya populasi tanaman dan satwa. Luas kawasan konservasi yang dirambah saat ini

mencapai 460 ribu hektar, sehingga beberapa habitat endangerad spesies mengalami ancaman kepunahan (BAPPENAS 2010).

Permasalahan deforestasi, degradasi dan fragmentasi habitat yang tidak pernah mendapat penyelesaian yang tuntas menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Ilustrasi yang telah disampaikan di atas memberikan gambaran betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya pendekatan holistik dan menyeluruh sehingga diperoleh solusi yang komprehensif terkait upaya konservasi di Indonesia.

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Kawasan

Pada awalnya Gunung Pancar merupakan bagian kelompok Hutan Gunung Hambalang seluas 6695.32 hektar yang berfungsi sebagai hutan produksi. Seiring waktu, kawasan ini berubah fungsi menjadi taman wisata alam dan disahkan oleh Menteri Pertanian tanggal 23 Maret 1976 dan pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar sebagai salah satu kawasan pelestarian alam ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 156/Kpts-II/1988 tanggal 21 Maret 1988 seluas 447.5 hektar. Sebagai kawasan dengan fungsi pendidikan, penelitian dan sarana rekreasi maka berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 54/Kpts-II/1993 tanggal 8 Februari 1993 pengusahaan kawasan tersebut dipercayakan kepada PT Wana Wisata Indah (WWI) yang diberikan hak Pengusahaan Pariwisata Alam di areal kawasan seluas 447.5 hektar. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan taman wisata alam, kawasan ini sudah dikenal dengan pemandian air panasnya yang dikelola oleh masyarakat. Pemandian air panas ini sudah ada sejak tahun 1950, lalu pada tahun 1983 masyarakat membuat kolam pemandian dan tahun 1990 dibangun pemandian air panas tersebut untuk umum.

Luas dan Letak

Luas kawasan TWA Gunung Pancar berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 156/Kpts-II/1988 tgl 21 Maret 1988 adalah seluas 447.5 ha. Secara geografis

kawasan ini terletak antara 106°52’ - 106°54’ BT dan 6°34’ -6°36’ LS, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Leuwigoong; sebelah timur berbatasan dengan Kampung Cimandala; sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Cibingbin dan Desa Bojong Koneng serta sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Karang Tengah.

mencapai 460 ribu hektar, sehingga beberapa habitat endangerad spesies mengalami ancaman kepunahan (BAPPENAS 2010).

Permasalahan deforestasi, degradasi dan fragmentasi habitat yang tidak pernah mendapat penyelesaian yang tuntas menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Ilustrasi yang telah disampaikan di atas memberikan gambaran betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya pendekatan holistik dan menyeluruh sehingga diperoleh solusi yang komprehensif terkait upaya konservasi di Indonesia.

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Kawasan

Pada awalnya Gunung Pancar merupakan bagian kelompok Hutan Gunung Hambalang seluas 6695.32 hektar yang berfungsi sebagai hutan produksi. Seiring waktu, kawasan ini berubah fungsi menjadi taman wisata alam dan disahkan oleh Menteri Pertanian tanggal 23 Maret 1976 dan pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar sebagai salah satu kawasan pelestarian alam ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 156/Kpts-II/1988 tanggal 21 Maret 1988 seluas 447.5 hektar.

Dokumen terkait