BAB II: LANDASAN TEORI
C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient
Individu yang berdoa membentuk gambaran-gambaran tertentu
mengenai Tuhan (Stolz, dalam Levine 2008). Faktanya adalah orang-orang
yang berdoa percaya bahwa mereka sedang berinteraksi, berbicara, dan
memiliki hubungan dengan aktor lain yang benar-benar mendengar,
memahami, dan bereaksi terhadap mereka (Sharp, 2010). Selama interaksi
berlangsung, individu yang berdoa percaya bahwa Tuhan mampu memberikan
bantuan apapun. Doa memunculkan pemikiran bahwa betapapun sulitnya
masa sekarang, Tuhan dapat membuatnya berbeda di masa depan. Lowenthal
(2000) berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki keyakinan bahwa
“Tuhan akan membuat semua indah pada waktunya”. Dengan demikian,
tindakan berdoa menghasilkan optimisme dan orientasi ke masa depan (Ai et
masa menggambarkan skor yang tinggi pada salah satu dimensi Adversity
Quotient, yaitu dimensi Endurance. Individu dengan Endurance yang tinggi
akan memandang permasalahan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, akan
segera berlalu, dan kecil kemungkinannya akan terjadi lagi di masa depan.
Pandangan seperti ini akan meningkatkan optimisme dan dorongan untuk
bertindak.
Sumber daya kognitif lain yang dapat diperoleh individu melalui
berdoa adalah bahwa berdoa dapat membantu mengklarifikasi pikiran dan
perasaan seseorang yang berbicara pada diri sendiri ketika berbicara dalam
hati (Ho, Chan, Peng & Ng, dalam Levine 2008). Johnson (dalam Lowenthal,
2000) secara khusus mengatakan bahwa doa dapat digunakan sebagai alat
untuk mengklarifikasi tujuan hidup dimana seseorang dapat mendedikasikan
dirinya. Selain itu, doa juga dapat meningkatkan fokus hidup dan membantu
individu untuk melepaskan kekuatan laten untuk mencapai tujuan hidupnya.
Kemampuan untuk mengingat kembali tujuan yang menyebabkan individu
terlibat dalam suatu situasi sulit dapat membantu individu untuk membatasi
suatu permasalahan agar tidak terlihat semakin membesar (Stoltz, 2000).
Selain itu, Johnson (dalam Lowenthal, 2000) juga mengatakan bahwa berdoa
untuk orang lain dapat menjadi salah satu cara untuk menolong orang lain
yang sedang berada dalam kesulitan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa
menolong orang lain yang memiliki masalah yang lebih besar dapat membantu
individu untuk menghargai nasibnya dan melihat betapa kecilnya
bahwa meningkatkan fokus pada tujuan dan membantu orang lain yang berada
dalam kesulitan akan membantu individu untuk mengembalikan suatu
permasalahan pada tempat yang semestinya agar tidak menjangkau bidang
kehidupan yang lain. Kemampuan tersebut terkait dengan dimensi reach yang ada pada Adversity Quotient (Stoltz, 2000).
Johnson (dalam Lowenthal, 2000) mengatakan bahwa dalam situasi
yang penuh permasalahan, doa memungkinkan munculnya pengakuan dari
dalam diri manusia atas kesalahan yang telah dilakukan. Namun Levine
(2008) mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada suatu permasalahan
individu yang berdoa mampu memandang asal-usul dari sebuah kesulitan
dengan lebih positif, yaitu sebagai cobaan dari Tuhan. Individu yang berdoa
meyakini bahwa Tuhan yang maha bijaksana selalu melakukan sesuatu untuk
kebaikan manusia, bahkan walaupun manusia tidak bisa melihatnya pada saat
itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk khawatir tentang perkara sulit
karena mereka meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan
melebihi kekuatan manusia. Keyakinan tersebut menyebabkan mereka
menganggap kesulitan sebagai sebuah kesempatan untuk belajar menjadi
individu yang lebih baik lagi dan pada akhirnya doa mendorong mereka untuk
mengambil tindakan penyelesaian masalah. Stoltz (2000) mengatakan bahwa
individu dengan skor yang tinggi pada dimensi origin-ownership mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya sebagai bentuk dari rasa tanggung jawab,
namun tidak melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab dari
menempatkan asal usul dari suatu permasalahan dengan lebih positif. Rasa
bersalah yang sewajarnya akan membantu individu untuk belajar menjadi
lebih baik lagi, namun rasa bersalah yang berlebihan akan melemahkan.
Taylor et al. (dalam Miller et al., 2011) mengatakan bahwa individu lebih cenderung untuk berdoa ketika situasi semakin sulit dan tidak dapat
dikendalikan. Hubungan dengan sesuatu yang tansenden dapat berfungsi
sebagai kerangka dimana seseorang dapat memperkuat pengendalian diri (Gall
et al., dalam Miller et al. 2011). Berdoa dapat memperkuat pengendalian diri
seseorang karena melalui berdoa individu mendapatkan sumber daya
pengalihan emosi yang dapat digunakan dengan segera ketika berhadapan
dengan kesulitan. Dengan berdoa individu dapat mencegah rangsangan emosi
negatif masuk ke kesadaran kognitif. Dengan demikian, berdoa dapat
membantu individu untuk mengendalikan diri dan tidak bereaksi dengan
emosi negatif yang dapat memperburuk situasi (Sharp, 2010). Selain itu,
Sharp (2010) mengatakan bahwa individu yang meminta pertolongan kepada
Tuhan melalui doa merasakan karakteristik Tuhan sebagai figur yang memiliki
kemampuan untuk membuat segala sesuatu terjadi dalam kehidupan individu
(Cerulo & Barra, dalam Sharp 2010). Gambaran tentang Tuhan sebagai sosok
yang maha kuasa, maha tahu, dan selalu hadir menumbuhkan keyakinan
bahwa “Bersama Tuhan tidak ada yang mustahil” (Thoits, dalam Levine 2008). Tuhan juga dipersepsikan sebagai figur yang penuh kasih, kuat, dan
peduli. Lowenthal (2000) berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki
Persepsi ini memberi individu rasa perlindungan yang pada akhirnya memberi
mereka kekuatan dan keberanian dalam mengandalikan situasi sulit (Sharp,
2010). Keberanian dan kekuatan untuk mengandalikan situasi sulit, serta
kemampuan untuk mengendalikan emosi negatif ketika dihadapkan pada suatu
permasalahan dimiliki oleh individu dengan skor yang tinggi pada dimensi
Gambar 1
Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient
BERDOA
Sumber daya reinterpretasi kognitif
“Semua akan indah pada
waktunya”
Optimisme dan orientasi ke masa depan
Klarifikasi tujuan
Menolong orang lain yang sedang kesulitan
Membatasi suatu permasalahan agar tidak terlihat semakin membesar
Pengakuan atas suatu kesalahan
“Masalah adalah cobaan
dari Tuhan” dan merupakan
kesempatan untuk belajar
Tanggung jawab
Menempatkan asal usul permasalahan dengan lebih positif
Doa sebagai sumber daya pengalihan emosi negatif
“Bersama Tuhan tidak ada yang mustahil”
““Tuhan menuntun dalam
setiap kesulitan”
Kemampuan mengendalikan emosi
Keberanian dan kekuatan mengendalikan situasi sulit.
Endurance Reach Origin - Ownership Control ADVERSITY QUOTIENT
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan
positif dan signifikan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan. Hipotesis tersebut mengandung pengertian bahwa semakin tinggi
frekuensi berdoa karyawan, semakin tinggi pula Adversity Quotient yang dimiliki karyawan tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah frekuensi
berdoa karyawan, semakin rendah pula Adversity Quotient yang dimiliki karyawan tersebut.
39