HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI BERDOA
DENGAN ADVERSITY QUOTIENT
PADA KARYAWAN BERAGAMA KRISTEN DAN KATOLIK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Arinda Anantu NIM: 099114120
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
v
HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI BERDOA DENGAN ADVERSITY QUOTIENT
PADA KARYAWAN BERAGAMA KRISTEN DAN KATOLIK Arinda Anantu
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif dan signifikan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan. Subjek yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah 57 orang karyawan CV. Andi Offset yang beragama Kristen dan Katolik. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala, yaitu Skala frekuensi berdoa dan skala Adversity
Quotient. Pengujian reliabilitas Cronbach’s Alpha menghasilkan koefisiensi sebesar 0.948 pada
skala frekuensi berdoa dan 0.951 pada skala Adversity Quotient. Dari hasil analisis data dengan menggunakan metode korelasi Product Moment Pearson diketahui bahwa kedua variabel terebut memiliki koefisien korelasi sebesar 0.122 dengan signifikansi 0.366. Angka tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan. Hal tersebut menandakan bahwa hipotesis awal penelitian ini ditolak.
vi
THE CORRELATION BETWEEN PRAYER FREQUENCE AND ADVERSITY QUOTIENT
ON CHRISTIAN AND CATHOLIC EMPLOYEES Arinda Anantu
ABSTRACT
The purpose of this research was to find out the correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on Christian and Catholic employees. The hypothesis proposed in this research was there is positive and significant correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on the employees. The subject of this research were 57 Christian and Catholic employees of CV. Andi Offset Yogyakarta. The data was gathered by prayer frequence scale and Adversity Quotient scale. The reliability coefficient of the scales was tested by Cronbach’s Alpha technique with value 0.948 on prayer behavior scale and 0.951 on Adversity Quotient scale. The data was analyzed by Product Moment Pearson correlation technique. The result showed that the correlation coefficient was 0.122 with 0.366 as the value of significance, which means that the correlation was poor and not significant. The result also indicate that the hypothesis of this research was rejected.
viii
KATA PENGANTAR
Rasa kagum yang teramat dalam ditujukan oleh penulis kepada sesuatu
yang sangat besar, sumber dari segala sumber kekuatan, yang karena berkat dan
karunia-Nyalah, penulis dapat melalui segala tantangan dan kesulitan dalam
menyelesaikan skripsi ini. Dia yang tak terlihat, memberikan kasih dan cintanya
melalui orang-orang yang Ia tempatkan di sisiku:
1. Mama, papa, dan Aditya. Terimakasih untuk sebuah penerimaan tanpa syarat,
yang tidak pernah aku dapatkan dari orang lain.
2. Mbah Kakung. Terimakasih atas segala kesabaran dan kemurahan hati dalam
menemani cucumu hingga sejauh ini.
3. Keluarga Besar S. Reksodihardjo. Terimakasih untuk kebersamaan yang
selalu dapat aku banggakan.
4. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si dan Dr. A. Priyono Marwan (Romo Pri) selaku
dosen pembimbing skripsi. Terimakasih untuk bimbingan dan diskusi-diskusi
yang menarik
5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi selaku dekan Fak. Psikologi dan dosen
pembimbing akademik. Terimkasih atas kesediaan Bapak untuk selalu
mendengarkan curhatan-curhatan saya.
6. Genk Iwak Peyek (Kelas C angkatan ’09). Terimakasih untuk cerita-cerita
yang tak terlupakan. Bahagia, marah, sedih, kecewa, takut, semuanya jadi
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
xi
4. Faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient ... 16
5. Dimensi Adversity Quotient ... 17
B. Frekuensi Berdoa ... 21
1. Definisi Berdoa ... 21
2. Komponen-Komponen Berdoa ... 22
3. Jenis-jenis Doa ... 23
4. Efek Psikologis Berdoa ... 25
C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient 32 D. Hipotesis ... 38
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 39
A. Jenis Penelitian ... 39
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39
1. Frekuensi Berdoa ... 40
2. Adversity Quotient ... 40
D. Subjek Penelitian ... 41
E. Metode Pengumpulan Data ... 41
1. Skala Frekuensi Berdoa ... 41
2. Skala Adversity Quotient ... 43
F. Pertanggungjawaban Mutu ... 44
1. Validitas ... 44
2. Seleksi Aitem ... 45
xii
A. Orientasi Kancah Penelitian ... 49
B. Pelaksanaan Penelitian ... 49
1. Perijinan Penelitian ... 49
2. Pelaksanaan Penelitian ... 50
C. Deskripsi Subjek ... 51
D. Deskripsi Data Penelitian ... 52
E. Kategorisasi ... 53
F. Analisis Data Penelitian ... 54
1. Uji Normalitas ... 54
1. Bagi perusahaan dan Subjek Penelitian ... 60
xiii
DAFTAR PUSTAKA ... 62
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint Skala Frekuensi Berdoa ... 42
Tabel 2. Blueprint Skala Adversity Quotient ... 43
Tabel 3. Sebaran Aitem Skala Frekuensi Berdoa Setelah Seleksi Aitem ... 46
Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Aitem ... 46
Tabel 5. Deskripsi Subjek Penelitian ... 51
Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian ... 52
Tabel 7. Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Frekuensi Berdoa ... 53
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 65
Lampiran 2. Seleksi Aitem Skala Frekuensi Berdoa ... 83
Lampiran 3. Seleksi Aitem Skala Adversity Quotient ... 86
Lampiran 4. Uji Reliabilitas Skala Frekuensi Berdoa ... 89
Lampiran 5. Uji Reliabilitas Skala Adversity Quotient ... 91
Lampiran 6. Uji T Mean Empirik dan Mean Teoritik Skala Frekuensi Berdoa 93 Lampiran 7. Uji T Mean Empirik dan Mean Teoritik Skala AQ ... 95
Lampiran 8. Uji Normalitas ... 97
Lampiran 9. Uji Linearitas ... 99
Lampiran 10. Uji Hipotesis ... 101
Lampiran 11. Scatterplot ... 103
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bagian dari dunia yang tidak bisa menutup dirinya
dari pengaruh global. Pengaruh global yang sangat menonjol dapat terlihat di
bidang ekonomi, teknologi, dan budaya. Pengaruh global dalam bidang
ekonomi telah membuka lebar peluang bagi pihak asing untuk berdagang di
Indonesia. Dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat
organisasi dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi agar mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Sumber
daya manusia dapat menentukan apakah suatu organisasi dapat bertahan di era
yang ditandai dengan kompetisi yang sangat ketat. Sumber daya manusia
dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam merespon lingkungan yang
berubah (Ancok, 2002).
Stoltz (2000) mengatakan bahwa sumber terbesar dari kesulitan
untuk kebanyakan organisasi adalah perubahan yang terjadi terus-menerus.
Perubahan yang terjadi terus-menerus membuat karyawan hidup dalam
lingkungan yang tidak nyaman. Perubahan membawa dampak pada
meningkatnya kesulitan yang harus dihadapi oleh para pekerja, mulai dari
pemotongan gaji, perampingan perusahaan, restrukturisasi, merger, persaingan
telah menimbulkan rasa takut yang meluas bagi banyak orang. Banyak pekerja
yang mencemaskan posisi mereka dalam perekonomian di era global ini.
Perubahan yang terjadi terus menerus membuat kaum pekerja harus terus
bersusah-payah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk
dapat bertahan dalam sebuah organisasi.
Hood, Hill, dan Spilka (2009) memberikan sorotan secara khusus
kepada umat Kristiani yang memaknai pekerjaan bukan hanya sebagai sumber
mata pencaharian, tetapi juga sebagai sebuah „panggilan‟. Hal ini dibuktikan
melalui sebuah penelitian terhadap 1.869 responden beragama Kristen dan
Katholik yang hasilnya menunjukkan bahwa 15% sampel penelitian
memaknai pekerjaan sebagai sebuah „panggilan‟. Pada tingkatan yang paling
umum, umat Kristian diajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, untuk
memaknai hidup sebagai upaya aktif yang menuntut pengorbanan (misalnya;
dalam melayani orang lain), dan untuk memerangi kemalasan. Pada tingkatan
yang lebih luas, Alkitab menceritakan bahwa sejak semula Allah menciptakan
manusia sebagai subjek yang bekerja, seperti pada saat Allah memberikan
Taman Eden kepada manusia “untuk mengusahakan dan memelihara taman
itu” (Kejadian 2:15). Setelah manusia tidak menaati Allah, Allah menghukum
Adam dan Hawa untuk mencari makanan “dengan berpeluh” (Kejadian 3:19).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di tengah kesulitan yang semakin
besar, umat Kristiani cenderung berusaha untuk mempertahankan pekerjaan
Stoltz (2000) mengemukakan bahwa saat dihadapkan pada kesulitan
hidup, sebagian individu bertahan dan terus berjuang sementara yang lain
gagal dan menyerah. Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan baru
yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam
merespon kesulitan. Adversity Quotient adalah prediktor keberhasilan
seseorang dalam menghadapi kesulitan, bagaimana ia berperilaku dalam
situasi sulit, bagaimana ia mengendalikan situasi, apakah ia dapat menemukan
sumber permasalahan, apakah ia mempunyai rasa memiliki dalam situasi
tersebut, apakah ia mencoba untuk membatasi efek dari kesulitan, dan
bagaimana ia optimis bahwa kesulitan itu akan berakhir (Phoolka & Kaur,
2012). Pada fase perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi, para pekerja
dengan Adversity Quotient rendah cenderung kehilangan harapan, menjadi
tidak termotivasi, dan mengalami kebingungan, beberapa bahkan
menyangsikan hasil dari proses perubahan itu sendiri. Sebaliknya, para pekerja
dengan Adversity Quotient tinggi cenderung mau memeluk perubahan,
mendorong terjadinya perubahan, dan bertahan dalam menjalani proses
perubahan (Stoltz, 2000).
Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient dapat
membantu individu untuk memandang sebuah kesulitan dengan lebih
konstruktif. Seligman (dalam Stoltz, 2000) mengatakan bahwa orang yang
memiliki Adversity Quotient tinggi akan merespon kesulitan dengan gaya
yang lebih optimis dan meyakini bahwa permasalahan mereka akan segera
Quotient tinggi memiliki kekebalan terhadap rasa tidak berdaya dan putus asa.
Mereka memiliki pengendalian diri dan sifat tahan banting dalam menghadapi
situasi kehidupan yang keras. Individu dengan Adversity Quotient yang tinggi
membaktikan dirinya pada perbaikan diri seumur hidup. Hal ini yang
menyebabkan mereka memiliki ketekunan untuk terus menerus berusaha,
bahkan ketika dihadapkan pada kegagalan (Stoltz, 2000)
Stoltz (2000) menjelaskan bahwa salah satu ilmu yang mendasari
terbentuknya teori mengenai Adversity Quotient adalah Psikologi Kognitif.
Psikologi kognitif merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
memperoleh, mentransformasi, merepresentasi, menyimpan, dan menggali
kembali pengetahuan, serta bagaimana pengetahuan tersebut dapat digunakan
untuk merespon atau memecahkan masalah, berpikir, dan berbahasa
(Lasmono, 2001). Dalam Psikologi Kognitif terdapat sebuah teori yang
disebut dengan Learned Helplessnes atau ketidakberdayaan yang dipelajari.
Teori Learned Helplessness menjelaskan mengapa banyak orang menyerah
atau gagal ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup.
Ketidakberdayaan yang dipelajari menggambarkan keyakinan bahwa apapun
yang dilakukan oleh seseorang tidak akan ada gunanya. Keyakinan seperti itu
praktis menghancurkan dorongan seseorang untuk mengambil tindakan dalam
usaha untuk mengatasi kesulitan. Stoltz (2000) lebih lanjut menjelaskan
bahwa suatu keadaan yang bertolak belakang dengan keadaan tidak berdaya
disebut dengan pemberdayaan. Manusia harus diberdayakan agar bisa
Stoltz (2000) mengatakan bahwa keyakinan atau iman merupakan
salah satu faktor penting yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat
Adversity Quotient yang dimiliki oleh seseorang. Hal tersebut dapat dijelaskan
melalui pendapat Sharp (2010) yang mengatakan bahwa berdoa sebagai inti
dari iman (Bade & Cook 2008) dapat memberikan beragam sumber daya yang
dapat dimanfaatkan oleh individu dalam menghadapi berbagai situasi sulit
dalam kehidupan. Salah satu sumber daya yang diperoleh individu melalui
berdoa adalah sumber daya reinterpretasi kognitif.
Kesulitan hidup seringkali membawa manusia pada batas-batas
kemampuannya dalam mengatasi kesulitan tersebut. Ini adalah saat-saat ketika
manusia beralih pada sesuatu yang transenden dalam upaya untuk mengatasi
masalah dan menemukan pemaknaan baru (Harrison et al. dalam Miller, Gall & Corbeil, 2011). Hal tersebut sesuai dengan pendapat McIntosh (dalam Lowenthal, 2000) yang mengatakan bahwa keadaan stres dapat membawa individu pada skema berbasis agama yang dapat digunakan untuk
menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.
Park dan Silberman (dalam Whittington & Scher, 2010) mengatakan
bahwa doa adalah usaha untuk menciptakan hubungan dengan Tuhan. Dengan
demikian, doa memainkan peran penting dalam sistem pemaknaan religius.
Doa dapat berisi pengakuan bahwa individu membutuhkan dukungan Tuhan,
baik untuk berhadapan dengan permasalahan kehidupan, ataupun untuk
dapat memberi dukungan mungkin dapat membantu meringankan kesulitan
(Levine, 2008).
Beberapa keyakinan yang sering digunakan oleh orang yang aktif
secara religius dalam menghadapi permasalahan adalah bahwa “semua akan
indah pada waktunya”, “bersama Tuhan tidak ada yang mustahil”,
“permasalahan adalah cobaan dari Tuhan”, dan lain sebagainya. Melalui
interpretasi-interpretasi tersebut individu menjadi mampu untuk memahami
dunia dan menghadapi permasalahan sehari-hari dengan cara yang lebih
efektif (Monk-Turner, dalam Maltby, Lewis & Day 2008). Dengan demikian,
Thoits (dalam Levine, 2008) mengatakan bahwa berdoa dapat mengubah
konsep seseorang tentang situasi.
Sharp (2010) mengatakan banyak orang mengelola emosi negatif
melalui berdoa. Beberapa individu menggunakan doa untuk mengelola emosi
negatif yang disebabkan oleh penyakit, peristiwa traumatis, atau peritiwa
hidup yang negatif. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan
perilaku berdoa. Levine (2008) mengatakan bahwa melibatkan diri dalam doa
dan memegang sikap positif terhadap agama secara empiris berhubungan
dengan kesejahteraan pribadi, kesehatan, dan penurunan stress). Johnson
(dalam Lowenthal, 2000) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdoa dapat
menumbuhkan harapan, kepercayaan diri, dan ketenangan pikiran. Selain itu,
doa juga dapat berfungsi sebagai sumber pembaharuan energi emosional dan
membantu mempersiapkan individu untuk menerima apapun yang terjadi.
ada penelitian yang secara khusus mengaitkan frekuensi berdoa dengan
kemampuan individu dalam mengatasi masalah. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk meneliti hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity
Quotient.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah apakah ada
hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan
beragama Kristen dan Katolik?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi
berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan
Katolik.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan
mengenai hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada
karyawan. Hasil penelitian yang diperoleh memberikan kontribusi bagi
pengembangan penelitian di bidang Psikologi Industri dan Organisasi,
bahan pembanding bagi peneliti-peneliti yang ingin mengkaji masalah yang
berkaitan dengan frekuensi berdoa dan Adversity Quotient.
Secara praktis, jika penelitian ini diterima diharapkan dapat membantu
memberikan informasi yang berguna bagi karyawan ataupun perusahaan
dalam memperbaiki respon terhadap kesulitan di tempat kerja demi
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Adversity Quotient
1. Definisi Adversity Quotient
Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient adalah suatu
bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang untuk bertahan
dalam kesulitan dan mengatasinya. Adversity Quotient dapat menjelaskan
bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi sulit, apakah ia dapat
mengendalikan situasi, menemukan sumber permasalahan, mempunyai
rasa memiliki dalam situasi tersebut, membatasi efek dari kesulitan, dan
bagaimana seseorang tersebut optimis bahwa kesulitan akan segera
berakhir (Phoolka & Kaur, 2012). Adversity Quotient dapat memprediksi
siapa yang akan berhasil mengatasi kesulitan, dan siapa yang akan gagal
dan menyerah. Adversity Quotient menggabungkan teori ilmiah dan
penerapan di dunia nyata dalam setiap konsepnya, sehingga Adversity
Quotient tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga peralatan yang
secara praktis dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pribadi
demi tercapainya kesuksesan di berbagai bidang kehidupan (Stoltz, 2000).
Adversity Quotient didasarkan pada tiga cabang ilmu
pengetahuan, yang pertama adalah psikologi kognitif. Psikologi kognitif
bagaimana orang berpikir, mengingat, dan belajar. Psikologi kognitif
menjadi dasar pertama dari Adversity Quotient karena dalam psikologi
konitif terdapat sebuah teori tentang ‘ketidakberdayaan yang dipelajari’
(learned helplessness). Belajar ketidakberdayaan adalah internalisasi
keyakinan bahwa apapun yang dilakukan tidak akan merubah keadaan.
Hal ini terkait dengan dimensi kendali (control) yang merupakan dimensi
pertama dalam Adversity Quotient.
Kedua, ilmu yang mendasari Adversity Quotient adalah
psikoneuroimunologi. Psikoneuroimunologi mempelajari tentang
hubungan antara jiwa (psyche), otak (neuro), dan sistem kekebalan tubuh
(immune). Para peneliti menemukan bahwa kesehatan emosional
membawa dampak besar pada sistem kekebalan tubuh manusia. Misalnya,
rasa benci, marah, dan frustrasi dalam jangka panjang dapat menyebabkan
perubahan biokimia yang berbahaya dalam tubuh. Sebaliknya, perasaan
cinta, tawa, dan ketenangan dapat membawa kesembuhan. Demikian pula
Adversity Quotient dapat berpengaruh pada kesehatan karena ada
keterkaitan langsung antara bagaimana seseorang menanggapi kesulitan
dengan kesehatan mental dan fisik orang tersebut.
Ilmu terakhir yang mendasari Adversity Quotient adalah
neurofisiologi. Neurofisiologi mempelajari hubungan antara otak dengan
sistem syaraf. Penelitian di bidang neurofisiologi menunjukkan bahwa
otak memliki kemampuan untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan yang
bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan untuk meningkatkan
Adversity Quotient dapat dibentuk dan diperkuat dalam diri manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Adversity
Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan
seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan untuk mencapai
kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.
2. Tiga Tingkat Kesulitan
Stoltz (2000) mengatakan bahwa ukuran dan frekuensi kesulitan
yang harus dihadapi setiap orang semakin besar dari hari ke hari. Kesulitan
hidup terus meningkat dan tidak pernah berhenti. Untuk membantu
menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh manusia, Stoltz (2000)
memperkenalkan model “Tiga Tingkat Kesulitan”. Model ini hendak
menggambarkan suatu kenyataan bahwa kesulitan merupakan bagian dari
hidup yang ada di mana-mana, nyata, dan tidak terelakkan. Selain itu,
model ini juga hendak memperlihatkan bahwa perubahan positif yang
dapat terjadi pada ketiga tingkatnya berawal dari individu yang mengalami
kesulitan.
a. Kesulitan di Masyarakat.
Pada zaman sekarang ini, masyarakat dihadapkan pada
banyak kesulitan, misalnya: tindakan kejahatan yang meningkat secara
lingkungan yang semakin parah, krisis moral yang melanda generasi
muda, perubahan pandangan terhadap kehidupan rumah tangga, dan
hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemerintah. Stoltz
(2000) menyebut perubahan tersebut sebagai kesulitan masyarakat.
b. Kesulitan di Tempat Kerja.
Stoltz (2000) mengatakan bahwa situasi sulit di tempat kerja
semakin meningkat, hal ini menyebabkan frustrasi yang dialami kaum
pekerja semakin menumpuk. Mengerjakan banyak hal dengan upah
yang sedikit merupakan salah satu dari sekian banyak kesulitan yang
dapat ditemukan di tempat kerja. Tuntutan-tuntutan dan ketidakpastian
yang harus dihadapi seringkali membuat kaum pekerja berangkat ke
tempat kerja dengan perasaan cemas setiap harinya.
c. Kesulitan Individu.
Phoolka dan Kaur (2012) menyebutkan beberapa contoh
kesulitan yang terjadi pada tingkat individu, diantaranya adalah rasa
kesepian, kurang percaya diri, kehilangan semangat, kelelahan, dan
kesehatan yang buruk. Namun, sesuai dengan penjelasan sebelumnya
mengenai model “Tiga Tingkat Kesulitan”, pada tingkat inilah
individu dapat memulai perubahan.
3. Tiga Tipe Individu dalam Menghadapi Kesulitan
Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda ketika
tingkat keberhasilan yang berbeda-beda pula. Stoltz (2000)
mengumpamakan usaha untuk mengatasi kesulitan dalam meraih
kesuksesan sebagai sebuah pendakian, berikut tiga tipe individu dalam
menghadapi kesulitan:
a. Mereka yang berhenti (quitters)
Mereka yang berhenti terlihat seperti menolak banyak
kesempatan yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters bahkan
meninggalkan impian-impian yang pernah mereka miliki sebelumnya.
Sebagai akibatnya, mereka seringkali menjadi sinis, frustrasi, dan
membenci orang-orang yang terus mendaki. Quitters mencari pelarian
untuk menenangkan hati dan pikiran mereka dengan melakukan
hal-hal yang tidak produktif.
Di tempat kerjanya, Quitters bekerja sekadar cukup untuk
hidup. Quitters juga cenderung menolak perubahan. Hal ini yang
membuat mereka dapat dengan cepat menemukan cara untuk
menyatakan bahwa sesuatu tidak dapat dilaksanakan. Quitters
memberikan kontribusi yang sangat sedikit bagi tempat kerjanya.
b. Mereka yang berkemah (campers)
Berbeda dengan Quitters. Campers setidaknya telah
menanggapi tantangan pendakian itu. Namun, Campers memiliki
ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan
menemukan alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Mereka
menghentikan pendakian mereka. Kenyamanan yang mereka dapatkan
di tempat berkemah telah dianggap sebagai tujuan akhir mereka.
Campers hidup dengan keyakinan bahwa setelah melakukan sejumlah
usaha, hidup seharusnya bebas dari kesulitan. Campers merasa cukup
diri dengan apa yang sudah mereka peroleh, dan mengorbankan
kemungkinan untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin
mereka dapatkan.
Di tempat kerjanya, Campers masih belum menggunakan
seluruh kemampuannya, tetapi apa yang dilakukannya cukup untuk
membuat dia tetap dipekerjakan. Campers bersedia melakukan
pekerjaan yang penuh resiko, namun mereka memilih yang
ancamannya paling kecil. Motivasi mereka adalah rasa takut dan
kenyamanan, sehingga mereka mengindarkan diri dari sesuatu yang
bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Mereka mungkin saja
menerima perubahan, sepanjang perubahan tersebut dapat dipastikan
tidak akan menggoyahkan landasan tempat mereka berdiri. Jika
Campers terlalu lama berdiam diri dalam kenyamanan, maka mereka
akan kehilangan keunggulannya dan kinerjanya semakin merosot.
c. Mereka yang mendaki (climbers)
Para Climbers tidak pernah membiarkan hambatan apapun
menghalangi pendakiannya. Mereka benar-benar memahami tujuan
mereka dan bisa merasakan semangat dalam diri mereka. Mereka
pendakian yang telah mereka lakukan. Mereka memiliki keyakinan
bahwa suatu hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain
bersikap negatif dan beranggapan bahwa hal tersebut mustahil.
Climbers juga manusia biasa, terkadang mereka merasa bosan,
ragu-ragu, ataupun kesepian saat melakukan pendakian. Namun mereka
memiliki kematangan dan kebijaksanaan bahwa terkadang mereka
perlu berhenti sejenak agar bisa maju lagi. Berbeda dengan Campers
yang berhenti untuk menetap, Climbers berhenti sejenak untuk
memulihkan kekuatan dan mengumpulkan tenaga baru untuk
pendakian selanjutnya.
Di tempat kerjanya, Climbers terus mencari cara untuk
melakukan perbaikan diri dan berkontribusi. Mereka memanfaatkan
hampir seluruh potensi mereka, sehingga mereka memberikan
kontribusi paling banyak jika dibandingkan dengan Quitters dan
Campers. Climbers menyambut baik dan mendorong terjadinya
perubahan-perubahan yang positif. Tantangan yang ditawarkan oleh
perubahan justru mereka jadikan kesempatan untuk berkembang.
Climbers bersedia melakukan pekerjaan yang penuh resiko dan
4. Faktor yang Mempengaruhi Advesity Quotient
Stoltz (2000) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi tingkat Adversity Quotient seseorang, yaitu keyakinan,
genetika, dan pendidikan.
a. Genetika
Stoltz (2000) menjelaskan bahwa meskipun warisan genetis
tidak akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti ada
pengaruhnya. Hal ini didasari oleh banyaknya hasil penelitian yang
membuktikan bahwa genetika sangat mendasari perilaku seseorang.
Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa suasana hati dan tingkat
kecemasan juga memiliki kaitan genetis.
b. Pendidikan
Faktor lain yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient
seseorang adalah pendidikan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa
pendidikan seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan
kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan
kenerja yang dihasilkan.
c. Keyakinan
Stoltz (2000) mengatakan bahwa sebagian besar orang yang
berhasil meraih kesuksesan memiliki faktor ini. Pemimpin-pemimpin
besar dunia seperti Vaclav Havel dan Nelson Mandela mengatakan
bahwa keyakinan atau iman merupakan unsur yang sangat penting bagi
mengenai peran keyakinan dalam dunia kerja telah banyak beredar.
Iman merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
harapan, tindakan, moralitas, kontribusi, dan bagaimana individu
memperlakukan sesamanya.
5. Dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas
empat dimensi, yaitu Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance.
a. C = Control (Kendali)
Dimensi control ingin mengukur dua hal, yang pertama
sejauh mana seseorang merasa mampu mengendalikan dan
mempengaruhi sebuah situasi sulit secara positif, yang kedua sejauh
mana seseorang mampu mengendalikan tanggapannya sendiri terhadap
sebuah situasi sulit. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi
control merasakan kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang
buruk. Besarnya pengendalian yang dirasakan akan membawa individu
pada usaha penyelesaian masalah dengan mengambil sebuah tindakan.
Selain itu, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control
memiliki kemampuan untuk mengelola dan mempertimbangkan
tanggapan yang akan muncul pada saat kesulitan melanda.
Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada
dimensi control memiliki keyakinan bahwa apapun yang mereka
pengendaliannya rendah sering merasa tidak berdaya dan berhenti
berusaha saat dihadapkan pada kesulitan. Mereka juga akan cenderung
bereaksi dengan cara yang negatif pada saat kesulitan melanda, seperti
mengumpat, menghina, bahkan mengucapkan kata-kata yang
kemudian mereka sesali. Hal tersebut dapat terjadi karena individu
yang memiliki skor rendah pada dimensi control tidak mampu
mengendalikan ataupun merubah reaksi internal yang ada dalam
pikiran mereka sehingga terlepas begitu saja dalam wujud kata-kata
dan tindakan.
b. O2 = Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan)
Dimensi origin-ownership ingin mengukur dua hal, yang
pertama sejauh mana seseorang menemukan penyebab dari suatu
kesulitan dengan tepat, yang kedua sejauh mana seseorang mengakui
dan bertanggung jawab atas suatu kesulitan tanpa mempedulikan
penyebabnya. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi
origin-ownership mampu memandang perasaan bersalah sebagai sebuah
umpan balik untuk melakukan perbaikan. Rasa bersalah yang
sewajarnya akan menggugah mereka untuk belajar dari kesalahan
untuk menghindari kesalahan yang sama terulang lagi. Selain itu,
individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership
akan menghindarkan diri dari sikap menyalahkan orang lain dan
mengambil tindakan bertanggung jawab tanpa mempedulikan
Individu yang memiliki skor rendah pada dimensi
origin-ownership cenderung tidak mampu menimpakan suatu kesalahan pada
tempat yang semestinya. Terkadang mereka melihat dirinya sendiri
sebagai satu-satunya penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa yang
buruk. Hal ini yang membuat mereka mudah sekali dilanda perasaan
bersalah yang terlampau besar. Rasa bersalah memang tidak selamanya
berdampak negatif, namun rasa bersalah yang terlampau besar akan
menjadi destruktif dan menempatkan individu pada penyesalan yang
tidak sewajarnya. Di sisi lain, seringkali mereka sibuk untuk
mencari-cari sumber permasalahan dan menimpakan kesalahan kepada orang
lain. Hal ini yang membuat individu dengan skor rendah pada dimensi
origin-ownership menghindarkan diri dari pengakuan dan tindakan
bertanggung jawab atas sebuah situasi sulit.
c. R = Reach (Jangkauan)
Dimensi reach mengukur sejauh mana seseorang mampu
membatasi kesulitan agar tidak menjangkau bidang kehidupanya yang
lain. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi reach akan
merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Sebagai
contoh, kesalahpahaman dengan orang yang dikasihi adalah sebatas
kesalahpahaman, bukan pertanda bahwa suatu hubungan akan
berakhir. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan individu
Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada
dimensi reach akan menganggap suatu kesulitan sebagai bencana.
Sebagai contoh, hasil penilaian kinerja yang buruk dianggap sebagai
sesuatu yang menghambat karir dan pada akhirnya melemahkan
motivasi kerja. Membiarkan kesulitan menjangkau bidang-bidang
kehidupan yang lain hanya akan menguras tenaga dan membuat
seseorang menjadi semakin tidak berdaya untuk mengambil sebuah
tindakan penyelesaian.
d. E = Endurance (Daya Tahan)
Dimensi endurance mengukur seberapa lama seseorang
menganggap sebuah kesulitan dan penyebab kesulitan akan
berlangsung. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi
endurance akan menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya
sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu, dan kecil
kemungkinannya akan terjadi lagi. Anggapan seperti ini akan
meningkatkan optimisme dan dorongan untuk bertindak. Sebaliknya,
individu yang memiliki skor rendah pada dimensi endurance akan
menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu
yang sifatnya permanen dan berlangsung lama. Anggapan seperti ini
B. Frekuensi Berdoa 1. Definisi Berdoa
McCullough dan Larson (dalam Bade & Cook, 2000)
mengatakan bahwa doa adalah pikiran, sikap, dan tindakan yang dilakukan
untuk mengekspresikan atau mengalami hubungan dengan yang yang
Ilahi. Matthews (dalam Bade & Cook, 2000) secara sederhana
mendefinisikan doa sebagai sarana yang dapat digunakan seseorang untuk
berkomunikasi dengan Tuhan. Cole (2000) menjelaskan bahwa doa dapat
berlangsung secara individu maupun kelompok, dalam bentuk verbal
maupun non-verbal, berdasarkan metode ritual maupun non-ritual, dan
dalam tingkat kesadaran yang berbeda-beda.
Doa adalah setiap jenis persekutuan atau percakapan batin
dengan suatu kekuatan yang diakui sebagai yang Ilahi (James, dalam
Breslin & Lewis 2008). Doa adalah praktek keagamaan paling utama yang
melibatkan pencarian dan tanggapan terhadap kehadiran, kehendak, dan
bantuan dari yang Ilahi. Berdoa menuntut orientasi kepada sesuatu yang
transenden, dimana seseorang biasanya mengekspresikan pergumulan,
penyesalan, kebutuhan, dan keinginan (Cole, 2010).
Heiler (dalam Breslin & Lewis, 2008) mengatakan bahwa doa
merupakan akibat dari kebutuhkan individu yang memiliki sedikit kendali
atas kehidupannya. Hal ini kemudian berkembang menjadi suatu prinsip
yang diyakini oleh kebanyakan orang yang berdoa, yaitu ''Bukan
pendapat Kelcourse (2001) yang mengatakan bahwa manusia yang berdoa
untuk meminta pertolongan Tuhan adalah sama halnya dengan bayi yang
menangis untuk hehadiran responsif dari ayah dan ibu. Oleh karena itu,
Caughey (dalam Sharp, 2010) kemudian mendefinisikan doa sebagai
interaksi sosial imajiner antara individu dengan sosok yang imajiner.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berdoa
adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh manusia untuk
berhubungan dengan yang Ilahi, dimana dalam komunikasi tersebut
manusia dapat mengekspresikan pergumulan, penyesalan, kebutuhan, dan
keinginan.
2. Komponen-komponen Berdoa
Loewenthal (2000), dalam bukunya The Psychology of Religion :
A Short Introduction mengatakan bahwa berdoa melibatkan beberapa
komponen, yaitu :
a. Komponen Perilaku.
Doa melibatkan persiapan perilaku, seperti menjaga jarak dari
keramaian, menenangkan pikiran, serta persiapan sikap tubuh -
menghadapi ke arah tertentu, berdiri, duduk, membungkuk, berlutut
atau gerakan khusus lainnya seperti menari.
b. Komponen Linguistik.
Individu berdoa menggunakan bahasa, mungkin kata-kata
muncul saat berdoa bisa sangat lantang atau tenang, berdoa di dalam
hati, atau kadang-kadang beberapa bentuk mencari keheningan batin
(doa kontemplatif).
c. Komponen Kognitif.
Doa melibatkan orientasi menuju perspektif religius atau
spiritual dalam kehidupan, tujuan, dan makna yang terkandung di
dalamnya.
d. Komponen Emosional.
Doa biasanya memberikan rasa kedekatan kepada Allah, dan
mungkin dukungan dan kenyamanan.
3. Jenis-jenis Doa
Poloma dan Pendleton (dalam Nelson, 2009) membedakan doa
dalam empat kategori, yaitu doa meditatif (meditative prayer), doa ritual
(ritual prayer), doa percakapan (colloquial prayer), dan doa permohonan
(petitionary prayer). Doa meditatif mencakup komponen keintiman dan
hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan tiga jenis doa lainnya
mengacu pada bentuk doa yang lebih aktif dan lisan.
a. Doa meditatif (meditative prayer)
Jenis doa ini menekankan pada tindakan kontemplasi
(Argyle, dalam Cole 2010). Seseorang yang terlibat dalam doa
meditatif biasanya akan mencari persekutuan dengan Tuhan dengan
Tuhan, merasakan kehadiran Tuhan, merenung tentang Tuhan, dan
mengagumi keagungan Tuhan (Breslin, Shevlin & Lewis 2010).
b. Doa ritual (ritual prayer)
Jenis doa ini menekankan pada kualitas tradisi keagamaan,
termasuk di dalamnya pembacaan doa dari buku-buku doa maupun doa
hafalan. Doa ritual cenderung dipraktekkan di antara
kelompok-kelompok yang kepemimpinannya terdiri dari imam-imam yang
mengatur praktek-praktek keagamaan (Heiler, dalam Cole 2010).
Bentuk doa ini terkadang dilakukan di tempat-tempat tertentu yang
dianggap sakral (Argyle, dalam Cole 2010).
c. Doa permohonan (petitionary prayer)
Jenis doa ini berisi permohonan kepada Tuhan untuk
memenuhi kebutuhan material dan spiritual baik bagi diri sendiri
maupun orang lain (Miller et al., 2011). Caps (dalam Spilka, 2005)
mengatakan bahwa petitionary prayer merupakan suatu bentuk
permintaan kepada Tuhan untuk memberikan apa pun yang diinginkan
oleh pemohon. Dalam doa ini, seseorang secara eksplisit meminta
bantuan dan campur tangan Tuhan (Heiler, dalam Cole 2010).
d. Doa percakapan (colloquial prayer)
Jenis doa ini berisi percakapan antara individu dengan Tuhan,
sehingga di dalamnya tidak melibatkan permohonan spesifik. Dalam
menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, termasuk di dalamnya
ucapan syukur dan ungkapan cinta kepada Tuhan (Miller et al., 2011).
4. Efek Psikologis Berdoa
Penelitian yang dilakukan oleh Sharp (2010) menunjukkan
bahwa berdoa sebagai interaksi dukungan sosial imajiner memberikan
individu beberapa sumber daya yang dapat mereka manfaatkan sebagai
strategi untuk mengelola emosi negatif mereka:
a. Menyediakan orang lain sebagai tempat untuk mengekspresikan emosi
negatif.
Individu yang menggunakan doa sebagai cara untuk
mengekspresikan emosi-emosi negatif memandang Tuhan sebagai
figur yang memiliki karakteristik penuh kasih, peduli, dan tidak
menghakimi. Dengan kata lain, interaksi dengan Tuhan memberikan
individu sumber daya interpersonal berupa seseorang yang mau
mendengar. Individu dapat menceritakan kepada Tuhan tentang apa
yang mereka rasakan tanpa perlu merasa takut dihakimi atau mendapat
tanggapan negatif. Individu merasakan kenyamanan dan kesejahteraan
subjektif ketika mereka mampu mengekspresikan perasaan dan
frustrasi.
b. Memberikan penilaian yang positif.
Para ahli berpendapat bahwa individu mendasarkan harga diri
berdoa meyakini bahwa Tuhan peduli kepada mereka, mencintai
mereka, dan memandang mereka sebagai orang-orang yang berharga.
Oleh karena itu, individu mulai menganggap diri mereka sebagai orang
yang berharga ketika berinteraksi dengan Tuhan. Dengan kata lain,
interaksi dengan Tuhan memberikan individu penilaian positif yang
akan mereka gunakan untuk meningkatkan harga diri dan pada
akhirnya mengurangi perasaan sedih dan depresi.
c. Memberikan perasaan dilindungi melalui reinterpretasi kongnitif.
Selama interaksi berlangsung, individu meyakini bahwa
Tuhan peduli kepada mereka dan memiliki kekuatan untuk melindungi
mereka dalam kesulitan. Individu pada akhirnya menggunakan
keyakinan ini untuk menafsirkan situasi sulit yang mereka alami
sebagai sesuatu yang tidak begitu mengancam. Proses reinterpretasi ini
memberikan individu rasa perlindungan, dan persepsi ini akan
membantu individu mengurangi ketakutan dan kecemasan. Menurut
beberapa individu, rasa perlindungan yang didapat melalui doa ini
memberi mereka kekuatan dan keberanian untuk menghadapi bahaya.
d. “Zoning Out”
Doa dapat membantu individu mengelola emosi negatif
dengan memberikan mereka cara untuk mengalihkan diri dari stimulus
yang dapat menyebabkan emosi negatif. Dengan mengalihkan diri dari
stimulus yang menyebabkan emosi negatif, zoning out membantu
masuk ke kesadaran kognitif. Selain itu, zoning out melalui doa juga
membantu individu untuk tidak bereaksi dengan emosi negatif yang
dapat memperburuk situasi.
e. Menumbuhkan sikap memaafkan dengan meniru Tuhan
Caughey (dalam Sharp, 2010) berpendapat bahwa individu
sering menggunakan figur lain sebagai role model untuk ditiru, bahkan
beberapa ahli sosiologi emosi berpendapat bahwa individu sering
meniru strategi manajemen emosi yang digunakan oleh figur tersebut.
Dalam cara yang sama, selama berinteraksi dengan Tuhan individu
memandang Tuhan sebagai figur yang layak mereka tiru untuk
mengelola kemarahan mereka. Tuhan dipandang sebagai seseorang
yang mengampuni pelanggaran dan kesalahan oranng lain. Mereka
kemudian mengadopsi sikap ini sebagai cara untuk mengurangi atau
melepaskan kemarahan dan kebencian mereka terhadap orang lain.
Levine (2008) mengatakan bahwa berdoa sebagai salah satu
bentuk strategi coping dan dukungan sosial dapat membawa dampak
positif pada kondisi psikologis individu. Berikut beberapa proses
psikologis yang terjadi pada individu yang berdoa beserta manfaat yang
mengikutinya:
a. Konsekuesi percakapan.
Ketika klien psikoterapi berbicara kepada seorang terapis
yang penuh dengan penerimaan, pikiran dan perasaan klien akan
halnya dengan berdoa yang dapat membantu mengklarifikasi pikiran
dan perasaan seseorang yang berbicara pada diri sendiri ketika
berbicara dalam hati (Ho, Chan, Peng & Ng, dalam Levine 2008).
b. Tuhan sebagai attachment figur
Kirkpatrick (dalam Levine, 2008) menggambarkan Tuhan
sebagai ‘figur kelekatan’, sama halnya dengan ibu yang menghadirkan
kenyamanan pada anak. Ketika seseorang yakin bahwa figur kelekatan
akan hadir baginya setiap kali ia perlukan, individu tersebut menjadi
lebih kebal terhadap rasa takut bila dibandingkan dengan individu yang
tidak memiliki keyakinan seperti itu (Bowlby, dalam Levine 2008).
Berdoa dapat dilihat sebagai usaha untuk mencari kedekatan dengan
figur kelekatan yang kehadirannya dianggap dapat memberikan
kenyamanan (Mazmur 23: “Tuhan adalah gembalaku, takkan
kekurangan aku.”)
c. Tuhan yang selalu hadir.
Orang-orang yang berdoa meyakini bahwa Tuhan ada
dimana-mana (Mazmur 139:7) dan dapat mendengar seruan doa
mereka (James, dalam Levine 2008). Keyakinan ini yang
menyebabkan beberapa orang dapat merasakan kehadiran Tuhan ketika
mereka berdoa. Individu yang merasakan kehadiran Tuhan berada
dalam tingkat kesadaran yang mirip dengan yang dialami oleh orang
yang sedang mengunjungi sebuah makam dan berbicara kepada orang
menganggap Tuhan sebagai teman yang setia menemani. Oleh karena
itu, interaksi dengan Tuhan dapat mengurangi perasaan kesepian.
d. Menyerahkan masalah ke tangan Tuhan.
Individu yang berdoa menyerahkan sebuah permasalahan
kepada Tuhan untuk mendapatkan solusi. Hal tersebut memberikan
kesempatan bagi individu untuk melepaskan diri secara emosional dari
kesulitan untuk mencari pemecahan masalah dalam level kesadaran
yang berbeda. Ada dua konsekuensi psikologis yang diterima setelah
menyerahkan masalah ke tangan Tuhan:
1) Fenomena inkubasi
Proses inkubasi akan terjadi setelah individu mengambil
waktu untuk sejenak melepaskan diri dari segala kesulitan.
Melepaskan diri dari segala kesulitan untuk sementara waktu
memungkinkan individu untuk menghilangkan pemikiran negatif
dan mengembangkan pemikiran positif (Davidson, dalam Levine
2008). Solusi untuk permasalahan yang muncul setelah proses
inkubasi dapat dimaknai sebagai jawaban atas doa yang telah
disampaikan. Menurut hasil penelitian Stolz (dalam Levine, 2008),
orang-orang yang terlibat dalam doa mungkin mendapatkan insight
setelah berdoa.
2) Priming
Karena doa didasarkan pada nilai-nilai agama, maka
tersebut. Berdoa membuat nilai-nilai agama menjadi aktif dalam
proses pencarian solusi. Solusi yang muncul akan mendorong
seseorang untuk mengambil tindakan yang benar untuk mengatasi
suatu dilema.
e. Doa sebagai cara pemenuhan tugas.
Bagi kebanyakan orang, berdoa adalah kewajiban agama
(Ariel, dalam Levine 2008). Memenuhi kewajiban atau bertindak
sesuai dengan apa yang dianggap baik akan menghasilkan peningkatan
harga diri, Jika demikian, berdoa membantu seseorang untuk
meningkatkan harga diri karena orang tersebut telah memenuhi
kewajibannya. Orang yang disosialisasikan dalam keyakinan dan
praktek agama akan merasa tidak nyaman ketika mereka tidak berdoa.
f. Mendoakan orang lain.
Niatan untuk mendoakan orang lain dengan menyampaikan
bahwa “Aku akan mendoakanmu.” atau “Kau akan kubawa dalam
doaku.” akan membawa dampak psikologis bagi yang didoakan
maupun yang mendoakan. Mendoakan orang lain dapat dipandang
sebagai salah satu cara untuk memberikan dukungan emosional bagi
orang yang sedang dalam kesulitan. Hal ini dapat berguna untuk
mengurangi perasaan tidak berdaya dalam diri orang yang mendoakan.
g. Harapan, optimisme, dan orientasi ke masa depan.
Doa memunculkan pemikiran bahwa betapapun sulitnya
Dengan demikian, tindakan berdoa dapat menghasilkan harapan,
optimisme dan orientasi ke masa depan. Dengan demikian tindakan
berdoa membantu individu untuk menjauhkan diri dari rasa stres dan
putus asa.
h. Berdoa sebagai stimulus terkondisi.
Banyaknya manfaat yang diperoleh melalui doa membuat doa
dianggap dapat memberikan kontribusi pada penurunan tingkat stres.
Tindakan berdoa yang diikuti dengan penguatan berupa penurunan
tingkat stres dapat menjadi stimulus terkondisi untuk penurunan stres.
i. Keadaan mental saat doa dan meditasi.
Jika berdoa menimbulkan pikiran dan perasaan relaks seperti
yang dicapai dalam meditasi, maka orang yang berdoa secara teratur
dapat merasakan manfaat seperti yang didapatkan saat bermeditasi.
Dengan demikian orang yang berdoa dapat merasakan relaksasi
ketegangan. Selain itu, berdoa secara teratur juga memberikan dampak
positif pada sistem kekebalan tubuh (Seeman, Dubin & Seeman, dalam
Levine 2008).
j. Doa dalam kelompok
Doa yang dilakukan dalam kelompok memiliki dampak pada
kesejahteraan psikologis. Individu yang berdoa dalam kelompok akan
memperkuat identifikasinya pada kelompok agama tersebut beserta
dengan nilai-nilainya. Berkumpul bersama dengan orang lain yang
seseorang. Berdoa dalam kelompok juga dapat meningkatkan rasa
kebersamaan melalui berpartisipasi dalam sebuah ritual bersama.
Keterlibatan bersama orang lain menjauhkan individu dari perasaan
terisolasi dan kesendirian (Sarason, dalam Levine 2008). Selain itu,
dalam sebuah kelompok doa, biasanya para anggota dapat
menyediakan pemenuhan kebutuhan emosional dan bantuan yang lebih
kongkrit untuk satu sama lain. Oleh karena itu, berdoa dalam
kelompok juga dianggap sebagai bagian dari upaya pencarian
dukungan sosial.
C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient
Individu yang berdoa membentuk gambaran-gambaran tertentu
mengenai Tuhan (Stolz, dalam Levine 2008). Faktanya adalah orang-orang
yang berdoa percaya bahwa mereka sedang berinteraksi, berbicara, dan
memiliki hubungan dengan aktor lain yang benar-benar mendengar,
memahami, dan bereaksi terhadap mereka (Sharp, 2010). Selama interaksi
berlangsung, individu yang berdoa percaya bahwa Tuhan mampu memberikan
bantuan apapun. Doa memunculkan pemikiran bahwa betapapun sulitnya
masa sekarang, Tuhan dapat membuatnya berbeda di masa depan. Lowenthal
(2000) berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki keyakinan bahwa
“Tuhan akan membuat semua indah pada waktunya”. Dengan demikian,
tindakan berdoa menghasilkan optimisme dan orientasi ke masa depan (Ai et
masa menggambarkan skor yang tinggi pada salah satu dimensi Adversity
Quotient, yaitu dimensi Endurance. Individu dengan Endurance yang tinggi
akan memandang permasalahan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, akan
segera berlalu, dan kecil kemungkinannya akan terjadi lagi di masa depan.
Pandangan seperti ini akan meningkatkan optimisme dan dorongan untuk
bertindak.
Sumber daya kognitif lain yang dapat diperoleh individu melalui
berdoa adalah bahwa berdoa dapat membantu mengklarifikasi pikiran dan
perasaan seseorang yang berbicara pada diri sendiri ketika berbicara dalam
hati (Ho, Chan, Peng & Ng, dalam Levine 2008). Johnson (dalam Lowenthal,
2000) secara khusus mengatakan bahwa doa dapat digunakan sebagai alat
untuk mengklarifikasi tujuan hidup dimana seseorang dapat mendedikasikan
dirinya. Selain itu, doa juga dapat meningkatkan fokus hidup dan membantu
individu untuk melepaskan kekuatan laten untuk mencapai tujuan hidupnya.
Kemampuan untuk mengingat kembali tujuan yang menyebabkan individu
terlibat dalam suatu situasi sulit dapat membantu individu untuk membatasi
suatu permasalahan agar tidak terlihat semakin membesar (Stoltz, 2000).
Selain itu, Johnson (dalam Lowenthal, 2000) juga mengatakan bahwa berdoa
untuk orang lain dapat menjadi salah satu cara untuk menolong orang lain
yang sedang berada dalam kesulitan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa
menolong orang lain yang memiliki masalah yang lebih besar dapat membantu
individu untuk menghargai nasibnya dan melihat betapa kecilnya
bahwa meningkatkan fokus pada tujuan dan membantu orang lain yang berada
dalam kesulitan akan membantu individu untuk mengembalikan suatu
permasalahan pada tempat yang semestinya agar tidak menjangkau bidang
kehidupan yang lain. Kemampuan tersebut terkait dengan dimensi reach yang
ada pada Adversity Quotient (Stoltz, 2000).
Johnson (dalam Lowenthal, 2000) mengatakan bahwa dalam situasi
yang penuh permasalahan, doa memungkinkan munculnya pengakuan dari
dalam diri manusia atas kesalahan yang telah dilakukan. Namun Levine
(2008) mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada suatu permasalahan
individu yang berdoa mampu memandang asal-usul dari sebuah kesulitan
dengan lebih positif, yaitu sebagai cobaan dari Tuhan. Individu yang berdoa
meyakini bahwa Tuhan yang maha bijaksana selalu melakukan sesuatu untuk
kebaikan manusia, bahkan walaupun manusia tidak bisa melihatnya pada saat
itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk khawatir tentang perkara sulit
karena mereka meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan
melebihi kekuatan manusia. Keyakinan tersebut menyebabkan mereka
menganggap kesulitan sebagai sebuah kesempatan untuk belajar menjadi
individu yang lebih baik lagi dan pada akhirnya doa mendorong mereka untuk
mengambil tindakan penyelesaian masalah. Stoltz (2000) mengatakan bahwa
individu dengan skor yang tinggi pada dimensi origin-ownership mengakui
kesalahan yang telah diperbuatnya sebagai bentuk dari rasa tanggung jawab,
namun tidak melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab dari
menempatkan asal usul dari suatu permasalahan dengan lebih positif. Rasa
bersalah yang sewajarnya akan membantu individu untuk belajar menjadi
lebih baik lagi, namun rasa bersalah yang berlebihan akan melemahkan.
Taylor et al. (dalam Miller et al., 2011) mengatakan bahwa individu lebih cenderung untuk berdoa ketika situasi semakin sulit dan tidak dapat
dikendalikan. Hubungan dengan sesuatu yang tansenden dapat berfungsi
sebagai kerangka dimana seseorang dapat memperkuat pengendalian diri (Gall
et al., dalam Miller et al. 2011). Berdoa dapat memperkuat pengendalian diri
seseorang karena melalui berdoa individu mendapatkan sumber daya
pengalihan emosi yang dapat digunakan dengan segera ketika berhadapan
dengan kesulitan. Dengan berdoa individu dapat mencegah rangsangan emosi
negatif masuk ke kesadaran kognitif. Dengan demikian, berdoa dapat
membantu individu untuk mengendalikan diri dan tidak bereaksi dengan
emosi negatif yang dapat memperburuk situasi (Sharp, 2010). Selain itu,
Sharp (2010) mengatakan bahwa individu yang meminta pertolongan kepada
Tuhan melalui doa merasakan karakteristik Tuhan sebagai figur yang memiliki
kemampuan untuk membuat segala sesuatu terjadi dalam kehidupan individu
(Cerulo & Barra, dalam Sharp 2010). Gambaran tentang Tuhan sebagai sosok
yang maha kuasa, maha tahu, dan selalu hadir menumbuhkan keyakinan
bahwa “Bersama Tuhan tidak ada yang mustahil” (Thoits, dalam Levine
2008). Tuhan juga dipersepsikan sebagai figur yang penuh kasih, kuat, dan
peduli. Lowenthal (2000) berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki
Persepsi ini memberi individu rasa perlindungan yang pada akhirnya memberi
mereka kekuatan dan keberanian dalam mengandalikan situasi sulit (Sharp,
2010). Keberanian dan kekuatan untuk mengandalikan situasi sulit, serta
kemampuan untuk mengendalikan emosi negatif ketika dihadapkan pada suatu
permasalahan dimiliki oleh individu dengan skor yang tinggi pada dimensi
Gambar 1
Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient
BERDOA
Sumber daya reinterpretasi kognitif
“Semua akan indah pada
waktunya”
““Tuhan menuntun dalam
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan
positif dan signifikan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada
karyawan. Hipotesis tersebut mengandung pengertian bahwa semakin tinggi
frekuensi berdoa karyawan, semakin tinggi pula Adversity Quotient yang
dimiliki karyawan tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah frekuensi
berdoa karyawan, semakin rendah pula Adversity Quotient yang dimiliki
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk menyatakan
hubungan antar variabel yang tidak menunjukkan ketergantungan variabel satu
terhadap variabel lainnya seperti halnya dalam hubungan sebab akibat (Widi,
2010).
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang diidentifikasi
sebagai berikut:
Variabel X : Frekuensi Berdoa
Variabel Y : Adversity Quotient
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional adalah suatu definisi yang memberikan
penjelasan atas suatu variabel dalam bentuk yang dapat diukur (Kountur,
1. Frekuensi Berdoa
Frekuensi berdoa didefinisikan sebagai tingkat kekerapan subjek
dalam berdoa atau jumlah berdoa yang dilakukan dalam rentang waktu
tertentu. Doa adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh
manusia untuk berhubungan dengan yang Ilahi, baik yang dilakukan
secara individu maupun kelompok, dalam bentuk verbal maupun
non-verbal, berdasarkan metode ritual maupun non-ritual.
Frekuensi berdoa diukur dengan menggunakan skala yang
mencakup empat jenis doa menurut Poloma dan Pendleton, yaitu doa
meditatif (meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan
(colloquial prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer).
2. Adversity Quotient
Adversity Quotient didefinisikan sebagai suatu bentuk kecerdasan
yang mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi
kesulitan untuk mencapai kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.
Adversity Quotient diukur dengan menggunakan skala yang
mencakup empat dimensi Adversity Quotient menurut Stoltz, yaitu
dimensi Control (Kendali), dimensi Origin-Ownership (Asal-usul dan
Pengakuan), dimensi Reach (Jangkauan), dan dimensi Endurance (Daya
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang
memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Subjek penelitian,
pada dasarnya, adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar,
1997a). Karena subjek dalam penelitian ini sangat banyak, sehingga dilakukan
pengambilan sampel. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara nonprobability sampling dimana setiap anggota populasi tidak
memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel.
Adapun salah satu teknik nonprobability sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah convenience sampling yang merupakan teknik
pengampilan sampel berdasarkan kemudahan saja (Noor, 2011). Kriteria
subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah karyawan yang beragama
Kristen dan Katolik.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat
digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Riduwan, 2008). Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
frekuensi berdoa dan skala Adversity Quotient.
1. Skala Frekuensi Berdoa
Skala frekuensi berdoa disusun oleh peneliti berdasarkan empat
(meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan (colloquial
prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer). Selain itu, peneliti juga
mengacu pada Poloma and Pendleton’s Prayer Measure dalam membuat
aitem-aitem skala. Dalam skala ini terdapat 56 butir pernyataan, berikut
adalah blueprint skala frekuensi berdoa:
Tabel 1
Setiap pernyataan memiliki empat alternatif jawaban, yaitu; tidak
penghitungan summated rating, dimana setiap alternatif jawaban memiliki
skor masing-masing. Jawaban ‘tidak pernah’ memiliki skor 1, ‘jarang’
memiliki skor 2, ‘sering’ memiliki skor 3, dan ‘selalu’ memiliki skor 4.
Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala ini, berarti
semakin tinggi pula frekuensi berdoa yang dimilikinya.
2. Skala Adversity Quotient
Skala Adversity Quotient disusun oleh peneliti berdasarkan empat
dimensi Adversity Quotient menurut Stoltz, yaitu dimensi Control
(Kendali), dimensi Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan), dimensi
Reach (Jangkauan), dan dimensi Endurance (Daya Tahan). Selain itu,
peneliti juga mengacu pada Adversity Response Profile dalam membuat
aitem-aitem skala. Dalam skala ini terdapat 55 butir aitem, berikut adalah
blueprint skala Adversity Quotient:
Pengakuan) 42, 43, 51
Setiap aitem dalam skala ini berisi sebuah pernyataan peristiwa,
sebuah pertanyaan, dan pilihan jawaban yang bergerak dari angka 1
sampai dengan 5. Semakin besar angkanya berarti jawaban yang diberikan
subjek semakin positif. Skala ini juga akan menggunakan metode
summated rating dalam proses penghitungan data. Semakin tinggi skor
yang diperoleh subjek dalam skala ini, berarti semakin tinggi pula tingkat
Adversity Quotient yang dimilikinya.
F. Pertanggungjawaban Mutu 1. Validitas
Kountur (2003) mengatakan bahwa suatu instrumen dapat
dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur. Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah validitas isi. Validitas isi ditegakkan pada langkah telaah dan revisi
judgement) (Suryabrata, 2011). Dalam penelitian ini, professional
judgement diperoleh melalui berkonsultasi dengan dosen pembimbing
skripsi.
2. Seleksi Aitem
Setiap aitem dalam suatu skala harus diseleksi agar didapatkan
aitem-aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh
tes secara keseluruhan. Prosedur pengujian konsistensi aitem total akan
menghasilkan koefisien korelasi aitem total atau umum juga dikenal
dengan sebutan indeks daya beda aitem. Aitem yang konsisten pada
hakekatnya merupakan aitem yang mampu menunjukkan perbedaan antar
subjek pada aspek yang diukur. Dalam penelitian ini, prosedur seleksi
aitem dilakukan dengan menggunakan formula koefisiensi korelasi
Product Moment Pearson. Dimana semakin tinggi korelasi positif antara
skor aitem dengan skor tes berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem
tersebut dengan tes keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya.
Azwar (1997b) mengatakan bahwa aitem yang memiliki koefisiensi
minimal 0,30 dianggap memiliki daya beda yang memuaskan.
Dari hasil prosedur seleksi aitem yang telah dilakukan, diperoleh
hasil bahwa terdapat 12 aitem yang gugur pada skala frekuensi berdoa dan
13 aitem yang gugur pada skala Adversity Quotient. Aitem-aitem tersebut
menunjukkan sebaran aitem yang lolos setelah melalui proses seleksi
aitem:
Tabel 3
Sebaran Aitem Skala Frekuensi Berdoa Setelah Seleksi Aitem
No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah
Sebaran Aitem Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Aitem
No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah
Aitem
1. Control (Kendali) 3, 6, 10, 13, 22, 24, 27,
31, 34, 40, 44, 47, 49,
50, 53
Suatu instrumen penelitian dapat dikatakan reliabel apabila
instrumen tersebut konsisten dalam memberikan penilaian atas apa yang
diukur (Kountur, 2003). Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien
reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0,0 sampai dengan 1,0
(Azwar, 1997b). Semakin tinggi koefisien reliabilitas yang diperoleh,
berarti hasil pengukuran instrumen tersebut semakin dapat dipercaya.
Pengujian reliabilitas skala pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Cronbach’s Alpha.
Dari hasil penghitungan data dapat disimpulkan bahwa skala
frekuensi berdoa dan skala Adversity Quotient memiliki reliabilitas yang
baik. Hal ini dibuktikan dengan koefisien reliabilitas yang tinggi pada
kedua skala tersebut, yaitu 0,948 untuk skala frekuensi berdoa dan 0,951