• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PADA KARYAWAN BERAGAMA KRISTEN DAN KATOLIK Arinda Anantu

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif dan signifikan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan. Subjek yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah 57 orang karyawan CV. Andi Offset yang beragama Kristen dan Katolik. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala, yaitu Skala frekuensi berdoa dan skala Adversity Quotient. Pengujian reliabilitas Cronbach’s Alpha menghasilkan koefisiensi sebesar 0.948 pada skala frekuensi berdoa dan 0.951 pada skala Adversity Quotient. Dari hasil analisis data dengan menggunakan metode korelasi Product Moment Pearson diketahui bahwa kedua variabel terebut memiliki koefisien korelasi sebesar 0.122 dengan signifikansi 0.366. Angka tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan. Hal tersebut menandakan bahwa hipotesis awal penelitian ini ditolak.

(2)

ON CHRISTIAN AND CATHOLIC EMPLOYEES Arinda Anantu

ABSTRACT

The purpose of this research was to find out the correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on Christian and Catholic employees. The hypothesis proposed in this research was there is positive and significant correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on the employees. The subject of this research were 57 Christian and Catholic employees of CV. Andi Offset Yogyakarta. The data was gathered by prayer frequence scale and Adversity Quotient scale. The reliability coefficient of the scales was tested by

Cronbach’s Alpha technique with value 0.948 on prayer behavior scale and 0.951 on Adversity Quotient scale. The

data was analyzed by Product Moment Pearson correlation technique. The result showed that the correlation coefficient was 0.122 with 0.366 as the value of significance, which means that the correlation was poor and not significant. The result also indicate that the hypothesis of this research was rejected.

(3)

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI BERDOA

DENGAN ADVERSITY QUOTIENT

PADA KARYAWAN BERAGAMA KRISTEN DAN KATOLIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Arinda Anantu NIM: 099114120

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)
(7)

v

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI BERDOA DENGAN ADVERSITY QUOTIENT

PADA KARYAWAN BERAGAMA KRISTEN DAN KATOLIK Arinda Anantu

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif dan signifikan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan. Subjek yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah 57 orang karyawan CV. Andi Offset yang beragama Kristen dan Katolik. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala, yaitu Skala frekuensi berdoa dan skala Adversity

Quotient. Pengujian reliabilitas Cronbach’s Alpha menghasilkan koefisiensi sebesar 0.948 pada

skala frekuensi berdoa dan 0.951 pada skala Adversity Quotient. Dari hasil analisis data dengan menggunakan metode korelasi Product Moment Pearson diketahui bahwa kedua variabel terebut memiliki koefisien korelasi sebesar 0.122 dengan signifikansi 0.366. Angka tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan. Hal tersebut menandakan bahwa hipotesis awal penelitian ini ditolak.

(8)

vi

THE CORRELATION BETWEEN PRAYER FREQUENCE AND ADVERSITY QUOTIENT

ON CHRISTIAN AND CATHOLIC EMPLOYEES Arinda Anantu

ABSTRACT

The purpose of this research was to find out the correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on Christian and Catholic employees. The hypothesis proposed in this research was there is positive and significant correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on the employees. The subject of this research were 57 Christian and Catholic employees of CV. Andi Offset Yogyakarta. The data was gathered by prayer frequence scale and Adversity Quotient scale. The reliability coefficient of the scales was tested by Cronbach’s Alpha technique with value 0.948 on prayer behavior scale and 0.951 on Adversity Quotient scale. The data was analyzed by Product Moment Pearson correlation technique. The result showed that the correlation coefficient was 0.122 with 0.366 as the value of significance, which means that the correlation was poor and not significant. The result also indicate that the hypothesis of this research was rejected.

(9)
(10)

viii

KATA PENGANTAR

Rasa kagum yang teramat dalam ditujukan oleh penulis kepada sesuatu yang sangat besar, sumber dari segala sumber kekuatan, yang karena berkat dan karunia-Nyalah, penulis dapat melalui segala tantangan dan kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dia yang tak terlihat, memberikan kasih dan cintanya melalui orang-orang yang Ia tempatkan di sisiku:

1. Mama, papa, dan Aditya. Terimakasih untuk sebuah penerimaan tanpa syarat, yang tidak pernah aku dapatkan dari orang lain.

2. Mbah Kakung. Terimakasih atas segala kesabaran dan kemurahan hati dalam menemani cucumu hingga sejauh ini.

3. Keluarga Besar S. Reksodihardjo. Terimakasih untuk kebersamaan yang selalu dapat aku banggakan.

4. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si dan Dr. A. Priyono Marwan (Romo Pri) selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih untuk bimbingan dan diskusi-diskusi yang menarik

5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi selaku dekan Fak. Psikologi dan dosen pembimbing akademik. Terimkasih atas kesediaan Bapak untuk selalu mendengarkan curhatan-curhatan saya.

(11)
(12)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

(13)

xi

4. Faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient ... 16

5. Dimensi Adversity Quotient ... 17

B. Frekuensi Berdoa ... 21

1. Definisi Berdoa ... 21

2. Komponen-Komponen Berdoa ... 22

3. Jenis-jenis Doa ... 23

4. Efek Psikologis Berdoa ... 25

C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient 32 D. Hipotesis ... 38

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39

1. Frekuensi Berdoa ... 40

2. Adversity Quotient ... 40

D. Subjek Penelitian ... 41

E. Metode Pengumpulan Data ... 41

1. Skala Frekuensi Berdoa ... 41

2. Skala Adversity Quotient ... 43

F. Pertanggungjawaban Mutu ... 44

1. Validitas ... 44

2. Seleksi Aitem ... 45

(14)

xii

A. Orientasi Kancah Penelitian ... 49

B. Pelaksanaan Penelitian ... 49

1. Perijinan Penelitian ... 49

2. Pelaksanaan Penelitian ... 50

C. Deskripsi Subjek ... 51

D. Deskripsi Data Penelitian ... 52

E. Kategorisasi ... 53

F. Analisis Data Penelitian ... 54

1. Uji Normalitas ... 54

1. Bagi perusahaan dan Subjek Penelitian ... 60

(15)

xiii

(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint Skala Frekuensi Berdoa ... 42

Tabel 2. Blueprint Skala Adversity Quotient ... 43

Tabel 3. Sebaran Aitem Skala Frekuensi Berdoa Setelah Seleksi Aitem ... 46

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Aitem ... 46

Tabel 5. Deskripsi Subjek Penelitian ... 51

Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian ... 52

Tabel 7. Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Frekuensi Berdoa ... 53

(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 65

Lampiran 2. Seleksi Aitem Skala Frekuensi Berdoa ... 83

Lampiran 3. Seleksi Aitem Skala Adversity Quotient ... 86

Lampiran 4. Uji Reliabilitas Skala Frekuensi Berdoa ... 89

Lampiran 5. Uji Reliabilitas Skala Adversity Quotient ... 91

Lampiran 6. Uji T Mean Empirik dan Mean Teoritik Skala Frekuensi Berdoa 93 Lampiran 7. Uji T Mean Empirik dan Mean Teoritik Skala AQ ... 95

Lampiran 8. Uji Normalitas ... 97

Lampiran 9. Uji Linearitas ... 99

Lampiran 10. Uji Hipotesis ... 101

Lampiran 11. Scatterplot ... 103

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah bagian dari dunia yang tidak bisa menutup dirinya dari pengaruh global. Pengaruh global yang sangat menonjol dapat terlihat di bidang ekonomi, teknologi, dan budaya. Pengaruh global dalam bidang ekonomi telah membuka lebar peluang bagi pihak asing untuk berdagang di Indonesia. Dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat organisasi dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi agar mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Sumber daya manusia dapat menentukan apakah suatu organisasi dapat bertahan di era yang ditandai dengan kompetisi yang sangat ketat. Sumber daya manusia dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam merespon lingkungan yang berubah (Ancok, 2002).

(19)

telah menimbulkan rasa takut yang meluas bagi banyak orang. Banyak pekerja yang mencemaskan posisi mereka dalam perekonomian di era global ini. Perubahan yang terjadi terus menerus membuat kaum pekerja harus terus bersusah-payah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk dapat bertahan dalam sebuah organisasi.

Hood, Hill, dan Spilka (2009) memberikan sorotan secara khusus kepada umat Kristiani yang memaknai pekerjaan bukan hanya sebagai sumber

mata pencaharian, tetapi juga sebagai sebuah „panggilan‟. Hal ini dibuktikan melalui sebuah penelitian terhadap 1.869 responden beragama Kristen dan Katholik yang hasilnya menunjukkan bahwa 15% sampel penelitian

memaknai pekerjaan sebagai sebuah „panggilan‟. Pada tingkatan yang paling umum, umat Kristian diajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, untuk memaknai hidup sebagai upaya aktif yang menuntut pengorbanan (misalnya; dalam melayani orang lain), dan untuk memerangi kemalasan. Pada tingkatan yang lebih luas, Alkitab menceritakan bahwa sejak semula Allah menciptakan manusia sebagai subjek yang bekerja, seperti pada saat Allah memberikan

Taman Eden kepada manusia “untuk mengusahakan dan memelihara taman

itu” (Kejadian 2:15). Setelah manusia tidak menaati Allah, Allah menghukum

(20)

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa saat dihadapkan pada kesulitan hidup, sebagian individu bertahan dan terus berjuang sementara yang lain gagal dan menyerah. Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan baru yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam merespon kesulitan. Adversity Quotient adalah prediktor keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan, bagaimana ia berperilaku dalam situasi sulit, bagaimana ia mengendalikan situasi, apakah ia dapat menemukan sumber permasalahan, apakah ia mempunyai rasa memiliki dalam situasi tersebut, apakah ia mencoba untuk membatasi efek dari kesulitan, dan bagaimana ia optimis bahwa kesulitan itu akan berakhir (Phoolka & Kaur, 2012). Pada fase perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi, para pekerja dengan Adversity Quotient rendah cenderung kehilangan harapan, menjadi tidak termotivasi, dan mengalami kebingungan, beberapa bahkan menyangsikan hasil dari proses perubahan itu sendiri. Sebaliknya, para pekerja dengan Adversity Quotient tinggi cenderung mau memeluk perubahan, mendorong terjadinya perubahan, dan bertahan dalam menjalani proses perubahan (Stoltz, 2000).

(21)

Quotient tinggi memiliki kekebalan terhadap rasa tidak berdaya dan putus asa. Mereka memiliki pengendalian diri dan sifat tahan banting dalam menghadapi situasi kehidupan yang keras. Individu dengan Adversity Quotient yang tinggi membaktikan dirinya pada perbaikan diri seumur hidup. Hal ini yang menyebabkan mereka memiliki ketekunan untuk terus menerus berusaha, bahkan ketika dihadapkan pada kegagalan (Stoltz, 2000)

(22)

Stoltz (2000) mengatakan bahwa keyakinan atau iman merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat

Adversity Quotient yang dimiliki oleh seseorang. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui pendapat Sharp (2010) yang mengatakan bahwa berdoa sebagai inti dari iman (Bade & Cook 2008) dapat memberikan beragam sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh individu dalam menghadapi berbagai situasi sulit dalam kehidupan. Salah satu sumber daya yang diperoleh individu melalui berdoa adalah sumber daya reinterpretasi kognitif.

Kesulitan hidup seringkali membawa manusia pada batas-batas kemampuannya dalam mengatasi kesulitan tersebut. Ini adalah saat-saat ketika manusia beralih pada sesuatu yang transenden dalam upaya untuk mengatasi masalah dan menemukan pemaknaan baru (Harrison et al. dalam Miller, Gall & Corbeil, 2011). Hal tersebut sesuai dengan pendapat McIntosh (dalam

Lowenthal, 2000) yang mengatakan bahwa keadaan stres dapat membawa individu pada skema berbasis agama yang dapat digunakan untuk menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.

(23)

dapat memberi dukungan mungkin dapat membantu meringankan kesulitan (Levine, 2008).

Beberapa keyakinan yang sering digunakan oleh orang yang aktif secara religius dalam menghadapi permasalahan adalah bahwa “semua akan

indah pada waktunya”, “bersama Tuhan tidak ada yang mustahil”,

“permasalahan adalah cobaan dari Tuhan”, dan lain sebagainya. Melalui interpretasi-interpretasi tersebut individu menjadi mampu untuk memahami dunia dan menghadapi permasalahan sehari-hari dengan cara yang lebih efektif (Monk-Turner, dalam Maltby, Lewis & Day 2008). Dengan demikian, Thoits (dalam Levine, 2008) mengatakan bahwa berdoa dapat mengubah konsep seseorang tentang situasi.

(24)

ada penelitian yang secara khusus mengaitkan frekuensi berdoa dengan kemampuan individu dalam mengatasi masalah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik.

D. Manfaat Penelitian

(25)

bahan pembanding bagi peneliti-peneliti yang ingin mengkaji masalah yang berkaitan dengan frekuensi berdoa dan Adversity Quotient.

(26)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Adversity Quotient

1. Definisi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang untuk bertahan dalam kesulitan dan mengatasinya. Adversity Quotient dapat menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi sulit, apakah ia dapat mengendalikan situasi, menemukan sumber permasalahan, mempunyai rasa memiliki dalam situasi tersebut, membatasi efek dari kesulitan, dan bagaimana seseorang tersebut optimis bahwa kesulitan akan segera berakhir (Phoolka & Kaur, 2012). Adversity Quotient dapat memprediksi siapa yang akan berhasil mengatasi kesulitan, dan siapa yang akan gagal dan menyerah. Adversity Quotient menggabungkan teori ilmiah dan penerapan di dunia nyata dalam setiap konsepnya, sehingga Adversity Quotient tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga peralatan yang secara praktis dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pribadi demi tercapainya kesuksesan di berbagai bidang kehidupan (Stoltz, 2000).

(27)

bagaimana orang berpikir, mengingat, dan belajar. Psikologi kognitif menjadi dasar pertama dari Adversity Quotient karena dalam psikologi konitif terdapat sebuah teori tentang „ketidakberdayaan yang dipelajari‟

(learned helplessness). Belajar ketidakberdayaan adalah internalisasi keyakinan bahwa apapun yang dilakukan tidak akan merubah keadaan. Hal ini terkait dengan dimensi kendali (control) yang merupakan dimensi pertama dalam Adversity Quotient.

Kedua, ilmu yang mendasari Adversity Quotient adalah psikoneuroimunologi. Psikoneuroimunologi mempelajari tentang hubungan antara jiwa (psyche), otak (neuro), dan sistem kekebalan tubuh (immune). Para peneliti menemukan bahwa kesehatan emosional membawa dampak besar pada sistem kekebalan tubuh manusia. Misalnya, rasa benci, marah, dan frustrasi dalam jangka panjang dapat menyebabkan perubahan biokimia yang berbahaya dalam tubuh. Sebaliknya, perasaan cinta, tawa, dan ketenangan dapat membawa kesembuhan. Demikian pula

Adversity Quotient dapat berpengaruh pada kesehatan karena ada keterkaitan langsung antara bagaimana seseorang menanggapi kesulitan dengan kesehatan mental dan fisik orang tersebut.

(28)

bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan untuk meningkatkan

Adversity Quotient dapat dibentuk dan diperkuat dalam diri manusia. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan untuk mencapai kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.

2. Tiga Tingkat Kesulitan

Stoltz (2000) mengatakan bahwa ukuran dan frekuensi kesulitan yang harus dihadapi setiap orang semakin besar dari hari ke hari. Kesulitan hidup terus meningkat dan tidak pernah berhenti. Untuk membantu menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh manusia, Stoltz (2000) memperkenalkan model “Tiga Tingkat Kesulitan”. Model ini hendak

menggambarkan suatu kenyataan bahwa kesulitan merupakan bagian dari hidup yang ada di mana-mana, nyata, dan tidak terelakkan. Selain itu, model ini juga hendak memperlihatkan bahwa perubahan positif yang dapat terjadi pada ketiga tingkatnya berawal dari individu yang mengalami kesulitan.

a. Kesulitan di Masyarakat.

(29)

lingkungan yang semakin parah, krisis moral yang melanda generasi muda, perubahan pandangan terhadap kehidupan rumah tangga, dan hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemerintah. Stoltz (2000) menyebut perubahan tersebut sebagai kesulitan masyarakat. b. Kesulitan di Tempat Kerja.

Stoltz (2000) mengatakan bahwa situasi sulit di tempat kerja semakin meningkat, hal ini menyebabkan frustrasi yang dialami kaum pekerja semakin menumpuk. Mengerjakan banyak hal dengan upah yang sedikit merupakan salah satu dari sekian banyak kesulitan yang dapat ditemukan di tempat kerja. Tuntutan-tuntutan dan ketidakpastian yang harus dihadapi seringkali membuat kaum pekerja berangkat ke tempat kerja dengan perasaan cemas setiap harinya.

c. Kesulitan Individu.

Phoolka dan Kaur (2012) menyebutkan beberapa contoh kesulitan yang terjadi pada tingkat individu, diantaranya adalah rasa kesepian, kurang percaya diri, kehilangan semangat, kelelahan, dan kesehatan yang buruk. Namun, sesuai dengan penjelasan sebelumnya mengenai model “Tiga Tingkat Kesulitan”, pada tingkat inilah

individu dapat memulai perubahan.

3. Tiga Tipe Individu dalam Menghadapi Kesulitan

(30)

tingkat keberhasilan yang berbeda-beda pula. Stoltz (2000) mengumpamakan usaha untuk mengatasi kesulitan dalam meraih kesuksesan sebagai sebuah pendakian, berikut tiga tipe individu dalam menghadapi kesulitan:

a. Mereka yang berhenti (quitters)

Mereka yang berhenti terlihat seperti menolak banyak kesempatan yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters bahkan meninggalkan impian-impian yang pernah mereka miliki sebelumnya. Sebagai akibatnya, mereka seringkali menjadi sinis, frustrasi, dan membenci orang-orang yang terus mendaki. Quitters mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran mereka dengan melakukan hal-hal yang tidak produktif.

Di tempat kerjanya, Quitters bekerja sekadar cukup untuk hidup. Quitters juga cenderung menolak perubahan. Hal ini yang membuat mereka dapat dengan cepat menemukan cara untuk menyatakan bahwa sesuatu tidak dapat dilaksanakan. Quitters

memberikan kontribusi yang sangat sedikit bagi tempat kerjanya. b. Mereka yang berkemah (campers)

(31)

menghentikan pendakian mereka. Kenyamanan yang mereka dapatkan di tempat berkemah telah dianggap sebagai tujuan akhir mereka.

Campers hidup dengan keyakinan bahwa setelah melakukan sejumlah usaha, hidup seharusnya bebas dari kesulitan. Campers merasa cukup diri dengan apa yang sudah mereka peroleh, dan mengorbankan kemungkinan untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin mereka dapatkan.

Di tempat kerjanya, Campers masih belum menggunakan seluruh kemampuannya, tetapi apa yang dilakukannya cukup untuk membuat dia tetap dipekerjakan. Campers bersedia melakukan pekerjaan yang penuh resiko, namun mereka memilih yang ancamannya paling kecil. Motivasi mereka adalah rasa takut dan kenyamanan, sehingga mereka mengindarkan diri dari sesuatu yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Mereka mungkin saja menerima perubahan, sepanjang perubahan tersebut dapat dipastikan tidak akan menggoyahkan landasan tempat mereka berdiri. Jika

Campers terlalu lama berdiam diri dalam kenyamanan, maka mereka akan kehilangan keunggulannya dan kinerjanya semakin merosot. c. Mereka yang mendaki (climbers)

(32)

pendakian yang telah mereka lakukan. Mereka memiliki keyakinan bahwa suatu hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan beranggapan bahwa hal tersebut mustahil.

Climbers juga manusia biasa, terkadang mereka merasa bosan, ragu-ragu, ataupun kesepian saat melakukan pendakian. Namun mereka memiliki kematangan dan kebijaksanaan bahwa terkadang mereka perlu berhenti sejenak agar bisa maju lagi. Berbeda dengan Campers

yang berhenti untuk menetap, Climbers berhenti sejenak untuk memulihkan kekuatan dan mengumpulkan tenaga baru untuk pendakian selanjutnya.

Di tempat kerjanya, Climbers terus mencari cara untuk melakukan perbaikan diri dan berkontribusi. Mereka memanfaatkan hampir seluruh potensi mereka, sehingga mereka memberikan kontribusi paling banyak jika dibandingkan dengan Quitters dan

Campers. Climbers menyambut baik dan mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang positif. Tantangan yang ditawarkan oleh perubahan justru mereka jadikan kesempatan untuk berkembang.

(33)

4. Faktor yang Mempengaruhi Advesity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tingkat Adversity Quotient seseorang, yaitu keyakinan, genetika, dan pendidikan.

a. Genetika

Stoltz (2000) menjelaskan bahwa meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti ada pengaruhnya. Hal ini didasari oleh banyaknya hasil penelitian yang membuktikan bahwa genetika sangat mendasari perilaku seseorang. Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa suasana hati dan tingkat kecemasan juga memiliki kaitan genetis.

b. Pendidikan

Faktor lain yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient

seseorang adalah pendidikan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa pendidikan seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kenerja yang dihasilkan.

c. Keyakinan

(34)

mengenai peran keyakinan dalam dunia kerja telah banyak beredar. Iman merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan harapan, tindakan, moralitas, kontribusi, dan bagaimana individu memperlakukan sesamanya.

5. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas empat dimensi, yaitu Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance. a. C = Control (Kendali)

Dimensi control ingin mengukur dua hal, yang pertama sejauh mana seseorang merasa mampu mengendalikan dan mempengaruhi sebuah situasi sulit secara positif, yang kedua sejauh mana seseorang mampu mengendalikan tanggapannya sendiri terhadap sebuah situasi sulit. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi

control merasakan kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk. Besarnya pengendalian yang dirasakan akan membawa individu pada usaha penyelesaian masalah dengan mengambil sebuah tindakan. Selain itu, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control

memiliki kemampuan untuk mengelola dan mempertimbangkan tanggapan yang akan muncul pada saat kesulitan melanda.

(35)

pengendaliannya rendah sering merasa tidak berdaya dan berhenti berusaha saat dihadapkan pada kesulitan. Mereka juga akan cenderung bereaksi dengan cara yang negatif pada saat kesulitan melanda, seperti mengumpat, menghina, bahkan mengucapkan kata-kata yang kemudian mereka sesali. Hal tersebut dapat terjadi karena individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control tidak mampu mengendalikan ataupun merubah reaksi internal yang ada dalam pikiran mereka sehingga terlepas begitu saja dalam wujud kata-kata dan tindakan.

b. O2 = Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan)

Dimensi origin-ownership ingin mengukur dua hal, yang pertama sejauh mana seseorang menemukan penyebab dari suatu kesulitan dengan tepat, yang kedua sejauh mana seseorang mengakui dan bertanggung jawab atas suatu kesulitan tanpa mempedulikan penyebabnya. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership mampu memandang perasaan bersalah sebagai sebuah umpan balik untuk melakukan perbaikan. Rasa bersalah yang sewajarnya akan menggugah mereka untuk belajar dari kesalahan untuk menghindari kesalahan yang sama terulang lagi. Selain itu, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership

(36)

Individu yang memiliki skor rendah pada dimensi origin-ownership cenderung tidak mampu menimpakan suatu kesalahan pada tempat yang semestinya. Terkadang mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa yang buruk. Hal ini yang membuat mereka mudah sekali dilanda perasaan bersalah yang terlampau besar. Rasa bersalah memang tidak selamanya berdampak negatif, namun rasa bersalah yang terlampau besar akan menjadi destruktif dan menempatkan individu pada penyesalan yang tidak sewajarnya. Di sisi lain, seringkali mereka sibuk untuk mencari-cari sumber permasalahan dan menimpakan kesalahan kepada orang lain. Hal ini yang membuat individu dengan skor rendah pada dimensi

origin-ownership menghindarkan diri dari pengakuan dan tindakan bertanggung jawab atas sebuah situasi sulit.

c. R = Reach (Jangkauan)

(37)

Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada dimensi reach akan menganggap suatu kesulitan sebagai bencana. Sebagai contoh, hasil penilaian kinerja yang buruk dianggap sebagai sesuatu yang menghambat karir dan pada akhirnya melemahkan motivasi kerja. Membiarkan kesulitan menjangkau bidang-bidang kehidupan yang lain hanya akan menguras tenaga dan membuat seseorang menjadi semakin tidak berdaya untuk mengambil sebuah tindakan penyelesaian.

d. E = Endurance (Daya Tahan)

Dimensi endurance mengukur seberapa lama seseorang menganggap sebuah kesulitan dan penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi

(38)

B. Frekuensi Berdoa 1. Definisi Berdoa

McCullough dan Larson (dalam Bade & Cook, 2000) mengatakan bahwa doa adalah pikiran, sikap, dan tindakan yang dilakukan untuk mengekspresikan atau mengalami hubungan dengan yang yang Ilahi. Matthews (dalam Bade & Cook, 2000) secara sederhana mendefinisikan doa sebagai sarana yang dapat digunakan seseorang untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Cole (2000) menjelaskan bahwa doa dapat berlangsung secara individu maupun kelompok, dalam bentuk verbal maupun non-verbal, berdasarkan metode ritual maupun non-ritual, dan dalam tingkat kesadaran yang berbeda-beda.

Doa adalah setiap jenis persekutuan atau percakapan batin dengan suatu kekuatan yang diakui sebagai yang Ilahi (James, dalam Breslin & Lewis 2008). Doa adalah praktek keagamaan paling utama yang melibatkan pencarian dan tanggapan terhadap kehadiran, kehendak, dan bantuan dari yang Ilahi. Berdoa menuntut orientasi kepada sesuatu yang transenden, dimana seseorang biasanya mengekspresikan pergumulan, penyesalan, kebutuhan, dan keinginan (Cole, 2010).

(39)

pendapat Kelcourse (2001) yang mengatakan bahwa manusia yang berdoa untuk meminta pertolongan Tuhan adalah sama halnya dengan bayi yang menangis untuk hehadiran responsif dari ayah dan ibu. Oleh karena itu, Caughey (dalam Sharp, 2010) kemudian mendefinisikan doa sebagai interaksi sosial imajiner antara individu dengan sosok yang imajiner.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berdoa adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan yang Ilahi, dimana dalam komunikasi tersebut manusia dapat mengekspresikan pergumulan, penyesalan, kebutuhan, dan keinginan.

2. Komponen-komponen Berdoa

Loewenthal (2000), dalam bukunya The Psychology of Religion : A Short Introduction mengatakan bahwa berdoa melibatkan beberapa komponen, yaitu :

a. Komponen Perilaku.

Doa melibatkan persiapan perilaku, seperti menjaga jarak dari keramaian, menenangkan pikiran, serta persiapan sikap tubuh - menghadapi ke arah tertentu, berdiri, duduk, membungkuk, berlutut atau gerakan khusus lainnya seperti menari.

b. Komponen Linguistik.

(40)

muncul saat berdoa bisa sangat lantang atau tenang, berdoa di dalam hati, atau kadang-kadang beberapa bentuk mencari keheningan batin (doa kontemplatif).

c. Komponen Kognitif.

Doa melibatkan orientasi menuju perspektif religius atau spiritual dalam kehidupan, tujuan, dan makna yang terkandung di dalamnya.

d. Komponen Emosional.

Doa biasanya memberikan rasa kedekatan kepada Allah, dan mungkin dukungan dan kenyamanan.

3. Jenis-jenis Doa

Poloma dan Pendleton (dalam Nelson, 2009) membedakan doa dalam empat kategori, yaitu doa meditatif (meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan (colloquial prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer). Doa meditatif mencakup komponen keintiman dan hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan tiga jenis doa lainnya mengacu pada bentuk doa yang lebih aktif dan lisan.

a. Doa meditatif (meditative prayer)

(41)

Tuhan, merasakan kehadiran Tuhan, merenung tentang Tuhan, dan mengagumi keagungan Tuhan (Breslin, Shevlin & Lewis 2010).

b. Doa ritual (ritual prayer)

Jenis doa ini menekankan pada kualitas tradisi keagamaan, termasuk di dalamnya pembacaan doa dari buku-buku doa maupun doa hafalan. Doa ritual cenderung dipraktekkan di antara kelompok-kelompok yang kepemimpinannya terdiri dari imam-imam yang mengatur praktek-praktek keagamaan (Heiler, dalam Cole 2010). Bentuk doa ini terkadang dilakukan di tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral (Argyle, dalam Cole 2010).

c. Doa permohonan (petitionary prayer)

Jenis doa ini berisi permohonan kepada Tuhan untuk memenuhi kebutuhan material dan spiritual baik bagi diri sendiri maupun orang lain (Miller et al., 2011). Caps (dalam Spilka, 2005) mengatakan bahwa petitionary prayer merupakan suatu bentuk permintaan kepada Tuhan untuk memberikan apa pun yang diinginkan oleh pemohon. Dalam doa ini, seseorang secara eksplisit meminta bantuan dan campur tangan Tuhan (Heiler, dalam Cole 2010).

d. Doa percakapan (colloquial prayer)

(42)

menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, termasuk di dalamnya ucapan syukur dan ungkapan cinta kepada Tuhan (Miller et al., 2011).

4. Efek Psikologis Berdoa

Penelitian yang dilakukan oleh Sharp (2010) menunjukkan bahwa berdoa sebagai interaksi dukungan sosial imajiner memberikan individu beberapa sumber daya yang dapat mereka manfaatkan sebagai strategi untuk mengelola emosi negatif mereka:

a. Menyediakan orang lain sebagai tempat untuk mengekspresikan emosi negatif.

Individu yang menggunakan doa sebagai cara untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif memandang Tuhan sebagai figur yang memiliki karakteristik penuh kasih, peduli, dan tidak menghakimi. Dengan kata lain, interaksi dengan Tuhan memberikan individu sumber daya interpersonal berupa seseorang yang mau mendengar. Individu dapat menceritakan kepada Tuhan tentang apa yang mereka rasakan tanpa perlu merasa takut dihakimi atau mendapat tanggapan negatif. Individu merasakan kenyamanan dan kesejahteraan subjektif ketika mereka mampu mengekspresikan perasaan dan frustrasi.

b. Memberikan penilaian yang positif.

(43)

berdoa meyakini bahwa Tuhan peduli kepada mereka, mencintai mereka, dan memandang mereka sebagai orang-orang yang berharga. Oleh karena itu, individu mulai menganggap diri mereka sebagai orang yang berharga ketika berinteraksi dengan Tuhan. Dengan kata lain, interaksi dengan Tuhan memberikan individu penilaian positif yang akan mereka gunakan untuk meningkatkan harga diri dan pada akhirnya mengurangi perasaan sedih dan depresi.

c. Memberikan perasaan dilindungi melalui reinterpretasi kongnitif. Selama interaksi berlangsung, individu meyakini bahwa Tuhan peduli kepada mereka dan memiliki kekuatan untuk melindungi mereka dalam kesulitan. Individu pada akhirnya menggunakan keyakinan ini untuk menafsirkan situasi sulit yang mereka alami sebagai sesuatu yang tidak begitu mengancam. Proses reinterpretasi ini memberikan individu rasa perlindungan, dan persepsi ini akan membantu individu mengurangi ketakutan dan kecemasan. Menurut beberapa individu, rasa perlindungan yang didapat melalui doa ini memberi mereka kekuatan dan keberanian untuk menghadapi bahaya.

d. “Zoning Out”

(44)

masuk ke kesadaran kognitif. Selain itu, zoning out melalui doa juga membantu individu untuk tidak bereaksi dengan emosi negatif yang dapat memperburuk situasi.

e. Menumbuhkan sikap memaafkan dengan meniru Tuhan

Caughey (dalam Sharp, 2010) berpendapat bahwa individu sering menggunakan figur lain sebagai role model untuk ditiru, bahkan beberapa ahli sosiologi emosi berpendapat bahwa individu sering meniru strategi manajemen emosi yang digunakan oleh figur tersebut. Dalam cara yang sama, selama berinteraksi dengan Tuhan individu memandang Tuhan sebagai figur yang layak mereka tiru untuk mengelola kemarahan mereka. Tuhan dipandang sebagai seseorang yang mengampuni pelanggaran dan kesalahan oranng lain. Mereka kemudian mengadopsi sikap ini sebagai cara untuk mengurangi atau melepaskan kemarahan dan kebencian mereka terhadap orang lain.

Levine (2008) mengatakan bahwa berdoa sebagai salah satu bentuk strategi coping dan dukungan sosial dapat membawa dampak positif pada kondisi psikologis individu. Berikut beberapa proses psikologis yang terjadi pada individu yang berdoa beserta manfaat yang mengikutinya:

a. Konsekuesi percakapan.

(45)

halnya dengan berdoa yang dapat membantu mengklarifikasi pikiran dan perasaan seseorang yang berbicara pada diri sendiri ketika berbicara dalam hati (Ho, Chan, Peng & Ng, dalam Levine 2008). b. Tuhan sebagai attachment figur

Kirkpatrick (dalam Levine, 2008) menggambarkan Tuhan sebagai „figur kelekatan‟, sama halnya dengan ibu yang menghadirkan

kenyamanan pada anak. Ketika seseorang yakin bahwa figur kelekatan akan hadir baginya setiap kali ia perlukan, individu tersebut menjadi lebih kebal terhadap rasa takut bila dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki keyakinan seperti itu (Bowlby, dalam Levine 2008). Berdoa dapat dilihat sebagai usaha untuk mencari kedekatan dengan figur kelekatan yang kehadirannya dianggap dapat memberikan kenyamanan (Mazmur 23: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”)

c. Tuhan yang selalu hadir.

(46)

menganggap Tuhan sebagai teman yang setia menemani. Oleh karena itu, interaksi dengan Tuhan dapat mengurangi perasaan kesepian. d. Menyerahkan masalah ke tangan Tuhan.

Individu yang berdoa menyerahkan sebuah permasalahan kepada Tuhan untuk mendapatkan solusi. Hal tersebut memberikan kesempatan bagi individu untuk melepaskan diri secara emosional dari kesulitan untuk mencari pemecahan masalah dalam level kesadaran yang berbeda. Ada dua konsekuensi psikologis yang diterima setelah menyerahkan masalah ke tangan Tuhan:

1) Fenomena inkubasi

Proses inkubasi akan terjadi setelah individu mengambil waktu untuk sejenak melepaskan diri dari segala kesulitan. Melepaskan diri dari segala kesulitan untuk sementara waktu memungkinkan individu untuk menghilangkan pemikiran negatif dan mengembangkan pemikiran positif (Davidson, dalam Levine 2008). Solusi untuk permasalahan yang muncul setelah proses inkubasi dapat dimaknai sebagai jawaban atas doa yang telah disampaikan. Menurut hasil penelitian Stolz (dalam Levine, 2008), orang-orang yang terlibat dalam doa mungkin mendapatkan insight

setelah berdoa. 2) Priming

(47)

tersebut. Berdoa membuat nilai-nilai agama menjadi aktif dalam proses pencarian solusi. Solusi yang muncul akan mendorong seseorang untuk mengambil tindakan yang benar untuk mengatasi suatu dilema.

e. Doa sebagai cara pemenuhan tugas.

Bagi kebanyakan orang, berdoa adalah kewajiban agama (Ariel, dalam Levine 2008). Memenuhi kewajiban atau bertindak sesuai dengan apa yang dianggap baik akan menghasilkan peningkatan harga diri, Jika demikian, berdoa membantu seseorang untuk meningkatkan harga diri karena orang tersebut telah memenuhi kewajibannya. Orang yang disosialisasikan dalam keyakinan dan praktek agama akan merasa tidak nyaman ketika mereka tidak berdoa. f. Mendoakan orang lain.

Niatan untuk mendoakan orang lain dengan menyampaikan bahwa “Aku akan mendoakanmu.” atau “Kau akan kubawa dalam doaku.” akan membawa dampak psikologis bagi yang didoakan

maupun yang mendoakan. Mendoakan orang lain dapat dipandang sebagai salah satu cara untuk memberikan dukungan emosional bagi orang yang sedang dalam kesulitan. Hal ini dapat berguna untuk mengurangi perasaan tidak berdaya dalam diri orang yang mendoakan. g. Harapan, optimisme, dan orientasi ke masa depan.

(48)

Dengan demikian, tindakan berdoa dapat menghasilkan harapan, optimisme dan orientasi ke masa depan. Dengan demikian tindakan berdoa membantu individu untuk menjauhkan diri dari rasa stres dan putus asa.

h. Berdoa sebagai stimulus terkondisi.

Banyaknya manfaat yang diperoleh melalui doa membuat doa dianggap dapat memberikan kontribusi pada penurunan tingkat stres. Tindakan berdoa yang diikuti dengan penguatan berupa penurunan tingkat stres dapat menjadi stimulus terkondisi untuk penurunan stres. i. Keadaan mental saat doa dan meditasi.

Jika berdoa menimbulkan pikiran dan perasaan relaks seperti yang dicapai dalam meditasi, maka orang yang berdoa secara teratur dapat merasakan manfaat seperti yang didapatkan saat bermeditasi. Dengan demikian orang yang berdoa dapat merasakan relaksasi ketegangan. Selain itu, berdoa secara teratur juga memberikan dampak positif pada sistem kekebalan tubuh (Seeman, Dubin & Seeman, dalam Levine 2008).

j. Doa dalam kelompok

(49)

seseorang. Berdoa dalam kelompok juga dapat meningkatkan rasa kebersamaan melalui berpartisipasi dalam sebuah ritual bersama. Keterlibatan bersama orang lain menjauhkan individu dari perasaan terisolasi dan kesendirian (Sarason, dalam Levine 2008). Selain itu, dalam sebuah kelompok doa, biasanya para anggota dapat menyediakan pemenuhan kebutuhan emosional dan bantuan yang lebih kongkrit untuk satu sama lain. Oleh karena itu, berdoa dalam kelompok juga dianggap sebagai bagian dari upaya pencarian dukungan sosial.

C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient

(50)

masa menggambarkan skor yang tinggi pada salah satu dimensi Adversity Quotient, yaitu dimensi Endurance. Individu dengan Endurance yang tinggi akan memandang permasalahan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, akan segera berlalu, dan kecil kemungkinannya akan terjadi lagi di masa depan. Pandangan seperti ini akan meningkatkan optimisme dan dorongan untuk bertindak.

(51)

bahwa meningkatkan fokus pada tujuan dan membantu orang lain yang berada dalam kesulitan akan membantu individu untuk mengembalikan suatu permasalahan pada tempat yang semestinya agar tidak menjangkau bidang kehidupan yang lain. Kemampuan tersebut terkait dengan dimensi reach yang ada pada Adversity Quotient (Stoltz, 2000).

(52)

menempatkan asal usul dari suatu permasalahan dengan lebih positif. Rasa bersalah yang sewajarnya akan membantu individu untuk belajar menjadi lebih baik lagi, namun rasa bersalah yang berlebihan akan melemahkan.

Taylor et al. (dalam Miller et al., 2011) mengatakan bahwa individu lebih cenderung untuk berdoa ketika situasi semakin sulit dan tidak dapat dikendalikan. Hubungan dengan sesuatu yang tansenden dapat berfungsi sebagai kerangka dimana seseorang dapat memperkuat pengendalian diri (Gall et al., dalam Miller et al. 2011). Berdoa dapat memperkuat pengendalian diri seseorang karena melalui berdoa individu mendapatkan sumber daya pengalihan emosi yang dapat digunakan dengan segera ketika berhadapan dengan kesulitan. Dengan berdoa individu dapat mencegah rangsangan emosi negatif masuk ke kesadaran kognitif. Dengan demikian, berdoa dapat membantu individu untuk mengendalikan diri dan tidak bereaksi dengan emosi negatif yang dapat memperburuk situasi (Sharp, 2010). Selain itu, Sharp (2010) mengatakan bahwa individu yang meminta pertolongan kepada Tuhan melalui doa merasakan karakteristik Tuhan sebagai figur yang memiliki kemampuan untuk membuat segala sesuatu terjadi dalam kehidupan individu (Cerulo & Barra, dalam Sharp 2010). Gambaran tentang Tuhan sebagai sosok yang maha kuasa, maha tahu, dan selalu hadir menumbuhkan keyakinan bahwa “Bersama Tuhan tidak ada yang mustahil” (Thoits, dalam Levine

(53)

Persepsi ini memberi individu rasa perlindungan yang pada akhirnya memberi mereka kekuatan dan keberanian dalam mengandalikan situasi sulit (Sharp, 2010). Keberanian dan kekuatan untuk mengandalikan situasi sulit, serta kemampuan untuk mengendalikan emosi negatif ketika dihadapkan pada suatu permasalahan dimiliki oleh individu dengan skor yang tinggi pada dimensi

(54)

Gambar 1

Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient

BERDOA

Sumber daya reinterpretasi kognitif

“Semua akan indah pada

waktunya”

Tuhan menuntun dalam

(55)

D. Hipotesis

(56)

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk menyatakan hubungan antar variabel yang tidak menunjukkan ketergantungan variabel satu terhadap variabel lainnya seperti halnya dalam hubungan sebab akibat (Widi, 2010).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang diidentifikasi sebagai berikut:

Variabel X : Frekuensi Berdoa Variabel Y : Adversity Quotient

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

(57)

1. Frekuensi Berdoa

Frekuensi berdoa didefinisikan sebagai tingkat kekerapan subjek dalam berdoa atau jumlah berdoa yang dilakukan dalam rentang waktu tertentu. Doa adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan yang Ilahi, baik yang dilakukan secara individu maupun kelompok, dalam bentuk verbal maupun non-verbal, berdasarkan metode ritual maupun non-ritual.

Frekuensi berdoa diukur dengan menggunakan skala yang mencakup empat jenis doa menurut Poloma dan Pendleton, yaitu doa meditatif (meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan (colloquial prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer).

2. Adversity Quotient

Adversity Quotient didefinisikan sebagai suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan untuk mencapai kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.

(58)

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Subjek penelitian, pada dasarnya, adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar, 1997a). Karena subjek dalam penelitian ini sangat banyak, sehingga dilakukan pengambilan sampel. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara nonprobability sampling dimana setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Adapun salah satu teknik nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling yang merupakan teknik pengampilan sampel berdasarkan kemudahan saja (Noor, 2011). Kriteria subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah karyawan yang beragama Kristen dan Katolik.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Riduwan, 2008). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala frekuensi berdoa dan skala Adversity Quotient.

1. Skala Frekuensi Berdoa

(59)

(meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan (colloquial prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer). Selain itu, peneliti juga mengacu pada Poloma and Pendleton’s Prayer Measure dalam membuat aitem-aitem skala. Dalam skala ini terdapat 56 butir pernyataan, berikut adalah blueprint skala frekuensi berdoa:

Tabel 1

(60)

penghitungan summated rating, dimana setiap alternatif jawaban memiliki skor masing-masing. Jawaban ‘tidak pernah’ memiliki skor 1, ‘jarang’ memiliki skor 2, ‘sering’ memiliki skor 3, dan ‘selalu’ memiliki skor 4.

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala ini, berarti semakin tinggi pula frekuensi berdoa yang dimilikinya.

2. Skala Adversity Quotient

Skala Adversity Quotient disusun oleh peneliti berdasarkan empat dimensi Adversity Quotient menurut Stoltz, yaitu dimensi Control

(Kendali), dimensi Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan), dimensi

Reach (Jangkauan), dan dimensi Endurance (Daya Tahan). Selain itu, peneliti juga mengacu pada Adversity Response Profile dalam membuat aitem-aitem skala. Dalam skala ini terdapat 55 butir aitem, berikut adalah

blueprint skala Adversity Quotient:

(61)

Pengakuan) 42, 43, 51

Setiap aitem dalam skala ini berisi sebuah pernyataan peristiwa, sebuah pertanyaan, dan pilihan jawaban yang bergerak dari angka 1 sampai dengan 5. Semakin besar angkanya berarti jawaban yang diberikan subjek semakin positif. Skala ini juga akan menggunakan metode

summated rating dalam proses penghitungan data. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala ini, berarti semakin tinggi pula tingkat

Adversity Quotient yang dimilikinya.

F. Pertanggungjawaban Mutu 1. Validitas

(62)

judgement) (Suryabrata, 2011). Dalam penelitian ini, professional judgement diperoleh melalui berkonsultasi dengan dosen pembimbing skripsi.

2. Seleksi Aitem

Setiap aitem dalam suatu skala harus diseleksi agar didapatkan aitem-aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan. Prosedur pengujian konsistensi aitem total akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total atau umum juga dikenal dengan sebutan indeks daya beda aitem. Aitem yang konsisten pada hakekatnya merupakan aitem yang mampu menunjukkan perbedaan antar subjek pada aspek yang diukur. Dalam penelitian ini, prosedur seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan formula koefisiensi korelasi

Product Moment Pearson. Dimana semakin tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor tes berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan tes keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Azwar (1997b) mengatakan bahwa aitem yang memiliki koefisiensi minimal 0,30 dianggap memiliki daya beda yang memuaskan.

(63)

menunjukkan sebaran aitem yang lolos setelah melalui proses seleksi aitem:

Tabel 3

Sebaran Aitem Skala Frekuensi Berdoa Setelah Seleksi Aitem No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah

Sebaran Aitem Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Aitem No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah

Aitem 1. Control (Kendali) 3, 6, 10, 13, 22, 24, 27,

31, 34, 40, 44, 47, 49,

(64)

50, 53

Suatu instrumen penelitian dapat dikatakan reliabel apabila instrumen tersebut konsisten dalam memberikan penilaian atas apa yang diukur (Kountur, 2003). Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0,0 sampai dengan 1,0 (Azwar, 1997b). Semakin tinggi koefisien reliabilitas yang diperoleh, berarti hasil pengukuran instrumen tersebut semakin dapat dipercaya. Pengujian reliabilitas skala pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha.

(65)

G. Metode Analisis Data 1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak (Noor, 2011). Sebaran data dapat dinyatakan berdistribusi normal apabila memiliki signifikansi diatas 0,05. Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov Test.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antara kedua variabel membentuk garis lurus atau tidak. Hubungan kedua variabel dapat dikatakan linear apabila memiliki signifikansi dibawah 0.05. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan teknik test for liniearity yang terdapat pada program SPSS.

3. Uji Hipotesis

(66)

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah Penelitian

CV. Andi Offset adalah sebuah perusahaan yang berpengalaman di bidang penerbitan dan percetakan selama lebih dari 30 tahun. Kata “Andi”

dalam nama perusahaan merupakan cerminan dari karakter perusahaan. Oleh para perintisnya, kata “Andi” diakronimkan menjadi “Anak Didik Immanuel”,

yang berarti Tuhan beserta kita.

Karyawan CV. Andi Offset mayoritas beragama Kristen dan Katolik. Ada sekitar 200 karyawan beragama Kristen dan Katolik yang berkantor di Yogyakarta. Para karyawan terbiasa untuk memulai pekerjaan mereka dengan berdoa di pagi hari. Sebagai perusahaan dengan karakter keagamaan yang kuat, karyawan para karyawan di CV. Andi Offset memiliki kebiasaan untuk berdoa sebelum memulai sebuah aktivitas bersama, misalnya: rapat, perjalanan, dan lain sebagainya. Selain itu, CV. Andi Offset juga seringkali mengadakan acara bersama untuk memperingati hari-hari besar keagamaan.

B. Pelaksanaan Penelitian 1. Perijinan Penelitian

(67)

dari Fakultas Psikologi dengan nomor surat 43 a/D/KP/Psi/USD/VI/2013 kepada departemen personalia CV. Andi Offset. Proposal penelitian kemudian dipelajari oleh Bapak Antonius Ananta Nugraha selaku Kepala Bagian Personalia untuk mendapatkan persetujuan.

2. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Pengambilan data dilakukan dengan meminta bantuan staff personalia CV. Andi Offset untuk membagikan skala kepada para karyawan. Pada tiap subjek dibagikan satu eksemplar skala yang terdiri dari dua skala yaitu skala A sebagai skala frekuensi berdoa, dan skala B sebagai skala Adversity Quotient. Skala dibagikan kepada 80 karyawan, namun hanya ada 57 skala yang dikembalikan. Pihak staff personalia CV Andi Offset menjelaskan bahwa sebagian skala tidak kembali dikarenakan hilang ataupun beberapa orang karyawan sangat sibuk sehingga tidak sempat mengisi skala. Setelah diperiksa, seluruh skala yang dikembalikan telah memenuhi persyaratan baik dari segi kelengkapan identitas maupun jawaban.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode try out

(68)

kecepatan tangan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Jika penelitian dilakukan pada divisi produksi, pihak HRD khawatir pelaksanaan penelitian akan mengganggu kinerja para karyawannya. Oleh karena itu, subjek penelitian dipilih dari divisi-divisi lain yang tugas-tugasnya tidak terlalu padat. Keterbatasan jumlah subjek yang tersedia menyebabkan uji coba skala tidak dapat dilakukan, sehingga skala yang telah disusun langsung digunakan untuk penelitian yang sebenarnya. Namun peneliti hanya akan menggunakan aitem yang sahih dalam pengolahan data.

C. Deskripsi Subjek

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 57 orang dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 5

Deskripsi Subjek Penelitian

Agama Jenis Kelamin Usia Pendidikan Terakhir

Katholik

Kristen

Protestan

Pria Wanita < 30 30-40 > 40 SMA Diploma S1

(69)

D. Deskripsi Data Penelitian

Tabel 6

Deskripsi Data Penelitian

N Mean Teoritik Mean Empirik

Frekuensi Berdoa 57 110 139.5

Adversity Quotient 57 126 143.4

Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel frekuensi berdoa memiliki mean teoritik sebesar 110 dan mean empirik sebesar 139.5. Dari hasil penghitungan data diketahui bahwa kedua mean tersebut memiliki signifikansi dibawah 0.05, yaitu 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kedua mean tersebut. Angka t hitung yang positif menunjukkan bahwa mean empirik pada variabel ini lebih tinggi daripada mean teoritiknya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki frekuensi berdoa yang cenderung tinggi.

(70)

disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki Adversity Quotient

yang cenderung tinggi.

E. Kategorisasi

Kategorisasi dilakukan untuk mengelompokkan subjek ke dalam tingkatan kategori tertentu. Skor yang diperoleh dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Tabel 7

Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Frekuensi Berdoa Norma Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase

X > 139.5 + 17.9 X > 157.4 Tinggi 2 3.5 % 139.5 – 17.9 ≤ X

≤ 139.5 + 17.9

121.6 ≤ X ≤ 157.4

Sedang 47 82.5 %

X < 139.5 17.9 X < 121.6 Rendah 8 14 %

(71)

Tabel 8

Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Adversity Quotient Norma Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase X > 143.4 + 23.6 X > 167 Tinggi 7 12 %

143.4 – 23.6 ≤ X ≤ 143.4 + 23.6

119.8 ≤ X ≤ 167 Sedang 42 74 %

X < 143.4 23.6 X < 119.8 Rendah 8 14 %

Jumlah 57 100 %

Dari hasil penghitungan data diketahui bahwa dalam variabel frekuensi berdoa subjek yang termasuk dalam kelompok kategori tinggi sebanyak 4 %, kategori sedang sebanyak 82 %, dan kategori rendah sebanyak 14 %. Dalam variabel Adversity Quotient subjek yang termasuk dalam kelompok kategori tinggi sebanyak 12 %, kategori sedang sebanyak 74 %, dan kategori rendah sebanyak 14 %.

F. Analisis Data Penelitian 1. Uji Normalitas

(72)

2. Uji Linearitas

Dari hasil penghitungan data, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kedua variabel tidak linear. Hal ini dibuktikan dengan signifikansi linearitas kedua variabel berada diatas 0.05, yaitu 0.218.

3. Uji Hipotesis

Dari hasil penghitungan data, diketahui bahwa koefisien korelasi variabel frekuensi berdoa dan Adversity Quotient adalah 0.122 dengan signifikansi 0.366. Arikunto (2006) mengatakan bahwa koefisien korelasi yang berada pada rentang 0.000 – 0.200 menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang sangat rendah, angka koefisien korelasi yang positif menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang searah. Taraf signifikansi yang berada diatas 0.05 menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang tidak signifikan.

G. Pembahasan

(73)

Dilihat dari kajian teori, Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keyakinan dan sisi keimanan seseorang, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor genetika dan pendidikan. Stoltz (2000) menjelaskan bahwa meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti ada pengaruhnya. Hal ini didasari oleh banyaknya hasil penelitian yang membuktikan bahwa genetika sangat mendasari perilaku seseorang. Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa suasana hati dan tingkat kecemasan juga memiliki kaitan genetis. Faktor lain yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient

seseorang adalah pendidikan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa pendidikan seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kenerja yang dihasilkan. Dalam penelitian ini, tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh para subjek besar kemungkinannya dipengaruhi secara lebih kuat oleh dua faktor lain selain keimanan, yaitu faktor genetika dan pendidikan.

Selain itu, teori lain menurut Bartakova (2008) mengatakan bahwa ternyata berdoa juga dapat membawa dampak negatif dalam kehidupan individu yang berdoa. Berdoa dapat menjadi menjadi sumber bantuan yang keliru ketika doa semata-mata dilakukan untuk tujuan pemenuhan gagasan pribadi. Misalnya ketika individu yang berdoa mengatakan, “Tuhan berikanlah

apa yang saya inginkan”, bukannya “Tuhan, apa yang kau berikan adalah yang

terbaik untukku.”, atau “Tuhan, aku percaya Engkau akan memberikan apa

(74)

Dampak negatif lain dari berdoa adalah ketika berdoa menjadi suatu bentuk pelarian pada saat individu menghadapi kegagalan atau kekhawatiran. Individu yang seharusnya meminta kekuatan kepada Tuhan untuk menghadapi kesulitan, tetapi justru meminta Tuhan untuk mengubah suatu situasi sulit. Dalam doa, seseorang juga mungkin mencoba melarikan diri dari tanggungjawabnya. Misalnya ketika seseorang dihadapkan pada tantangan, ujian yang sulit, atau situasi yang tidak nyaman, doa akan berbunyi, “ Tuhan,

hilangkan masalah ini, biarkan masalah ini lalu dariku”, bukannya “Tuhan, biarlah kehendakmu yang jadi.” Dalam doa yang pertama, dapat terlihat

ketidakmampuan dalam dalam menghadapi masalah dan keengganan untuk menerima apa yang sedang terjadi (Bartakova, 2008).

(75)

menjawab pertanyaan mengapa frekuensi berdoa yang dimiliki subjek tidak berhubungan dengan kemampuan subjek dalam mengatasi kesulitan hidup.

Dilihat dari kondisi subjek saat mengisi skala, staff personalia CV. Andi Offset pernah mengatakan kepada peneliti bahwa berdasarkan pengalaman sebelumnya para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut seringkali enggan bila dimintai kesediaannya untuk mengisi skala penelitian. Hal tersebut juga yang menyebabkan dari 80 skala yang dibagikan, hanya 57 skala yang dikembalikan. Keengganan subjek dalam mengisi skala dapat mengakibatkan subjek menjadi asal-asalan dalam memberikan jawaban, ditambah lagi jumlah aitem yang terlalu banyak dapat menimbulkan kebosanan dalam menjawab seluruh aitem. Hal tersebut mengakibatkan jawaban yang diberikan subjek tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya pada diri mereka. Terlebih lagi subjek membutuhkan kesungguhan ketika mengisi skala Adversity Quotient. Dalam mengisi skala ini subjek dituntut untuk mampu membayangkan suatu peristiwa seolah-olah terjadi dalam kehidupan mereka beserta akibat yang mengikutinya. Kurangnya kesungguhan dalam menjawab dapat mengakibatkan subjek sulit untuk berkonsentrasi dalam menjawab setiap aitemnya.

(76)

seseorang di tengah-tengah kelompok yang memiliki keyakinan yang sama akan memperkuat kepercayaannya bahwa berdoa adalah perilaku yang baik untuk dilakukan dan memiliki kekuatan besar. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Levenson, Aldwin, dan D’Mello (2005) yang mengatakan

bahwa pengaruh teman sebaya memiliki peranan penting dalam proses penerimaan dan pemeliharaan keyakinan dan perilaku beragama seseorang.

(77)

60

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif yang tidak signifikan antara variabel frekuensi berdoa dengan

Adversity Quotient. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya frekuensi berdoa subjek tidak akan berpengaruh secara signifikan pada

Adversity Quotient yang dimilikinya. Selain itu, diperoleh kesimpulan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki frekuensi berdoa yang cenderung tinggi dan Adversity Quotient yang cenderung tinggi.

B. SARAN

1. Bagi Perusahaan dan Subjek Penelitian

(78)

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

(79)

62

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaludin (2002). Revitalisasi Sumber Daya Manusia dalam Era Perubahan. Dalam A. Usmara (Ed.). Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia (hh. 135-150). Yogyakarta: Amara Books.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (1997a). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (1997b). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bade, M. K., & Cook, S. W. (2008). Function of Christian Prayer in the Coping Process. Journal for the Scientific Study of Religion, 47(1), 123-133. Bartakova, V. (2008). Psychology of Prayer. E-Psychology [online], 2 (2), 39-44. Belding, J. N., Howard, M. G., McGuire, A. M., Schwartz, A. C., & Wilson, J. H.

(2010). Social Buffering by God: Prayer and Measure of Stress. Journal of Religion and Health, 49, 179-187.

Breslin, M. J., & Lewis, C. A. (2008). Theoretical Models of The Nature of Prayer and Health: A Review. Mental Health, Religion & Culture, 11(1), 9-21. Breslin, M. J., Shevlin, M., & Lewis, C. A. (2010). A Psychometric Evaluation of

Poloma and Pendleton’s (1991) and Ladd and Spilka’s (2002, 2006)

Measure of Prayer. Journal for the Scientific Study of Religion, 49(4), 710-723.

Cole, A. H. Jr. (2010). Prayer. Dalam D. A. Leeming, K. Madden, & S. Marlan (Eds.). Encyclopedia of Psychology and Religion (hh. 700-702). USA: Springer.

Geser, H. (2009). Work Values and Christian Religiousity: An Ambiguous Multidimensional Relationship. Journal of Religion and Society. 11, 1-36. Hayward, R. D., & Krause, N. Patterns of Change in Prayer Activity,

Expectancies, and Contents During Older Adulthood. Journal for the Scientific Study of Religion, 52(1), 17-34.

Hood, R. W. Jr., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The Psychology of Religion. New York: The Guilford Press.

Gambar

Tabel 1.  Blueprint Skala Frekuensi Berdoa  ..................................................
Gambar 1
Tabel 1  Skala Frekuensi Berdoa
BlueprintTabel 2  Skala Adversity Quotient
+6

Referensi

Dokumen terkait

Finally, the experimental and control groups were given post-test again on listening of oral narrative text in order to know the significant difference in listening

Pendidikan Bahasa Jerman melalui Pentas Seni dan Lomba Majalah Dinding Berbahasa Jerman bagi Siswa SMA/MAN/SMK di DIY dan Jawa Tengah. Insidental

[r]

Virtual Class khususnya pada matakuliah Rekayasa Pondasi Dangkal jurusan Teknik Sipil Universitas Gunadarma ini di tujukan kepada mahasiswa dan dosen yang bersangkutan untuk

menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SEJARAH

[r]

Bahwa dalam rangka kelancaran proses Belajar Mengajar untuk Program Studi D-ll PGSD Penjas Swadana kelas B, E dan F FIK-UNY Kampus Yogyakarta perlu ditetapkan nama Dosen pengajar

[r]