HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DENGAN KEPUASAN
BERWIRAUSAHA PADA WIRAUSAHA WANITA
DI KOTA MEDAN
Siti Zahreni*, Shoffa Malini**
*Staf Pengajar Fakultas Psikologi USU **Alumnus Fakultas Psikologi USU
sitizahreni@usu.ac.id
Abstract: This research was aimed to examine the correlation of adversity quotient with women entrepreneurial satisfaction. The research method is quantitative correlation by using purposive sampling technique that involves 155 women entrepreneur do culinary business in Medan city. The statistical analysis result showed there was a positive significant correlation between adversity quotient and women entrepreneurial satisfaction. The implication of this research could help women entrepreneurs more aware and find a way to raise the adversity quotient to reach satisfaction in entrepreneurship.
Abstrak:
:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan adversity quotientterhadap kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita di kota Medan. Metode penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dengan menggunakan teknik
purposive sampling yang melibatkan 155 orang wirausaha wanita yang menggeluti bisnis kuliner di kota Medan. Hasil analisis statistik menunjukkan
adanya hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient dengan
kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Implikasi dari penelitian ini dapat membantu wirausaha wanita agar lebih sadar dan mengetahui cara untuk
meningkatkan adversity quotient untuk mencapai kepuasan dalam berwirausaha.
Keywords: Entrepreneurial Satisfaction, Adversity Quotient, and Women Entrepreneur.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi di
Indonesia pada saat ini sebagian besar
dikelola oleh wirausaha wanita.
Keberadaan wirausaha wanita dalam Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) adalah realitas kehidupan
ekonomi sebagian besar masyarakat
Indonesia. D ata kepemilikan UMKM dari BPS tahun 2005 menunjukkan secara rinci bahwa sebanyak 44,29% usaha mikro dikelola oleh wanita, demikian pula di sektor usaha kecil sebanyak 10,28% juga dikelola oleh wanita (dalam Jati, 2009). Angka ini terus bertambah sejalan dengan Laporan Menteri Negara Pemberdayaan
Wanita tahun 2007 ( dalam Jati, 2009)
y a n g memperlihatkan bahwa 60% dari 41 juta pengusaha mikro dan kecil di Indonesia dimiliki oleh wirausaha wanita. Bisnis yang mereka geluti juga cukup bervariasi. Dua sektor utama yang menarik minat para wirausaha wanita ini adalah
bisnis fashion dan bisnis kuliner
(Fazriyati,2011). Fenomena ini
menunjukkan bahwa wanita berpotensi untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu perekonomian keluarga, serta ekonomi nasional secara lebih luas
(Ryanti, 2007).
Pada dasarnya dalam diri seorang wanita terdapat beberapa sifat yang justru yang dapat membantunya berkembang dan sukses sebagai wirausaha. Hal tersebut diantaranya, seorang wanita dinilai sebagai
individu multi-task oriented, natural
marketers, mudah untuk berinteraksi
dengan orang lain, sabar, mampu
menciptakan dan menggunakan jaringan
yang ada, serta konsisten dalam
menjalankan tugas keseharian. Hal ini
tentunya semakin membuka peluang
Dalam dunia wirausaha, seorang wirausaha yang berhasil harus siap untuk mencari peluang, bersaing dan bahkan mampu memenangkan
persaingan tersebut (Sunarso, 2010).
Longenecker, Carlos, dan William (2001) menyatakan bahwa seorang wirausaha
yang mampu mengubah hambatan
menjadi peluang bisnis tentunya akan
memberikan tingkat imbalan yang
potensial. Setiap imbalan inilah yang nantinya menghasilkan kepuasan bagi wirausaha tersebut. Imbalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori dasar
yaitu income, leisure time dan
psychological well being. Dalam penelitiannya, Carree dan Verheul (2011) menggunakan tiga kategori dasar ini sebagai aspek untuk mengukur kepuasan berwirausaha seseorang.
Keberhasilan yang dicapai
wirausaha dapat mempengaruhi tingkat kepuasan berwirausahanya (Carree & Verheul,2011; Leon,2009). Kepuasan ini secara tidak langsung akan memotivasi dirinya untuk bekerja lebih giat agar
usahanya dapat berkembang dengan
semakin baik dan kuat dalam menghadapi
persaingan (Suryana,2006). Kepuasan
yang di rasakan tentu saja didapatkan dari perjuangan dalam menghadapi tantangan selama berwirausaha seperti permasalahan bisnis, kerja keras, waktu yang panjang, pendapatan yang tidak pasti serta resiko yang sangat besar. Oleh
karenanya dibutuhkan pengorbanan
(Longenecker, Carlos, & William, 2001), serta kecerdasan untuk menghadapi setiap tantangan tersebut (Stolz, 2003). Kecerdasan ini dikenal dengan istilah
adversity quotient (Stolz, 2000).
Adversity Quotient merupakan konsep
yang dapat melihat seberapa jauh
seseorang mampu menghadapi suatu
kesulitan serta bertahan dalam
menghadapi kesulitan tersebut. Adversity
Quotient pada wirausaha merupakan gambaran sejauh mana kinerja seorang wirausaha dalam menghadapi tantangan dan menyelesaikan permasalahan dalam mengembangkan usaha. Tantangan tersebut dapat berupa finansial, emosional, fisik, pergaulan dan yang berkaitan dengan
pengembangan karier dari wirausaha
(Stolz,2003). Tanpa adanya Adversity
Quotient yang tinggi maka dikhawatirkan seseorang akan mengalami frustasi dan
kegamangan dalam menjalani proses
menjadi seorang wirausaha nantinya
(Stoltz, 2000). Sedangkan seorang
wirausaha yang memiliki Adversity
Quotient yang tinggi tidak akan menyerah dan tetap bertahan dimasa sulit dan menjadikan kesulitan sebagai penguat untuk menghadapi rintangan selanjutnya
(Markman, 2004). Konsep Adversity
Quotient ini terkait erat dengan
keberhasilan wirausaha, karenadalam
menjalankan usahanya wirausaha
memerlukan keberanian untuk menghadapi kegagalan, dan kemauan untuk mencoba
terus-menerus sampai berhasil.Secara
keseluruhan konsep adversity quotient
merupakan suatu kerangka konseptual
dalam memahami dan meningkatkan
keberhasilan (Stolz,2003; Stanley,2003 ; Henky & Ida,2012).
Keberhasilan yang dicapai seorang wirausaha dapat mempengaruhi tingkat kepuasan berwirausaha yang ia miliki (Carree & Verheul,2011; Leon,2009). Wirausaha wanita yang berhasil juga memperlihatkan kepuasan terhadap bisnis yang mereka jalankan daripada rekan- rekan pria mereka, meskipun omset rata-rata per bulan yang mereka dapatkan lebih rendah daripada laki-laki. (Carree & Verheul, 2011).
Berdasarkan pemaparan latar
belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara Adversity Quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Hipotesis yang menjadi dugaan sementara untuk penelitian ini adalah ada hubungan positif antara Adversity Quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita.
Kepuasan Berwirausaha
Kepuasan kerja adalah sikap umum
yang dimiliki seseorang terhadap
pekerjaannya, yang mununjukan
perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima dan jumlah yang diyakini
seharusnya diterima (Robbins,2003).
Kepuasan kerja menurut Kreiter dan Kinicki (2005) adalah respon emosional
terhadap pekerjaan seseorang. Jika
dikaitkan dengan pekerjaan sebagai
wirausaha, maka kepuasan berwirausaha merupakan sikap dan respon emosional seseorang terhadap kegiatan wirausaha yang ia jalankan. Kepuasan wirausaha juga merupakan tingkat dimana wirausaha
menyukai kegiatan wirausahanya
(Suyatini, 2004).
Kepuasan berwirausaha dirasakan ketika wirausaha telah mendapatkan nilai tambah dari kegiatan usaha yang ia jalankan (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001). Nilai tambah tersebut adalah,
income, psychological well being dan
leisure time. Nilai tambah ini kemudian menjadi aspek untuk mengukur tingkat kepuasan berwirausaha seseorang (Martin dan Ingrid, 2011).
Income bagi pengusaha merujuk kepada imbalan berupa laba. Sehingga
Kepuasan terhadap income sangat relevan
bagi pengusaha yang memulai usaha untuk mendapatkan hidup atau untuk kesuksesan finansial (Andersson 2008; Feldman & Bolino, 2000; Carree & Verheul, 2011;
Hasni, 2011). Psychological Well Being
memiliki peranan penting dalam kepuasan berwirausaha khususnya selama fase awal yang bisa menimbulkan stres serta tekanan (Andersson, 2008 ; Feldman & Bolino,
2000; Carree & Verheul, 2011).
Psychologial Well Being adalah dukungan dari dalam dan dari luar diri wirausaha. Dukungan dari dalam dapat diperoleh dari kecerdasan emosional pada diri tiap pengusaha, dan dukungan dari luar dapat diperoleh dari dukungan sosial dari orang
di sekitar pengusaha. Psychologial Well
Being juga merefleksikan pemenuhan kerja secara pribadi (Longenecker, Carlos
& Wiliam, 2001). Income dan Leisure
Time adalah dua sumber utama utilitas
tradisional di bidang ekonomi (Bonke et
al. Dalam Carree &
Verheul,2011). Beberapa orang memulai usaha dengan memiliki jam kerja yang
lebih fleksibel sehingga dapat
menggabungkan jam kerja di rumah tangga dan tanggung jawab pekerjaan. Seseorang dapat mengatur waktunya sendiri untuk mulai mengelola usaha. Bahkan jika usahanya berada di rumah,
wirausaha tidak perlu meninggalkan rumah untuk menjalankan kegiatan usahanya. Wirausahawan seperti orang yang bebas tanpa adanya ikatan waktu tertentu yang harus ia pertanggungjawabkan.Wirausaha menggunakan kebebasan tersebut untuk menyusun kehidupan dan perilaku kerja pribadinya secara fleksibel (Longenecker et al, 2001).
Adversity Quotient
Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual
untuk memahami dan meningkatkan
semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan
yang memiliki dasar ilmiah untuk
memperbaiki respons terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).
Dimensi Control merupakan
Sejauh mana seseorang mampu secara positf memepengaruhi situasi dan Sejauh mana seseorang dapat mengendalikan tanggapan diri sendiri terhadap suatu
situasi. Ownership merupakan sejauh mana
seseorang mau mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya (Stolz,
2003). Reach merupakan dimensi untuk
mengetahui sejauh mana orang
membiarkan suatu kesulitan
menjalar/masuk ke dalam sisi-sisi
kehidupan yang lain (Stolz, 2003).
Dimensi endurance mempertanyakan dua
hal yang berkaitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung.
Wirausaha wanita
administrasi maupun sosial dan secara efektif memimpin dalam manajemennya (Meng & Liang, 1996; Ryanti, 2007). Definisi yang lebih umum, wirausaha wanita adalah wanita pemilik bisnis yang menjalankan bisnisnya sendiri atau bersama rekan bisnisnya, baik yang membayar pegawai ataupun yang tidak membayar pegawai ( Ryanti, 2007)
Nasution Noer dan Suef (2001) menjelaskan bahwa wirausaha wanita memiliki karekteristik feminitas antara lain: emosional, sensitif, peka, kooperatif, penuh kasih, cermat, hangat, simpati dan intuitif. Pada wanita yang makin tinggi pendiidkannya maka makin luas pula
wawasan mereka dan berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa
wirausahanya. Dari segi usianya makin berumur maka para wirausaha wanita ini makin toleran dan semakin matang sifat-sifat wirausahanya.
Dengan adanya kemampuan
yang wanita miliki, wanita terus
berjuang untuk melawan arus perbedaan gender. Wirausaha wanita ini berusaha untuk menjadi wirausaha yang baik, yang tidak kalah dengan wirausaha pria, baik dalam keputusan yang mereka buat serta dalam perilaku mengambil resiko.
METODE
Pada penelitian mengenai
hubungan Adversity Quotient dengan
kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita ini digunakan metode penelitian korelasional. Adapun variabel-variabel yang diteliti adalah kepuasan berwirausaha
sebagai variabel tergantung dan Adversity
Quotient sebagai variabel bebas.
Partisipan
Partisipan pada penelitian ini adalah sebanyak 155 orang wirausaha wanita yang sedang menggeluti bisnis kuliner dengan populasi wirausaha wanita di kota Medan. Karakteristik atau ciri sampel dalam penelitian ini adalah Wirausaha wanita yang menggeluti bisnis kuliner, berwirausaha minimal 1 tahun, dan wirausaha dalam kategori mikro dan kecil.
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah non probability yaitu
dengan teknik purposive sampling karena
pemilihan sekolompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri- ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000).
Prosedur dan Alat Ukur Penelitian
Untuk keperluan penelitian ini, alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang berisi skala-skala untuk mengukur variabel-variabel penelitian. kuesioner ini disebarkan pada para subjek penelitian untuk diiisi. Kuesioner dikumpulkan setelah para partisipan menyelesaikan pengisian. Skala kepuasan berwirausaha terdiri dari 30 aitem, yang disusun mengacu pada aspek kepuasan berwirausaha yang dikemukakan oleh Longenecker (2001)
yaitu income yang diterima, psychological
well being yang dirasakan dan leisure time
yang dimiliki. Skala kepuasan
berwirausaha diukur dengan Skala model likert dengan 5 (lima) buah alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala
disajikan dalam bentuk pernyataan
mendukung (favorable) dan tidak
mendukung (unfavorable).
Skala adversity quotient ini terdiri
dari 25 aitem yang disusun berdasarkan dimensi AQ dari Stolz (2003) yaitu
control, ownership, reach dan endurance.
Skala terdiri dari 7 peristiwa. Model skala yang digunakan adalah penskalaan model
semantic differential. Responden tidak diminta untuk memberikan respon setuju atau tidak setuju, akan tetapi diminta untuk langsung memberikan bobot penilaian mereka terhadap suatu stimulus pada setiap kontinum dalam skala. Kontinum dalam skala ini dibagi atas 5 bagian yang diberi angka 1 sampai dengan 5, mulai dari kutub favorabel sampai dengan kutub tak favorabel.
HASIL
Peneliti berhipotesis bahwa
terdapat hubungan positif antara adversity
quotient dengan kepuasan berwirausaha
pada wirausaha wanita. Sebelum
melakukan pengujian hipotesis data
penelitian, penelitian terlebih dahulu
sebaran ini dilakukan dengan
menggunakan kolmogorov smirnov dan
shapiro wilk dengan metode statistik
liliefors yang dilakukan pada variabel kepuasan berwirausaha dan variabel
adversity quotient. Analisis data
kolmogorov smirnov menunjukkan bahwa
variabel kepuasan berwirausaha
menunjukkan sebaran normal dengan nilai signifikansi (P)=0,200 sedangkan variabel
adversity quotient juga menunjukkan sebaran normal dengan nilai P=0,200
Analisis data shapiro-wilk juga
menunjukkan bahwa variabel kepuasan
berwirausaha menunjukkan sebaran
normal dengan nilai P=0,234, sedangkan
variabel adversity quotient juga
menunjukkan sebaran normal dengan nilai P=0,091.
Kemudian peneliti melakukan uji linearitas. Hasil uji linieritas untuk mengetahui linier atau tidaknya hubungan antar kedua varibel. Uji linearitas ini dilakukan dengan menggunakan analisis
statistik test for linearity. Analisis data
ini menghasilkan taraf signifikansi P= 0,000. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa taraf signifikansi < 0,05 maka hubungannya antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan linier.
Dari hasil analisa data penelitian dan perhitungan korelasi dengan
menggunakan pearson product moment
diperoleh korelasi = 0,347 dan P = 0,000 pada level 0,01 dengan hipotesa 1 arah. Hal ini berarti menunjukkan ada hubungan
positif yang signifikan antara adversity
quotient terhadap kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Dimana Semakin
tinggi tingkat adversity quotient
wirausaha wanita maka semakin rendah juga kepuasan dalam berwirausaha.
Koefisien determinan (r²) yang
diperoleh dari hubungan adversity quotient
terhadap kepuasan berwirausaha adalah 0,12 (r² = 0,12). hal ini menunjukkan
bahwa peranan adversity quotient terhadap
kepuasan berwirausaha adalah sebesar 12% sedangkan sisanya di pengaruhi oleh variabel lain.
PEMBAHASAN
Hasil ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif antara adversity
quotient dengan kepuasan berwirausaha
yang sangat signifikan. Dimana Semakin
tinggi tingkat adversity quotient wirausaha
wanita maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dalam berwirausaha dan semakin
rendah tingkat adversity quotient
wirausaha wanita maka semakin rendah juga kepuasan dalam berwirausaha.
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan
terdapatnya hubungan positif antara
adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita yaitu:
Alasan pertama menjelaskan
bahwa konsep dversity quotient terkait
dengan mengubah tantangan dan hambatan menjadi suatu peluang (Stolz, 2000). Oleh karena itu, seorang wirausaha yang mampu mengubah hambatan menjadi peluang bisnis, tentunya akan memberikan tingkat imbalan yang potensial. Setiap
imbalan inilah yang nantinya
menghasilkan kepuasan bagi wirausaha
tersebut dalam menjalankan usaha.
Imbalan ini dapat dikelompokkan dalam
tiga kategori dasar yaitu income, leisure
time dan psychological well being
(Longenecker, Carlos, & William, 2001). Alasan kedua bahwa dari hasil penelitian Suyatini (2004) menjelaskan bahwa seorang wirausaha yang memiliki keberanian mengambil resiko memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
kepuasan berwirausaha. Sedangkan
menurut Stolz (2000) seorang wirausaha yang berani mengambil resiko merupakan seorang yang berani mengubah
kegagalan menjadi suatu peluang
keberhasilan. Oleh karena itu, setiap resiko yang di ambil wirausaha dibutuhkan
adanya Adversity Quotient sehingga
memberikan kepuasan dalam
berwirausaha.
Alasan ketiga bahwa seorang wirausaha yang memiliki kebutuhan akan keberhasilan berpengaruh secara positif terhadap kepuasan berwirausaha (Suyatini, 2004; Schjoedt, 2009; Carree & Verheul, 2011). Dalam mencapai keberhasilan tentu saja membutuhkan suatu perjuangan dalam menghadapi tantangan. Oleh karena itu
dibutuhkannya adversity quotient sebagai
modal sukses dalam berwirausaha (Henky
& Ida, 2012). Adversity quotient
keberhasilan (Stolz,2003). Sehingga Keberhasilan dalam mengelola usaha akan memberikan kepuasan tersendiri kepada seorang wirausaha yang diperoleh dari
adanya adversity quotient dalam
berwirausaha.
Selanjutnya peneliti menyadari berbagai kekurangan dari penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian yang
tidak memperhatikan latar belakang
budaya (asal suku), tingkat pendidikan, jenis usaha serta lamanya berwirausaha. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
membedakan tingkat kepuasan
berwirausaha dan adversity quotient
berdasarkan latar belakang budaya (asal suku), tingkat pendidikan, jenis usaha serta lamanya berwirausaha .
Terakhir, mengingat bahwa hasil penelitian hanya memperlihatkan
hubungan Adversity Quotient dan
kepuasan berwirausaha sebesar 12% maka bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk
memperhatikan variabel lain yang
kemungkinan ikut mempengaruhi
munculnya kepuasan berwirausaha
khususnya pada wirausaha wanita.
DAFTAR RUJUKAN
Andersson, P. 2008. Happiness and health: Well-being among the
self- employed. The Journal of
Socio-Economics, 37, 213–236. Beyer, S., & Bowden, E. M. 1997. Gender
differences in self-perceptions:
Convergent evidence from three measures of accuracy and bias.
Personality and Social Psychology Bulletin, 2, 157–172.
Blanchflower D.G. & Oswald A.J., 2007.
What makes a young
entrepreneur?. Discussion Paper,
3139, 1-15.
Happiness Studies, 10, 113–131. Carree, M. A., & Verheul, I. 2011.
What makes entrepreneurs
happy?
Determinants of satisfaction among
founders. J Hapiness Stud, 13;
entrepreneurs. Journal of Business
Venturing, 10, 439–457.
Fazriyati, W. 2011. Trend dan tantangan
bisnis kuliner [Online]. http://female.kompas.com/read/2011/ 12/26/14534516/Tren.dan.Tantangan .Bisnis.Kuliner. Diakses pada tanggal 22 maret 2013.
Feldman, D. C., & Bolino, M. C. 2000. Career patterns of the self-employed:
career motivations and career
outcomes. Journal of Small Business
Management, 38(3), 53–67.
Gazioglu, S., & Tansel, A. 2006. Job satisfaction in Britain: Individual and
job related factors. Applied
Economics, 38, 1163–1171.
Haile, A. G. 2009. Workplace job satisfaction in Britain: Evidence from
linked employer-employee data.
Discussion Paper no.4101, 1-25. Hasni, N. J. 2011. Entrepreneurial
success attributes and
entrepreneurs. International
conference on business and economic research (2nd icber 2011) proceeding; 1204-1209.
Henky, & Ida 2012. Modal wirausaha
sukses. Jurnal Penelitian Fakultas
Ekonomi, 1–18
Hurlock, E. 2004. Psikologi
perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan.
Jakarta: Erlangga
Jati, W. 2009. Analisis motivasi wirausaha perempuan (wirausahatawati) di kota
Malang, Jurnal Humanity, 4(2),
14-153.
Kihlstrom, R. E., & Laffont, J. J. 1979. A general equilibrium entrepreneurial theory of firm formation based on
risk aversion. Journal of Political
Economy, 87, 719–748.
Lambing, P & Kuehl, C.R 2000.
Entrepreneurship (ed). USA: Pretince Hall. Lundeberg, M. A., Fox, P. W., & Puncochar, J.
wrong: Gender differences and
similarities in confidence
judgments. Journal of Educational
Psychology, 86, 114–121.
Longnecker, J., Carlos, W., &. William,
J. 2001. Kewirausahaan
manajemen usaha kecil. Terjemahan
Thomson Learning. Jakarta:
Salemba Empat.
Luthans, F. 2006. Perilaku organisasi.
Edisi Sepuluh. ANDI , Yogyakarta. Meng, L.A. & Liang, T.W. 1996.
Entrepreneurs, entrepreneurship and entreprising culture. Paris:
Addison wisley publishing
company.
Nasution, A.H., Noer, B.A., & Suef, M.
2001. Membangun spirit
entrepreneur muda indonesia.
Jakarta: PT. Alex Komputindo.
Riyanti, Benedicta P.D.2003.
kewirausahaan dari sudut pandang psikologi kepribadian. Jakarta: Penerbit PT Grasindo. .2007. Fear of ssucces dan risk taking pada wirausaha wanita Bali.
Jurnal penelitian psikologi, 2(2), 109 - 26.
Robbin, S.P. 2003. Perilaku organisasi
jilid I. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia,.
Scarborough, M. & Zimmerer, W. 1992.
Effective Small Business Management, Third Ed. New York: An amprint of macmillan publishing co.
Schjoedt,. 2009. Entrepreneural job
characteristic: an examination of
their effect on entrepreneural
satisfaction. Journal of
Entrepreneurship Theory and Practice, 619-642.
Sunarso. 2010. Sikap mental
wirausahawan dalam menghadapi
perkembangan zaman. Jurnal
Ekonomi dan Kewirausahaan, 10(2), 182 – 189.
Spreng, R., MacKenzie. & Olshavsky. 1996, A Re-examination of the
determinants of consumer
satisfaction. Journal of marketing,
60(3), 15-32.
Suryana. 2006. Kewirausahaan pedoman
praktis: Kiat dan proses menuju sukses. Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Suryana, Y. & Bayu, K. 2010.
Kewirausahaan ; Pendekatan karakteristik wirausahawan sukses.
Edisi pertama, Cetakan ke-I.
Jakarta: Kencana.
Suryabrata, S. 2000. Metode penelitian.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Stolz, G. (2000). Adversity
quotient; Mengubah hambatan menjadi peluang. Jakarta: PT Grasindo.
. 2003. Adversity quotient@work
; Mengatasi kesulitan di tempat kerja. Batam: Interaksara.
Suyatini, S. 2004. Analisis pengaruh karekteristik wirausahawan terhadap
kepuasan berwirausaha dan
kepuasan hidup wirausahawan.
[Thesis]. Universitas Diponogoro. Semarang.
Tambunan,. 2012. Wanita pengusaha di umkm di Indonesia: Motivasi
dan kendala . Policy Discussion
Paper Series, 1-19 .
VandenHeuvel, A., & Wooden, M. 1997. Self-employed contractors
and job satisfaction. Journal of
Small Business Management, 35(3),
11–20.
Wall, T.D., Michie, J., Patterson, M., Wood, S.J., Sheehan, M., Clegg, C.W. & West, M. 2004. On the validity of subjective measures of
company performance. Journal of