• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Fikih dan Kondisi Sosial Masyarakat Abdullah Ahmad al-Na’im, dalam tulisannya tentang

MODEL STUDI HUKUM ISLAM

2. Hubungan antara Fikih dan Kondisi Sosial Masyarakat Abdullah Ahmad al-Na’im, dalam tulisannya tentang

dekonstruksi syari’ahmengatakan bahwa selama ini jawaban yang diberikan oleh umat Islam dalam menjawab tantangan dianggap belum memadai bahkan mengecewakan.

Pihak fundamentalis selalu menegaskan bahwa Islam telah sempurna dan selalu memberi jawaban untuk setiap masalah umat manusia, sementara kalangan sekuler seolah-olah ingin melarikan diri dari kenyataan, dan agama hanya dibatasi pada masalah ritual belaka, sehingga menurut kalangan sekuler, masalah sosial harus dicarikan solusinya dari luar agama.

al-Na’im mengatakan bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi dan politik masyarakat tertentu, sehingga sistem hukum yang bersandar pada agama juga demikian, ada variasi dan kekhasan lokal. Tetapi pelu dikemukan bahwa meskipun ada yang bersifat lokal, ada beberapa aspek Islam yang tetap bersifat universal.

Yang perlu dikemukakan sebelum menguraikan pendapat al-Na’im adalah bahwa hukum Islam yang berlaku di setiap masyarakat muslim bukanlah ekspresi dari Islam itu sendiri, tetapi sebatas pada interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami dalam konteks historis tertentu.

Dengan demikian, hukum Islam yang telah disusun oleh para ahli dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu selama masih bersandar pada sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama.

Pernyataan ini memiliki arti bahwa umat Islam sedunia dapat menggunakan legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri dengan identitas Islam, termasuk dalam menerapkan hukum Islam selama tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain, baik di luar maupun di luar komunitasnya.

Jika pemikiran semacam ini diterima, maka tuntutan penerapan syari’ah Islam dalam suatu negara harus dilihat infrastruktur dari wilayah tersebut. Menurut al-Na’im, selama ini kebanyakan umat Islam dalam memahami hubungan antara negara dan syari’ah merujuk pada pemikiran ulama klasik tanpa mengkaji lebih jauh tentang kondisi masyarakat penulisnya.

Oleh karena itu, dalam mengamati permasalahan kontemporer, terutama yang menyangkut persoalan politik, manurut al-Na’im, seseorang harus berhati-hati ketika

menggunakan karya ulama pra modern awal dan klasik walaupun karya itu ditulis oleh ulama ahli syari’ah yang secara tajam menyadari perlunya penyesuaian kehidupan dunia dengan ajaran syari’ah.

Akan tetapi, apa yang dikemukakan dalam karya mereka itu tidak dapat diasumsikan begitu saja sesuai dengan tuntutan syari’ah.1

Sesungguhnya apa yang mereka kemukakan dalam karyanya pada masa itu adalah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang tidak kondusif untuk penerapan syari’ah secara ketat. Para ulama tersebut berkarya pada masa kemunduran dinasti Abbasiyah (Abad XI dan XII), yang kondisinya benar-benar kacau sehingga para ulama harus mencurahkan perhatiannya pada kesatuan dan keamanan umat Islam.

Dalam kondisi demikian itulah al-Mawardi misalnya, membenarkan perebutan kekuasaan dengan kekerasan atas dasar kebutuhan. Padahal, membolehkan perebutan kekuasaan seperti itu bertentangan dengan syari’ah.

Maka Gibb mengatakan bahwa dengan membenarkan pengabaian hukum atas dasar kebutuhan dan kebijakan politik, al-Mawardi mengakui bahwa dalam kasus-kasus tertentu mungkin berlaku persamaan hak. Sekali hal ini dibolehkan maka ambruklah seluruh suprastruktur sistem peradilan.

Konsekuensinya, banyak di antara para ulama harus membuat konsesi tehadap realitas umat Islam dengan mengurangi tekanan aspek-aspek syari’ah tertentu, dalam rangka melakukan rekonsiliasi dengan apa yang mereka pahami sebagai kepentingan lebih utama (al-ashlah) umat Islam pada waktu itu.

1

Abdullah Ahmed al-Na’im,Dekonstruksi Syari’ahterj. Ahmad Suaedy

Sementara itu, beberapa ulama lain dengan mudah mengabaikan realitas dan mengalihkan perhatiannya kepada situasi ideal dengan cara menteorisasikan apa yang seharusnya. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ibn Taymiyyah.

Dalam karyanya, Ibn Taymiyyah menekankan kewajiban untuk patuh pada syari’ah, dan tidak jadi soal, apakah pemimpinnya sendiri mentaati syari’ah ataukah tidak.

Nampaknya tawaran Ibn Taymiyyah mendapatkan banyak kendala di lapangan karena umat Islam merasa berat untuk mematuhi aturan syari’ah secara sempurna. Maka tawaran untuk melakukan perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam menjadi alternatif yang banyak dilakukan dalam bentuk sekularisasi hukum kehidupan publik.

Dengan perubahan itu, baik masyarakat muslim maupun non muslim sama-sama mendapatkan keuntungan dari sekularisasi kehidupan publik tersebut, sehingga penerapan syari’ah di suatu negara, menurut al-Na’im, akan membuat umat Islam kehilangan banyak manfaat yang paling bermakna dari sekularisasi.

Masyarakat non muslim misalnya, akan mendapat status sebagai warga negara nomor dua, jika dilakukan penerapan syari’ah Islam, berbeda jika mereka berada di bawah naungan negara sekuler, karena syari’ah Islam tidak memberikan persamaan konstitusional dan hukum kepada warga non muslim.

Perempuan muslimah pun demikian, mereka akan kehilangan banyak hak dalam beraktivitas ketika berada di bawah naungan hukum syari’ah, berbeda ketika mereka berada di bawah naungan negara sekuler, mereka akan dapat menikmati peningkatan yang berarti dalam status dan hak mereka dengan bertambahnya akses ke dalam kehidupan

publik dan kesempatan memperoleh pendidikan dan lapangan pekerjaan yang lebih terhormat.

Bahkan kalangan laki-laki juga akan merasa tertekan dengan bayang-bayang pemurtadan ketika mereka berada di bawah naungan hukum syari’ah. Untuk itu, masing-masing dari umat Islam di suatu wilayah berhak menentukan nasibnya sendiri secara syari’ah. Tawaran yang dapat diambil untuk mendamaikan permasalahan di atas adalah dengan cara membangun suatu versi hukum publik Islam yang sesuai dengan konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia modern.

Dalam pandangan mayoritas umat Islam, syari’ah sudah lengkap dan final sehingga dengan menganggap ada bagian syari’ah yang kurang memadai akan dituduh bid’ah oleh mayoritas umat Islam. Pandangan semacam ini merupakan penghambat psikologis dalam upaya merekonstruksi syari’ah, apalagi jika dihadapkan pada ancaman tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad (apostasy).

Untuk menembus hambatan ini adalah dengan menunjukkan bahwa sejatinya hukum publik syari’ah bukanlah hukum yang semua prinsipnya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw, karena syari’ah adalah produk proses penafsiran dan penjabaran logis dari teks al-Qur’an dan Sunnah serta berbagai tradisi lainnya.

Jika dapat dipahamkan bahwa syari’ah disusun oleh para ahli hukum Islam awal berdasarkan interpretasi sumber asasinya (al-Qur’an dan Hadits), maka umat Islam kontemporer akan lebih terbuka menerima kemungkinan reformasi syari’ah secara substansial.

Muhammad Imarah2 mengatakan bahwa umat Islam dalam memahami teks keagamaan dibagi menjadi dua; kelompok liberal dan ortodoksi. Kelompok liberal terlalu berlebihan dalam mengemukakan konsep ijtihad sementara kelompok ortodoksi terlalu berlebihan dalam membatasi ijtihad sehingga sampai pada titik jumud.Untuk itu harus diambil jalan tengah dengan merujuk pada pendapat Umar, di mana dia telah melakukan banyak ijtihad, yaitu dengan membatasi wilayah ijtihad pada urusan duniawi meskipun teksnya bersifat qat’i.

Sebagai contoh, Umar pernah tidak memotong tangan pencuri karena kondisinya sedang paceklik. Umar juga tidak membagi 4/5 harta rampasan perang kepada tentara tetapi menaruhnya di bayt al -mal karena banyak fakir miskin, janda dan orang tua yang lebih membutuhkan daripada tentara meskipun mereka tidak ikut perang. Tentang jatah mua’llaf untuk menerima zakat, Umar juga pernah tidak memberikannya karena umat Islam sudah kuat tidak butuh kepada mu’allaf dan lain sebagainya.

2

Muhammad ‘Imarah, al Nas al Islamibayn al Ijtihadwa al Jumud al

Rangkuman

Dari berbagai paparan di atas, maka pada bagian ini dapat dikerucutkan dalam beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Syari’ah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan

oleh Allah melalui al-Qur’an dan Hadits Nabi, yang manusia tidak memiliki hak untuk merubahnya. Sementara fikih adalah pemahaman manusia terhadap Syari’ah yang memiliki perbedaan pemahaman.

2. Penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi dan politik masyarakat tertentu, sehingga sistem hukum yang bersandar pada agama juga demikian, ada variasi dan kekhasan lokal.

Latihan

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini! 1. Jelaskan perbedaan antara Syari’ah dan fikih!

2. Jelaskan hubungan antara fikih dan kondisi sosial masyarakat setempat!

Paket 10