• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMBER UTAMA STUDI ISLAM (al-Qur’an dan Metode Memahaminya)

AL-QUR’AN DAN METODE MEMAHAMINYA

2. Problematika Memahami al-Qur’an

Sebagai firman Allah swt, maka al-Qur’an merupakan bahasa Tuhan yang kualitasnya lebih sempurna dari bahasa manusia. Untuk itu, tidak mudah memahami al-Qur’an secara sempurna, bahkan tidak ada seorang pun yang mampu memahami isi al-Qur’an secara utuh dan sempurna, kecuali Nabi Muhammad saw, sang penerima wahyu yang dapat berkomunikasi secara langsung dengan Malaikat Jibril, penyampai wahyu.

Maka ketika Rasulullah menyampaikan al-Qur’an kepada para Sahabatnya, beberapa di antara mereka mengalami kesulitan dalam memahaminya, dan itu menjadi hal yang wajar.

Ketika mereka mengalami kesulitan itu, Nabi Muhammad saw segera menjelaskannya kepada mereka, sehingga kesulitan itu kemudian dapat diselesaikan dengan baik. Dengan begitu tidak ditemukan perselisihan-perselisihan tajam yang terjadi di kalangan para Sahabat di masa Nabi Muhammad saw masih hidup.

Maka pertanyaan tentang bagaimana cara memahami al-Qur’an tidak muncul pada masa Nabi, karena semuanya sudah jelas. Meskipun demikian, tidak selalu para Sahabat itu bertanya kepada Nabi tentang ayat-ayat yang disampaikannya.

Mereka hanya melakukan apa yang diperintahkan tanpa banyak bertanya. Mereka salat sebagaimana mereka melihat Nabi salat, begitu juga dalam hal ibadah yang lainnya. Ibn Abbas meriwayatkan;

  B& * ?= #  B@6 =B2  =

)



(

&‹[

\$—Š

#3:C1?;6+2C:'=#(/G?/F

,

?A=

:

 #:#(:?/4@B:'

....

5

”aku tidak menemukan suatu kaum yang lebih baik dari Sahabat Rasulullah, di mana mereka tidak banyak bertanya kepadanya kecuali dalam tiga belas masalah, yang kesemuanya disebutkan dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah pertanyaan mereka tentang bulan-bulan mulia”.

5

Ibn Qayyim al-Jawziyah, a’lam al-Muwaqqi’in (Beirut: Dar al-Jayl,

Terkadang juga, Nabi Muhammad saw menjelaskan secara langsung ayat yang disampaikan tanpa harus menunggu pertanyaan dari Nabi Muhammad saw. Tetapi tidak semua ayat dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw, dan tidak selalu Sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad saw, sehingga tidak semua ayat ditemukan penjelasannya dari Nabi Muhammad saw.

Tetapi setelah Nabi Muhammad saw wafat, pada beberapa ayat yang tidak ditemukan penjelasannya dilakukan upaya penafsiran-penafsiran, yang tentu hasilnya dapat berbeda antara satu penafsir dengan penafsir lainnya karena banyak faktor yang melatarbelakangi bentuk penafsirannya.

Perbedaan-perbedaan itu kemudian tidak dapat disatukan, karena sumber utama yang dapat memahami isi al-Qur’an secara utuh, yaitu Nabi Muhammad saw, telah tiada.

Penjelasan dari gambar di atas adalah bahwa yang memiliki teks al-Qur’an itu adalah Allah swt, karena Allah pemilik wahyu itu. Sementara yang menerima adalah manusia, karena diturunkan untuk diamalkan oleh manusia. Tetapi ada pembatas antara Allah sebagai pemilik teks (wahyu) dan manusia sebagai penerima tugas untuk menjalankan perintah karena tidak ada komunikasi secara langsung.

Maka pembatas itu berupa keterbatasan manusia untuk dapat berdialog dengan Allah secara langsung ketika berupaya untuk memahami secara benar dan pasti terhadap apa yang dimaksudkan dari bunyi teks itu.

Pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup, beliau sebagai perantara atau jembatan komunikasi antara manusia dengan Allah. Sehingga, problem yang dihadapi umat Islam dalam memahami teks al-Qur’an dapat diselesaikan dengan bertanya kepada Nabi Muhammad secara langsung.

Tetapi, setelah Nabi Muhammad wafat, dan permasalahan semakin berkembang, tidak ada lagi tempat

bertanya. Sejak itulah terjadi pemisah antara wahyu dengan umat Islam, sehingga dalam memahami teks al-Qur’an itu umat Islam melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuannya, dan kondisi sosial di mana ia berada.

Dengan tidak adanya perantara itu, muncullah masalah. Ibarat jembatan yang dapat menyambungkan antara dua wilayah yang terpisah, maka Nabi Muhammad adalah sosok kunci yang menghubungkan antara Allah dengan manusia. Setelah Nabi Muhammad wafat, maka jembatan itu ambruk, sehingga hubungan komunikasi antara Allah dengan manusia menjadi terputus.

Seiring dengan perjalanan waktu, penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an terus berkembang, dan perbedaan paham di antara umat Islam dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an semakin tidak dapat dihindarkan.

Maka, apapun yang dilakukan oleh para mufassir itu adalah merupakan bagian kecil dari usaha mereka untuk memahami al-Qur’an, yang hasilnya tentu masih sangat jauh dari kesempurnaan, jika dibandingkan dengan maksud yang sesungguhnya dari firman Allah tersebut.

Menurut Quraish Shihab, 6 terdapat banyak corak penafsiran yang dikenal, di antaranya adalah corak sastra bahasa, yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an di bidang ini.

Ada pula corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.

6

Terdapat pula corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.

Muncul juga corak fikih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fikih, terbentuknya madzhab-madzhab fikih, yang setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan pada penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

Terdapat pula corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.

Belakangan lahir corak sastra budaya

kemasyarakatan, akibat peran Muhammad Abduh.

Dari uraian tersebut nampak sekali bagaimana latar belakang keilmuan yang berbeda menghasilkan corak penafsiran yang berbeda pula. Sementara itu, di sisi lain ditemukan pula metode penafsiran al-Qur’an yang beragam, di mana secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu corak ma’tsûr (riwayat) dan corak penalaran.

Corak penalaran ini dibagi menjadi empat: tahlîly, ijmâly, muqârin, mawdû’i.

Metode tahlîly adalah suatu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana tecantum dalam mushaf.

Dalam hubungan ini, mufassir memulai tafsirnya dari ayat ke ayat berikutnya atau dari surat ke surat berikutnya

dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub dalam mushaf.

Di antara karya yang sering dijadikan contoh untuk model tafsir ini adalah Tafsir al-Kassyâf karya al-Zamakhsyari dan Tafsir al Kabir, karya al-Razi. Metode Ijmâly adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang tedapat pada suatu ayat secara global.

Dengan metode ini, seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tesebut secara garis besarnya saja.

Metode Muqârin adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua kasus yang berbeda atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an.

Metode Mawdlû’i adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara tematik, di mana mufassir berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.