• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Syari’at dan Fiqih

D. Prinsip-prinsip Penerapan/ Tatbiq Syariat Islam

1. Hubungan Antara Syari’at dan Fiqih

Banyak yang beranggapan bahwa apabila berbicara tentang hukum ilahi

dalam Islam biasanya di-ekspresikan dengan kata fiqh (fikih) dan syariah. Dan

sememangnya antara syariah, fikih dan hukum atau qanun (undang-undang)

mempunyai hubungan dan kaitan yang erat.

Menurut Taufiq Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, secara orisinal fikih bermakna pemahaman dalam pengertian yang luas. Seluruh upaya untuk mengolaborasi rincian hukum ke dalam norma-norma spesifik Negara, menjastifikasikannya dengan merujuk kapada wahyu, mendebatnya, atau menulis kitab dan risalah tentang hukum-hukum merupakan contoh-contoh fikih. Jadi kata fikih menunjukkan kepada aktivitas manusia dan para sarjana, khususnya untuk menderivasi hukum dari wahyu tuhan.

Pendapat lain mengatakan bahwa syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil kitab dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan keduanya seperti ijmak ulama’ (konsensus ulama’) dan qiyas (analogi atas hukum tertentu). Manakala fikih pula ilmu yang berkaitan dengan kesimpulan-kesimpulan hukum agama yang bersifat praktis disertai dalil-dalil yang terperinci. Karena itu ada

ijtihad yang memerlukan pengkajian”. Imam Al-Jurjani berkata, ‘Fikih adalah ilmu yang dihasilkan dari kesimpulan logika dan ijtihad yang memerlukan pengkajian.”

Oleh karena itu, Allah SWT tidak bisa disebut Faqih (ahli fiqih) karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan syariat adalah tujuan sedangkan fiqih adalah cara atau metode.

Istilah fiqih digunakan untuk seekumpulan hukum syariat yang bersifat praktis yang disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci. Oleh karena itu kita sering menyebut “kitab fiqih” dan “ensiklopedi fiqih”. Dalam konteks ini, fiqih berarti kumpulan hukum-hukum baku.

Bisa disimpulkan hukum-hukum syariat memiliki dua bentuk;

a. Hukum Qath’i (pasti) yang bersumber langsung dari nas-nas Kitab dan

Sunnah. Nas-nas tersebut secara tegas menyatakan tentang kepastian hukum. Walaupun posisinya sangat penting dan merupakan asas bagi

pembentukan hukum. Jumlah nas qath’i sangatlah sedikit, disisi lain

kaitannya dengan syariat tidak diragukan lagi.

b. Hukum zhanni (kurang pasti) yang mana merupakan hasil pemikiran dan

kesimpulan ijtihad ahli fiqih dari dalil-dalil kitab dan sunnah melalui qiyas (analogi), seperti istihsan (mengambil dalil yang lebih kuat dari dua dalil),

istishlah (menetapkan maslahat sesuai dengan tujuan syariat), istishhab

diperlukan) dan lainnya. Metode ini jika dikaji merupakan metode yang paling dominant dalam kajian fiqih dan ushul fiqih.

Dengan demikian bisa difahami bahwa fiqih merupakan bagian dari ilmu syariat, yang didasarkan pada wahyu. Proses penyimpulan hukum dalam fiqih tidak bersifat mutlak karena dalam pencarian dalil-dalilnya masih dibatasi oleh pokok-pokok syariat. Oleh karena itu, syariat tidak dapat berdiri sendiri. Ia adalah bunga rampai fikih Islam kecuali untuk problem-problem baru. Tujuan utama syariat dan basis pemberlakuan perintah dan larangan dalam syariat bukan hanya agar memberikan manfaat secara materi, melainkan lebih dari itu agar kebersihan dan kesucian jiwa terjaga.

Di sebalik apa yang telah dijelaskan, bisa difahami terdapat perbedaan karakteristik antara syariat dan fiqih, dimana apabila tidah difahami dengan baik dapat menimbulkan kerancuan yang bukan tidak mungkin akan melahirkan salah kaprah terhadap fiqih, yakni fiqih diindentikkan dengan syariat. Perbedaan-perbedaan tersebut sabagai berikut;

No SYARIAT FIQIH

1. Diturunkan oleh Allah.

(kebenarannya bersifat mutlak/ absolute)

Formula atau hasil kajian Fuqaha’. (kebenarannya bersifat relatif / nisbi)

2. Syariat adalah 1, (tunggal / unity) Bersifat beragam

4. Stabil dan tidak berubah-ubah Mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu

5. Idealistis Realistis

Dengan demkian syariat maupun fiqih merupakan istilah hukum Islam yang kedudukannya sangat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku manusia, bahkan akan berdampak pada baik buruknya peradaban satu bangsa. Sebab dalam kaitannya dengan sosiologi hukum, hukum memainkan dua peranan penting.

Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering) menuju arah yang lebih baik dan sesuai tatanan yang berlaku. Kedua,

hukum dapat dijadikan sebagai alat pengatur perilaku sosial (social control).17 2. Hubungan Antara Syariat dan Taknin (Undang-Undang)

Qanun (lazimnya diterjemahkan undang-undang) adalah kata serapan. Dalam

Mu’jam al-Wasith, kata qanun merujuk pada makna yang mencakup segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan hukum. Para ulama salaf mendefinisi kata ini dengan “kaidah umum yang berisi hukum-hukum.’

Apabila kata qanun dihubungkan atau disandingkan dengan syariat, maka

maksudnya adalah hukum-hukum buatan manusia untuk mengatur kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Syariat bersendikan wahyu sedangkan

undang-undang adalah ciptaan manusia. Oleh karena itu undang-undang-undang-undang sering disebut

17

Fahmi, Nashir, Menegakkan Syariat Islam Ala PKS, Era IntErmedia, (Cet Pertama; September 2006) hal. 146

qanun al-wadh’i (undang-undang buatan manusia). Istilah qanun atau undang-undang sering juga digunakan untuk menyebut kitab hukum tertentu seperti kitab hukum pidana atau kitab-kitab hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan berbagai kasus.

Undang-undang pertama yang dikenal oleh manusia adalah kitab undang-undang Hamurabi. Kitab hukum klasik pertama yang terkenal adalah kitab hukum Romawi yang sangat berpengaruh terhadap hukum Barat modern, hukum-hukum negara-negara muslim di masa kemerdekaan, dan menurut segelintir orang-orang berpengaruh juga terhadap fiqih Islam. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, keyakinan ini sangat keliru karena fikih Islam memiliki pertumbuhan, sumber, falsafah, dan tujuan yang khas. 18

Perbedaan antara undang-undang dan syariat adalah bahwa fokus perhatian undang-undang hanya sekadar bagaimana menghimpun kesepakatan-kesepakatan, adat istiadat, dan kebudayaan manusia dalam bentuk perundang-undangan, sekalipun dalam kesepakatan-kesepakatan itu terdapat penyimpangan dan kehancuran yang dapat membahayakan masyarakat dan kemanusiaan.

Undang-undang adalah cermin baik dan buruk, bangkit dan tenggelam, serta kosisten dan penyelewangan dalam sebuah tatanan masyarakat. Sementara itu, syariat berkepentingan untuk mengangkat derajat umat, menggenggam tangan mereka, dan membantu mereka terbebas dari tekanan egoisme dan hawa nafsu, serta belenggu

18

Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, (terj) Abdul Hayy Katani, (Surabaya: Darul ulum, 1997),h 29.

kebudayaan yang merusak pengetahuan yang menyesatkan. Fokus perhatian syariat adalah meluruskan penyelewengan sebuah masyarakat dan memperbaiki kerusakan, bukan mendukung kelemahan dan penyelewengan yang dilakukan masyarakat, lalu dilegalkan dengan perangkat hukum dan perundang-undangan. Syariat hanya mengakui kesepakatan masyarakat yang maslahat dan baik.19

Dalam hal ini, kita menemukan perbedaan nyata antara syariat Islam dan undang-undang Romawi. Syariat muncul sebagai “legislasi moral” yang menjadikan perintah dan norma-norma moral sebagai undang-undang, sedangkan undang-undang Romawi berpegang pada prinsip “legislasi adat” yang menghimpun kesepakatan-kesepakatan dan adat kebiasaan manusia dalam bentuk perundang-undangan.

Fokus perhatian syariat Islam setelah berusaha mewujudkan legislasi moral-adalah menjaga dan memperkukuh legislasi ini, serta memberikan sanksi kepada orang-orang yang melanggarnya. Untuk kejahatan-kejahatan moral seperti perbuatan zina dan minuman keras, syariat Islam sendiri yang langsung menetapkan sanksi-sanksinya. Sementara untuk menentukan sanksi yang pantas untuk perjudian dan pelanggaran etika umum lainnya, Islam menyerahkan kewenangannya kepada penguasa yang sah secara syariat.

19

Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, (terj) Abdul Hayy Katani, (Surabaya: Darul ulum, 1997),h 113.

Dokumen terkait