• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif

BAB II. LANDASAN TEORI

D. Hubungan Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif

Berdasarkan fenomena yang ditemukan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap karyawan yang bekerja dalam PT ini menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi, dimana terlihat pada setiap karyawan yang bersedia secara aktif turut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai dengan definisi komitmen organisasi oleh Herseovitch dan Meyer (dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012) yaitu suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta bersedia untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan tersebut. Karyawan yang berkomitmen berarti karyawan tersebut memiliki keterlibatan yang tinggi dalam organisasi seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi (Mathieu dan Zajac, dalam Nasina & doris, 2011).

Komitmen organisasi dibagi kedalam tiga tipe yaitu komitmen afektif, continuance commitment, dan normative commitment (Meyer & Allen, 1997). Komitmen afektif merupakan ketertarikan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Continuance commitment merupakan pengakuan dan kesadaran akan biaya yang harus dibayar ketika meninggalkan organisasi. Sedangkan normative commitment merupakan suatu perasaan pada kewajiban seorang karyawan untuk melanjutkan pekerjaannya.

Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa dari ketiga tipe komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen, karyawan tersebut menonjolkan tipe komitmen

afektif dimana sesuai dengan beberapa indikator-indikator perilaku yang terdapat pada tipe komitmen afektif.

Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa menguasai banyak hal, dapat berhubungan dengan banyak orang dan menambah wawasan mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan mereka, maka dapat mengembangkan komitmen afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan kepuasan yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen 2007). Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka.

Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi, keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades, Eisenberger dan Armeli, 2001).

23

Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer dan Allen, 1997). Hal ini juga ditemukan pada beberapa karyawan PT. X yang menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan pemimpin mereka, dimana pemimpin mereka memperlakukan setiap karyawan secara adil dan pemimpin juga dapat memberikan kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil keputusan, dengan demikian mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin mereka.

Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati karyawan yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk, dalam Mariatin, 2009). Dengan membangun suatu budaya organisasi yang baik maka akan meningkatkan komitmen pada karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010), karena budaya organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada komitmen organisasi karyawan (O’Reilly, dalam Silverthorne, 2004).

Budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi.

Budaya organisasi muncul dalam berbagai bentuk pada level yang berbeda. Menurut Schein (1984), setiap budaya organisasi memiliki tiga level yaitu surface level, espoused values, dan basic assumption. Pada surface level terdiri dari bahasa, simbol, lingkungan fisik, dress code, ritual atau upacara dimana merupakan artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi dimana merupakan nilai yang dibentuk oleh pemimpin. Sedangkan pada basic assumptions terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs.

Ketiga level pada budaya organisasi tersebut memiliki dampak terhadap komitmen organisasi pada karyawan yang menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pada surface level, lingkungan fisik terdiri dari orang-orang dari latar belakang serta bahasa yang berbeda. Organisasi fokus pada lingkungan fisik tersebut dimana karyawan berinteraksi satu dengan yang lain. Lingkungan yang efektif memberikan kebahagiaan bagi karyawan yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut (George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dengan demikian komitmen afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja dan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang pantas. Komunikasi yang efektif dalam organisasi tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga meningkatkan komitmen afektif pada karyawan dalam organisasi tersebut. Ritual dan upacara dalam organisasi mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan dengan organisasi dan sejarah organisasi

25

juga dapat mendorong komitmen afektifkaryawan baru. Oleh karena itu artefak atau surface level pada budaya organisasi mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson dan Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Pada espoused values menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi yang dilakukan oleh pemimpin organisasi berdasarkan budaya organisasi mendukung komitmen karyawan dan strategi pemimpin mengurangi ketidakpastian pada karyawan serta menjaga komitmen mereka dengan organisasi (Whetten dan Cameron, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Level terakhir pada budaya organisasi adalah basic assumptions dimana terdiri dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs yang meningkatkan komitmen pada karyawan. Asumsi dasar dan nilai yang dibangun dengan baik sesuai dengan attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). McShane dan Glinow (2006) juga menyatakan bahwa dasar dari nilai-nilai dan asumsi dapat membangun komitmen karyawan. Organisasi dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan membagikan nilai-nilai kepada para

karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai pada budaya organisasi. Faktor- faktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi.

Dalam hal ini menunjukkan bahwa setiap level pada budaya organisasi mempengaruhi komitmen afektif. Walaupun setiap organisasi mempunyai tipe budaya yang berbeda-beda, akan tetapi setiap budaya organisasi sesuai dengan tiga level pada budaya organisasi tersebut dimana dapat mendukung organisasi dalam meningkatkan dan membangun karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasi (Schein, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka bekerja, hal ini akan meningkatkan komitmen pada karyawan dalam organisasi tersebut. Persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong culture) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya (Robbins, dalam George dan Jayan, 2012). Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana persepsi karyawan terhadap budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap peningkatan efektifitas suatu organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena budaya organisasi yang efektif pada suatu organisasi membangun lingkungan komitmen yang tinggi (Denison, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif.

27

Dokumen terkait