• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN AFEKTIF

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

oleh

MAGDALENA

091301070

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Hubungan antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2013

(3)

Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara budaya organisasi dan komitmen afektif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan berupa skala budaya organisasi yang disusun berdasarkan teori budaya organisasi oleh Edgar Schein yang memiliki 32 item dan skala komitmen afektif yang disusun berdasarkan teori komitmen organisasi oleh Meyer & Allen yang memiliki 14 item. Subjek penelitian adalah seluruh karyawan PT. X, dengan jumlah populasi 47 subjek. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisa kolerasi pearson product moment. Dari hasil analisa, menunjukkan bahwa budaya organisasi berhubungan positif dengan komitmen afektif. Dalam hal ini, perusahaan akan menciptakan budaya organisasi dan mencari orang-orang yang cocok terhadap budaya organisasi tersebut, sehingga karyawan dapat bekerja sebaik mungkin dan tetap berkomitmen pada organisasi tersebut.

(4)

Relationship between The Employee Perceptions of Organizational Culture and Affective Commitment

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between employee perceptions of organizational culture and affective commitment. This study used quantitative approach. To collect the data of organizational culture scale based on the theory of organizational culture of Edgar Schein that contains 32 items and affective commitment scale based on the theory of organizational commitment of Meyer & Allen that contains 14 items. The subjects were population of PT. X with 47 subjects. The data analyzed using pearson product moment correlation analysis. The results shows that organizational culture is positively related to affective commitment. In this regard, the organization will create the culture of the organization and looking for people who fit the culture of the organization, so that employees can work as well as possible and remain committed to the organization.

(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif”. Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai

gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama proses penulisan skripsi ini saya mendapatkan banyak bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih

sebanyak-banyaknya kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu DR. Emmy Mariatin, M.A., PhD., psikolog selaku dosen pembimbing

seminar dan skripsi saya yang selalu sabar dalam membimbing saya, dengan

senantiasa memberikan dukungan, bantuan, pengetahuan, saran serta waktu.

3. Ibu Rika Eliana M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik.

4. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M. A., psikolog selaku dosen penguji skripsi

saya. Terima kasih atas saran-saran dan pengetahuan baru yang diberikan

serta telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan saya selama proses

(6)

5. Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen penguji skripsi saya. Terima kasih

untuk saran-saran dan pengetahuan baru yang diberikan.

6. Kak Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, psikolog selaku penguji pada ujian seminar

saya. Terima kasih atas saran-saran dan pengetahuan baru yang diberikan.

7. Seluruh staf pengajar di Fakultas Psikologi atas ilmu pengetahuan, nasehat,

serta pengalaman yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

8. Papa, mama dan ketiga kakak saya Suwina, Fiona dan Ivana yang selalu

mendoakan saya dan memberikan dukungan serta penghiburan selama

penyusunan skripsi dan selama saya menjalani masa-masa kuliah ini.

9. Terakhir, kepada seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2009.

Khususnya kepada sahabat-sahabat saya Dwiyana, Verawaty, Cecilia, Jessica,

Raharja, Risma, Aisyah dan Teresia, terima kasih untuk waktu yang kita

lewati dengan belajar dan berjuang bersama-sama, setiap dukungan dan

bantuan yang diberikan serta kenangan yang tidak terlupakan selama

masa-masa perkuliahan ini.

Akhir kata, saya berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua

kebaikan saudara-saudara semua. Saya sangat menerima segala kritik maupun saran

yang dapat membantu saya untuk dapat menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Medan, Juni 2013

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBARPENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

A. Komitmen Afektif ... 13

(8)

2. Perkembangan Komitmen Afektif ... 14

B. Budaya Organisasi ... 15

1. Pengertian Budaya Organisasi ... 15

2. Level Budaya Organisasi ... 16

3. Fungsi Budaya Organisasi ... 19

C. Persepsi ... 20

1. Pengertian Persepsi ... 20

D. Hubungan Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif... 21

E. Hipotesis Penelitian ... 27

BAB III METODE PENELITIAN... 28

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ... 28

B. DEFINISI OPERASIONAL ... 28

1. Komitmen Afektif ... 28

2. Budaya Organisasi ... 29

C. POPULASI ... 30

D. ALAT UKUR PENELITIAN ... 31

1. Skala Komitmen Afektif ... 31

2. Skala Budaya Organisasi... 32

E. VALIDITAS, RELIABILITAS, DAN UJI DAYA BEDA AITEM ... 33

(9)

2. Uji Reliabilitas ... 34

3. Uji Daya Beda Aitem ... 34

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR ... 34

G. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN ... 35

1. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 35

2. Pelaksanaan Penelitian ... 37

3. Pengolahan Data... 37

H. METODE ANALISIS DATA ... 37

1. Uji Normalitas ... 38

2. Uji Linearitas ... 38

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 39

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN... 39

B. HASIL PENELITIAN ... 46

1. Uji Asumsi ... 46

2. Hasil Utama Penelitian ... 48

C. PEMBAHASAN ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. KESIMPULAN ... 52

B. SARAN ... 52

1. Saran Metodologis ... 52

(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint Skala Komitmen Afektif Sebelum Uji Coba... 32

Tabel 2. Blueprint Skala Budaya Organisasi Sebelum Uji Coba ... 33

Tabel 3. Blueprint Skala Komitmen Afektif Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru ... 35

Tabel 4. Blueprint Skala Budaya Organisasi Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru ... 35

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 40

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja ... 42

Tabel 8. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Komitmen Afektif ... 43

Tabel 9. Kategorisasi Komitmen Afektif Berdasarkan Metode Distribusi Normal... 44

Tabel 10. Gambaran Subjek Berdasarkan Komitmen Afektif ... 44

Tabel 11. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Budaya Organisasi 45 Tabel 12. Kategorisasi Budaya Organisasi Berdasarkan Metode Distribusi Normal... 45

(12)

Tabel 14. Uji Asumsi Normalitas ... 47

Tabel 15. Linearitas Variabel Penelitian ... 48

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

A. UJI COBA DAN HASIL UJI COBA ALAT UKUR ... 58

1. Reliabilitas Skala Komitmen Afektif ... 58

2. Reliabilitas Skala Budaya Organisasi ... 61

B. PENELITIAN ... 65

1. Skala Komitmen Afektif dan Budaya Organisasi ... 65

2. Data Mentah Skala Komitmen Afektif ... 72

3. Data Mentah Skala Budaya Organisasi ... 73

C. HASIL PENELITIAN ... 78

1. Uji Asumsi ... 78

2. Perhitungan Kolerasi Pearson Product Moment ... 79

(14)

Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara budaya organisasi dan komitmen afektif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan berupa skala budaya organisasi yang disusun berdasarkan teori budaya organisasi oleh Edgar Schein yang memiliki 32 item dan skala komitmen afektif yang disusun berdasarkan teori komitmen organisasi oleh Meyer & Allen yang memiliki 14 item. Subjek penelitian adalah seluruh karyawan PT. X, dengan jumlah populasi 47 subjek. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisa kolerasi pearson product moment. Dari hasil analisa, menunjukkan bahwa budaya organisasi berhubungan positif dengan komitmen afektif. Dalam hal ini, perusahaan akan menciptakan budaya organisasi dan mencari orang-orang yang cocok terhadap budaya organisasi tersebut, sehingga karyawan dapat bekerja sebaik mungkin dan tetap berkomitmen pada organisasi tersebut.

(15)

Relationship between The Employee Perceptions of Organizational Culture and Affective Commitment

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between employee perceptions of organizational culture and affective commitment. This study used quantitative approach. To collect the data of organizational culture scale based on the theory of organizational culture of Edgar Schein that contains 32 items and affective commitment scale based on the theory of organizational commitment of Meyer & Allen that contains 14 items. The subjects were population of PT. X with 47 subjects. The data analyzed using pearson product moment correlation analysis. The results shows that organizational culture is positively related to affective commitment. In this regard, the organization will create the culture of the organization and looking for people who fit the culture of the organization, so that employees can work as well as possible and remain committed to the organization.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia persaingan sekarang ini, setiap organisasi sedang menghadapi

tantangan-tantangan baru yang menuntut organisasi untuk mempertahankan

produktifitas dan membentuk karyawan yang berkomitmen (Dixit dan Bhati, 2012).

Mempertahankan komitmen karyawan dan produktifitas dalam organisasi adalah

merupakan isu yang kritikal. Hal ini merupakan tantangan bagi organisasi untuk

mengelola karyawan yang berkualitas dan meningkatkan komitmen karyawan

terhadap organisasi (Capplan dan Teese, dalam Mariatin, 2009).

Karyawan yang berkomitmen berarti bersifat loyal terhadap organisasinya, dimana karyawan yang setia memiliki keuntungan untuk bersaing (McShane dan

Glinow, 2003). Komitmen karyawan adalah suatu tingkat dimana karyawan

mengidentifikasi dan bersedia secara aktif berpartisipasi dalam organisasi (Nystrom,

dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012). Komitmen organisasi juga dapat didefinisikan

sebagai suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta

bersedia untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan

tersebut (Herseovitch dan Meyer, dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012). Hal ini dapat

(17)

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada beberapa

karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap karyawan yang bekerja dalam PT ini

menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi, dimana

terlihat pada setiap karyawan yang bersedia secara aktif berpartisipasi dalam setiap

kegiatan yang diadakan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal

ini diperkuat oleh Mathieu dan Zajac (dalam Nasina & Doris, 2011), dimana

karyawan yang berkomitmen berarti karyawan yang memiliki keterlibatan yang tinggi

seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan yang diadakan oleh

organisasi. Karyawan yang berkomitmen tinggi biasanya akan menunjukkan suatu

keinginan yang kuat untuk menetap dalam organisasi tersebut (Nasina & Doris, 2011).

PT. X merupakan suatu perusahaan distribusi yang berdiri pada tahun 1985

serta berkembang menjadi salah satu perusahaan distribusi terbesar di Indonesia.

Perusahaan ini mengkhususkan diri pada pendistribusian produk kebutuhan

sehari-hari, meliputi beragam katergori yaitu biskuit, wafer, permen, mi instan, minuman

kesehatan, makanan ringan, baterai dan lain-lain.

Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja

dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi

maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan

bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa

menguasai banyak hal, berhubungan dengan banyak orang dan menambah wawasan

mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka

(18)

3

afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan kepuasan

yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen 2007). Meyer

dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua

kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan

fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa

berkompeten dalam pekerjaan mereka.

Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan

emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan

karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki

sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi, keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap

dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades,

Eisenberger dan Armeli, 2001).

Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi

perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan

memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan

mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam

Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer

dan Allen, 1997). Beberapa karyawan PT. X menyatakan bahwa mereka memiliki

hubungan yang baik dengan pemimpin mereka, dimana pemimpin mereka

(19)

kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil keputusan, dengan demikian

mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin mereka.

Meyer dan Allen (1997) merefleksikan komitmen sebagai sebuah orientasi

afektif terhadap organisasi (komitmen afektif), sebuah pengakuan adanya biaya yang

harus dibayar ketika meninggalkan organisasi (continuance commitment) dan sebuah kewajiban moral untuk tetap bertahan di dalam organisasi tersebut (normative commitment). Meyer dan Allen (1997) mengajukan hal itu sebagai tiga model komponen pada komitmen (three-component model of commitment). Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat tetap bekerja dengan organisasi tersebut karena

mereka ingin melakukannya. Karyawan yang bertahan dalam suatu organisasi

berdasarkan continuance commitment itu karena mereka perlu melakukannya. Sedangkan karyawan dengan tingkat normative commitment yang tinggi merasa bahwa mereka wajib untuk bertahan dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997).

Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap

beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di PT

tersebut memiliki tipe komitmen afektif dimana memenuhi beberapa

indikator-indikator perilaku yang terdapat pada tipe komitmen tersebut.

Karyawan dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi lebih sedikit keluar

dari pekerjaan mereka, absen dari bekerja (McShane dan Glinow, 2003), dan

memiliki motivasi serta keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi

tersebut (Meyer & Allen, 1997). Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang karyawan

(20)

5

dari pekerjaan mereka ataupun absen dalam bekerja dan setiap karyawan juga

berkontribusi dengan baik dalam perusahaan mereka.

Budaya organisasi dinyatakan mampu untuk meningkatkan komitmen pada

karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010), karena budaya

organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada komitmen organisasi karyawan

(O’Reilly, dalam Silverthorne, 2004). Harris dan Mossholder (dalam Rastegar dan Aghayan, 2012) menunjukkan bahwa budaya organisasi sebagai pusat dimana seluruh

faktor-faktor sumber daya manusia ditingkatkan, hal tersebut dipercaya

mempengaruhi attitudes individu seperti komitmen, motivasi, moral dan kepuasan. Lincoln dan Kelleberg (dalam Bjarnason, 2009) turut membuktikan bahwa

komitmen organisasi adalah merupakan manifestasi daripada nilai budaya yang kuat

dan mendalam. Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati

karyawan yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk,

dalam Mariatin, 2009).

Peranan budaya organisasi sangatlah penting dalam memahami perilaku

organisasi. Menurut Wagner (dalam Manetje dan Martins, 2009), budaya organisasi

memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku dan attitude karyawan, hal itu karena budaya organisasi terdiri dari standar dan norma yang menentukan bagaimana

karyawan harus berperilaku dalam organisasi tertentu.

Menurut Schein (dalam Rollinson, 2005), budaya organisasi adalah suatu pola

asumsi dasar yang diciptakan, dipersepsikan, atau dikembangkan oleh suatu

(21)

baik, karena itu hal ini diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara terbaik

untuk mempersepsikan, berpikir dan merasakan hubungannya dengan

masalah-masalah tersebut. Budaya organisasi dapat dianalisa pada tiga level yang berbeda

antara lain surface level, espoused value dan basic assumptions. Pada surface level terdiri dari bahasa, simbol, lingkungan fisik, ritual atau upacara dimana merupakan

artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi. Sedangkan pada basic assumptions terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs (Schein, 1984).

Saat ini, budaya organisasi telah menjadi komponen dasar pada setiap bisnis.

Budaya organisasi tersebut berkomunikasi pada setiap level budaya karena organisasi

mencapai tujuan ketika nilai-nilai budaya dibagikan pada seluruh tenaga kerja dalam

organisasi tersebut, dan hal ini akan memberikan keuntungan yang besar pada

organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Beberapa tokoh telah mendiskusikan kemungkinan adanya hubungan teoritis

yang positif antara komitmen organisasi dan budaya organisasi. Hal ini muncul

karena budaya organisasi cenderung mempengaruhi usaha kerja dan komitmen

karyawan secara langsung melalui nilai-nilai budaya (Black, dalam Manetje dan

Martins, 2009). Budaya yang positif meningkatkan komitmen karyawan dimana

dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Hubungan antara budaya organisasi dan komitmen organisasi juga menunjukkan

karyawan yang bekerja dalam budaya yang kuat akan merasa lebih berkomitmen

(22)

7

Hubungan positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi tersebut

juga diperkuat melalui penemuan beberapa peneliti diantaranya, Lau dan Idris (dalam

Sola, Femi & Kolapo, 2012) menemukan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi

oleh budaya organisasi yang mencerminkan kuatnya keterikatan atau keterlibatan

karyawan dengan perusahaan mereka. Ooi dan Arumugan (dalam Sola, Femi dan

Kolapo, 2012) juga menemukan adanya hubungan signifikan antara budaya

organisasi dan komitmen pada karyawan, dimana mereka menyatakan bahwa ketika

budaya organisasi dan komitmen organisasi berhasil dilaksanakan maka akan

membawa perubahan dalam suatu organisasi.

Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) turut membuktikan hubungan signifikan

antara budaya organisasi dan komitmen organisasi melalui penelitian yang mereka

lakukan, dimana penelitian itu menunjukkan dampak dari tiga level budaya organisasi

terhadap komitmen karyawan. Pada surface level, lingkungan fisik mengundang orang-orang dari latar belakang yang berbeda termasuk bahasa. Lingkungan dan

komunikasi yang efektif memberikan kebahagiaan bagi karyawan pada organisasi

yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut

(George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dengan demikian, komitmen

afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan dimana karyawan merasa lebih

nyaman pada pekerjaannya dan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dalam

lingkungan yang pantas. Ritual dan upacara dalam organisasi mempengaruhi tingkat

keterikatan karyawan dengan organisasi dan sejarah organisasi juga dapat mendorong

(23)

pada budaya organisasi dapat mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat

kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson &

Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Espoused values menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan

waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir,

Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi berdasarkan budaya organisasi

mendukung komitmen karyawan dalam organisasi (Whetten & Cameron, dalam Sabir,

Razzaq dan Yameen, 2010). Karyawan membutuhkan seorang pemimpin yang dapat

dijadikan teladan serta seorang pemimpin yang diharapkan mampu melakukan

perubahan, oleh karena itu pentingnya suatu organisasi memiliki seorang pemimpin

yang mampu untuk membimbing karyawan dan memotivasi mereka untuk lebih

berkomitmen (Ahmad dan Gelaidan, 2011).

Basic assumptions sebagai level ketiga pada budaya organisasi yang terdiri dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs meningkatkan komitmen pada karyawan. Smith (dalam Meijen, 2007) menyatakan bahwa asumsi dikembangkan

atau ditemukan melalui karyawan, dimana asumsi ini cukup penting untuk mengajari

anggota yang baru bergabung ke dalam suatu organisasi karena mereka dapat

mengetahui bagaimana karyawan harus menerima, berpikir dan merasakan mengenai

(24)

9

attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan

Yameen, 2010). Organisasi dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan

membagikan nilai-nilai kepada para karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai

pada budaya organisasi. Faktor-faktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen

karyawan terhadap tujuan organisasi (Mcshane dan Glinow, 2003).

Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai level pada budaya organisasi

mempengaruhi komitmen karyawan pada level yang berbeda. Sabir, Razzaq dan

Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap

budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka bekerja, hal ini tidak hanya

meningkatkan kinerja karyawan melainkan juga meningkatkan komitmen pada

karyawan dalam organisasi tersebut. Robbins (dalam George dan Jayan, 2012) juga

menambahkan, adanya persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong culture) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya. Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana persepsi karyawan terhadap

budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap peningkatan efektifitas suatu

organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena budaya organisasi yang efektif

di dalam suatu organisasi membangun lingkungan komitmen yang tinggi (Denison,

dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Berdasarkan hal yang dipaparkan diatas sesuai dengan fenomena yang

(25)

hubungan antara budaya organisasi dengan komitmen afektif pada karyawan di PT.

X.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi

karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif. Penelitian ini akan

melihat dari teori budaya organisasi oleh Edgar Schein (1984) dimana berhubungan

dengan komitmen afektif oleh Meyer dan Allen (1997).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk menambah wawasan dalam

bidang Psikologi Industri dan Organisasi dan sebagai tambahan sumber bahan

bacaan sebagai hasil penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara

persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitment afektif pada

karyawan yang bekerja dalam salah satu organisasi.

(26)

11

Mengetahui sejauh mana tingkat komitmen afektif para karyawan terhadap

organisasi serta mengetahui sejauh mana persepsi karyawan terhadap budaya

pada organisasi tersebut memiliki hubungan dengan tingkat komitmen afektif

para karyawannya. Dengan mengetahui hal tersebut, diharapkan organisasi

dapat meningkatkan komitmen karyawan melalui budaya organisasinya.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Disini

digambarkan tentang berbagai tinjauan literatur, fenomena, teori dan

hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai komponen komitmen

organisasi dan budaya organisasi.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang

menjadi objek penelitian. Membuat landasan teori berdasarkan teori

yang relevan mengenai teori budaya organisasi menurut Edgar Schein

dan teori komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen. Bab ini juga

mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah

penelitian yang menjelaskan hubungan budaya organisasi dengan

(27)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional variabel, populasi, alat ukur penelitian, validitas dan

reliabilitas alat ukur, uji daya beda aitem, prosedur pelaksanaan

penelitian serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah

hasil data penelitian.

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum subjek

penelitian, serta bagaimana analisa data dilakukan dengan

menggunakan analisis statistik. Bab ini juga akan diuraikan mengenai

intepretasi data yang ada. Kemudian data-data tersebut akan diuraikan

dalam pembahasan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai

hasil penelitian dilengkapi dengan saran-saran bagi pihak lain

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMITMEN AFEKTIF 1. Pengertian Komitmen Afektif

Sheldon (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif

sebagai suatu attitude atau orientasi terhadap organisasi dimana berhubungan dengan identitas seseorang terhadap organisasi.

Mowday, Porter, & Steers (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan

komitmen afektif merupakan kekuatan relatif pada seorang individu dalam

mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan terlibat dalam organisasi tersebut.

Meyer dan Allen (1997) juga mendefinisikan komitmen afektif merupakan

keterikatan emosional karyawan kepada organisasi, identifikasi karyawan dengan

organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi tertentu, dimana

karyawan menetap dalam organisasi karena mereka menginginkannya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen

afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat secara emosional

sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat secara

(29)

2. Perkembangan Komitmen Afektif

Ada beberapa variabel yang dinyatakan sebagai penyebab berkembangnya

komitmen afektif yang dapat dikategorisasikan sebagai berikut (Meyer & Allen,

1997):

a. Karakteristik organisasi

Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa beberapa studi telah menguji

hubungan antara komitmen organisasi dan struktur organisasi. Walaupun

penelitian ini terbatas, ada terdapat beberapa bukti bahwa komitmen afektif

berhubungan dengan pengambilan keputusan dan aturan serta prosedur dalam

organisasi.

b. Karakteristik personal

Karaktersitik personal terdiri dari kebutuhan untuk pencapaian prestasi, afilliasi

dan kebebasan, serta ketertarikan dalam kehidupan bekerja telah ditemukan

berhubungan dengan komitmen organisasi. Individu yang memilih pekerjaan

mereka sesuai dengan karakteristik personal mereka akan memiliki attitude kerja yang lebih positif daripada karyawan yang tidak memiliki pekerjaan berdasarkan

karakteristik tersebut.

c. Pengalaman kerja

Pengalaman kerja merupakan suatu dorongan sosial dan menghadirkan suatu

ketertarikan psikologis yang dibentuk dalam suatu organisasi. Karyawan yang

pengalamannya dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat

(30)

15

afektif pada organisasi mereka, daripada karyawan yang memiliki sedikit

kepuasan terhadap pengalaman bekerja mereka. Meyer dan Allen (1997) percaya

bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori: (1) karyawan

yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi

mereka, dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan

mereka.

B. BUDAYA ORGANISASI 1. Pengertian Budaya Organisasi

McShane dan Glinow (2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola

dasar, nilai-nilai, dan kepercayaan yang dapat mengarahkan tindakan dan pemikiran

yang benar dalam menghadapi masalah dan kesempatan yang ada dalam organisasi.

Martins dan Martins (dalam Manetje dan Martins, 2009), mendefinisikan

budaya organisasi sebagai suatu identitas untuk dapat membedakan organisasi yang

satu dengan organisasi yang lain. Arnold (dalam Manetje dan Martins, 2009)

menyatakan budaya organisasi adalah norma, kepercayaan, prinsip dan cara

berperilaku yang khusus untuk memberikan setiap organisasi memiliki karakter yang

berbeda. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi

membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

Brown (dalam Manetje dan Martins, 2009) turut mendefinisikan budaya

organisasi sebagai pola kepercayaan, nilai-nilai dan cara mengatasi masalah yang

(31)

dan cenderung telah mempengaruhi perilaku setiap karyawan sehingga budaya

organisasi meningkatkan cara dimana karyawan harus berperilaku.

Berhubungan dengan definisi tersebut, Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005)

menggambarkan budaya organisasi sebagai suatu pola asumsi dasar yang diciptakan,

ditemukan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok seperti belajar untuk mengatasi

masalah-masalah pada adaptasi eksternal misalnya strategi, tujuan, struktur organisasi,

sistem informasi dan intergrasi internal misalnya hubungan, komunikasi para

karyawan, reward, hukuman serta agama, yang telah bekerja cukup baik, karena itu hal ini diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara terbaik untuk menerima,

berpikir dan merasakan hubungannya dengan masalah-masalah tersebut. Definisi ini

menunjukkan bahwa budaya organisasi membentuk asumsi yang diterima untuk

melakukan sesuatu dan disalurkan kepada anggota baru dalam organisasi tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah

suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu

organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam

menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam

organisasi.

2. Level Budaya Organisasi

Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) membagikan budaya organisasi ke

dalam tiga level yang berbeda dimana setiap level memiliki elemen-elemen pada

(32)

17

a. Surface Level

Merupakan struktur dan proses organisasi yang tampak dan dapat di observasi.

Terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari rancangan fisik suatu bangunan, cara

berpakaian, cara berbicara dengan orang lain sampai dengan hal yang

dibicarakan. Surface level dibedakan dalam beberapa elemen, diantaranya: i. Norma

Ini merupakan tanda perilaku yang dijadikan asumsi dan nilai-nilai dan

diabadikan ketika orang mengamati norma tersebut.

ii. Bahasa

Bahasa yang digunakan seseorang dapat menjadi indikasi bernilai pada

budaya. Bagaimana atasan berbicara dengan bawahan dapat menunjukkan

nilai status pada pekerjaan.

iii. Simbol

Status simbol menunjukkan posisi sosial dan tingkat dalam hirarki, dan

kebesaran mereka memberikan indikasi yang baik tentang seberapa

pentingnya hal tersebut melekat pada hirarki sebagai prinsip

pengorganisasian.

iv. Ritual dan ceremony

Ritual merupakan program rutin yang dijalankan oleh organisasi. Ritual

yang diperkenalkan kepada karyawan baru dapat mempercepat proses

(33)

memberikan arti yang penting bagi organisasi. Pesta perpisahan atau

pensiun dapat digunakan sebagai tanda sebuah keluarga bahagia atau sebuah

organisasi yang penuh kehangatan.

v. Sejarah

Sejarah sering sebagai cara untuk menunjukkan nilai-nilai utama dan asumsi

kepada orang lain dan menjadi hal yang menarik untuk didengar.

b. Espoused Values

Merupakan nilai untuk mendirikan gambaran publik yang ingin ditunjukkan oleh

pemimpin organisasi. Nilai tersebut secara sadar dibangun dan secara moral atau

etis mengarahkan perilaku dengan mengembangkan asumsi ke dalam perilaku.

Oleh karena itu, nilai mengarahkan perilaku dalam organisasi. Elemen-elemen

pada level tersebut antara lain: Strategi, tujuan ataupun filosofi organisasi.

c. Basic Assumptions

Merupakan level terdalam pada budaya. Hal ini merupakan dasar beliefs yang dianut oleh banyak orang tanpa disadari. Setiap organisasi juga cenderung

berbeda dalam basic assumptions yang ada dalam budaya mereka. Elemen-elemen pada basic assumptions terdiri dari: beliefs, nilai-nilai, perasaan, persepsi, pemikiran dan asumsi.

(34)

19

Sebuah budaya organisasi yang kuat memiliki potensi untuk meningkatkan

kesuksesan organisasi melalui tiga fungsi penting dari budaya organisasi menurut

McShane dan Glinow (2003), yaitu:

a. Control system

Budaya organisasi merupakan sebuah kontrol sosial yang tertanam dalam

organisasi yang mempengaruhi keputusan dan perilaku karyawan. Budaya bekerja

secara tidak sadar, dan fungsinya mengarahkan karyawan untuk bekerja sesuai

dengan harapan organisasi.

b. Social glue

Budaya organisasi merupakan perekat sosial (social glue) yang mengikat karyawan dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari pengalaman

organisasi. Karyawan termotivasi untuk menganut budaya organisasi karena hal

tersebut memenuhi kebutuhan mereka akan identitas sosial. Social glue sangat penting karena dapat menarik perhatian karyawan baru dan mempertahankan

kinerja yang optimal.

c. Sense making

Budaya organisasi membantu proses sense-making. Budaya membantu karyawan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan mengapa sesuatu hal terjadi di

dalam organisasi. Budaya organisasi juga membantu karyawan untuk memahami

apa yang diharapkan dari diri mereka dan untuk berinteraksi dengan karyawan

(35)

C. PERSEPSI

1. Pengertian Persepsi

Luthans (2005) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses mediasi

kognitif yang penting dimana orang membuat interpretasi dari stimulus atau situasi

yang mereka alami.

Persepsi merupakan suatu proses mental yang meliputi seleksi, organisasi,

struktur dan interpretasi informasi dalam usaha menyimpulkan dan memberi arti

terhadap informasi yang ada (Rollinson, 2005).

Robbins (dalam George dan Jayan, 2012) mendefinisikan persepsi sebagai

suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan

indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

Mc Shane dan Glinow (2003) juga menambahkan bahwa persepsi merupakan

proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, termasuk

penetapan informasi untuk membentuk pengkategorian dan penafsiran.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi

adalah suatu proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan,

dimana individu membentuk interpretasi dan penafsiran dalam usaha memberi makna

(36)

21

D. HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN AFEKTIF

Berdasarkan fenomena yang ditemukan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap

karyawan yang bekerja dalam PT ini menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai

yang ada dalam organisasi, dimana terlihat pada setiap karyawan yang bersedia

secara aktif turut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi

guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai dengan definisi komitmen

organisasi oleh Herseovitch dan Meyer (dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012) yaitu

suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta bersedia

untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan tersebut.

Karyawan yang berkomitmen berarti karyawan tersebut memiliki keterlibatan yang

tinggi dalam organisasi seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan

yang diadakan oleh organisasi (Mathieu dan Zajac, dalam Nasina & doris, 2011).

Komitmen organisasi dibagi kedalam tiga tipe yaitu komitmen afektif, continuance commitment, dan normative commitment (Meyer & Allen, 1997). Komitmen afektif merupakan ketertarikan emosional kepada organisasi, identifikasi

dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Continuance commitment merupakan pengakuan dan kesadaran akan biaya yang harus dibayar ketika meninggalkan organisasi. Sedangkan normative commitment merupakan suatu perasaan pada kewajiban seorang karyawan untuk melanjutkan pekerjaannya.

Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap

beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa dari ketiga tipe komitmen

(37)

afektif dimana sesuai dengan beberapa indikator-indikator perilaku yang terdapat

pada tipe komitmen afektif.

Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja

dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi

maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan

bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa

menguasai banyak hal, dapat berhubungan dengan banyak orang dan menambah

wawasan mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan

mereka dan dapat memuaskan kebutuhan mereka, maka dapat mengembangkan

komitmen afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan

kepuasan yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen

2007). Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi

kedalam dua kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara

fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa

berkompeten dalam pekerjaan mereka.

Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan

emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan

karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki

sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi, keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap

dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades,

(38)

23

Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi

perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan

memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan

mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam

Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer

dan Allen, 1997). Hal ini juga ditemukan pada beberapa karyawan PT. X yang

menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan pemimpin mereka,

dimana pemimpin mereka memperlakukan setiap karyawan secara adil dan pemimpin

juga dapat memberikan kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil

keputusan, dengan demikian mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin

mereka.

Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati karyawan

yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk, dalam

Mariatin, 2009). Dengan membangun suatu budaya organisasi yang baik maka akan

meningkatkan komitmen pada karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan

Yameen, 2010), karena budaya organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada

komitmen organisasi karyawan (O’Reilly, dalam Silverthorne, 2004).

Budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai,

kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan

pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui

(39)

Budaya organisasi muncul dalam berbagai bentuk pada level yang berbeda.

Menurut Schein (1984), setiap budaya organisasi memiliki tiga level yaitu surface level, espoused values, dan basic assumption. Pada surface level terdiri dari bahasa, simbol, lingkungan fisik, dress code, ritual atau upacara dimana merupakan artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi dimana merupakan nilai yang dibentuk oleh

pemimpin. Sedangkan pada basic assumptions terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs.

Ketiga level pada budaya organisasi tersebut memiliki dampak terhadap

komitmen organisasi pada karyawan yang menunjukkan bahwa adanya hubungan

positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen,

2010). Pada surface level, lingkungan fisik terdiri dari orang-orang dari latar belakang serta bahasa yang berbeda. Organisasi fokus pada lingkungan fisik tersebut dimana

karyawan berinteraksi satu dengan yang lain. Lingkungan yang efektif memberikan

kebahagiaan bagi karyawan yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional

dengan organisasi tersebut (George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Dengan demikian komitmen afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan

yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja dan dengan mudah berinteraksi dengan

orang lain dalam lingkungan yang pantas. Komunikasi yang efektif dalam organisasi

tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga meningkatkan komitmen afektif pada

karyawan dalam organisasi tersebut. Ritual dan upacara dalam organisasi

(40)

25

juga dapat mendorong komitmen afektifkaryawan baru. Oleh karena itu artefak atau

surface level pada budaya organisasi mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson dan

Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Pada espoused values menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan

waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir,

Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi yang dilakukan oleh pemimpin

organisasi berdasarkan budaya organisasi mendukung komitmen karyawan dan

strategi pemimpin mengurangi ketidakpastian pada karyawan serta menjaga

komitmen mereka dengan organisasi (Whetten dan Cameron, dalam Sabir, Razzaq

dan Yameen, 2010).

Level terakhir pada budaya organisasi adalah basic assumptions dimana terdiri dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs yang meningkatkan komitmen pada karyawan. Asumsi dasar dan nilai yang dibangun dengan baik sesuai dengan

attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan

Yameen, 2010). McShane dan Glinow (2006) juga menyatakan bahwa dasar dari

nilai-nilai dan asumsi dapat membangun komitmen karyawan. Organisasi dapat

(41)

karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai pada budaya organisasi.

Faktor-faktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi.

Dalam hal ini menunjukkan bahwa setiap level pada budaya organisasi

mempengaruhi komitmen afektif. Walaupun setiap organisasi mempunyai tipe

budaya yang berbeda-beda, akan tetapi setiap budaya organisasi sesuai dengan tiga

level pada budaya organisasi tersebut dimana dapat mendukung organisasi dalam

meningkatkan dan membangun karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi

terhadap organisasi (Schein, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki

persepsi yang positif terhadap budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka

bekerja, hal ini akan meningkatkan komitmen pada karyawan dalam organisasi

tersebut. Persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong culture) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya (Robbins,

dalam George dan Jayan, 2012). Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana

persepsi karyawan terhadap budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap

peningkatan efektifitas suatu organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena

budaya organisasi yang efektif pada suatu organisasi membangun lingkungan

komitmen yang tinggi (Denison, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda,

maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara

(42)

27

E. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian korelasional. Berikut akan dijelaskan lebih

lanjut mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, alat

ukur penelitian, validitas, reliabilitas, uji daya beda aitem dan metode analisis data.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel bebas : Budaya organisasi

Variablel tergantung : Komitmen Afektif

B. DEFINISI OPERASIONAL 1. Komitmen Afektif

Komitmen afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat

secara emosional sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi,

terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena

menginginkannya.

Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala komitmen afektif menunjukkan

semakin tinggi tingkat komitmen afektif karyawan dan sebaliknya, semakin rendah

nilai yang diperoleh dari skala komitmen afektif menunjukkan semakin rendah

(44)

29

2. Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah persepsi yang ditimbulkan karyawan terhadap

model budaya organisasi yang diciptakan oleh pihak menajemen mengenai nilai-nilai,

kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan

pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui

cara berperilaku yang benar dalam organisasi.

Budaya organisasi diukur dengan skala budaya organisasi yang disusun oleh

peneliti berdasarkan level budaya organisasi oleh Edgar Schein (dalam Rollinson,

2005) yaitu:

a. Surface Level

Merupakan struktur dan proses organisasi yang tampak dan dapat di

observasi. Terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari rancangan fisik

suatu bangunan, cara berpakaian, cara berbicara dengan orang lain sampai

dengan hal yang dibicarakan.

b. Espoused Values

Merupakan nilai untuk mendirikan gambaran publik yang ingin

ditunjukkan oleh pemimpin organisasi. Nilai tersebut secara sadar

dibangun dan secara moral atau etis mengarahkan perilaku dengan

mengembangkan asumsi ke dalam perilaku. Oleh karena itu, nilai

(45)

c. Basic Assumptions

Merupakan level terdalam pada budaya. Hal ini merupakan dasar beliefs yang dianut oleh banyak orang tanpa disadari. Setiap organisasi juga

cenderung berbeda dalam basic assumptions yang ada dalam budaya mereka.

Semakin tinggi skor yang dimiliki subjek pada skala ini menunjukkan

semakin positif persepsi karyawan terhadap budaya organisasi yang diciptakan oleh

perusahaan dan sebaliknya, semakin rendah total skor pada skala ini, semakin negatif

persepsi karyawan terhadap budaya organisasi yang diciptakan oleh perusahaan.

C. POPULASI

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang memiliki ciri-ciri atau

karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang

lain dan hendak digeneralisasikan (Azwar, 2010). Adapun karakteristik atau ciri dari

populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang telah bekerja minimal selama dua

tahun, dengan alasan bahwa karyawan dengan lama kerja 2 – 4 tahun sudah masuk kepada tahap metamorphosis yaitu tahap dimana setiap pekerja akan berubah dan telah menyerap nilai organisasi dengan baik (Robbins, dalam Mariatin, 2009).

Dalam penelitian ini, peneliti menargetkan populasi sebagai subjek penelitian.

(46)

31

D. ALAT UKUR PENELITIAN

Dalam penelitian ini, alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah alat ukur yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori komitmen afektif dan

budaya organisasi.

1. Skala Komitmen Afektif

Skala komitmen afektif disusun berdasarkan indikator-indikator perilaku dari

salah satu tipe komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Meyer dan Allen (1997)

yaitu komitmen afektif.

Skala ini menggunakan skala model Likert. Skala terdiri dari pernyataan

dengan lima pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak

Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Setiap elemen di atas akan diuraikan ke

dalam pernyataan favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Untuk pernyataan favourable, pilihan SS mendapatkan skor 5, pilihan S mendapatkan skor 4, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS mendapatkan skor 2 dan pilihan

STS mendapatkan skor 1. Untuk pernyataan unfavourable, pilihan SS mendapatkan skor 1, pilihan S mendapatkan skor 2, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS

mendapatkan skor 4 dan pilihan STS mendapatkan skor 5.

Skala komitmen afektif akan disusun berdasarkan definisi dari tiap kategori.

Semakin tinggi skor yang dimiliki subjek pada skala ini menunjukkan semakin tinggi

komitmen afektif karyawan dan sebaliknya, semakin rendah total skor pada skala ini,

(47)

Blueprint yang digunakan untuk penyusunan skala komitmen afektif adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Blueprint Skala Komitmen Afektif Sebelum Uji Coba No. Komitmen Afektif Item Favourable Item

Unfavourable

Skala budaya organisasi disusun berdasarkan level pada budaya organisasi

yang dikemukakan oleh Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005).

Skala ini menggunakan skala model Likert. Skala terdiri dari pernyataan

dengan lima pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak

Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Setiap elemen di atas akan diuraikan ke

dalam pernyataan favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Untuk pernyataan favourable, pilihan SS mendapatkan skor 5, pilihan S mendapatkan skor 4, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS mendapatkan skor 2 dan pilihan

STS mendapatkan skor 1. Untuk pernyataan unfavourable, pilihan SS mendapatkan skor 1, pilihan S mendapatkan skor 2, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS

(48)

33

akan disusun berdasarkan definisi dari tiap kategori pada elemen-elemen budaya

organisasi.

Blueprint yang digunakan untuk penyusunan skala budaya organisasi adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Blueprint Skala Budaya Organisasi Sebelum Uji Coba No. Level budaya organisasi Favourable Unfavourable Jumlah

1. Surface level 1, 7, 13, 18, 21, 24, 27,

28, 30, 33, 35

4, 10, 16 14

2. Espoused values 2, 8, 14, 19, 22, 25, 29,

31, 34, 36, 38, 40

5, 11, 17 15

3. Basic Assumptions 3, 9, 15, 20, 23, 26, 32,

37, 39

6, 12 11

Jumlah 32 8 40

E. VALIDITAS, RELIABILITAS, DAN UJI DAYA BEDA AITEM 1. Uji Validitas

Validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang

seharusnya diukur (Kaplan dan Saccuzzo, 2005). Uji validitas yang digunakan dalam

penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan hal yang utama dalam suatu

(49)

Oleh karena itu. peneliti akan meminta pertimbangan professional judgment yaitu dosen pembimbing peneliti dalam menilai aspek-aspek yang diukur.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dari suatu alat ukur dapat

dipercaya (Azwar, 2000). Reliabilitas dianggap memuaskan bila koefisiennya

mencapai minimal rxx’ = 0,900 (Azwar, 2012). Teknik analisis yang digunakan untuk menghitung reliabilitas dari alat ukur dalam penelitian ini adalah teknik koefisien

alpha cronbach formula. Penghitungan selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS 16.0 for windows.

3. Uji Daya Beda Aitem

Daya beda aitem akan diuji dengan menggunakan Pearson Product Moment. Jika kolerasi aitem total mencapai nilai minimal 0.3 maka daya beda aitem tersebut

dianggap memuaskan (Azwar, 2012).

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba terhadap kedua instrumen penelitian dilaksanakan pada 18 Maret

2013 sampai dengan 23 Maret 2013. Uji coba dilakukan dengan menyebarkan skala

ke suatu perusahaan distributor. Uji coba alat ukur melibatkan 50 orang. Dari hasil uji

coba diperoleh 22 aitem untuk skala I dan 40 aitem untuk skala II. Reliabilitas skala

(50)

35

organisasi adalah 0,948. Distribusi aitem setelah uji coba dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 3. Blueprint Skala Komitmen Afektif Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru

No. Komitmen Afektif Item Favourable Item

Unfavourable

Tabel 4. Blueprint Skala Budaya Organisasi Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru

No. Level Budaya Organisasi Item Favourable Item

(51)

Persiapan yang dilakukan oleh peneliti untuk penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Pembuatan alat ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala komitmen afektif.

Skala komitmen afektif memiliki 14 aitem dan disusun berdasarkan indikator

komitmen afektif. Skala budaya organisasi memiliki 32 aitem dan disusun

berdasarkan level budaya organisasi. Kedua skala ini memiliki 5 alternatif

jawaban dari sangat sesuai, sesuai, netral, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai.

b. Uji coba alat ukur

Uji coba terhadap skala penelitian dilaksanakan pada 18 Maret 2013 sampai

dengan 23 Maret 2013. Uji coba dilakukan dengan menyebarkan skala ke satu

perusahaan. Uji coba alat ukur melibatkan 50 orang. Skala yang telah dicetak

dalam bentuk buku beserta reward berupa pulpen dibagikan kepada sampel penelitian, setelah individu selesai mengisi maka skala dikumpulkan kembali.

Skala kemudian diskoring dan data yang diperoleh diolah untuk melihat daya

diskriminasi aitem dan reliabilitas alat ukur.

c. Revisi alat ukur

Dari analisa daya diskriminasi aitem, aitem yang memiliki daya diskriminasi

rendah (< 0,3) dikeluarkan dari skala. Aitem yang memiliki daya diskriminasi

(52)

37

penelitian. Dari hasil analisa daya diskriminasi, skala komitmen afektif

memiliki 14 aitem dan skala budaya organisasi memiliki 32 aitem.

2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah alat ukur selesai di uji coba dan direvisi, maka langkah selanjutnya adalah

mengambil data penelitian. Pengambilan data penelitian dilaksanakan dari tanggal

10 April 2013 sampai dengan 20 April 2013 di PT. X. Peneliti membagikan skala

kepada seluruh karyawan PT. X yang sesuai dengan karakteristik penelitian untuk

mengisi skala yang telah disusun dalam bentuk buku yang disertai reward berupa pulpen. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 47 orang.

3. Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari skala komitmen afektif dan skala budaya organisasi

pada seluruh sampel, maka dilakukanlah pengolahan data. Pengolahan data

tersebut menggunakan bantuan program SPSS 16.00.

H. METODE ANALISIS DATA

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik.

Metode analisis data yang digunakan untuk melihat hubungan antara budaya

organisasi dan komitmen afektif adalah dengan menggunakan pearson colleration dengan bantuan program SPSS 16.00.

Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi

(53)

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua variabel

terdistribusi secara normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows. Data terdistribusi normal jika p > 0.05 dan sebaliknya data tidak berdistribusi dengan

normal apabila p < 0.05 (Field, 2009).

2. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data budaya organisasi

berkolerasi terhadap data komitmen afektif. Uji linearitas dilakukan dengan bantuan

(54)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Di dalam bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian sesuai

dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan gambaran umum subjek

penelitian, yang akan dilanjutkan dengan hasil penelitian dan pembahasan hasil

penelitian.

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 47 orang. Berdasarkan data yang

diperoleh, berikut akan dipaparkan data subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin,

usia, dan lama bekerja.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian, maka diperoleh gambaran

penyebaran subjek seperti yang tertera pada tabel 5.

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin Jumlah (N) Persentase (%)

Laki-laki 22 46,8%

Perempuan 25 53,2%

(55)

Dari tabel 5 menunjukkan bahwa subjek yang berjenis kelamin perempuan

lebih banyak daripada subjek berjenis kelamin laki-laki, dimana subjek berjenis

kelamin perempuan berjumlah 25 orang (53,2%) dan subjek berjenis kelamin

laki-laki berjumlah 22 orang (46,8%).

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia subjek penelitian, maka diperoleh gambaran penyebaran

subjek seperti yang tertera pada tabel 6.

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Usia (tahun) Jumlah (N) Persentase (%)

20 4 8,5%

21 1 2,1%

22 2 4,3%

23 2 4,3%

24 4 8,5%

25 5 10,6%

26 5 10,6%

27 5 10,6%

28 6 12,8%

(56)

41

30 4 8,5%

31 1 2,1%

32 1 2,1%

33 3 6,4%

35 1 2,1%

36 1 2,1%

39 1 2,1%

Total 47 100%

Dari tabel 6 diperoleh gambaran bahwa subjek yang berusia 28 tahun

berjumlah 6 orang (12,8%), subjek yang berusia 25, 26 dan 27 masing-masing

berjumlah 5 orang (10,6%), subjek dengan usia 20, 24 dan 39 masing-masing

berjumlah 4 orang (8,5%), subjek yang berusia 33 tahun berjumlah 3 orang (6,4%),

kemudian subjek yang berusia 22 dan 23 tahun masing-masing berjumlah 2 orang

(4,3%), dan subjek dengan usia 21, 29, 31, 32, 35, 36 dan 39 masing-masing

berjumlah 1 orang (2,1%) .

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja

Berdasarkan lama bekerja subjek penelitian, maka diperoleh gambaran

(57)

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja Lama kerja (tahun) Jumlah (N) Persentase (%)

2 15 31,9%

3 12 25,5%

4 6 12,8%

5 7 14,9%

6 3 6,4%

7 4 8,5%

Total 47 100%

Pada tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar subjek bekerja selama 2

tahun yaitu berjumlah 15 orang (31,9%), diikuti dengan subjek yang bekerja selama 3

tahun berjumlah 12 orang (25,5%), subjek yang bekerja selama 4 tahun berjumlah 6

orang (12,8%), sebanyak 7 orang (14,9%) bekerja selama 5 tahun, kemudian

sebanyak 3 orang (6,4%) bekerja selama 6 tahun, dan subjek yang bekerja selama 7

tahun berjumlah 4 orang (8,5%).

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Komitmen Afektif

Kategorisasi skor komitmen afektif subjek penelitian dapat diperoleh melalui

uji signifikansi perbedaan mean empirik dengan mean hipotetik. Kemudian subjek

akan digolongkan ke dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Gambar

Tabel 1. Blueprint Skala Komitmen Afektif Sebelum Uji Coba
Tabel 2. Blueprint Skala Budaya Organisasi Sebelum Uji Coba
Tabel 4. Blueprint Skala Budaya Organisasi Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PEMBERIAN INSENTIF DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN.. TABLOID

Komitmen karyawan terhadap organisasi pada perusahaannya dapat dijadikan salah satu jaminan untuk menjaga kelangsungan perusahaan dan hal ini dapat dipengaruhi oleh

Hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan komitmen. organisasi

Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif dan signifikan antara persepsi terhadap dukungan organisasi dengan komitmen afektif pada karyawan.Subjek dalam

Disarankan pada pihak perusahaan jika ingin mendapatkan komitmen organisasi yang tinggi pada karyawan, maka kebutuhan dan keinginan karyawan harus dipenuhi, maka kebutuhan dan

Berdasarkan hasil penelitian ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi pengembangan karier dengan komitmen karyawan pada organisasi, artinya bahwa pada karyawan

Berdasarkan hal tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi pada karyawan bagian teknik PT

Alat ukur penelitian adalah skala komitmen karyawan pada organisasi yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek komitmen karyawan pada organisasi, skala budaya organisasi