• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMITRAAN STRATEGIS

A. Pola perkembangan hubungan kerjasama ekonomi Indonesia-Cina pada era Orde Lama

B. Dinamika hubungan kerjasama ekonomi Indonesia-Cina pada era Orde Baru hingga masa

normalisasi hubungan diplomatik

C. Langkah-langkah yang dilakukan Indonesia dalam mempererat kerjasama ekonomi

dengan Cina pasca masa normalisasi hubungan diplomatik

BAB III ANALISIS DAMPAK PENINGKATAN EKONOMI INDONESIA MELALUI DEKLARASI KEMITRAAN STRATEGIS DENGAN CINA TAHUN 2005-2011

A. Faktor eksternal dan Internal yang mempengaruhi peningkatan kerjasama ekonomi

bilateral Indonesia-Cina tahun 2005-2011

I. Faktor-faktor Dalam Negeri Indonesia

a. Geografis

23

II. Faktor-faktor Luar Negeri Indonesia

a. Dukungan dari ASEAN

b. Hubungan ASEAN dan Cina

c. Politik Ekonomi Cina

B. Dampak-dampak yang didapatkan Indonesia melalui meningkatkan hubungan kemitraan

perdagangan dengan Cina dalam Deklarasi Kemitraan Strategis tahun 2005-2011

a. Deklarasi Kemitraan Strategis 2005-2010

b. Deklarasi Kemitraan Strategis 2010-2015

24

BAB II

HUBUNGAN EKONOMI INDONESIA-CINA PRA-DEKLARASI KEMITRAAN STRATEGIS

A. Pola Perkembangan Hubungan Kerjasama Ekonomi Indonesia-Cina pada era Orde

Lama

Pada era Orde Lama sistem pemerintahannya lebih dikenal dengan sebutan masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia (1945-1965). Dimasa ini, Indonesia menggunakan dua pola yang dipakai untuk menjalankan perekonomian negara yakni, sistem ekonomi liberal

dan komando39. Pada sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan prinsip-prinsip kebebasan

dan netral dalam perekonomian negara. Hal ini, di tujukan agar Indonesia dapat mengembangkan diri menjadi masyarakat yang dinamis, kompetitif serta layak untuk merdeka. Dalam memilih negara yang tepat untuk menjalin kerjasama perdangan ini, Soekarno memandang Cina sebagai negara yang strategis untuk mengawali kerjasama dalam bidang ekonomi bagi negara Indonesia. Namun, sistem ini bahkan membuat keadaan Indonesia yang pada saat itu baru mendapatkan

kemerdekaan di tahun 1945, menjadi semakin memburuk40.

Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia belum bisa bersaing dengan Cina dalam perdagangan bebas yang diterapkan Indonesia pada saat itu. Pengusaha lokal yang dimiliki Indonesia di era tersebut, masih lemah dan minimnya pengalaman dalam melakukan perdagangan bebas dengan Cina yang lebih memahami struktur jalur perdagangan bebas, baik

39

Tuty Enoch Muas, (2009). Merangkul Cina : Hubungan RI-Cina, Secara Historis, Dinamis!. Hal. 25

40

25

secara bilateral maupun multilateral41. Terbukti pada 20 Maret 1950, di Indonesia terjadi

pemotongan nilai mata uang (Sanering) untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar harga

barang menjadi turun. Kemudian, Program Benteng (Kabinet Natsir), yang ditujukan untuk menumbuhkan wiraswastawan pribumi, serta dapat mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing. Dengan cara membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi, serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung

konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi42.

Lalu Sistem ekonomi Ali-Baba dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I, yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, untuk penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Dalam program ini, pengusaha non-pribumi (Cina) diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit serta lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Namun, program ini juga tidak berjalan dengan baik, disebabkan pengusaha pribumi kurang berpengalaman dalam bidang perdagangan, sehingga hanya dijadikan

alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah43. Mengingat bahwa Cina telah lebih

dulu menjalin kerjasama dagang dengan negara barat seperti Amerika Serikat dan Eropa, maka melakukan persaingan serta kompetisi dengan Cina merupakan suatu hal yang terlalu dini bagi Indonesia yang pada saat itu baru mendapatkan kemerdekaan dan memulai untuk mengembangkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Walaupun Cina juga baru memproklamasikan kemerdekaannya empat tahun setelah Indonesia (1945) yakni pada 1

41

I. Wibowo, (1999) . Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. 205

42

Zainuddin Djafar. (2009). Merangkul Cina : Hubungan Perdagangan Indonesia : Diperlukan Redesigning yang Baru. hal. 73

43

26

Oktober 1949, namun pengalaman bekerjasama dengan negara asing telah dilakukan Cina sejak

masa Dinasty Ming44. Berlandasakan dari hal tersebut, di tahun 1955 Indonesia mengalihkan

sistem ekonomi liberal ke sistem ekonomi komando45.

Dengan demikian, Indonesia memiliki peluang untuk belajar lebih memahami pola perdagangan dengan negara-negara kemitraan dalam melakukan hubungan dagang, baik secara bilateral maupun multilateral. Bagi Soekarno, Cina merupakan negara mitra yang berpotensi besar untuk mengawali kemajuan ekonomi negara, dikarenakan letak geografis antar Indonesia dan Cina memilikii poros jalur perdagangan yang sangat strategis untuk melakukan hubungan

dagang46. Pada sistem ekonomi komando ini, hubungan bilateral kedua negara terlihat semakin

erat. Hal ini terbukti dengan disepakatinya pembukaan hubungan diplomatik secara resmi oleh Soekarno pada April tahun 1955 di Jakarta, sebagai permulaan untuk menjalin kerjasama bilateral dengan negara lain. Kemudian, lima tahun setelah dibukanya jalur kerjasama kedua

negara tersebut, Indonesia berpandangan bahwa Cina berpotensi untuk menjadi negara Super

Power yang dapat mendorong perekonomian domestik menjadi lebih berkembang dan meningkat

di masa yang akan datang47. Maka pada tahun 1955, Indonesia membentuk Perhimpunan

Persahabatan Indonesia-Cina sebagai wadah untuk memfokuskan diri dalam mengembangkan infrastruktur perekonomian dalam negeri hingga dapat menarik investor Cina untuk dapat menanamkan modalnya di perusahaan Indonesia.

Selain itu, Cina memang menempatkan dirinya untuk menjalin kerjasama perdagangan hanya dengan kelompok sosialis di kawasana blok timur. Mengingat Indonesia yang dipimpin

44

Dinasty Ming (1368-1644) merupakan era kejayaan bangsa Cina dalam membangun kedaulatannya sebagai bangsa yang lebih bermatabat, berpendidikan, serta unggul dalam menjalankan sistem pemerintahan. Dalam bidang perdagangan, Dinasti Ming terkenal dengan wilayah dagang yang telah pasar internasional dengan luas. Dengan demikian Cina tidak lagi di anggap termasuk dalam bangsa Mongol, bangsa Machu, ataupun suku-suku yang belum memiliki pemerintahan yang maju dan lebih teratur seperti yang telah berjalan di Cina (Beijing)

45

Dalam I. Wibowo. ibid hal. 205

46

Dalam Tuty Enoch. ibid. hal 37-40

47

27

oleh Soekarno pada saat itu, menganut paham NASAKOM (Nasional Agama Komunis) memiliki kesamaan ideologi yang juga di pakai Cina dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Di masa tersebut, Cina di dominasi oleh Partai Komunis Cina (PKC) dan Indonesia juga memiliki Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai salah satu partai yang kuat di dalam pemerintahan. Berlandasakan dengan kesaman paham tersebut, Cina meyakinkan diri untuk terus menguatkan hubungan kemitraan dengan Indonesia sebagai rekan kerjasama perdagangan. Hal ini, terlihat dari terciptanya poros Jakarta-Peking (Beijing) yang di buat pada era 1960an48.

Adapun alasan yang diajukan Soekano dalam pemebentukan poros ini, ialah karena posisi negara Indonesia yang pada saat itu sebagai negara yang baru merdeka, membutuhkan banyak bantuan modal asing, Namun apabila menggantungkan diri pada negara besar seperti Amerika Serika (USA) dan Inggris akan semakin mempersulit keuangan dalam negeri, karena besarnya bunga dan persyaratan yang memberatkan pemerintah. Sehingga Indonesia perlu mencari negara donor yang mampu memberikan bantuan dengan persyaratan yang mudah yaitu Cina dan termasuk pula Uni Soviet. Karena kedua negara tersebut, khususnya Cina menawarkan bunga yang lebih rendah, serta persyaratan yang lebih mudah untuk diambil Indonesia untuk mencari

dana bantuan dari negara asing49. Selain itu, tindakan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) yang dianggap tidak adil. Sebagai negara yang baru merdeka, anggapan bangsa lain mengenai suara yang diajukan oleh bangsa Indonesia tidak pernah didengarkan maupun di pertimbangkan, karena dianggap sebagai negara baru yang belum mengerti dan paham dalam

48

Dalam Zainuddin Djafar. Ibid. hal 73-75

49

Dana bantuan yang diajukan Amerika dapat berbunga hingga 10% dari total jumlah dana yang dipinjamkan dalam pengembaliannya yang akan di bayarkan Indonesia. Kemudian Inggris dapat mencapai hingga 12% dari total bunga dana bantuan atau pinjaman yang di ajukan kepada Indonesia yang harus dibayar nantinya. Lalu, Uni Soviet hanya memberikan bunga sebesar 5%. Sedangkan Cina dapat menawarkan 5-0% bunga yang harus dibayarkan Indonesia.

28

diskusi ketata negaraan secara global. Dalam status bangsa yang tidak dipandang penuh oleh PBB menjadikan Indonesia berusaha untuk mendapatkan perhatian Cina serta Uni Soviet sebagai negara kuat lainnya yang dapat mendukung dan membantu Indonesia agar dapat menaikkan harga dirinya sebagai bangsa yang berdaulat serta bermartabat di depan negara asing lainnya serta membuat suara Indonesia juga dapat di dengar dan jadi bahan pertimbangan oleh PBB

dalam diskusi kenegaraan50.

Memasuki tahun 1962, hubungan Indonesia-Cina semakin menunjukkan keharmonisan. Pada masa itu, Cina masih memakai kebijakan luar negri yang tertutup dan tidak banyak menjalin kerjasama dengan negara asing. Selain itu, Cina menutup diri untuk tidak bermitra dengan negara-negara yang ada di blok Barat untuk menjalankan arus pemerintahan dalam dan luar negrinya, di segala sektor pemerintah. Indonesia yang memiliki kesamaan faham yang dipakai Soekarno pada saat itu, sejalan dengan ideologi Cina yang komunisme. Dengan demikian, kedekatan yang diberikan kepada Indonesia menjadikan hal tersebut merupakan perlakuan istimewa, dengan membuka peluang untuk mempererat jalinan kerjasama ekonomi di

Indonesia. Hal ini ditujukkan dengan dibangunnya proyek Games of the New Emerging Forces

(GANEFO) untuk meningkatkan perekonomian negeri agar dapat memaksimalkan manfaat sumber daya alam (SDA) serta sumber daya manusia (SDM) yang ada di Indonesia langsung di

bawah komando Presiden Soekarno dan Presiden mao Zedong serta PM Cina Chou Enlai51.

Hubungan baik tersebut terjalin cukup singkat, hingga timbulnya gerakan pemberontakan yang di pelopori oleh partai komunis di Indonesia pada Oktober 1965, yang melibatkan pembunuhan massal oleh sebagian besar warga Indonesia yang menginginkan untuk memiliki pmiliter partai sendiri seperti yang ada di Cina (PKC). Dengan demikian, Gerakan 30 September

50

Dalam Zainuddin Djafar . ibid hal 81

51

29

atau lebih dikenal dengan peristiwa G 30S PKI mempengaruhi fokus Indonesia yang baru akan membangun negara yang stabil, menjadi bangsa yang terpecah menjadi beberapa kelompok maupun kesatuan. Dalam kelangsungan peristiwa pemberontakan ini, Cina dianggap membantu arus perdagangan alat utama sistem senjata (ALUTSISTA) yang di pakai PKI dalam melakukan pemberontakannya. Selain itu, Cina juga menyokong bantuan militer yang ada pada PKC untuk turut melaksanakan kegiatan pemberontakan oleh PKI. Hal ini, dilandasi masih dengan alasan kesamaan faham. Maka tindakan membantu partai komunis di Indonesia, sama dengan membantu sesama komunis serta memperluas wilayah dengan faham komunisme lainnya bagi Cina (PKC).

Dengan alasan serta tuduhan yang di tujukan kepada Cina, mengenai turut campur tangan terhadap masalah dalam negeri yang ada di Indonesia di anggap terlalu mendalam dan bahkan memperburuk keadaan. Masalah, pemberontakan yang dilakukan PKI pada Indonesia membuat Cina bertindak terlalu jauh dari batas privasi kenegaraan yang ada bagi bangsa Indonesia. Maka pada saat orde lama runtuh dan di gantikan dengan orde baru di tahun 1966, Indonesia menutup Perhimpunan Persahabatan dengan Cina. Keputusan ini, dianggap tepat untuk membatasi serta memperingatkan PKC akan tindakan mereka yang sudah terlalu dalam ikut campur masalah dalam negeri bangsa Indonesia. Memasuki pergantian pemerintahan maka orde lama pun di gantikan dengan orde baru yang di pimpin oleh Jendral Soeharto sebagai pemimpin negara Indonesia yang baru. Dengan pergantian kepemimpinan ini, maka berubah pula pola hubungan kerjasama Indonesia-Cina yang dulu di prakarsai oleh Presiden Soekarno, berubah menjadi

pemutusan hubungan diplomatik dengan Cina pada tahun 30 Oktober 196752. Dengan

berlandaskan alasan tersebut, Indonesia semakin mempertegas bahwa Cina tidak dapat turut mengambil alih masalah dalam negeri sebuah negara lain untuk membantu apapun bagi kegiatan

52

30

apapun yang dilakukan kelompok pemberontakan yang ada di Indonesia khususnya secara lebih mendalam dan mendominasi.

B. Dinamika Hubungan Kerjasama Ekonomi Indonesia-Cina pada Era Orde Baru

hingga Masa Normalisasi Hubungan Diplomatik

Memasuki era orde baru (1968-1998), Indonesia menfokuskan diri kepada pembangunan infrastruktur pemerintahan. Dibawah pimpinan Presiden Soeharto, perekonomian negara pun turut beralih kepada sistem ekonomi pembangunan yang bertujuan untuk menembus pasar internasional lebih luas. Terkait hubungan dagang Indonesia-Cina yang sempat terputus karena pemasalahan politik oleh G 30 S/ PKI, belum melunturkan rasa sentimen Soeharto untuk memperbaiki jalinan kerjasama dengan Cina. Terlebih lagi, pada era ini terjadi deskriminasi kelompok yang ditujukkan kepada etnis tionghoa (Cina) yang ada di Indonesia. Kelompok tersebut, dianggap perpanjangan tangan golongan komunis di Cina untuk meluaskan daerah

kekuasaannya demi mencapai kesamaan faham yakni Komunisme53. Hal ini, jelas melanggar

peraturan kenegaraan yang tercantum dalam Dasa Sila Bandung bulir ke empat, lima dan enam, yakni : 4) Tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam persoalan dalam negeri negara lain. 5) menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian maupun secara kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB, lalu 6) a. Tidak menggunakan peraturan-peratura dan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah

satu negara-negara besar, b. Tidak melakukan campur tangan terhadap negara lain54.

Dengan demikian, tindakan yang dilakukan Cina dalam membantu alat-alat militer yang di pakai PKI untuk melawan Indonesia menuju faham komunisme adalah pelanggaran besar

53

Gitosardjono, Sukamdi Sahid, (2006), Dinamika Hubungan Indonesia-TIongkok di era Kebangkitan Asia, Jakarta : Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, dan Budaya Cina.

54

31

yang meliputi tiga poin dalam norma ketata negaraan suatu bangsa. Dengan terputusnya hubungan diplomatik kedua negara, maka langkah yang di ambil Indonesia dalam mengalihkan persoalan tersebut ialah berfokus pada pembangunan infrastruktur negara yang tercipta dalam rencana kerja Pembangunan Lima Tahun (PELITA) di tahun 1969. Program kerja ini dibagi menjadi lima tahap, yakni PELITA I (1969-1974) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar sandang dan pangan serta infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian, yang pada saat itu, Indonesia memang kekurangan bahan pangan yakni beras sebagai makanan pokok yang dibutuhkan masyarakat. Kemudian, PELITA II (1974-1979) berfokus pada peningkatan pembangunan pulau-pulau di Jawa, Bali dan Madura melalui transmigrasi. Dimasa masa orde baru, perpecahan suku-suku merupakan masalah penting yang harus diperbaiki pasca G 30 S/PKI. Tindakan partai komunis tersebut, telah memecah belah masyarakat pribumi menjadi kelompok-kelompok pemberontak yang menghancurkan infrastruktur negara dengan skala yang

besar55. Maka, dengan melakukan transmigrasi penduduk akan membantu masyarakat pribumi

kembali dapat memulai kehidupan yang baru demi terciptanya masyarakat yang damai dan beragam sesuai semboyan bangsa Indonesia yakni Bhinneka Tunggan Ika yang artinya walau berbeda-beda namun tetap satu bangsa.

Berlanjut hingga ke PELITA III (1979-1984) yakni bergulir pada kepentingan negara dalam menekan peningkatan industry padat karya dan ekspor. Maka, di tahap ini, Indonesia mulai memikirkan untuk memperbaiki jalinan kerjasama dengan Cina. Mengingat bahwa kebutuhan ekpor-impor memerlukan dukungan dan kerjasama kepada negara besar, serta memiliki potensi ekonomi yang cukup kuat. Maka, Indonesia memilih Cina sebagai mitra strategis dalam melancarkan kegiatan peningkatan perekonomian negeri.

55

32

Walaupun hubungan kedua negara masih terputus, tetapi dalam prakteknya barang-barang asal Cina tetap dapat masuk ke Indonesia. Hal ini, merupakan tindakan dari jasa perantara negara ketiga. Jenis barang seperti mesin-mesin pertanian, barang-barang elektornik, dan obat-obatan, diimpor melalui Singapura, serta Hongkong. Kemudian, jenis bahan kimia atau bahan

baku industri farmasi diimpor melalui negara-negara Eropa Barat56. Dengan perantara negara

ketiga itulah, yang menybabkan perdagangan Indonesia-Cina tetap berlangsung walaupun kedua pihak membekukan hubungan diplomatik secara bilateral.

Kemudian, dari adanya ketentuan baru dari pemerintah Orde Baru seperti yang tertuang dalam SK Mendagkop RI tahun 1967, memerintahkan untuk menghentikan ekspor barang Indonesia ke Cina, sementara impor melalui negara ketiga tetap berjalan. Dengan kebijakan yang tidak seimbang tersebut, jelas menguntungkan pihak Cina secara ekonomis. Seperti pada tahun 1970-an terlihat kesenjangan neraca perdagangan antara Indonesia-Cina yang dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel Neraca Perdagangan Indonesia-Cina57

(dalam jutaan dollar AS)

Tahun Ekspor Impor

1970 - 30,6 1971 - 27,6 1972 - 39,0 1973 - 48,8 56

Murkan, Munawar. (1984). Skripsi : Kemungkinan-kemungkinan Pencairan Hubungan Diplomatik Indonesia-RRC (Suatu Analisa terhadap Sikap Indonesia). Jakarta : Universita Indonesia. Kompas, 27 April 1978

57

Dalam Murkan Munawar, Ibid. Diolah dari Saw Swee Hoek, Economi Problems & Prospect in ASEAN Countries, (Singapore University Press), hal. 159, dan Biro Pusat Statistik dalam Proyek Pembinaan Kerjasama Perdagangan Luar Negri, op-cit., Bagian III

33

1974 - 113,9

1975 - 203,5

1976 - 131,8

1977 - 153,5

Dari tabel diatas, terlihat bahwa dinamika perdagangan Indonesia-Cina mengalami peningkatan-peningkatan yang signifikan. Walau tidak setiap satu tahun mengalami kenaikan angka yang tinggi, tetapi penigkatan yang besar terjadi pada tahun berikutnya. Dengan demikian, impor barang Indonesia dari Cina melalui negara ketiga jelas mengakibatkan harga barang menjadi melonjak. Maka terkait dengan hal tersebut, Indonesia mengambil kesempatan untuk memperbaiki kesenjangan tersebut dari pergantian pemerintahan Mao Zedong ke Deng Xiaoping. Pergantian pemimpin Cina, juga mempengaruhi kebijakan luar negeri bagi negara tersebut. Maka, Indonesia menginginkan pembahasan ulang yang lebih spesifik terhadap Cina mengenai hubungan bilateral kedua negara. Dengan melakukan perdagangan langsung dengan

Cina, maka keuntungan yang dapat dicapai oleh Indonesia, yakni58 :

Berkurangnya mata rantai perdagangan. Biaya pengapalan yang lebih murah. Dan penghematan devisa sebesar 30-40 %.

Dari tindakan untuk mendekatkan diri dengan Cina dan keuntungan yang diperhitungkan untuk dapat dicapai Indonesia dengan perdagangan langsung antar kedua negara ini, merupakan bentuk reformasi baru dalam sejarah bilateral Indonesia-Cina pasca pembekuan hubungan

58

Dalam Murkan Munawar, Ibid. Diolah dari Saw Swee Hoek, Economi Problems & Prospect in ASEAN Countries, (Singapore University Press), hal. 2-3, dan Biro Pusat Statistik dalam Proyek Pembinaan Kerjasama Perdagangan Luar Negri, op-cit., Bagian III

34

diplomatik di awal era orde baru. Terkait dengan pergantian pemimpin Cina setelah Mao Zedong yang menjadikan Cina sebagai negara tertutup dalam melakukan kegiatan perekonomian

negerinya. Maka, di era Deng Xiaoping, terjadi refolusi ekonomi pintu terbuka (geige kaifang)

dengan membuka kembali jalur perdagangan luar negri dengan negara lainnya. Kebijakan Deng inilah yang melancarkan Indonesia dalam melakukan perbaikan hubungan dagang terhadap Cina, tanpa melihat sejarah dimasa lampau ketika kedua negara membekukan jalinan kerjasama di semua bidang. Tindakan Indonesia mendekatkan diri dengan Cina ini tidak lepas dari tujuan kenegaraan untuk memajukan perekonomian negeri secara global dan luas.

Dilatar belakangi oleh kegiatan PELITA yang ketiga ini dan langkah untuk memulai normalisasi hubungan bilateral kedua negara, Indonesia mengirimkan perwakilan dari Kamar Dagang (KADIN) dibawah pimpinan Sukamdi Sahid Gitosardjono pada tanggal 29 Januari 1984, mengadakan pertemuan dengan Mentri Luar Negri (MENLU) Cina di Singapura untuk membahas hubungan dagang kedua negara. Peristiwa ini, merupakan awal mula dari jalinan

bilateral yang baik antara Indonesia dengan Cina, khususnya di bidang perekonomian59. Dari

pembahasan tersebut, Cina menyetujui untuk membuka kerjasama dengan Indonesia, walau hubungan diplomatik kedua negara masih dapat dikatakan belum memasuki tahap normalisasi yang lebih signifikan. Namun, bukan rahasia lagi bahwa barang-barang dari Cina tetap membanjiri pasar di Indonesia yang menggunakan jasa perantara negara ketiga untuk mengimpor barang dari Cina ke Indonesia. Dari kegiatan tersebut, jelas merugikan konsumen dalam negri karna harga barang menjadi lebih mahal, dengan demikian pihak negara ketiga diuntungkan dengan pajak beacukai dalam negeri yang terpakai dalam pembiayaan pengiriman barang melalui jalur negara perantara.

59

35

Dengan alasan tersebut, Indonesia menginginkan partisipasi serta tanggapan yang lebih dari Cina dalam memajukan perekonomian bagi kedua negara secara bilateral. Potensi peningkatan ekonomi yang dimiliki Indonesia dengan melakukan kerjasama dengan Cina tidak ingin dilewatkan dalam mendorong perekonomian Indonesia ke tingakt yang lebih maju dan stabil. Maka, berlanjut pada 5 Juli 1985 di hotel Shari-La Singapura, dibuatlah kesepakatan

hubungan dagang Indonesia-Cina60. Selama kurang lebih lima tahun setelah disepakatinya

hubungan dagang kedua negara, Indonesia tetap belum menormalisasikan jalinan diplomatiknya dengan Cina, walau kerjasama dagang tetap dilakukan namun, dalam lingkup bilateral kedua negara belum menunjukkan perbaikan di bidang lainnya. Maka, pada Desember 1989 mengadakan pertemuan untuk membahas teknis-teknis normalisasi hubungan bilateral kedua negara. Kegiatan kerjasama dengan Cina ini, diharapkan untuk dapat lebih meluas ke sektor-sektor pemerintahan lainnya, karena melihat bahwa Cina memiliki potensi besar dalam memajukan Indonesia kearah yang lebih baik. Letak strategis yang dimilki antara Indonesia dan Cina sangatlah bagus untuk melakukan hubungan kemitraan di sektor perekonomian.

Kemudian, tujuan yang ingin dicapai Indonesia dalam kerjasama ini juga untuk menjadikan kekuatan besar ekonomi di kawasana Asia untuk dapat bersaing dengan Eropa dan Amerika. Langkah selanjutnya untuk mengawali normalisasi hubungan diplomatik dengan kedua negara, ialah Indonesia mengirim Mentri Luar Negeri RI Ali Alatas pada tanggal 3 Juli 1990 untuk mengunjungi Cina untuk memebahas dibangunnya kembali hubungan baik secara

Dokumen terkait