• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.3. Hubungan Gaya Hidup dengan Status Gizi Lansia di Wilayah

Variabel gaya hidup ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan lansia dalam hal pola makan, aktivitas fisik, olahraga, kebiasaan istirahat, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi obat. Berdasarkan hasil penelitian tentang gaya hidup ditemukan sebesar 67,5% lansia pada kategori tidak baik. Berdasarkan hasil analisis hubungan statistik gaya hidup dengan status gizi lansia diperoleh nilai p sebesar 0,028 (p < 0,05) menunjukkan bahwa variabel gaya hidup berhubungan signifikan dengan status gizi lansia. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin baik gaya hidup seseorang maka semakin baik status gizinya, dan sebaliknya.

Berdasarkan hasil penelitian tentang pola makan diperoleh sebesar 77,1% lansia pada kategori baik. Menurut hasil wawancara dengan lansia yang pola makannya baik mereka mengatakan bahwa di puskesmas mereka sering mendapatkan informasi mengenai pola makan yang baik bagi kesehatan tubuh mereka misalnya tidak boleh mengonsumsi makanan yang terlalu asin karena dikhawatirkan dapat memicu terjadinya hipertensi, juga dianjurkan menjaga konsumsi gula agar terhindar dari penyakit kencing manis. Para lansia juga diberikan makanan tambahan seperti bubur kacang hijau, biskuit dan telur rebus. Disamping itu pemeriksaan fisik dilakukan setiap posyandu lansia guna memantau kesehatan lansia seperti pemeriksaan tebal lemak dan pemeriksaan tekanan darah. Hal ini merupakan fakta yang terjadi di lapangan karena peneliti juga turut serta dalam beberapa kegiatan posyandu lansia yang dilaksanakan setiap bulannya.

Hasil penelitian juga didapat sebesar 81,9% lansia pada kategori aktivitas fisik yang cukup. Menurut hasil wawancara dengan lansia yang aktivitas fisiknya cukup mereka mengatakan bahwa mereka banyak melakukan aktivitas sehari-hari dengan berjalan kaki, selain itu mereka juga masih dapat melakukan tugas rutin di dalam maupun di luar rumah seperti merawat cucu, memasak, berbelanja ke pasar, berjualan, bekerja di sawah, dan lain lain. Lansia yang aktivitasnya cukup juga melakukan aktivitas fisik yang dilakukan secara terus-menerus minimal 10 menit seperti menyapu, memasak, menyetrika setiap kalinya dan mereka beraktivitas ± 7 jam dalam satu hari.

Berdasarkan hasil penelitian tentang olahraga diperoleh sebesar 62,7% lansia berada pada kategori tidak cukup olahraga. Olahraga yang dimaksud disini adalah serangkaian aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dengan berpedoman pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu tetapi tidak terikat pada intensitas dan waktunya (Afriwardi, 2010). Olahraga merupakan bagian dari kegiatan fisik secara terencana, terstruktur, berulang untuk meningkatkan kebugaran tubuh. Kurang olahraga juga beresiko terhadap penurunan kekuatan, massa tulang dan absorpsi kalsium. Semakin bertambahnya usia seseorang, maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini terkait dengan penurunan kemampuan fisik yang terjadi secara alamiah (Fatmah, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian kebiasaan istirahat diperoleh sebesar 63,9% lansia berada pada kategori kebiasaan istirahat yang cukup. Menurut hasil wawancara diketahui bahwa ternyata banyak lansia yang cukup beristirahat/tidur yaitu 7-8 jam perhari. Lansia juga tidur pada siang hari dan pada malam hari jarang terbangun sewaktu tidur, bila terbangun pun tidak sulit untuk tidur kembali. Berdasarkan hasil penelitian kebiasaan merokok diperoleh sebesar 73,5% lansia pada kategori kebiasaan merokok yang baik, artinya adalah tidak pernah merokok baik dahulu maupun sekarang. Hal ini diperoleh karena mayoritas responden berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hasil penelitian kebiasaan mengonsumsi obat diperoleh sebesar 57,8% lansia berada pada kategori kebiasaan mengonsumsi obat yang tidak baik dengan persentase tertinggi yang artinya bahwa lansia suka mengonsumsi obat.

5.4. Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga

Berdasarkan hasil penelitian tentang asupan energi ditemukan bahwa sebesar 92,8% lansia berada pada kategori defisit. Artinya bahwa tingkat kecukupan energi per hari < 70% AKG. Kurangnya asupan energi lansia dalam penelitian ini disebabkan karena nafsu makan dan porsi makan yang berkurang akibat terjadinya kesulitan dalam proses mencerna makanan dan karena proses penuaan. Akibat asupan energi yang kurang maka banyak responden yang mengalami defisit. Hal ini dapat terjadi karena perkiraan asupan energi ini hanya menggambarkan kondisi sewaktu

penelitian, selain itu juga metode food recall 24 jam yang dilakukan tidak cukup untuk menggambarkan asupan energi responden yang sebenarnya.

Hasil analisis hubungan statistik antara asupan energi dengan status gizi diperoleh nilai p sebesar 0,165 (p > 0,05) yang menunjukkan bahwa variabel asupan energi tidak berhubungan signifikan dengan status gizi lansia, yang berarti tidak ada hubungan antara asupan energi dengan status gizi lansia. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Setiani (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Riwayat Penyakit, Asupan Protein dan Faktor-faktor lain dengan Status Gizi Lansia yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan total energi dengan status gizi berdasarkan IMT. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Citraningsih (2003) dan Napitupulu (2002) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara asupan total energi dengan status gizi.

Penelitian ini tidak signifikan karena berbeda kategori yang digunakan. Penelitian ini membandingkan asupan energi dengan angka kecukupan energi berdasarkan umur dan jenis kelamin hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004. Sedangkan penelitian lain membandingkan asupan energinya dengan rata-rata kebutuhan energi untuk orang Indonesia yaitu menggunakan hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1998.

Data asupan energi diperoleh dari wawancara dengan menggunakan metode food recall 1 x 24 jam. Metode ini merupakan pengulangan ingatan 24 jam yang lalu dan bertujuan untuk memperkirakan asupan pangan individu. Prinsipnya adalah mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Selain biaya yang relatif murah, metode ini dapat dilakukan pada responden yang buta huruf. Namun metode ini juga memiliki kekurangan yaitu kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makanan inividu, bila hanya dilakukan satu hari.

5.5. Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga

Berdasarkan hasil penelitian tentang asupan protein ditemukan 71,1% lansia pada kategori defisit. Artinya bahwa tingkat kecukupan energi per hari < 70% AKG. Rendahnya asupan protein responden pada penelitian ini disebabkan karena nafsu makan berkurang dan terjadi kesukaran dalam proses menelan akibat proses penuaan serta penurunan metabolisme. Asupan protein defisit pada responden terjadi disebabkan karena perkiraan asupan protein ini hanya menggambarkan kondisi sewaktu penelitian, selain itu juga metode food recall 24 jam yang dilakukan tidak cukup untuk menggambarkan asupan protein responden yang sebenarnya.

Hasil analisis hubungan statistik antara asupan protein dengan status gizi diperoleh nilai p sebesar 0,007 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa variabel asupan protein berhubungan signifikan dengan status gizi lansia, yang berarti ada hubungan antara asupan protein dengan status gizi lansia. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin baik asupan protein seseorang maka semakin baik status gizinya atau sebaliknya. Sejalan dengan penelitian Setiani (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status gizi berdasarkan IMT. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Simanjuntak (2010) dimana tidak adanya hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status gizi lansia.

Dokumen terkait