HUBUNGAN KARAKTERISTIK, GAYA HIDUP, DAN ASUPAN GIZI DENGAN STATUS GIZI PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AEK HABIL KOTA SIBOLGA
SKRIPSI
OLEH :
ADELINA SITUMORANG 101000191
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN KARAKTERISTIK, GAYA HIDUP, DAN ASUPAN GIZI DENGAN STATUS GIZI PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AEK HABIL KOTA SIBOLGA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memeroleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
ADELINA SITUMORANG 101000191
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Kelompok lanjut usia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko mengalami gangguan kesehatan dengan adanya kemunduran fisik serta sering punya masalah dalam hal makan. Padahal meskipun aktivitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia, mereka tetap membutuhkan asupan zat gizi lengkap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan umur, status penyakit, gaya hidup, asupan energi dan asupan protein dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga. Jenis penelitian adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan desain
cross-sectional. Populasi adalah lansia yang berumur 55 tahun keatas sebanyak 607 orang. Penentuan sampel menggunakan rumus besar sampel Isgianto (2009) diperoleh sampel sebanyak 83 orang. Pengumpulan data umur, status penyakit, gaya hidup, asupan energi dan asupan protein dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan formulir food recall. Sedangkan data status gizi didapat dari pengukuran antropometri.
Hasil uji univariat penelitian menunjukkan bahwa sebesar 38,6% lansia berada di kategori umur ≥ 65 tahun. Status penyakit lansia 60,2% tergolong tidak baik. Gaya hidup lansia 67,5% tergolong tidak baik. Asupan energi lansia 92,8% tergolong defisit, sama halnya dengan asupan proteinnya 71,1% tergolong defisit. Status gizi lansia 60,2% tergolong normal. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara status penyakit yang diderita 3 bulan terakhir, gaya hidup serta asupan protein dengan status gizi lansia (p<0,05). Sementara data umur, dan asupan energi tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan status gizi (p>0,05).
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Sibolga agar membuat kebijakan untuk meningkatkan penyuluhan terkait asupan gizi para lansia. Kepada Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga agar dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran kelompok lanjut usia tentang pentingnya menjalankan gaya hidup, asupan gizi yang sehat, sehingga terwujud status gizi lansia yang baik, meningkatkan umur harapan hidup, pelayanan kesehatan dan pelaksanaan posyandu lansia mampu ditingkatkan.
ABSTRACT
The elderly is seen as a group of people who are at risk of experiencing health problems with physical deterioration and often have problems in terms of eating. In fact, although the activity decreases with age, they still require a complete nutrient intake. This study aims to determine the relationship of age, disease status, lifestyle, intake of energy and protein intake and nutritional status of the elderly in Aek Habil Health Center Sibolga.
The study was a descriptive survey study with cross-sectional design. The population is elderly aged 55 years and older as 607 people. Determination of the sample using a sample size formula Isgianto (2009) obtained a sample of 83 people. Data collection age, disease status, lifestyle, intake of energy and protein intake using a questionnaire and a food recall form. While the nutritional status data obtained from anthropometric measurements.
Univariate test results of research showed that 38.6% of elderly are in the age ≥ 65 years category. 60.2% of elderly disease status was not classified as either. Lifestyle elderly 67.5% classified as not good. Elderly energy intake 92.8% classified as deficit, as well as protein intake was 71.1% classified deficit. Nutritional status of the elderly 60.2% classified as normal. Bivariate test results showed that there was a significant association between illness status of the last 3 months, as well as the lifestyle of protein intake and nutritional status of elderly (p <0.05). While the data age, and energy intake did not show any significant relationship with nutritional status (p> 0.05).
It is recommended to the Department of Health Sibolga to create policies to improve nutrition-related counseling of the elderly. Aek Habil Health Center Sibolga in order to provide knowledge and raise awareness about the importance of the elderly run lifestyle, healthy nutrition, to realize a good nutritional status of the elderly, increasing life expectancy, health care and elderly posyandu capable of being upgraded.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Adelina Situmorang
Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 02 Mei 1992
Agama : Kristen Protestan
Anak ke : 4 (empat) dari 5 (lima) bersaudara
Status Perkawinan : Belum Menikah
Nama Ayah : Jawasden Situmorang (+)
Nama Ibu : Nurita Harefa, A.Ma.Pd
Alamat Rumah : Jln. Kasih No 05 Lorong III Pasir Bidang Tapanuli Tengah
Email : adel_4eva@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 085119 Sibolga (1998-2004) 2. SMP Negeri 1 Sibolga (2004-2007) 3. SMA Negeri 3 Sibolga (2007-2010)
4. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan (2010-2014) Riwayat Organisasi
1. Anggota Paduan Suara Mahasiswa USU (2010-2012)
2. Koordinator Lapangan Sosialisasi Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Memperingati World No Tobacco Day di Fakultas Hukum USU (2013)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kasih dan
anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Karakteristik, Gaya
Hidup, dan Asupan Gizi Dengan Status Gizi Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Aek
Habil Kota Sibolga” yang merupakan salah satu syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak baik secara moriil maupun material. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara (FKM USU).
2. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat
FKM USU.
3. Ir. Etti Sudaryati, MKM, Ph.D selaku dosen pembimbing I dan ketua penguji yang telah
banyak meluangkan waktu dan selalu sabar dalam memberikan masukan dan bimbingan
yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. Muhammad Arifin Siregar, MS selaku dosen pembimbing II dan dosen penguji I yang
selalu sabar dan memberikan pengarahan serta motivasi penulis dalam penyelesaian skripsi
ini.
5. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si selaku dosen penguji II yang telah banyak
memberikan saran yang membangun dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ernawati Nasution, SKM. M.Kes selaku dosen penguji III yang telah banyak memberikan
7. Dr. Surya Dharma, MPH selaku dosen pembimbing akademik penulis atas bimbingan dan
arahan beliau selama perkuliahan.
8. Seluruh dosen dan pegawai administrasi di lingkungan FKM USU khususnya dosen
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU dan Abang Marihot Samosir, S.T yang
sangat sabar memberi masukan serta membantu penulis di segala urusan administrasi.
9. Bapak M. Yusuf Batubara, SKM selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Sibolga yang telah
member izin dan kesempatan penulis untuk meneliti di Puskesmas Aek Habil Sibolga.
10.Dr. Hotma Nauli Hutagalung selaku Kepala Puskesmas Aek Habil yang telah memberikan
kesempatan penulis untuk meneliti serta memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi,
seluruh staf dan pegawai di Puskesmas Aek Habil atas kerja samanya dan seluruh lansia di
wilayah kerja Puskesmas Aek Habil yang tidak dapat disebutkan satu per satu karena telah
bersedia menjadi responden dan telah meluangkan waktunya membantu penulis dalam
penulisan skripsi.
Selanjutnya secara khusus penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada :
11.Orang tua tercinta J. Situmorang (+) dan N. Harefa, A.Ma.Pd , kakak tertua Jelita Dewi
Situmorang, S.Th dan suami dr. Rikardo Napitupulu, abang Pukka Lontung Situmorang, S.E
dan istri Selfrida Gultom, S.Pd, kakak Desi Natalia Situmorang, S.Pd, si bungsu Christin
Clarita Situmorang dan ponakan yang lucu juga ganteng Jona Galatia Situmorang dan Rijd
Nathanial Napitupulu terima kasih atas cinta kasih perhatian pengorbanan dan dukungan
yang tiada henti diberikan, tidak hanya selama penulisan skripsi namun selama perjalanan
hidup penulis.
12.Teman-teman seperjuangan di Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat : Ria Solia, Afri,
Imaniar, Muthia SKM, Agustia, Kak Nadia SKM, Kak Silvina, Putri, Oliv, Tresa, Kak
Arsika yang telah banyak membantu dan menjadi teman bertukar pikiran juga memberikan
13.Teman-teman satu angkatan reguler FKM USU 2010 yang tidak dapat disebutkan satu per
satu terima kasih atas pertemanan yang telah terjalin selama ini. Teman satu zodiak yang
sudah penulis anggap seperti saudara sendiri Nurwanti Gultom Amk semoga pertemanan
kita tak lekang ditelan waktu.
14.Teman-teman PBL D’cantiks Family : Sri Novianti, Sylvana, Eela, Ashel, Izzah, Atika, Wichan, kak Chichi, bang Roy, Arif, kak Nad.
15.Teman teristimewa Oloni Togu Simanjuntak terima kasih atas segalanya yang telah
diberikan baik dulu maupun sekarang.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 22 Juli 2014 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.3.1. Tujuan Umum ... 7
1.3.2. Tujuan Khusus ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Satus Gizi... 9
2.1.1. Penilaian Status Gizi ... 9
2.1.2. Metode Penilaian Status Gizi Secara Langsung ... 10
2.1.3. Metode Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung ... 14
2.1.4. Klasifikasi Status Gizi ... 15
2.2. Lanjut Usia ... 17
2.2.1. Klasifikasi ... 18
2.2.2 Karakteristik ... 19
2.2.3. Proses Menua dan Perubahan Fisiologis Akibat Penuaan ... 21
2.3. Gaya Hidup ... 23
2.3.1. Pola Makan ... 24
2.3.2. Aktivitas Fisik ... 26
2.3.3 Olahraga ... 27
2.3.4. Kebiasaan Istirahat ... 30
2.3.5. Kebiasaan Merokok ... 31
2.3.6. Kebiasaan Mengonsumsi Obat-obatan ... 33
2.4. Asupan Gizi ... 34
2.4.1. Kebutuhan Gizi Lansia ... 34
2.4.1. Kebutuhan Gizi Lansia ... 32
2.4.2. Energi ... 36
2.4.3. Protein ... 37
2.5. Metode Pengukuran Asupan Gizi ... 38
2.5.1. Food Recall ... 38
2.6. Kerangka Konsep ... 39
2.7. Hipotesis Penelitian ... 39
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 40
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40
3.3. Populasi dan Sampel ... 41
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 42
3.5. Instrumen Penelitian ... 44
3.6. Definisi Operasional ... 44
3.7. Aspek Pengukuran ... 46
3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 53
4.2. Kegiatan Posyandu Lansia... 54
4.4. Gaya Hidup Lanjut Usia ... 55
4.5. Asupan Gizi Lanjut Usia ... 58
4.6. Status Gizi Lanjut Usia ... 59
4.7. Hubungan Umur dengan Status Gizi Lanjut Usia ... 59
4.8. Hubungan Status Penyakit dengan Status Gizi Lanjut Usia ... 60
4.9. Hubungan Gaya Hidup dengan Status Gizi Lanjut Usia ... 60
4.10. Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Lanjut Usia ... 61
4.11. Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Lanjut Usia ... 61
4.12. Hubungan Umur, Status Penyakit, Gaya Hidup, Asupan Energi dan Asupan Protein dengan Status Gizi Lanjut Usia ... 62
BAB V PEMBAHASAN 5.1. Hubungan Umur dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 63
5.2. Hubungan Status Kesehatan 3 Bulan Terakhir dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 63
5.3. Hubungan Gaya Hidup dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 64
5.4. Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 66
5.5. Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 69
6.2. Saran ... 69
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Klasifikasi IMT Menurut WHO 2005 ... 12
Tabel 2.2. Kondisi Lanjut Usia Yang Dapat Memengaruhi Status Gizi ... 22
Tabel 2.3. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Per Orang Per Hari ... 36
Tabel 3.1. Sasaran Pra Lansia dan Lansia Kota Sibolga Tahun 2013 ... 41
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 43
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 55
Tabel 4.2. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 55
Tabel 4.3. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia Berdasarkan Pola Makan di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 56
Tabel 4.4. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia Berdasarkan Aktivitas Fisik di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 57
Tabel 4.5. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia Berdasarkan Olahraga di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 57
Tabel 4.6. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia Berdasarkan Kebiasaan Istirahat di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 57
Tabel 4.7. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia Berdasarkan Kebiasaan Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 57
Tabel 4.8. Distribusi Gaya Hidup Lanjut Usia Berdasarkan Kebiasaan Mengonsumsi Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 58
Tabel 4.9. Distribusi Asupan Energi Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 58
Tabel 4.10. Distribusi Asupan Protein Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 58
Tabel 4.11. Distribusi Status Gizi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Sibolga ... 59
Tabel 4.12. Tabulasi Silang Umur dengan Status Gizi Lansia ... 59
Tabel 4.13. Tabulasi Silang Status Penyakit dengan Status Gizi Lansia ... 60
Tabel 4.14. Tabulasi Silang Gaya Hidup dengan Status Gizi Lansia ... 61
Tabel 4.15. Tabulasi Silang Asupan Energi dengan Status Gizi Lansia ... 61
Tabel 4.16. Tabulasi Silang Asupan Protein dengan Status Gizi Lansia ... 62
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kuesioner (Instrumen Penelitian) Lampiran 2 : Formulir food recall
Lampiran 3 : Master data Lampiran 4 : Ouput data
Lampiran 5 : Surat survei pendahuluan
ABSTRAK
Kelompok lanjut usia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko mengalami gangguan kesehatan dengan adanya kemunduran fisik serta sering punya masalah dalam hal makan. Padahal meskipun aktivitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia, mereka tetap membutuhkan asupan zat gizi lengkap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan umur, status penyakit, gaya hidup, asupan energi dan asupan protein dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga. Jenis penelitian adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan desain
cross-sectional. Populasi adalah lansia yang berumur 55 tahun keatas sebanyak 607 orang. Penentuan sampel menggunakan rumus besar sampel Isgianto (2009) diperoleh sampel sebanyak 83 orang. Pengumpulan data umur, status penyakit, gaya hidup, asupan energi dan asupan protein dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan formulir food recall. Sedangkan data status gizi didapat dari pengukuran antropometri.
Hasil uji univariat penelitian menunjukkan bahwa sebesar 38,6% lansia berada di kategori umur ≥ 65 tahun. Status penyakit lansia 60,2% tergolong tidak baik. Gaya hidup lansia 67,5% tergolong tidak baik. Asupan energi lansia 92,8% tergolong defisit, sama halnya dengan asupan proteinnya 71,1% tergolong defisit. Status gizi lansia 60,2% tergolong normal. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara status penyakit yang diderita 3 bulan terakhir, gaya hidup serta asupan protein dengan status gizi lansia (p<0,05). Sementara data umur, dan asupan energi tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan status gizi (p>0,05).
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Sibolga agar membuat kebijakan untuk meningkatkan penyuluhan terkait asupan gizi para lansia. Kepada Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga agar dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran kelompok lanjut usia tentang pentingnya menjalankan gaya hidup, asupan gizi yang sehat, sehingga terwujud status gizi lansia yang baik, meningkatkan umur harapan hidup, pelayanan kesehatan dan pelaksanaan posyandu lansia mampu ditingkatkan.
ABSTRACT
The elderly is seen as a group of people who are at risk of experiencing health problems with physical deterioration and often have problems in terms of eating. In fact, although the activity decreases with age, they still require a complete nutrient intake. This study aims to determine the relationship of age, disease status, lifestyle, intake of energy and protein intake and nutritional status of the elderly in Aek Habil Health Center Sibolga.
The study was a descriptive survey study with cross-sectional design. The population is elderly aged 55 years and older as 607 people. Determination of the sample using a sample size formula Isgianto (2009) obtained a sample of 83 people. Data collection age, disease status, lifestyle, intake of energy and protein intake using a questionnaire and a food recall form. While the nutritional status data obtained from anthropometric measurements.
Univariate test results of research showed that 38.6% of elderly are in the age ≥ 65 years category. 60.2% of elderly disease status was not classified as either. Lifestyle elderly 67.5% classified as not good. Elderly energy intake 92.8% classified as deficit, as well as protein intake was 71.1% classified deficit. Nutritional status of the elderly 60.2% classified as normal. Bivariate test results showed that there was a significant association between illness status of the last 3 months, as well as the lifestyle of protein intake and nutritional status of elderly (p <0.05). While the data age, and energy intake did not show any significant relationship with nutritional status (p> 0.05).
It is recommended to the Department of Health Sibolga to create policies to improve nutrition-related counseling of the elderly. Aek Habil Health Center Sibolga in order to provide knowledge and raise awareness about the importance of the elderly run lifestyle, healthy nutrition, to realize a good nutritional status of the elderly, increasing life expectancy, health care and elderly posyandu capable of being upgraded.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan merupakan cita-cita suatu bangsa dan salah satu keberhasilan
pembangunan di bidang kesehatan adalah meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH).
Meningkatnya umur harapan hidup ini mengakibatkan jumlah penduduk lanjut usia meningkat pesat
di seluruh penjuru dunia dimana pengertian lanjut usia (lansia) menurut Undang-undang RI Nomor
13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun keatas.
Fenomena meningkatnya jumlah penduduk lansia ini disebabkan karena menurunnya angka
fertilitas penduduk, perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan penelitian-penelitian
kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif, perbaikan
status gizi yang ditandai oleh peningkatan kasus obesitas lansia daripada underweight, peningkatan
umur harapan hidup dari 45 tahun di awal tahun 1950 menjadi 65 tahun pada saat ini, pergeseran
gaya hidup menjadi sedentary urban lifestyle dari urban rural lifestyle (Fatmah, 2010).
Seiring meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk maka akan
berpengaruh pada peningkatan UHH di Indonesia. Sasaran rencana strategi Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2010-2014 adalah meningkatkan umur harapan hidup dari 70,7 menjadi
72 tahun. Menurut hasil Susenas tahun 2000 jumlah lansia 14,4 juta jiwa atau 7,18% dari total
penduduk, sedangkan pada tahun 2010 jumlah lansia sudah mencapai 19 juta jiwa atau sekitar 8,5%
jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah lansia dan diproyeksikan akan terus
meningkat, sehingga diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 28,8 juta jiwa (Elvia, 2013).
Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2011, pada tahun 2000-2005 UHH adalah
66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2000 adalah 7,74%), angka ini akan meningkat
pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi
peningkatan UHH. Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase
populasi lansia adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan
persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan
persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Depkes RI, 2013).
Proporsi penduduk usia tua (diatas 60 tahun) meningkat dari total populasi penduduk di
seluruh dunia. Proporsi tersebut meningkat dari 10% pada tahun 1998 menjadi 15% pada tahun
2025, dan hampir mencapai 25% pada tahun 2050 (UNFA,2007 dalam Fatmah 2010). Populasi
penduduk lansia di Asia dan Pasifik meningkat tajam dari 410.000.000 pada tahun 2007 menjadi
733.000.000 pada tahun 2025, dan diprediksi mencapai 1,3 triliun pada tahun 2050 (Macao, 2007
dalam Fatmah, 2010).
Jumlah absolut penduduk lanjut usia penduduk Indonesia, baik pria maupun wanita telah
meningkat dari 4.900.000 jiwa pada tahun 1950 menjadi 16.300.000 jiwa pada tahun 2000, dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 73.600.000 jiwa pada tahun 2050. Proyeksi penduduk oleh
Badan Pusat Statistik menggambarkan bahwa antara tahun 2005-2010 jumlah lansia akan sama
dengan jumlah anak balita, yaitu sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk.
Wanita mendominasi kelompok penduduk lanjut usia tersebut dibandingkan pria. Di beberapa
negara bahkan mayoritas lansia terdiri dari kaum wanita. Saat ini, hampir 60% penduduk lansia
Indonesia adalah wanita, dan proporsi ini diduga meningkat menjadi 64% pada tahun 2030
(Fatmah, 2010).
Meningkatnya populasi lansia ini membuat pemerintah perlu merumuskan kebijakan dan
program yang ditujukan kepada kelompok penduduk lansia sehingga dapat berperan dalam
pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut WHO lansia dikelompokkan
menjadi empat kelompok antara lain : lansia usia pertengahan (middle age) yaitu usia 45-59 tahun,
lansia (elderly) yaitu usia 60-74 tahun, lansia tua (old)usia yaitu 75-90 tahun, dan lansi usia sangat
tua (very old) yaitu usia di atas 90 tahun. Dalam penelitian ini batasan lansia yang digunakan adalah
lain : 1) virilitas (prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa
(usia 55-59 tahun), 2) usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia
lanjut dini (usia 60-64 tahun), 3) lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit
degeneratif, yaitu usia di atas 65 tahun.
Menurut Tamher (2009), menjadi tua merupakan suatu fenomena alamiah sebagai akibat
proses menua. Fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan yang wajar yang
bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik
serta sosiobudaya. Menjadi tua ditentukan secara genetik dan dipengaruhi oleh gaya hidup
seseorang. Sedangkan menurut Maryam dkk (2008) menjadi tua ditandai dengan adanya
kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain: kulit mulai
mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan
berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi penimbunan
lemak terutama di perut dan pinggul. Kemunduran lain yang terjadi adalah
kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta
tidak mudah menerima hal atau ide baru.
Kelompok lanjut usia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko mengalami
gangguan kesehatan seperti meningkatnya disabilitas fungsional fisik serta sering punya masalah
dalam hal makan. Padahal meskipun aktivitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia, ia tetap
membutuhkan asupan zat gizi lengkap, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ia
masih tetap membutuhkan energi untuk menjalankan fungsi fisiologis tubuhnya (Adriani &
Wirjatmadi, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian Riskesdas (2007) dapat disimpulkan bahwa Sumatera Utara
merupakan salah satu dari 16 provinsi yang mempunyai prevalensi kurang aktivitas fisik pada
penduduk > 10 tahun yaitu sebesar 52,1%. Kurang aktifitas fisik paling tinggi terdapat pada
kelompok 75 tahun ke atas (76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%), dan perempuan (54,5%) lebih
semakin tinggi prevalensi kurang aktivitas fisik. Prevalensi kurang aktivitas fisik penduduk
perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan semakin tinggi tingkat
pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktivitas fisik.
Banyak penelitian yang meneliti tentang status gizi lansia salah satunya seperti hasil
penelitian tentang Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Status Kesehatan Lanjut Usia (lansia) yang
dilakukan oleh Poniyah (2012) di wilayah kerja Puskesmas Darusalam Medan memberikan
gambaran tentang variabel aktivitas fisik ditemukan 74 orang pada kategori tidak cukup dengan
persentase tertinggi status kesehatan buruk sebanyak 74,3%. Uji statistik menunjukkan variabel
aktivitas fisik berpengaruh terhadap status kesehatan lansia. Berdasarkan hasil analisis multivariat
dengan uji statistik regresi logistik pada variabel aktivitas fisik, ada pengaruh antara aktivitas fisik
lansia terhadap status kesehatan lansia dengan nilai β = 1.922 dan p= 0,000, bernilai positif
menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai pengaruh yang searah (positif) terhadap status
kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas Darusalam Medan.
Penilaian status gizi lansia dilakukan dengan pendekatan perhitungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) berdasarkan berat badan (BB) dibagi dengan tinggi badan (TB) dikuadratkan. IMT
merupakan alat sederhana untuk memantau atau menilai status gizi orang dewasa. Laporan
FAO/WHO/UNU tahun 1985 dan International Dietary Energy Concultancy Group (IDECG)
merekomendasikan IMT sebagai alat mengukur status gizi dewasa (Supariasa dkk, 2001).
Menurut Penelitian Anggraini (2008), yang dilaksanakan di Puskesmas Pekayon Jaya Kota
Bekasi menunjukkan bahwa status kesehatan rendah pada lansia binaan puskesmas Pekayon Jaya
sebesar 66,9%. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara pola
makan dengan status kesehatan (nilai p=0,914) dan kebiasaan merokok dengan status kesehatan
(nilai p=0,975), serta ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status kesehatan
(nilai p=0,004) dan kebiasaan istirahat dengan status kesehatan (nilai p=0,000). Berdasarkan hasil
dan dampak terhadap status kesehatan melalui promosi kesehatan di wilayah binaan Puskesmas
Pekayon Jaya Kota Bekasi.
Penelitian yang dilakukan di Malang oleh Indarwati (2006) tentang Peran Perawat Dalam
Upaya Membantu Mempertahankan Status Kesehatan Lansia Dinoyo Malang memberikan
gambaran bahwa status kesehatan lansia didapatkan 10% status kesehatan lansia baik, 83,3% status
kesehatan lansia cukup dan 6,7% status kesehatan lansia kurang. Secara keseluruhan hasil penelitian
menjelaskan bahwa perlunya memberikan informasi tentang kesehatan (Bustan, 2007).
Berdasarkan survei awal yang dilakukan di Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga didapatkan
informasi bahwa wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga terdiri dari 4 kelurahan, yaitu
kelurahan Aek Habil, kelurahan Aek Manis, kelurahan Aek Muara Pinang dan kelurahan Aek
Parombunan. Selain itu diperoleh data jumlah lansia yang berumur 55 tahun keatas sebanyak 607
orang. Selanjutnya peneliti mendapat informasi melalui wawancara singkat dengan beberapa orang
lansia yang datang berkunjung ke Puskesmas Aek Habil bahwa nafsu makan mereka sudah
menurun, tidak bervariasi ditambah dengan berbagai penyakit yang mulai bermunculan seperti
Rematik, Hipertensi, dan Diabetes Melitus. Gaya hidup lansia di wilayah kerja puskesmas Aek
Habil ini paling banyak waktu mereka dihabiskan di rumah, baik itu berjualan atau mengurus cucu.
Dari uraian dan masalah di atas maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan karakteristik, gaya
hidup, dan asupan gizi dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota
Sibolga.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan karakteristik, gaya hidup dan asupan gizi dengan status gizi pada lansia di wilayah
kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga?”.
Mengetahui hubungan umur, status penyakit yang diderita 3 bulan terakhir, gaya hidup,
asupan energi dan asupan protein dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek
Habil Kota Sibolga.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui umur dan status penyakit lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil
Kota Sibolga.
2. Untuk mengetahui gaya hidup lansia dalam hal pola makan, aktivitas fisik, olahraga,
kebiasaan istirahat, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi obat pada lansia di wilayah
kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga.
3. Untuk mengetahui asupan energi dan protein lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil
Kota Sibolga.
4. Untuk mengetahui status gizi lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi untuk perencanaan kesehatan penduduk kelompok
lanjut usia bagi Dinas Kesehatan Kota Sibolga.
2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang berada di Puskesmas Aek Habil Kota
Sibolga agar dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran kelompok lanjut
usia tentang pentingnya menjalankan gaya hidup, asupan gizi yang sehat, sehingga terwujud
status gizi lansia yang baik, meningkatkan umur harapan hidup, pelayanan kesehatan dan
pelaksanaan posyandu lansia mampu ditingkatkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Almatsier (2001), status gizi diartikan sebagai keadaan tubuh akibat konsumsi dan
penggunaan zat gizi. Berdasarkan pendapat Supariasa, dkk (2001) dapat disimpulkan bahwa status
gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari zat gizi
ke dalam bentuk variebel tertentu. Dengan kata lain status gizi merupakan hasil akhir dari
keseimbangan antara makanan yang masuk kedalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh
(nutrient output) akan zat gizi tersebut. Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor,
seperti tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktifitas fisik dan faktor yang bersifat
relatif yaitu, gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat
penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran dan penghancuran (excretion dan destruction
dari zat gizi tersebut dalam tubuh). Status gizi seseorang dapat dinilai dengan dua cara yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan
pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan secara tidak langsung melalui
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
2.1.1. Penilaian Status Gizi
Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan menjadi metode secara langsung dan
metode tidak langsung (Supariasa, 2001).
2.1.2. Metode Penilaian Status Gizi Secara Langsung
Status gizi lansia secara langsung dapat diukur dengan berbagai cara sebagai berikut:
1. Antropometri
Antropometri atau ukuran tubuh adalah serangkaian teknik pengukuran dimensi kerangka
tubuh manusia secara kuantitatif yang meliputi tinggi badan (TB), dan berat badan (BB). Adapun
beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada lansia adalah sebagai berikut:
1) Berat badan
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan dan hasilnya
ukuran total tubuh. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi
seseorang dengan mengetahu indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan
timbangan injak (bathroomscale). Subjek diukur dalam posisi berdiri dengan ketentuan
subjek memakain pakaian seminimal mungkin, tanpa isi kantong dan sandal. Pembacaan
skala dilakukan pada alat dengan ketelitian 0,1 kg (Fatmah, 2010).
2) Tinggi badan
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan
skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang telah lalu dan
keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai
ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick)
faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa dkk, 2001).
Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise
dengan kepekaan 0,1 cm dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. Pengukuran
dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. Pengukuran tinggi
badan lansia sangat sulit dilakukan untuk lansia mengingat adanya masalah postur tubuh
seperti terjadinya kifosis atau pembengkokan tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat
berdiri tegak. Oleh karena itu, pengukuran tinggi lutut, panjang depa dan tinggi duduk dapat
digunakan untuk memperkirakan tinggi badan.
3) Panjang depa
Panjang depa merupakan salah satu prediktor tinggi badan lansia dan dianggap
sebagai pengganti ukuran tinggi badan lansia karena usia berkaitan dengan penurunan tinggi
badan. Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih
lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
panjang depa cenderung tidak banyak berubah seiring pertambahan usia. Pengukuran
panjang 2 meter. Panjang depa biasanya menggambarkan hasil pengukuran yang sama
dengan tinggi badan normal dan dapat digunakan untuk menggantikan tinggi badan. Subjek
yang diukur harus memiliki kedua tangan yang dapat direntangkan sepanjang mungkin
dalam posisi lateral dan tidak dikepal. Jika salah satu kedua tangan tidak dapat diluruskan
karena sakit atau sebab lainnya, maka pengukuran ini tidak dapat dilakukan (Fatmah, 2010).
Penelitian yang dilakukan Fatmah, dkk (2008), untuk mengetahui tinggi badan lansia
dapat diperoleh dari prediksi tinggi lutut (knee height), panjang depa (arm span), dan tinggi
duduk (sitting height). Panjang depa dapat digunakan untuk estimasi TB lansia orang cacat
dan yang tidak dapat berdiri tinggi. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang tulang di
tangan, kaki (lutut) dan tinggi tulang vertebral.
4) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Status gizi dinilai dengan cara pengukuran berat badan (kg) dibagi dengan tinggi
badan (m²) yang dinyatakan dalam IMT.
IMT = berat badan (kg)
tinggi badan (m)²
Pengelompokan Indeks Massa Tubuh untuk klasifikasi status gizi lansia berdasarkan standar
WHO (2005) seperti dalam tabel berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut WHO 2005
Kategori IMT
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat berat
< 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan
Normal > 18,5 - 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat
ringan
> 25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
Sumber: WHO 2005
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat.
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (superficial epithelial tissue)
seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan
tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat
(rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui
tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala
(symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa, 2001).
Didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan epitel atau bagian tubuh
lain terutama pada mata, kulit dan rambut. Selain itu pengamatan juga dapat dilakukan pada bagian
tubuh yang dapat diraba dan dilihat atau bagian tubuh lain yang terletak dekat permukaan tubuh
seperti kelenjar tiroid. Cara ini relatif murah dan tidak memerlukan peralatan canggih, namun
hasilnya subjektif dan memerlukan tenaga terlatih (Fatmah, 2010).
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
antara lain, darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini
digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih
parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih
Penilaian dengan biokimia ini lebih sensitif dan mampu menggambarkan perubahan status
gizi lebih dini pada lansia, seperti hiperlipidemia, kurang kalori protein dan anemia defisiensi besi
(Fe) dan asam folat. Plasma dan serum memberikan gambaran hasil masukan jangka pendek,
sedangkan cadangan dalam jaringan menggambarkan status gizi dalam waktu lama atau jangka
panjang (Fatmah, 2010).
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Penggunaan
metode biofisik dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik
(epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi (Supariasa, 2001).
2.1.3. Metode Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung 1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaan metode dengan
pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi
berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi
kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2001).
2. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data
beberapa satistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan
kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaan metode ini dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung
pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2001).
3. Faktor ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil
dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat
sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2001).
2.1.4. Klasifikasi Status Gizi
Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga, yaitu
(Sediaoetama, 1996).
a. Gizi lebih (overnutritional state)
Gizi lebih adalah tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi berlebih. Kondisi ini
ternyata mempunyai tingkat kesehatan yang lebih rendah, meskipun berat badan lebih tinggi
dibandingkan berat badan ideal. Keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit tertentu yang
sering dijumpai pada orang kegemukan seperti : penyakit kardiovaskuler yang menyerang
jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi, diabetes mellitus dan lainnya.
b. Gizi baik (eunutritional state)
Tingkat kesehatan gizi terbaik yaitu kesehatan gizi optimum (eunutritional state).
Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan
mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya
tahan yang setinggi-tingginya.
c. Gizi kurang (undernutrition)
Gizi kurang merupakan tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi defisien.
Mengakibatkan terjadi gejala-gejala penyakit defisiensi gizi. Berat badan akan lebih rendah
dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi jaringan tidak mencukupi, sehingga
akan menghambat fungsi jaringan tersebut. Penentuan status gizi berdasarkan keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang menilai
status gizi diperlukan standar antropometri yang mengacu pada Standar World Health
Organization (WHO). Keputusan menteri tersebut juga menyepakati cara penggolongan
Keunggulan standar antropometri terbaru WHO lebih baik dibandingkan standar
NCHS/WHO oleh karena dibuat berdasarkan data dari berbagai negara dan etnis, sehingga
sesuai untuk negara-negara yang sedang berkembang. Keunggulan antropometri yang lain
adalah prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sempel cukup besar,
kemudian relatif tidak menggunakan tenaga ahli, alat murah dan mudah dibawa. Metode ini
tepat dan akurat karena dapat dibakukan, dapat mengidentifikasi status gizi buruk, kurang,
baik, karena sudah ada ambang batas yang jelas (Supariasa, 2001).
2.2. Lanjut Usia
Pengertian lanjut usia (lansia) menurut Undang-undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 138 ayat (1) menetapkan bahwa
upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup
sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (2)
menetapkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan
ekonomis.
Menurut Fatmah (2010) pengertian lansia dibedakan atas dua macam, yaitu lansia
kronologis (kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan dihitung,
sedangkan lansia biologis berpatokan pada keadaan jaringan tubuh. Individu yang usianya muda
secara biologis tetapi bila dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya dapat tergolong lansia. Di
Indonesia, istilah untuk kelompok usia ini belum baku, orang memiliki sebutan yang berbeda-beda.
Ada yang menggunakan istilah usia lanjut ada pula lanjut usia atau jompo dengan padanan kata
dalam bahasa Inggris biasa disebut the aged, the elders, older adult, serta senior citizen (Tamher &
Noorkasiani, 2009).
Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Menurut WHO, lansia dikelompokkan
menjadi empat kelompok antara lain : usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59
tahun, usia lanjut (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun, usia lanjut tua (old) yaitu kelompok
usia 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu kelompok usia di atas 90 tahun. Menurut
Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Fatmah (2010) batasan lansia antara lain : 1) virilitas
(prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59
tahun), 2) usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini
(usia 60-64 tahun), 3) lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif, yaitu
usia di atas 65 tahun.
Menurut Maryam, dkk (2008) lansia dibagi dalam lima klasifikasi, meliputi :
1. pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45–59 tahun,
2. lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi yaitu
seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih,
3. lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang/jasa,
4. lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
2.2.2. Karakteristik
Menurut Keliat (1999) yang dikutip oleh Maryam, dkk (2008), karakteristik lansia yaitu : 1)
berusia lebih dari 60 tahun, 2) kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai
sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi
maladaptif, dan 3) lingkungan tempat tinggal yang bervariasi. Sedangkan menurut Bustan (1997),
beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui masalah lansia antara lain :
Lansia lebih banyak pada perempuan. Terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah
kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan perempuan. Misalnya lansia laki-laki
sibuk dengan hipertropi prostat sedangkan lansia perempuan sibuk dengan osteoporosis.
b. Status perkawinan
Status masih pasangan hidup lengkap atau sudah hidup janda/duda akan
mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis.
c. Living arrangement
Keadaan pasangan ; tinggal sendiri atau bersama istri, anak atau keluarga lainnya.
Tanggungan keluarga ; masih menanggung anak atau anggota keluarga. Tempat tinggal ;
rumah sendiri, tinggal dengan anak. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai
bagian dari keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga ataupun bagian dari keluarga
anaknya. Namun akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam
rumah yang berbeda.
d. Kondisi kesehatan
Kondisi umum lansia ; kemampuan untuk tidak tergantung kepada orang lain dalam
kegiatan sehari-hari seperti: mandi, buang air kecil dan besar. Frekuensi sakit ; frekuensi
sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak produktif lagi bahkan mulai tergantung
kepada orang lain. Bahkan ada yang karena penyakit kroniknya sudah memerlukan
perawatan khusus. Secara individu pengaruh proses ketuaan menimbulkan berbagai
masalah. Salah satunya adalah berkaitan dengan penduduk lansia adalah permasalahan
kesehatan, sebab perjalanan penyakit lansia mempunyai ciri tersendiri yaitu bersifat
menahun, semakin berat dan sering kambuh. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
kesehatan secara berkala untuk mengetahui penyakit/masalah sedini mungkin. Dengan
demikian proses penyakit dapat dihambat atau dicegah sedini mungkin agar tetap dalam
keadaan sehat, baik fisik maupun mental serta sosial, sehingga masih berguna bagi
e. Keadaan ekonomi
Sumber pendapatan resmi ; pensiunan lansia ditambah sumber pendapatanan lain
kalau masih aktif. Penduduk lansia di daerah pertanian menunjukkkan proporsi yang lebih
besar dibandingkan dengan di daerah non pertanian. Lapangan kerja sektor pertanian cukup
banyak menyerap tenaga kerja lansia, disamping sektor perdagangan dan jasa. Sumber
pendapatan keluarga ; ada tidaknya bantuan keuangan dari anak/keluarga lainnya, atau
bahkan masih ada anggota keluarga yang tergantung padanya. Kemampuan pendapatan ;
lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi, sementara pendapatan semakin menurun sampai
seberapa besar pendapatan lansia dapat memenuhi kebutuhannya.
2.2.3. Proses Menua dan Perubahan Fisiologis Akibat Penuaan
Proses penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara
terus-menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis,
dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara
keseluruhan (Depkes RI, 2001). Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan
dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Dengan kata lain usia tua
adalah fase terakhir dari rentang kehidupan (Fatimah, 2010).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides,
1994). Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah dimulai sejak
lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup (Nugroho, 2000). Menjadi tua ditandai
dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara
lain: kulit mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan
penglihatan berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi
kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang,
tempat, serta tidak mudah menerima hal atau ide baru (Maryam dkk, 2008).
Menurut Darmojo (2004) yang dikutip oleh Maryam, dkk (2008), menjadi tua bukanlah
suatu penyakit atau sakit tetapi suatu proses perubahan di mana kepekaan bertambah atau batas
kemampuan beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal dengan geriatric giant, di mana
lansia akan mengalami 13 i, yaitu imobilisasi; instabilitas (mudah jatuh); intelektualitas terganggu
(demensia); isolasi (depresi); inkontinensia; impotensi; imunodefisiensi; infeksi mudah terjadi;
impaksi (konstipasi); iatrogenesis (kesalahan diagnosis); insomnia; impairment of (gangguan pada);
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, komunikasi, dan integritas kulit, inaniation
(malnutrisi). Adapun perubahan biologis/kondisi lanjut usia yang dapat memengaruhi status gizi
[image:33.595.38.515.378.762.2]secara jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.2 Kondisi Lanjut Usia Yang Dapat Memengaruhi Status Gizi
No Kondisi Lanjut Usia Perubahan Pola Makan Status Gizi
1
Metabolisme basal menurun Kebutuhan energi menurun Cenderung
kegemukan/obesitas 2 Aktivitas kegiatan fisik
berkurang Energi yang dipakai sedikit
Cenderung
kegemukan/obesitas
3 Ekonomi meningkat Konsumsi berlebih Cenderung
kegemukan/obesitas
4 Fungsi indera menurun
Makan tidak enak/nafsu makan
menurun Dapat terjadi kurang gizi
5 Penyakit periodental atau
gagal ginjal
Kesulitan makan makanan berserat (sayur, daging), cenderung makanan lunak
Dapat terjadi kurang gizi dan kegemukan/obesitas
6
Penurunan seksresi asam lambung dan enzim pencernaan makanan
Mengganggu penyerapan
vitamin dan mineral Defisiensi zat gizi mikro
7 Mobilitas usus menurun Susah buang air besar Wasir (perdarahan)
anemia
8 Sering menggunakan
obat-obatan/alkohol Menurunkan nafsu makan Dapat terjadi kurang gizi
9 Gangguan kemampuan
motorik
Kesulitan untuk menyiapkan
makanan sendiri Dapat terjadi kurang gizi
10
Kurang bersosialisasi, kesepian (perubahan psikologis)
Nafsu makan menurun Dapat terjadi kurang gizi
11 Pendapatan menurun Asupan makanan menurun Dapat terjadi kurang gizi
12 Demensia (pikun) Sering makan/lupa makan Dapat terjadi kurang gizi
dan kegemukan/obesitas
2.3. Gaya Hidup
Pengertian gaya hidup menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pola tingkah laku
sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang
mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya
membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial. Gaya hidup atau life style
dapat diartikan juga sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara
dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu.
Gaya hidup individu yang dicirikan dengan pola perilaku individu akan memberi dampak pada
kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang lain. Dalam kesehatan, gaya hidup seseorang
dapat diubah dengan cara memberdayakan individu agar merubah gaya hidupnya, tetapi merubahnya
bukan pada si individu saja, tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi kehidupan yang
memengaruhi pola perilakunya. Dan tidak ada aturan ketentuan baku tentang gaya hidup yang berlaku
untuk semua orang. Budaya, pendapatan, struktur keluarga, umur, kemampuan fisik, lingkungan rumah
dan lingkungan tempat kerja yang berbeda, menciptakan berbagai gaya yang berbeda pula (Hadywinoto,
1999).
Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Darusalam Medan oleh Poniyah
(2011) tentang pengaruh gaya hidup (variabel pola makan) terhadap status kesehatan lansia
memberikan hasil penelitian yaitu uji statistik menunjukkan variabel pola makan berpengaruh
terhadap status kesehatan lansia. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan uji statistik regresi
logistik pada variabel pola makan menunjukkan ada pengaruh pola makan terhadap status kesehatan lansia dengan nilai β = 2,541 dan p = 0,000, bernilai positif menunjukkan bahwa variabel tersebut
mempunyai pengaruh yang searah (positif) terhadap status kesehatan lansia di wilayah kerja
Puskesmas Darusalam Medan.
2. Aktivitas fisik
3. Olahraga
4. Istirahat/tidur 7 – 8 jam perhari 5. Tidak merokok
6. Tidak minum-minuman keras
7. Tidak mengonsumsi obat-obatan (Watson, 2003).
2.3.1. Pola Makan
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan
jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu
kelompok masyarakat tertentu (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Konsumsi pangan dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis maupun sosial. Hal ini terkait
dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambing
status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan, oleh karena itu ekspresi stiap individu dalam memilih
makanan akan berbeda satu dengan yang lainnya. Ekspresi tersebut akan membentuk pola perilaku
makan yang disebut kebiasaan makan (Baliwati dkk, 2010).
Menurut penelitian Maulida (2012) yang dilaksanakan di Kelurahan Tanjung Pura
Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tentang gambaran pola konsumsi pangan dan status
gizi menunjukkan bahwa lansia yang memiliki pola makan yang baik sebesar 47,8% memiliki status
gizi dengan kategori normal. Namun ada sebesar 21,1% memiliki pola makan yang baik tetapi
status gizinya berada dalam kategori tidak baik, 17,8% gizi kurang karena sistem pencernaan pada
lanjut usia sudah mulai terganggu, dimana gigi mulai tanggal, kemampuan mencerna makanan serta
penyerapannya menjadi lambat dan kurang efisien dan ada sebesar 13,3% obesitas.
Pola makan yang tidak seimbang akan menyebabkan terjadinya kekurangan gizi atau
sebaliknya pola konsumsi yang tidak seimbang juga mengakibatkan zat gizi tertentu berlebih dan
menyebabkan terjadinya gizi lebih. Asupan gizi yang tepat berperan dalam menciptakan kesehatan
yang beragam dan bergizi seimbang (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Sebenarnya pola makan atau
pola konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung,
namun hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya kekurangan gizi
seseorang atau masyarakat (Supariasa dkk, 2001).
Menurut Nugroho (2008) menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan untuk disajikan
pada makan. Menu seimbang untuk lansia adalah susunan yang mengandung cukup semua unsur
gizi yang dibutuhkan lansia. Syarat menu yang seimbang untuk lansia antara lain :
a. Mengandung zat gizi beraneka ragam bahan makanan yang terdiri atas zat tenaga, zat
pembangun, dan zat pengatur.
b. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lansia adalah 50% dari hidrat arang yang
merupakan hidrat arang kompleks (sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian).
c. Jumlah lemak dalam makanan dibatasi, yaitu 25-30% dari total kalori.
d. Jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut usia, yaitu 8-10% dari total
kalori.
e. Dianjurkan mengandung tinggi serat (selulosa) yang bersumber pada buah, sayur, dan
macam-macam pati, yang dikonsumsi dalam jumlah besar secara bertahap.
f. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non-fat, yoghurt, dan ikan.
g. Makanan mengandung tinggi zat besi (Fe), seperti kacang-kacangan, hati, daging, bayam,
atau sayuran hijau.
h. Membatasi penggunaan garam.
i. Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan makanan yang segar dan
mudah dicerna.
j. Hindari bahan makanan yang tinggi mengandung alkohol.
k. Pilih makanan yang mudah dikunyah seperti makanan lunak.
Menurut Fatmah (2010) aktivitas fisik merupakan tiap gerakan anggota tubuh yang
dihasilkan oleh otot-otot rangka dan yang menyebabkan pengeluaran energi yang sangat penting
peranannya terutama bagi lansia. Dengan melakukan aktivitas fisik, maka lansia tersebut dapat
mempertahankan bahkan meningkatkan derajat kesehatannya. Sedangkan Afriwardi (2010)
berpendapat bahwa aktivitas fisik adalah segala kegiatan atau aktivitas yang menyebabkan
peningkatan penggunaan energi/kalori oleh tubuh. Beberapa contoh aktivitas fisik antara lain :
menyapu, muncuci, makan, menaiki tangga, mengangkat barang dan kegiatan lainnya.
Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Darusalam Medan oleh Poniyah
(2011) tentang pengaruh gaya hidup (variabel aktivitas fisik) memberikan hasil penelitian yaitu 74
orang pada kategori tidak cukup dengan persentase tertinggi status kesehatan buruk sebanyak
74,3%. Uji statistik menunjukkan variabel aktivitas fisik berpengaruh terhadap status kesehatan
lansia. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan uji statistik regresi logistik pada variabel
aktivitas fisik, ada pengaruh antara aktivitas fisik lansia terhadap status kesehatan lansia dengan
nilai β = 1.922 dan p= 0,000, bernilai positif menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai
pengaruh yang searah (positif) terhadap status kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas
Darusalam Medan. Jadi dapat ditafsirkan secara teoritis bahwa status kesehatan lansia di wilayah
kerja Puskesmas Darusalam medan akan meningkat jauh lebih baik apabila aktivitas fisik lansia
cukup.
2.3.3. Olahraga
Olahraga adalah serangkaian aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dengan
berpedoman pada aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu tetapi tidak terikat pada intensitas dan
waktunya (Afriwardi, 2010). Olahraga merupakan bagian dari kegiatan fisik secara terencana,
terstruktur, berulang untuk meningkatkan kebugaran tubuh. Kurang olahraga juga beresiko terhadap
maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini terkait dengan penurunan
kemampuan fisik yang terjadi secara alamiah (Fatmah, 2010).
Melakukan olahraga adalah suatu bentuk latihan fisik yang memberikan pengaruh yang
baik/positif terhadap kemampuan fisik seseorang apabila dilakukan secara baik dan benar.
Melakukan latihan fisik yang baik dapat bermanfaat sebagai upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif dan apabila ditinjau secara fisiologi, psikologi dan sosial memberikan dampak secara
langsung dan jangka panjang (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Menurut Maryam dkk, (2008)
beberapa contoh olahraga/latihan fisik yang dapat dilakukan oleh lansia untuk meningkatkan dan
memelihara kebugaran, kesegaran, dan kelenturan fisiknya sebagai berikut :
1. Pekerjaan rumah dan berkebun. Kegiatan ini harus dilakukan dengan tepat agar
napas sedikit lebih cepat, denyut jantung lebih cepat, dan otot menjadi lelah
2. Berjalan-jalan, sangat baik untuk meregangkan otot-otot kaki dan bila jalannya
makin lama makin cepat maka akan bermanfaat untuk daya tahan tubuh. Jika
melangkah dengan panjang dan mengayunkan lengan 10-20 kali, maka dapat
melenturkan tubuh.
3. Jalan cepat. Jalan cepat dilakukan dengan frekuensi 3-5 kali seminggu, latihan
selama 15-30 menit, dan dilakukan tidak kurang dari 2 jam setelah makan.
4. Renang, merupakan olahraga paling baik dilakukan untuk menjaga kesehatan karena
hampir semua otot bergerak, sehingga kekuatan otot semakin meningkat. Namun
olahraga kurang diminati karena segan mengingat keadaan kulit lnasia dan pakaian
yang harus dikenakan.
5. Bersepeda, baik bagi penderita arthritis karena tidak menyentuh lantai sama sekali,
sehingga tidak akan menyebabkan sakit pada sendi-sendinya.
6. Senam. Melakukan senam secara teratur dan benar dalam jangka waktu yang cukup
adalah sebagai berikut :
b) Mengadakan koreksi tehadap kesalahan sikap dan gerak
c) Membentuk sikap dan gerak
d) Memperlambat proses degenerasi karena perubahan usia
e) Membentuk kondisi fisik (kekuatan otot, kelenturan, keseimbangan,
ketahanan, keluwesan dan kecepatan)
f) Membentuk berbagai sikap kejiwaan (membentuk keberanian, kepercayaan
diri, kesiapan diri, dan kesanggupan bekerja sama)
g) Memberikan rangsangan bagi saraf-saraf yang lemah, khususnya bagi lansia
h) Memupuk rasa tanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri dan
masyarakat.
2.3.4. Kebiasaan Istirahat
Menurut Maryam dkk, (2008), istirahat dapat berarti bersantai menyegarkan diri atau diam
tidak melakukan aktivitas apapun setelah melakukan kerja keras. Istirahat dapat berarti pula
menghentikan sementara semua kegiatan sehari-hari bahkan sampai tertidur. Istirahat yang cukup
diperlukan agar tubuh dapat kembali ke kondisi normal setelah digunakan untuk beraktifitas.
Istirahat terbaik adalah tidur. Kebutuhan tidur untuk lansia adalah 6-8 jam sehari. Kebiasaan atau
pola tidur lansia dapat berubah yang terkadang mengganggu kenyamanan anggota keluarga yang
lain yang tinggal serumah.
Biasanya pada lanjut usia terjadi gangguan pola tidur sehingga dapat menyebabkan
perubahan fisik. Maka untuk dapat memberikan kebutuhan istirahat yang cukup untuk menjaga
kesehatan lansia maka dapat dilakukan dengan cara memberikan tempat tidur yang nyaman,
mengatur lingkungan yang cukup ventilasi, bebas dari bau-bauan, serta memberikan minum hangat
sebelum tidur misalnya susu hangat (Adriani & Wirjatmadi, 2012).
Perubahan pola tidur dapat berupa tidak bisa tidur sepanjang malam dan sering terbangun
pada malam hari. Tidur terlalu lama, akan cenderung mengganggu kesehatan. Sebagaimana
katabolik. Akibatnya, akan semakin merasa malas, tidak bertenaga, dan memboroskan waktu.
Kurang tidur dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang lengkap
atau kompleks. Penelitian di Universitas de Lille, Prancis, mengindikasikan bahwa otak
memerlukan tidur untuk mempertahankan kemampuan mengingat informasi yang kompleks.
Umumnya manusia bisa tidur dalam 6-8 jam sehari. Tetapi ada orang yang bisa tidur dibawah 6
jam. Kurang tidur berdampak negatif terhadap tubuh kita seperti kurang konsentrasi, cepat marah,
lesu, lelah (Maryam dkk, 2008).
Istirahat yang cukup sangat dibutuhkan badan kita. Banyak orang yang tidur jadi lemas,
tidak ada semangat, lekas marah dan stress. Hasil riset terbaru para ahli di Chicago membuktikan 3
hari mengalami kurang tidur kemampuan tubuh dalam memroses glukosa akan menurun secara
drastis, sehingga dapat meningkatkan resiko mengidap diabetes. Selanjunya menurut mereka, tidur
tidak nyenyak selama 3 hari berturut-turut akan menurunkan toleransi tubuh terhadap glukosa,
khususnya pada orang muda dan orang dewasa (Santoso, 2009).
Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur. Diyakini bahwa tidur
sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan penyakit, karena tidur
bermanfaat untuk menyimpan energi, meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses
penyembuhan penyakit. Pada saat tidur tubuh juga mereparasi bagiaan-bagian tubuh yang sudah
aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat dan tidur yang
cukup sangat penting untuk kesehatan (Depkes RI, 2008).
2.3.5. Kebiasaan Merokok
Merokok bukanlah gaya hidup yang sehat. Merokok dapat menganggu kerja paru-paru yang
normal, karena hemoglobin lebih mudah membawa karbondioksida daripada membawa oksigen.
Jika terdapat karbondioksida dalam paru-paru, maka akan dibawa oleh hemoglobin sehingga tubuh
memperoleh oksigen yang kurang dari biasanya. Kandungan nikotin dalam rokok yang terbawa
dalam aliran darah dapat mempengaruhi berbagai bagian tubuh yaitu mempercepat denyut jantung