• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.1. Penilaian Status Gizi - Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Asupan Gizi Dengan Status Gizi Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "2.1.1. Penilaian Status Gizi - Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Asupan Gizi Dengan Status Gizi Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Menurut Almatsier (2001), status gizi diartikan sebagai keadaan tubuh akibat konsumsi dan penggunaan zat gizi. Berdasarkan pendapat Supariasa, dkk (2001) dapat disimpulkan bahwa status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari zat gizi ke dalam bentuk variebel tertentu. Dengan kata lain status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk kedalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut. Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, seperti tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktifitas fisik dan faktor yang bersifat relatif yaitu, gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran dan penghancuran (excretion dan destruction dari zat gizi tersebut dalam tubuh). Status gizi seseorang dapat dinilai dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan secara tidak langsung melalui survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.

2.1.1. Penilaian Status Gizi

Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan menjadi metode secara langsung dan metode tidak langsung (Supariasa, 2001).

2.1.2. Metode Penilaian Status Gizi Secara Langsung

Status gizi lansia secara langsung dapat diukur dengan berbagai cara sebagai berikut: 1. Antropometri

Antropometri atau ukuran tubuh adalah serangkaian teknik pengukuran dimensi kerangka tubuh manusia secara kuantitatif yang meliputi tinggi badan (TB), dan berat badan (BB). Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada lansia adalah sebagai berikut:

1) Berat badan

(2)

ukuran total tubuh. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi seseorang dengan mengetahu indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan timbangan injak (bathroomscale). Subjek diukur dalam posisi berdiri dengan ketentuan subjek memakain pakaian seminimal mungkin, tanpa isi kantong dan sandal. Pembacaan skala dilakukan pada alat dengan ketelitian 0,1 kg (Fatmah, 2010).

2) Tinggi badan

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa dkk, 2001).

Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. Pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. Pengukuran tinggi badan lansia sangat sulit dilakukan untuk lansia mengingat adanya masalah postur tubuh seperti terjadinya kifosis atau pembengkokan tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak. Oleh karena itu, pengukuran tinggi lutut, panjang depa dan tinggi duduk dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi badan.

3) Panjang depa

(3)

panjang 2 meter. Panjang depa biasanya menggambarkan hasil pengukuran yang sama dengan tinggi badan normal dan dapat digunakan untuk menggantikan tinggi badan. Subjek yang diukur harus memiliki kedua tangan yang dapat direntangkan sepanjang mungkin dalam posisi lateral dan tidak dikepal. Jika salah satu kedua tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau sebab lainnya, maka pengukuran ini tidak dapat dilakukan (Fatmah, 2010). Penelitian yang dilakukan Fatmah, dkk (2008), untuk mengetahui tinggi badan lansia dapat diperoleh dari prediksi tinggi lutut (knee height), panjang depa (arm span), dan tinggi duduk (sitting height). Panjang depa dapat digunakan untuk estimasi TB lansia orang cacat dan yang tidak dapat berdiri tinggi. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang tulang di tangan, kaki (lutut) dan tinggi tulang vertebral.

4) Indeks Massa Tubuh (IMT)

Status gizi dinilai dengan cara pengukuran berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m²) yang dinyatakan dalam IMT.

IMT = berat badan (kg) tinggi badan (m)²

Pengelompokan Indeks Massa Tubuh untuk klasifikasi status gizi lansia berdasarkan standar WHO (2005) seperti dalam tabel berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut WHO 2005

Kategori IMT

Kurus

Kekurangan berat badan tingkat berat

< 17,0 Kekurangan berat badan tingkat

ringan

(4)

Normal > 18,5 - 25,0 Gemuk Kelebihan berat badan tingkat

ringan

> 25,0-27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0 Sumber: WHO 2005

2. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (superficial epithelial tissue) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa, 2001).

Didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan epitel atau bagian tubuh lain terutama pada mata, kulit dan rambut. Selain itu pengamatan juga dapat dilakukan pada bagian tubuh yang dapat diraba dan dilihat atau bagian tubuh lain yang terletak dekat permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Cara ini relatif murah dan tidak memerlukan peralatan canggih, namun hasilnya subjektif dan memerlukan tenaga terlatih (Fatmah, 2010).

3. Biokimia

(5)

Penilaian dengan biokimia ini lebih sensitif dan mampu menggambarkan perubahan status gizi lebih dini pada lansia, seperti hiperlipidemia, kurang kalori protein dan anemia defisiensi besi (Fe) dan asam folat. Plasma dan serum memberikan gambaran hasil masukan jangka pendek, sedangkan cadangan dalam jaringan menggambarkan status gizi dalam waktu lama atau jangka panjang (Fatmah, 2010).

4. Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Penggunaan metode biofisik dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi (Supariasa, 2001).

2.1.3. Metode Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung 1. Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaan metode dengan pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2001).

2. Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa satistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaan metode ini dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2001).

3. Faktor ekologi

(6)

dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2001).

2.1.4. Klasifikasi Status Gizi

Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga, yaitu (Sediaoetama, 1996).

a. Gizi lebih (overnutritional state)

Gizi lebih adalah tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi berlebih. Kondisi ini ternyata mempunyai tingkat kesehatan yang lebih rendah, meskipun berat badan lebih tinggi dibandingkan berat badan ideal. Keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit tertentu yang sering dijumpai pada orang kegemukan seperti : penyakit kardiovaskuler yang menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi, diabetes mellitus dan lainnya.

b. Gizi baik (eunutritional state)

Tingkat kesehatan gizi terbaik yaitu kesehatan gizi optimum (eunutritional state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya.

c. Gizi kurang (undernutrition)

(7)

Keunggulan standar antropometri terbaru WHO lebih baik dibandingkan standar NCHS/WHO oleh karena dibuat berdasarkan data dari berbagai negara dan etnis, sehingga sesuai untuk negara-negara yang sedang berkembang. Keunggulan antropometri yang lain adalah prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sempel cukup besar, kemudian relatif tidak menggunakan tenaga ahli, alat murah dan mudah dibawa. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan, dapat mengidentifikasi status gizi buruk, kurang, baik, karena sudah ada ambang batas yang jelas (Supariasa, 2001).

2.2. Lanjut Usia

Pengertian lanjut usia (lansia) menurut Undang-undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 138 ayat (1) menetapkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (2) menetapkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.

Menurut Fatmah (2010) pengertian lansia dibedakan atas dua macam, yaitu lansia kronologis (kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan dihitung, sedangkan lansia biologis berpatokan pada keadaan jaringan tubuh. Individu yang usianya muda secara biologis tetapi bila dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya dapat tergolong lansia. Di Indonesia, istilah untuk kelompok usia ini belum baku, orang memiliki sebutan yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah usia lanjut ada pula lanjut usia atau jompo dengan padanan kata dalam bahasa Inggris biasa disebut the aged, the elders, older adult, serta senior citizen (Tamher & Noorkasiani, 2009).

(8)

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok antara lain : usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun, usia lanjut tua (old) yaitu kelompok usia 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu kelompok usia di atas 90 tahun. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Fatmah (2010) batasan lansia antara lain : 1) virilitas (prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun), 2) usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun), 3) lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif, yaitu usia di atas 65 tahun.

Menurut Maryam, dkk (2008) lansia dibagi dalam lima klasifikasi, meliputi : 1. pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45–59 tahun,

2. lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih,

3. lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa,

4. lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

2.2.2. Karakteristik

Menurut Keliat (1999) yang dikutip oleh Maryam, dkk (2008), karakteristik lansia yaitu : 1) berusia lebih dari 60 tahun, 2) kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, dan 3) lingkungan tempat tinggal yang bervariasi. Sedangkan menurut Bustan (1997), beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui masalah lansia antara lain :

(9)

Lansia lebih banyak pada perempuan. Terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan perempuan. Misalnya lansia laki-laki sibuk dengan hipertropi prostat sedangkan lansia perempuan sibuk dengan osteoporosis. b. Status perkawinan

Status masih pasangan hidup lengkap atau sudah hidup janda/duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis.

c. Living arrangement

Keadaan pasangan ; tinggal sendiri atau bersama istri, anak atau keluarga lainnya. Tanggungan keluarga ; masih menanggung anak atau anggota keluarga. Tempat tinggal ; rumah sendiri, tinggal dengan anak. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga ataupun bagian dari keluarga anaknya. Namun akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam rumah yang berbeda.

d. Kondisi kesehatan

(10)

e. Keadaan ekonomi

Sumber pendapatan resmi ; pensiunan lansia ditambah sumber pendapatanan lain kalau masih aktif. Penduduk lansia di daerah pertanian menunjukkkan proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah non pertanian. Lapangan kerja sektor pertanian cukup banyak menyerap tenaga kerja lansia, disamping sektor perdagangan dan jasa. Sumber pendapatan keluarga ; ada tidaknya bantuan keuangan dari anak/keluarga lainnya, atau bahkan masih ada anggota keluarga yang tergantung padanya. Kemampuan pendapatan ; lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi, sementara pendapatan semakin menurun sampai seberapa besar pendapatan lansia dapat memenuhi kebutuhannya.

2.2.3. Proses Menua dan Perubahan Fisiologis Akibat Penuaan

Proses penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2001). Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Dengan kata lain usia tua adalah fase terakhir dari rentang kehidupan (Fatimah, 2010).

(11)

kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal atau ide baru (Maryam dkk, 2008).

Menurut Darmojo (2004) yang dikutip oleh Maryam, dkk (2008), menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit tetapi suatu proses perubahan di mana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal dengan geriatric giant, di mana lansia akan mengalami 13 i, yaitu imobilisasi; instabilitas (mudah jatuh); intelektualitas terganggu (demensia); isolasi (depresi); inkontinensia; impotensi; imunodefisiensi; infeksi mudah terjadi; impaksi (konstipasi); iatrogenesis (kesalahan diagnosis); insomnia; impairment of (gangguan pada); penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, komunikasi, dan integritas kulit, inaniation (malnutrisi). Adapun perubahan biologis/kondisi lanjut usia yang dapat memengaruhi status gizi secara jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.2 Kondisi Lanjut Usia Yang Dapat Memengaruhi Status Gizi

No Kondisi Lanjut Usia Perubahan Pola Makan Status Gizi 1

Metabolisme basal menurun Kebutuhan energi menurun Cenderung

kegemukan/obesitas 2 Aktivitas kegiatan fisik

berkurang Energi yang dipakai sedikit

Cenderung

kegemukan/obesitas

3 Ekonomi meningkat Konsumsi berlebih Cenderung

kegemukan/obesitas

vitamin dan mineral Defisiensi zat gizi mikro 7 Mobilitas usus menurun Susah buang air besar Wasir (perdarahan)

anemia 8 Sering menggunakan

obat-obatan/alkohol Menurunkan nafsu makan Dapat terjadi kurang gizi 9 Gangguan kemampuan

motorik

Kesulitan untuk menyiapkan

makanan sendiri Dapat terjadi kurang gizi 10

Kurang bersosialisasi, kesepian (perubahan psikologis)

(12)

2.3. Gaya Hidup

Pengertian gaya hidup menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial. Gaya hidup atau life style dapat diartikan juga sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu.

Gaya hidup individu yang dicirikan dengan pola perilaku individu akan memberi dampak pada

kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang lain. Dalam kesehatan, gaya hidup seseorang dapat diubah dengan cara memberdayakan individu agar merubah gaya hidupnya, tetapi merubahnya

bukan pada si individu saja, tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi kehidupan yang

memengaruhi pola perilakunya. Dan tidak ada aturan ketentuan baku tentang gaya hidup yang berlaku untuk semua orang. Budaya, pendapatan, struktur keluarga, umur, kemampuan fisik, lingkungan rumah

dan lingkungan tempat kerja yang berbeda, menciptakan berbagai gaya yang berbeda pula (Hadywinoto,

1999).

Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Darusalam Medan oleh Poniyah (2011) tentang pengaruh gaya hidup (variabel pola makan) terhadap status kesehatan lansia memberikan hasil penelitian yaitu uji statistik menunjukkan variabel pola makan berpengaruh terhadap status kesehatan lansia. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan uji statistik regresi logistik pada variabel pola makan menunjukkan ada pengaruh pola makan terhadap status kesehatan lansia dengan nilai β = 2,541 dan p = 0,000, bernilai positif menunjukkan bahwa variabel tersebut

(13)

2. Aktivitas fisik 3. Olahraga

4. Istirahat/tidur 7 – 8 jam perhari 5. Tidak merokok

6. Tidak minum-minuman keras

7. Tidak mengonsumsi obat-obatan (Watson, 2003). 2.3.1. Pola Makan

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambing status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan, oleh karena itu ekspresi stiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lainnya. Ekspresi tersebut akan membentuk pola perilaku makan yang disebut kebiasaan makan (Baliwati dkk, 2010).

Menurut penelitian Maulida (2012) yang dilaksanakan di Kelurahan Tanjung Pura Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tentang gambaran pola konsumsi pangan dan status gizi menunjukkan bahwa lansia yang memiliki pola makan yang baik sebesar 47,8% memiliki status gizi dengan kategori normal. Namun ada sebesar 21,1% memiliki pola makan yang baik tetapi status gizinya berada dalam kategori tidak baik, 17,8% gizi kurang karena sistem pencernaan pada lanjut usia sudah mulai terganggu, dimana gigi mulai tanggal, kemampuan mencerna makanan serta penyerapannya menjadi lambat dan kurang efisien dan ada sebesar 13,3% obesitas.

(14)

yang beragam dan bergizi seimbang (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Sebenarnya pola makan atau pola konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung, namun hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya kekurangan gizi seseorang atau masyarakat (Supariasa dkk, 2001).

Menurut Nugroho (2008) menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan untuk disajikan pada makan. Menu seimbang untuk lansia adalah susunan yang mengandung cukup semua unsur gizi yang dibutuhkan lansia. Syarat menu yang seimbang untuk lansia antara lain :

a. Mengandung zat gizi beraneka ragam bahan makanan yang terdiri atas zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.

b. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lansia adalah 50% dari hidrat arang yang merupakan hidrat arang kompleks (sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian).

c. Jumlah lemak dalam makanan dibatasi, yaitu 25-30% dari total kalori.

d. Jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut usia, yaitu 8-10% dari total kalori.

e. Dianjurkan mengandung tinggi serat (selulosa) yang bersumber pada buah, sayur, dan macam-macam pati, yang dikonsumsi dalam jumlah besar secara bertahap.

f. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non-fat, yoghurt, dan ikan. g. Makanan mengandung tinggi zat besi (Fe), seperti kacang-kacangan, hati, daging, bayam,

atau sayuran hijau.

h. Membatasi penggunaan garam.

i. Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan makanan yang segar dan mudah dicerna.

(15)

Menurut Fatmah (2010) aktivitas fisik merupakan tiap gerakan anggota tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka dan yang menyebabkan pengeluaran energi yang sangat penting peranannya terutama bagi lansia. Dengan melakukan aktivitas fisik, maka lansia tersebut dapat mempertahankan bahkan meningkatkan derajat kesehatannya. Sedangkan Afriwardi (2010) berpendapat bahwa aktivitas fisik adalah segala kegiatan atau aktivitas yang menyebabkan peningkatan penggunaan energi/kalori oleh tubuh. Beberapa contoh aktivitas fisik antara lain : menyapu, muncuci, makan, menaiki tangga, mengangkat barang dan kegiatan lainnya.

Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Darusalam Medan oleh Poniyah (2011) tentang pengaruh gaya hidup (variabel aktivitas fisik) memberikan hasil penelitian yaitu 74 orang pada kategori tidak cukup dengan persentase tertinggi status kesehatan buruk sebanyak 74,3%. Uji statistik menunjukkan variabel aktivitas fisik berpengaruh terhadap status kesehatan lansia. Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan uji statistik regresi logistik pada variabel aktivitas fisik, ada pengaruh antara aktivitas fisik lansia terhadap status kesehatan lansia dengan nilai β = 1.922 dan p= 0,000, bernilai positif menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai pengaruh yang searah (positif) terhadap status kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas Darusalam Medan. Jadi dapat ditafsirkan secara teoritis bahwa status kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas Darusalam medan akan meningkat jauh lebih baik apabila aktivitas fisik lansia cukup.

2.3.3. Olahraga

(16)

maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini terkait dengan penurunan kemampuan fisik yang terjadi secara alamiah (Fatmah, 2010).

Melakukan olahraga adalah suatu bentuk latihan fisik yang memberikan pengaruh yang baik/positif terhadap kemampuan fisik seseorang apabila dilakukan secara baik dan benar. Melakukan latihan fisik yang baik dapat bermanfaat sebagai upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dan apabila ditinjau secara fisiologi, psikologi dan sosial memberikan dampak secara langsung dan jangka panjang (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Menurut Maryam dkk, (2008) beberapa contoh olahraga/latihan fisik yang dapat dilakukan oleh lansia untuk meningkatkan dan memelihara kebugaran, kesegaran, dan kelenturan fisiknya sebagai berikut :

1. Pekerjaan rumah dan berkebun. Kegiatan ini harus dilakukan dengan tepat agar napas sedikit lebih cepat, denyut jantung lebih cepat, dan otot menjadi lelah

2. Berjalan-jalan, sangat baik untuk meregangkan otot-otot kaki dan bila jalannya makin lama makin cepat maka akan bermanfaat untuk daya tahan tubuh. Jika melangkah dengan panjang dan mengayunkan lengan 10-20 kali, maka dapat melenturkan tubuh.

3. Jalan cepat. Jalan cepat dilakukan dengan frekuensi 3-5 kali seminggu, latihan selama 15-30 menit, dan dilakukan tidak kurang dari 2 jam setelah makan.

4. Renang, merupakan olahraga paling baik dilakukan untuk menjaga kesehatan karena hampir semua otot bergerak, sehingga kekuatan otot semakin meningkat. Namun olahraga kurang diminati karena segan mengingat keadaan kulit lnasia dan pakaian yang harus dikenakan.

5. Bersepeda, baik bagi penderita arthritis karena tidak menyentuh lantai sama sekali, sehingga tidak akan menyebabkan sakit pada sendi-sendinya.

(17)

b) Mengadakan koreksi tehadap kesalahan sikap dan gerak c) Membentuk sikap dan gerak

d) Memperlambat proses degenerasi karena perubahan usia

e) Membentuk kondisi fisik (kekuatan otot, kelenturan, keseimbangan, ketahanan, keluwesan dan kecepatan)

f) Membentuk berbagai sikap kejiwaan (membentuk keberanian, kepercayaan diri, kesiapan diri, dan kesanggupan bekerja sama)

g) Memberikan rangsangan bagi saraf-saraf yang lemah, khususnya bagi lansia h) Memupuk rasa tanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri dan

masyarakat. 2.3.4. Kebiasaan Istirahat

Menurut Maryam dkk, (2008), istirahat dapat berarti bersantai menyegarkan diri atau diam tidak melakukan aktivitas apapun setelah melakukan kerja keras. Istirahat dapat berarti pula menghentikan sementara semua kegiatan sehari-hari bahkan sampai tertidur. Istirahat yang cukup diperlukan agar tubuh dapat kembali ke kondisi normal setelah digunakan untuk beraktifitas. Istirahat terbaik adalah tidur. Kebutuhan tidur untuk lansia adalah 6-8 jam sehari. Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah yang terkadang mengganggu kenyamanan anggota keluarga yang lain yang tinggal serumah.

Biasanya pada lanjut usia terjadi gangguan pola tidur sehingga dapat menyebabkan perubahan fisik. Maka untuk dapat memberikan kebutuhan istirahat yang cukup untuk menjaga kesehatan lansia maka dapat dilakukan dengan cara memberikan tempat tidur yang nyaman, mengatur lingkungan yang cukup ventilasi, bebas dari bau-bauan, serta memberikan minum hangat sebelum tidur misalnya susu hangat (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

(18)

katabolik. Akibatnya, akan semakin merasa malas, tidak bertenaga, dan memboroskan waktu. Kurang tidur dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang lengkap atau kompleks. Penelitian di Universitas de Lille, Prancis, mengindikasikan bahwa otak memerlukan tidur untuk mempertahankan kemampuan mengingat informasi yang kompleks. Umumnya manusia bisa tidur dalam 6-8 jam sehari. Tetapi ada orang yang bisa tidur dibawah 6 jam. Kurang tidur berdampak negatif terhadap tubuh kita seperti kurang konsentrasi, cepat marah, lesu, lelah (Maryam dkk, 2008).

Istirahat yang cukup sangat dibutuhkan badan kita. Banyak orang yang tidur jadi lemas, tidak ada semangat, lekas marah dan stress. Hasil riset terbaru para ahli di Chicago membuktikan 3 hari mengalami kurang tidur kemampuan tubuh dalam memroses glukosa akan menurun secara drastis, sehingga dapat meningkatkan resiko mengidap diabetes. Selanjunya menurut mereka, tidur tidak nyenyak selama 3 hari berturut-turut akan menurunkan toleransi tubuh terhadap glukosa, khususnya pada orang muda dan orang dewasa (Santoso, 2009).

Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur. Diyakini bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan penyakit, karena tidur bermanfaat untuk menyimpan energi, meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit. Pada saat tidur tubuh juga mereparasi bagiaan-bagian tubuh yang sudah aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat dan tidur yang cukup sangat penting untuk kesehatan (Depkes RI, 2008).

2.3.5. Kebiasaan Merokok

(19)

kulit sebesar setengah derajat karena penyempitan pembuluh darah kulit dan menyebabkan hati melepaskan gula ke dalam aliran darah. Merokok merupakan faktor resiko terpenting untuk terjadinya penyakit tidak menular, karena dapat menyebabkan arterio skleorosis dini, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru, larynx, rongga mulut, pancreas, dan osephagus, selain itu juga dapat meningkatkan tekanan darah dan kadar lemak dalam darah sebagai faktor resiko terjadinya stroke, penyakit jantung dan pembuluh darah (Bustan, 2007).

Farmingham Heart Study menemukan bahwa merokok menurunkan kadar kolesterol baik High Density Level (HDL). Penurunan HDL ini berbeda, pada perempuan penurunannya lebih tinggi dari pada laki-laki. Pada laki-laki rata-rata 4,5 mg/dl dan pada perempuan 6,5 mg/dl. Perokok dikategorikan sebagai berikut:

1. Perokok ringan : <10 batang/hari 2. Perokok sedang : 10-20 batang/hari 3. Perokok berat : > 20 batang/hari

Prevalensi merokok lansia pada kelompok umur 55-64, 65-74 dan 75+ cukup tinggi yaitu di atas 30%, dan paling tinggi pada kelompok umur 55-64 tahun (37,5%) dengan rerata jumlah batang rokok/hari sebanyak 13 batang rokok (Kemenkes RI, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalance Study menunjukan bahwa mereka yang merokok dua puluh batang atau lebih perhari, mengalami penurunan kadar HDL sekitar 11% pada laki-laki dan 14% pada perempuan. Merokok juga mengurangi usia harapan hidup, rata-rata 10 tahun. Atau apabila tidak merokok berarti menambah usia harapan hidup rata-rata 10 tahun. Demikian antara lain hasil penelitian selama 50 tahun di Inggris mengenai dampak merokok terhadap kesehatan (Depkes RI, 2008).

2.3.6. Kebiasaan Mengonsumsi Obat

(20)

kemungkinan besar terjadi penumpukan obat dalam tubuh dan dapat juga menyebabkan keracunan obat jika diberikan dosis yang sama dengan orang dewasa.Oleh karena itu, dosis obat perlu dikurangi pada lansia. Adapun efek samping obat yang terjadi pada lansia dapat menimbulkan penyakit-penyakit baru akibat pemberian obat, misalnya poliuri/sering buang air kecil akibat pemakaian obat diuretik (obat untuk meningkatkan pengeluaran air seni), lansia dapat terjatuh akibat penggunaan obat-obat penurun tekanan darah, penenang, antidepresan, dan lain-lain. Efek samping tersebut biasanya terjadi karena diagnosis yang tidak tepat, ketidakpatuhan meminum obat, serta penggunaan obat yang berlebihan dan berulang-ulang dalam waktu yang lama (Maryam dkk, 2008).

2.4. Asupan Gizi

Pengertian konsumsi makanan berbeda dengan kecukupan gizi. Konsumsi makan adalah sesuatu yang nyata, sedangkan kecukupan gizi adalah kandungan zat gizi yang terkandung didalam bahan makanan. Tingkat konsumsi seseorang sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari suatu makanan. Kualitas makanan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh yang terdapat dalam makanan, sedangkan kuantitas makanan menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh (Sediaoetama, 2000).

2.4.1. Kebutuhan Gizi Lansia

(21)

Menurut Astawan M & Wahyuni M (1988) yang dikutip oleh Budianto (2009), pada prinsipnya kebutuhan macam zat gizi bagi lansia tetap sama seperti yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya dikurangi, disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin, dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai sumber vitamin, mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik. Hal ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan dalam buang air besar. Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut dapat diatasi.

Kebutuhan zat gizi lansia yang tergolong aktif biasanya tidak berbeda dengan orang dewasa sehat. Penuaan tidak begitu berpengaruh terhadap berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Kebutuhan kalori menurun sejalan pertambahan usia, karena metabolism seluruh sel dan kegiatan otot berkurang. Penyusutan BMR 10% sampai 20%, antara usia 30 dan 75 tahun merupakan cerminan dari perubahan komposisi tubuh, penambahan massa lemak, dan penyusutan massa otot yang disebabkan oleh berkurangnya kegiatan fisik (Arisman, 2002).

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kebutuhan gizi pada lansia menurut Nugroho (2008) antara lain : berkurangnya kemampuan mencerna makanan (akibat kerusakan gigi atau ompong), berkurangnya cita rasa (rasa dan buah), berkurangya koordinasi otot-otot syaraf, keadaan fisik yang kurang baik, faktor ekonomi dan sosial, serta faktor penyerapan makanan (daya absorpsi).

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lanjut usia tampak pada tabel di bawah ini:

(22)

2.4.2. Energi

Kebutuhan energi pada lanjut usia menurun sehubungan dengan penurunan metabolisme basal (sel-sel banyak yang inaktif) dan kegiatan fisik cenderung menurun. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004 angka kecukupan energi yang dianjurkan untuk lansia perempuan diatas 60 tahun sebesar 1600 kkal dan laki-laki sebesar 2050 kkal. Kelebihan atau kekurangan energi akan memberikan dampak negatif bagi lansia. Kelebihan energi dapat memengaruhi terjadinya penyakit degeneratif, karena energi ini disimpan dalam jaringan lemak. Hal ini dapat mengakibatkan berat badan melebihi dari yang seharusnya. Kekurangan energi mengakibatkan berat badan rendah, sedangkan berat badan yang rendah dapat mengakibatkan fungsi umum menurun seperti menurunnya daya tahan dan kesanggupan kerja (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

Pada lansia yang aktivitas fisiknya menurun, asupan energi harus dikurangi untuk mencapai keseimbangan energi dan mencegah terjadinya obesitas, karena salah satu faktor yang menentukan berat badan seseorang adalah keseimbangan antara masukan energi dengan keluaran energi. Bukti epidemiologi menunjukkan bahwa risiko fraktur pada panggul menurun dari 20-40% di antara individu yang melakukan olahraga dibandingkan individu yang tidak berolahraga (Fatmah, 2010). 2.4.3. Protein

(23)

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran tingkat konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat-zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan (Supariasa, 2002).

2.5. Metode Pengukuran Asupan Gizi 2.5.1. Food Recall

Metode recall 24 jam dimaksudkan untuk menilai konsumsi pangan individual. Prinsip dari metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini responden disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh. Langkah-langkah pelaksanaan food recall 24 jam adalah sebagai berikut:

a. Pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu.

b. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

(24)

2.6. Kerangka Konsep

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan

Gambar di atas menunjukkan bahwa variabel karakteristik lansia yaitu umur dan status penyakit, variabel gaya hidup lansia berdasarkan kebiasaan lansia dalam hal pola makan, aktivitas fisik, olahraga, kebiasaan istirahat, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi obat dilihat secara deskriptif serta asupan gizi yaitu asupan energi dan protein berhubungan dengan status gizi lansia. 2.7. Hipotesis Penelitian

Ha : Ada hubungan karakteristik, gaya hidup, dan asupan gizi dengan status gizi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Aek Habil Kota Sibolga.

Karakteristik - umur

- status penyakit

Gaya Hidup - pola makan - aktivitas fisik - olahraga

- kebiasaan istirahat - kebiasaan merokok - kebiasaan mengonsumsi

obat

Asupan Gizi

- asupan energi - asupan protein

Gambar

Tabel 2.2 Kondisi Lanjut Usia Yang Dapat Memengaruhi Status Gizi
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa jawapostv menggunakan komponen- komponen yang sama dengan landasan teori Integrated Marketing Communication serta penggunaan

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang

guru membantu pustakawan dalam hal penerapan gerakan literasi di sekolah, guru mendukung kegiatan budaya membaca dengan cara memeberikan kesempatan 15 menit kepada siswa

1) Pemahaman siswa terhadap teknik dasar lompat jauh melalui media kardus membuat siswa bersemangat untuk melakukan pembelajaran dan semakin aktif untuk mencoba

Dengan ini mengajukan surat lamaran pekerjaan kepada Bapak / Ibu Pimpinan untuk diterima menjadi karyawan di perusahaan yang Bapak / Ibu Pimpin.. Surat Keterangan

Untuk membuat ayam kremes Ala KFC sobat bisa mendapatkan bahan-bahan yang sangat mudah, sobat bisa membeli dari pasar – pasar tradisional atau tukang sayur keliling

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Tri

Pemilihan pendekatan tersebut didasarkan beberapa pertimbangan, di antaranya adalah penelitian ini bersifat uraian, data yang digunakan berupa teks yaitu novel Ayah dan Sebelas