• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Hubungan hepatitis viral dengan sirosis hepatis

Sheila sherlock (1995) menyatakan suatu spektrum penyakit peradangan menahun hati yang terbentang dari hepatitis akut ke hepatitis kronik dan akhirnya ke sirosis. Hepatitis kronik didefinisikan sebagai reaksi peradangan kronik dalam hati yang berlanjut tanpa perbaikan paling kurang selama enam bulan. Progresivitas tergantung atas kombinasi berkelanjutan

replikasi virus didalam hati dan keadaan imunologi pasien. Virus tidak langsung sitopatik dan lisis hepatosit terinfeksi dengan progresivitas ke kronik tetapi tergantung atas respon imun hospes. Jika respon imun selular terhadap virus buruk, maka terjadi sedikit atau tidak ada kerusakan hati dan virus kontinu berproliferasi dengan adanya fungsi hati yang normal. Keadaan tersebut akan menjadi carrier yang terlihat sehat. Pasien dengan respon imun seluler yang sedikit lebih baik memperlihatkan nekrosis sel hati kontinu, tetapi respon tak cukup untuk membersihkan virus dan timbul hepatitis kronik.

Virus penyebab hepatitis pertama kali menginfeksi hepatosit. Selama masa tunas, terjadi replikasi virus yang intens di sel-sel hati yang menyebabkan munculnya komponen-komponen virus dalam urine, tinja dan cairan tubuh lain. Kemudian terjadi kematian sel hati dan respons peradangan terkait, yang diikuti oleh perubahan-perubahan pada uji laboratorium fungsi hati dan munculnya berbagai gejala dan tanda penyakit hati (Sherlock, 1995).

2.4.1. Virus Hepatitis B (VHB)

Ada tiga antigen yang dihubungkan dengan virus hepatitis B dua diantaranya HBcAg dan HbeAg yang berkaitan dengan inti virus, yang ketigaantigen hepatitis permukaan (HBsAg) merupakan antigen penentu utama dari permukaan luar mantel virus (Kumar, 1995).

Antigen yang berhubungan dengan virus hepatitis B akan menimbulkan antibodi yang spesifik : anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe. Antigen dan antibodi merupakan tanda imunologik yang penting dari infeksi virus dalam perjalanan penyakitnya (Kumar, 1995).

HBsAg adalah yang pertama-tama dideteksi dalam darah, pada masa inkubasi. Mengikuti antigen permukaan, partikel virus dan HbeAg terdapat dalam darah. HbeAg kemudian cepat menghilang pada fase akut dari penyakit ini 2-3 minggu sebelum HBsAg menghilang. Kadar HBsAg mulai menurun setelah serangan penyakit dan biasanya tidak terdeteksi setelah 3 bulan masa infeksi. Bila tetap ada selama lebih dari 6 bulan, maka biasanya

menunjukkan penyakit menahun. Meskipun antigen inti bebas HBcAg tidak pernah ditemukan dalam serum, antibodinya yaitu anti-HBc merupakan antibodi antivirus yang pertama-tama dapat dideteksi setelah kontak dengan virus Hepatitis B. anti-HBc timbul menjelang masa akhir inkubasi dan tetap ada selama fase akut dari penyakit. Respon awal anti-HBc adalah IgM diikuti 6-18 bulan kemudian oleh antibodi IgG. Antibodi-antibodi ini tidak melindungi dan dapat dideteksi pada penyakit menahun. Anti-Hbe timbul dalam serum saat HBeAg mulai menghilang, pada awal dari fase resolusi dari hepatitis akut. Anti-HBs dapat dideteksi selama fase penyembuhan dan ini biasanya tetap bertahan seumur hidup. Interval antara hilangnya HBsAg dengan timbulnya anti-HBs disebut sebagai ‘periode jendela’ (window period) (Kumar, 1995).

Menurut Crawford (2007), HBsAg muncul sebelum onset gejala, memuncak selama gejala penyakit muncul, kemudian menurun sampai tidak terdeteksi dalam 3 hingga 6 bulan. HbeAg, HBV-DNA dan DNA polimerase muncul dalam serum segera setelah HbsAg dan semuanya menandakan replikasi virus aktif. Menetapnya HbeAg merupakan indikator penting terjadinya replikasi virus yang berkelanjutan, daya tular dan kemungkinan perkembangan menuju hepatitis kronis. IgM anti-HBc mulai terdeteksi dalam serum segera sebelum onset gejala, bersamaan dengan mulai meningkatnya kadar aminotransferase serum (menunjukkan kerusakan hati). Dalam beberapa bulan, IgM anti-HBc digantikan oleh IgG anti-HBc. Munculnya antibodi anti-Hbe mengisyaratkan infeksi akut telah memuncak dan sekarang mulai mereda. IgG anti-HBs belum meningkat sampai penyakit akut berlalu dan biasanya tidak terdeteksi selama beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah hilangnya HbsAg. Anti-HBs dapat menetap seumur hidup, memberikan perlindungan; ini merupakan dasar bagi strategi vaksinasi saat ini.

Infeksi HBV berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, HBV-DNA terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas 1 menyebabkan

pengaktivan limfosit T CD8+ sitotoksik. Kemudian fase integratif, yang DNA virusnya mungkin menyatu ke dalam genom penjamu. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi antivirus, infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun, risiko terjadinya karsinoma hepatoselular menetap (Crawford, 2007).

Terdapat beberapa alasan untuk hipotesis bahwa HBV tidak secara langsung menyebabkan cedera hepatosit. Yang terutama, banyak pembawa virus kronis memiliki virion didalam hepatosit mereka tanpa memperlihatkan tanda cedera sel. Kerusakan hepatosit diperkirakan terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel T sitotoksik CD8+ (Crawford, 2007).

Untuk proses eradikasi virus hepatitis B (VHB) lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding antigen presenting cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan VHB-MHC kelas II pada dinding APC. VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah HBcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (Crawford, 2007).

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain HBs, HBc dan Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel (Soemodihardjo, 2009).

2.4.2. Virus Hepatitis C (VHC)

Masa inkubasi hepatitis C berkisar dari 2 hingga 26 minggu. RNA HCV dapat dideteksi dalam darah selama 1 hingga 3 minggu dan disertai oleh peningkatan kadar aminotransferase serum. Perjalanan klinis hepatitis C akut biasanya lebih ringan daripada hepatitis B dan asimptomatik pada 75% orang. Meskipun antibodi netralisasi anti-HCV terbentuk dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan, RNA-HCV tetap berada dalam darah pada banyak pasien. Oleh karena itu, gambaran khas infeksi HCV adalah peningkatan episodik kadar aminotransferase serum walaupun tidak ada gejala klinis dan ini mungkin mencerminkan serangan berulang nekrosis hepatoselular. Sirosis terjadi pada 20% orang yang mengalami infeksi persisten. Selain itu, pasien mungkin terbukti mengidap infeksi HCV kronis selama berpuluh tahun tanpa berkembang menjadi sirosis (Crawford, 2007).

Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh Virus Hepatitis C (VHC) pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL. Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-alfa, TGF-beta1 akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata di ruang Disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan ‘tenang’ kemudian berproliferasi dan menjadi aktif, menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati (Gani, 2009).

2.4.3. Hepatitis Virus Akut

Apapun penyebabnya, penyakit kurang lebih sama dan dapat dibagi menjadi empat fase : (1) masa inkubasi, (2) fase praikterus simtomatik, (3) fase ikterus simtomatik dan (4) pemulihan (Crawford, 2007).

Masa inkubasi merupakan puncak daya tular yang berkaitan dengan keberadaan partikel virus infeksiosa dalam darah. Fase praikterus berkaitan dengan hepatitis yang diisyaratkan oleh menigkatnya kadar aminotransferase serum. Pemeriksaan fisik hanya memperlihatkan hati yang sedikit membesar dan nyeri tekan. Fase ikterus simtomatik terutama disebabkan oleh hiperbilirubinemia. Dengan rusaknya hepatosit terjadi defek dalam konjugasi bilirubin, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi juga dapat terjadi. Fase ikterus sering terjadi pada orang dewasa dengan hepatitis A, tetapi tidak terjadi pada sekitar separuh kasus hepatitis B dan tidak ditemukan pada sebagian besar kasus hepatitis C. dalam beberapa minggu hingga mungkin beberapa bulan, ikterus dan sebagian besar gejala sistemik lain menghilang seiring dengan dimulainya fase pemulihan (Crawford, 2007).

2.4.4. Hepatitis Virus Kronis

Perjalanan penyakit sangat bervariasi. Pasien mungkin mengalami remisi spontan atau mengalami penyakit indolen tanpa perkembangan selama bertahun-tahun. Sebaliknya, sebagian pasien mengalami penyakit yang progresif cepat dan menderita sirosis dalam beberapa tahun. Pasien dengan infeksi virus hepatitis B kronis atau virus hepatitis C berisiko cukup besar mengalami karsinoma hepatoselular (Crawford, 2007).

Dokumen terkait