• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus hingga September 2012. Pada penelitian ini diperoleh sampel sebanyak 35 rekam medis dari 202 rekam medis yang terdata pada survei awal penelitian. Berkurangnya jumlah sampel ini disebabkan karena data sampel tidak memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan dan juga banyaknya rekam medis yang hilang dan tidak lengkapnya data pada rekam medis.

Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki (74.3%) lebih banyak menderita sirosis hepatis daripada perempuan (25.7%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Sihotang (2010)

yang memaparkan bahwa kejadian sirosis hepatis di Indonesia menunjukkan bahwa pria lebih banyak daripada wanita (2.4-5 : 1).

Distribusi sampel berdasarkan kelompok usia menunjukkan bahwa kelompok usia 40-49 tahun dan > 60 tahun lebih banyak menderita sirosis hepatis. Hal ini sesuai dengan penelitian Sutadi tahun 2003 yang menyatakan insidens terbanyak sirosis hepatis dengan umur rata-rata antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun. Selain itu juga didukung oleh hasil penelitian Karina (2007) yang mendapati mayoritas penderita sirosis hepatis yang mengalami kematian pada usia 50- 59 tahun dan > 60 tahun. Karina (2007) juga menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan penurunan fungsi organ, penurunan mekanisme pertahanan tubuh juga multiple disease.

Distribusi sampel berdasarkan sirosis hepatis viral atau non-viral didapatkan bahwa sirosis hepatis viral lebih banyak daripada sirosis hepatis non-viral. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan yang menyebutkan bahwa penyebab terbanyak sirosis hepatis di Indonesia adalah karena virus hepatitis (Nurdjannah, 2009).

Distribusi sampel berdasarkan sirosis hepatis viral menunjukkan bahwa lebih banyak sampel dengan hepatitis B. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurdjannah (2009) yang menyebutkan bahwa mayoritas pasien sirosis hepatis viral disebabkan oleh virus hepatitis B. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis hepatis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40% sedangkan sisanya masih belum pasti diketahui penyebabnya (Nurdjannah, 2009).

Distribusi sampel berdasarkan sirosis hepatis nonviral menunjukkan bahwa lebih banyak pasien sirosis hepatis dengan riwayat konsumsi alkohol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurdjannah (2009) yaitu alkohol sebagai penyebab sirosis hepatis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.

Distribusi sampel berdasarkan kategori nilai bilirubin berdasarkan skor Child-Pugh menunjukkan bahwa mayoritas pasien dengan nilai bilirubin < 2.0 mg % yaitu dengan skor 1. Hal ini tidak sesuai dengan

pernyataan Goliat Victor (2011) pada penelitiannya yaitu baik bilirubin direk maupun bilirubin total mengalami peningkatan pada pasien sirosis hepatis. Hal ini disebabkan karena banyaknya rekam medis pasien yang tidak disertai dengan hasil laboratoriumnya dan beberapa pasien yang dilakukan pengambilan sampel untuk dilakukan uji laboratorium adalah pasien yang masih dalam kategori ringan.

Distribusi sampel berdasarkan kategori nilai albumin menunjukkan bahwa lebih banyak sampel dengan kategori nilai albumin < 2.8 g% dengan skor 3 sesuai dengan kriteria Child-Pugh. Pada penelitian yang dilakukan Goliat (2011) dinyatakan bahwa didapatkan lebih dari sembilan puluh persen penderita mengalami penurunan kadar albumin plasma. Distribusi sampel berdasarkan kategori nilai International Normalized Ratio (INR) berdasarkan skor Child-Pugh menunjukkan bahwa lebih banyak sampel dengan kategori nilai INR < 1.70 yaitu dengan skor 1 pada Child-Pugh.

Distribusi sampel berdasarkan kategori asites berdasarkan skor Child-Pugh menunjukkan bahwa lebih banyak sampel dengan asites grade I- II yang mendapat skor 2 sesuai dengan kriteria Child-Pugh. Sirosis merupakan penyebab asites pada 80% kasus di US (MD Hastings, 2005). Distribusi sampel berdasarkan kategori hepatic encephalopathy berdasarkan skor Child-Pugh menunjukkan bahwa lebih banyak sampel dengan keadaan compos mentis yang mendapat skor 1 sesuai kriteria Child-Pugh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Imelda (2012) mengenai profil pasien sirosis hepatis dari 83 sampel dijumpai hanya 9.9% pasien yang mengalami hepatic encephalopathy. Pada pasien sirosis hepatis terjadi pengurangan massa otot yang berlebihan sehingga akan mengakibatkan peningkatan kadar amonia dalam darah. Selain itu pada sirosis hepatis juga terjadi kerusakan hati kronik yang mengganggu fungsi hati mengubah amonia menjadi urea sehingga mengakibatkan kadar amonia dalam darah meningkat. Sebagai akibat meningkatnya kadar amonia dalam darah akan mempegaruhi fungsi otak dan terjadi hepatic encephalopathy (Wadiyarti, 2010).

Distribusi sampel berdasarkan kategori skor Child-Pugh menunjukkan bahwa didapati mayoritas pasien pada kelas B Child-Pugh. Ini

berarti penderita sirosis hati yang datang berobat sebagian besar dengan derajat penyakit sedang dan berat dimana tanda-tanda dekompensasi umumnya terjadi. Sebagaimana dijelaskan dalam kepustakaan sirosis hati sering merupakan silent disease dimana sebagian besar penderita tetap asimtomatis hingga munculnya tanda-tanda dekompensasi. Tanda-tanda dekompensasi ini lebih banyak muncul pada pasien sirosis hepatis dengan derajat sedang dan berat (Crawford, 2007).

Dari hasil tabulasi silang antara penyakit hati viral non-viral dengan tingkat keparahan sirosis hepatis berdasarkan skor Child-Pugh, dapat dilihat bahwa mayoritas sampel dengan sirosis hepatis viral berada pada kelas C. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan sampel sirosis hepatis non-viral mayoritas berada pada kategori Child-Pugh kelas B. Hasil analisis ini menyatakan tidak adanya hubungan antara penyakit hati viral dan non-viral dengan tingkat keparahan sirosis hepatis berdasarkan skor Child-Pugh.

Melalui uji korelasi Spearman didapati tidak ada hubungan antara penyakit hati viral dan non-viral dengan tingkat keparahan sirosis hepatis berdasarkan skor Child-Pugh di RSUP H. Adam Malik tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit hati viral dan non-viral tidak dapat menentukan seberapa parah penyakit sirosis hepatis berdasarkan skor Child- Pugh.

Alkohol bisa meningkatkan kerusakan hati yang disebabkan oleh hepatitis B. Selain itu kadang-kadang kanker sel hati berkembang dalam sirosis alkoholik, biasanya setelah masa berhenti alkohol, sewaktu sirosis makronodular telah berkembang. Ada hubungan antara hepatitis B dan kanker yang berkembang dalam pecandu alkohol (Sherlock, 1995).

Penelitian lain menyatakan bahwa etiologi sirosis hepatis juga mempengaruhi risiko terjadinya kanker sel hepatosit. Patogenesis sirosis hepatis melibatkan inflamasi kronik yang akan memicu terjadinya neksrosis dan regenerasi sel. Stress oksidatif juga berperan dan memicu terjadinya perubahan secara genetik. Hepatitis B merupakan penyebab kematian terbesar akibat kanker sel hepatosit. Replikasi virus hepatitis B, rendahnya kadar HBsAg dalam serum merupakan faktor risiko berkembangnya kanker

sel hepatoma. Infeksi virus hepatitis C yang merupakan inflamasi kronik juga memicu terjadinya fibrosis hati yang berujung pada terjadinya sirosis hepatis. Selain itu, infeksi virus menginduksi terjadinya mutasi kromosom dan perubahan hepatosit kearah keganasan yang berhubungan dengan oksigen reaktif spesies yang akan jatuh ke keadaan keganasan (Sundaram dkk, 2011).

Tidak adanya hubungan antara penyakit hati viral dan non-viral dengan tingkat keparahan sirosis hepatis ternyata juga didukung oleh beberapa penelitian. Penelitian N.C. Nayak dkk (2011) menyatakan bahwa sirosis hepatis dengan riwayat konsumsi alkohol ternyata bukan hanya karena riwayat penyalahgunaan konsumsi alkohol yang berlamaan tetapi juga karena asupan nutrisi yang tidak adekuat yang berkepanjangan. Selain itu sirosis hepatis alkoholik yang telah ada akan membaik apabila konsumsi alkohol dihentikan. Secara morfologi sirosis hepatis alkoholik mempunyai karakter mikronodular sedangkan sirosis hepatis viral campuran mikro- makronodular. Hal ini yang menyebabkan mayoritas pasien sirosis hepatis viral tergolong pada kategori kelas C berdasarkan skor Child-Pugh. Akan tetapi seiring dengan perjalanan penyakit, sirosis hepatis mikronodular akan berkembang menjadi makronodular dan menyebabkan gambaran yang sama dari etiologi apapun.

Dokumen terkait