• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Higiene Perorangan (Kebersihan Kuku, Kebersihan Diri, Frekuensi Mandi) dengan Infeksi Kecacingan

HASIL PENELITIAN

4.3. Hasil Pemeriksaan Faeces

4.3.4. Hubungan Higiene Perorangan (Kebersihan Kuku, Kebersihan Diri, Frekuensi Mandi) dengan Infeksi Kecacingan

Hubungan higiene perorangan dalam hal ini adalah kebersihan kuku, kebersihan diri dan frekuensi mandi responden. Untuk mengetahui hubungan kebersihan kuku responden yaang terinfeksi maupun tidak terinfeksi kecacingan dapat dilihat pada tabel 4.18. berikut ini.

Tabel 4.18. Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Kebersihan Kuku Responden Siswa SD Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Kebersihan Kuku

Infeksi Kecacingan Jumlah

Terinfeksi Tidak Terinfeksi Jumlah (Orang) % Jumlah (Orang) % Jumlah (Orang) % 1 Bersih 12 46,2 14 53,8 26 100,0 2 Kotor 43 89,6 5 10,4 48 100,0 Jumlah 55 74,3 19 25,7 74 100,0 X2= 16.67 df=1 p=0.000 Berdasarkan tabel 4.18. di atas menunjukkan bahwa pada umumnya responden yang terinfeksi kecacingan lebih banyak memiliki kebersihan kuku yang kotor yaitu sebanyak 43 orang (89,6%) dibandingkan dengan yang memiliki kebersihan kuku yang

memiliki kebersihan kuku yang bersih sebanyak 14 orang (53,8%) dibandingkan responden yang memiliki kebersihan kuku yang kotor sebanyak 5 orang (10,4%). Dari hasil uji statistik Chi-Square (X²) diperoleh p<0,05 artinya ada hubungan kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan.

Hubungan kebersihan diri responden yang terinfeksi dan tidak terinfeksi dengan infeksi kecacingan dapat dilihat pada tabel 4.19 berikut.

Tabel 4.19. Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Kebersihan Diri Responden Siswa SD Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Kebersihan Diri

Infeksi Kecacingan Jumlah

Terinfeksi Tidak Terinfeksi Jumlah (Orang) % Jumlah (Orang) % Jumlah (Orang) % 1 Bersih 24 60,0 16 40,0 40 100,0 2 Kotor 31 91,2 3 8,8 34 100,0 Jumlah 55 74,3 19 25,7 74 100,0 X2= 9,36 df=1 p=0.002 Berdasarkan tabel 4.19. di atas menunjukkan bahwa pada umumnya responden yang terinfeksi cacing memiliki kebersihan diri yang bersih yaitu sebanyak 24 orang (60,0%) dan yang tidak terinfeksi cacing yaitu 16 orang (40,0%), sedangkan responden yang terinfeksi cacing memiliki kebersihan diri yang kotor yaitu sebanyak 31 orang (91,2%) sedangkan yang tidak terinfeksi cacing yaitu 3 orang (8,8%). Dari hasil uji statistik Chi-Square (X²) diperoleh p<0,05 artinya ada hubungan antara kebersihan diri dengan infeksi kecacingan.

Untuk mengetahui hubungan frekuensi mandi responden yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi dengan infeksi kecacingan dapat dilihat pada tabel 4.20. berikut.

Tabel 4.20. Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Frekuensi Mandi Responden Siswa SD Negeri 030375Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Frekuensi Mandi

Infeksi Kecacingan Jumlah

Terinfeksi Tidak Terinfeksi Jumlah (Orang) % Jumlah (Orang) % n % 1 Ya 11 47,8 12 52,2 23 100,0 2 Tidak 44 86,3 7 13,7 51 100,0 Jumlah 55 74,3 19 25,7 74 100,0 X2= 12.28 df=1 p=0,001 Berdasarkan tabel 4.20. di atas menunjukkan bahwa pada umumnya responden yang tidak terinfeksi kecacingan lebih banyak yang memiliki frekuensi mandi minimal 2 kali sehari yaitu sebanyak 12 responden (52,2%) dibandingkan dengan yang terinfeksi cacing yaitu 11 responden (47,8%) dan responden yang terinfeksi cacing yaitu sebanyak 44 responden (86,3%), sedangkan yang tidak terinfeksi cacing memiliki frekuensi mandi minimal 2 kali sehari yaitu 7 responden (13,7%). Dari hasil uji statistik Chi-Square (X²) diperoleh p<0,05 artinya ada hubungan antara frekuensi mandi dengan infeksi kecacingan.

BAB V PEMBAHASAN

Responden pada penelitian ini adalah siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi yaitu Kelas III, IV dan V yang tidak terinfeksi kecacingan dan terinfeksi kecacingan yang diambil secara Total Sampling. Sampel yang paling banyak adalah dari kelas V sebanyak 36,4% sedangkan kelas IV sebanyak 33,9% dan kelas III sebanyak 29,7%. Jenis kelamin responden pada umumnya laki-laki yaitu sebanyak 43 orang (58,1,9%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 31 orang (41,9%) sedangkan umur responden bervariasi yaitu umur 9 tahun sampai 11 tahun. 5.1. Perilaku (Pengetahuan, Sikap, Tindakan) Responden Terhadap Infeksi

Kecacingan

Perilaku merupakan suatu aktifitas dari seseorang baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Faktor manusia merupakan salah satu media sumber infeksi yang disebabkan kontaminasi pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing. Penyakit kecacingan mempunyai prevalensi yang tinggi dan semua umur dapat terinfeksi cacing dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak. Terjadinya infeksi kecacingan ini sangat erat kaitannya dengan perilaku, kebersihan sanitasi lingkungan, kebersihan diri dan keadaan sosial ekonomi. Salah satu faktor yang penting dalam mendukung terjadinya infeksi kecacingan adalah perilaku, karena perilaku merupakan reaksi seseorang terhadap apa yang ingin dilakukannya.

Menurut Notoatmodjo, (1997), perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan.

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersikap aktif (tindakan yang nyata atau practise) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit penyakit, sistem pelayanan, makanan serta lingkungan. Menurut Becker (1979) yang dikutip Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.

5.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan dan sikap merupakan sebagian bentuk operasional dari perilaku. Seseorang mempunyai pengetahuan yang baik akan sesuatu hal diharapkan mempunyai sikap yang baik terhadap hal tersebut dan sikap yang baik terhadap sesuatu hal diharapkan juga mempunyai tindakan yang baik pula.

Hasil penelitian terhadap 74 orang reponden siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden terhadap infeksi kecacingan pada katagori baik yaitu sebanyak 49 orang (66,2%) dan pengetahuan yang buruk sebanyak 25 orang (33,8%). Dengan demikian para responden telah mengetahui dengan baik tentang infeksi kecacingan. Hal ini dapat diketahui dari jawaban para responden pada kuesioner bahwa seseorang dapat terkena infeksi kecacingan dan bibit penyakit dapat masuk melalui kaki, tangan dan makanan/minuman. Responden juga mengetahui penyakit kecacingan disebabkan karena tangan yang kotor, tidak menggunakan alas kaki saat keluar rumah, makanan/minuman dan lingkungan yang tidak bersih dan responden juga mengetahui dampak dari kecacingan bisa membuat kurang darah, kurang gizi, kurang selera makan, malas dan bodoh namun sedikit responden yang mengetahui bahwa infeksi kecacingan dapat mengakibatkan malas dan

bodoh serta kurang gizi. Responden juga mengetahui cara mencegah kecacingan dengan baik bahwa mencegah dengan cara makan-makanan yang bersih, buang air besar di wc, cuci tangan pakai sabun dan memakai alas kaki saat keluar rumah dan sedikit yang mengetahui cara mencegah kecacingan dengan cara memakan makanan yang dimasak terlebih dahulu.

Menurut Azwar, (1993), dalam prakteknya upaya higiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100ºC selama lima menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau penjepit.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003)

5.1.2. Sikap

Dengan adanya pengetahuan yang baik dari responden terhadap infeksi kecacingan, maka diharapkan dapat menimbulkan sikap yang baik pula, sehingga dapat mendorong responden untuk bertindak positif terhadap infeksi kecacingan. Hasil penelitian terhadap 74 orang reponden siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi menunjukkan bahwa sikap para responden terhadap infeksi kecacingan lebih banyak pada kategori buruk yaitu ada sebanyak 47 orang (63,5%) dan yang bersikap baik sebanyak 27 orang (36,5%). Hal ini dapat dilihat bahwa tidak semua responden setuju penyakit kecacingan dapat dihindari seperti infeksi kecacingan dapat merugikan dan infeksi kecacingan dapat dicegah namun ada responden yang setuju kalau

penyakit kecacingan dapat dicegah seperti buang kotoron tidak sembarangan, cuci tangan pakai sabun setelah buang kotoran.

Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Indikator sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatan antara lain (Notoatmodjo, 2003) :

a. Sikap terhadap sakit dan penyakit, adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan, cara pencegahan dan sebaginya.

b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat, adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan cara-cara (berperilaku) hidup sehat.

c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan, adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan, misalnya pendapat atau penilaian terhadap air bersih, pembuangan limbah, polusi dan sebagainya .

5.1.3. Tindakan

Hasil penelitian terhadap 74 orang reponden siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi menunjukkan bahwa tindakan responden terhadap infeksi kecacingan ada pada katagori buruk yaitu sebanyak 52 orang (70,3%) dan tindakan yang baik sebanyak 22 orang (29,7%). Berdasarkan data dari kuisoner bahwa kebanyakan responden tidak bertindak baik seperti mencuci tangan pakai sabun setelah buang air besar, membuang kotoran di wc, mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, menggunting kuku dan membersihkannya tidak teratur (minimal 1 kali seminggu) dan memakai alas kaki saat keluar rumah.

Kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan cacingan diantaranya melalui tangan yang kotor. Kuku jari tangan yang kotor kemungkinan terselip telur cacing, yang akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi bila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan, atau bahkan pada anak-anak yang menderita Oxuriasis akan mengalami auto infeksi ketika manghisap jari sewaktu tidur (Luize, 2004 dan Onggowaluyo, 2002).

Meskipun pengetahuan responden pada kategori baik namum belum tentu sejalan dengan tindakan yang baik pula, hal ini bisa terjadi kemungkinan disebabkan oleh daerah penelitian masih banyak tidak memiliki wc dan minimnya sumber air karena pada umumnya responden buang air besar di aliran air bahkan di pekarangan rumah penduduk.

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dalam kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak saniter akan mengakibatkan terkontaminasinya air tanah dan sumber-sumber air bersih. Kondisi ini mengakibatkan agen penyakit dapat berkembang biak dan menyebarkan infeksi terhadap manusia (Kusnoputranto, 2000).

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (overt behavior). Oleh sebab itu indikator praktek kesehatan antara lain :

Tindakan atau perilaku ini mencakup : a) pencegahan penyakit, melakukan pengurasan bak mandi seminggu sekali, dan sebagainya, dan b) penyembuhan penyakit, misalnya minum obat sesuai petunjuk dokter, melakukan anjuran-anjuran dokter dan sebagainya.

b. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

Tindakan atau perilaku ini mencakup : mengkonsumsi makan dengan gizi seimbang, melakukan olah raga secara teratur, dan sebagainya

c. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan

perilaku ini antara lain : membuang air besar di jamban (WC), membuang sampah di tempat sampah, menggunakan air bersih untuk mandi, cuci, masak dan sebagainya.

Dokumen terkait