• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Perilaku Dan Higiene Siswa SD Negeri 030375 Dengan Infeksi Kecacingan Di Desa Juma Teguh Kabupaten Dairi Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Perilaku Dan Higiene Siswa SD Negeri 030375 Dengan Infeksi Kecacingan Di Desa Juma Teguh Kabupaten Dairi Tahun 2008"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PERILAKU DAN HIGIENE SISWA SD NEGERI 030375

DENGAN INFEKSI KECACINGAN DI DESA JUMA TEGUH

KECAMATAN SIEMPAT NEMPU

KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2008

SKRIPSI

Oleh :

NIM : 051000539 ANITA H. TUMANGGOR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN PERILAKU DAN HIGIENE SISWA SD NEGERI 030375

DENGAN INFEKSI KECACINGAN DI DESA JUMA TEGUH

KECAMATAN SIEMPAT NEMPU

KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2008

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM : 051000539 ANITA H. TUMANGGOR

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan Judul :

HUBUNGAN PERILAKU DAN HIGIENE SISWA SD NEGERI 030375 DENGAN INFEKSI KECACINGAN DI DESA JUMA TEGUH

KECAMATAN SIEMPAT NEMPU KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2008

Yang dipersiapkan dan diseminarkan oleh :

NIM : 051000539 ANITA H.TUMANGGOR

Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 17 Juli 2008 dan Dinyatakan

Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Indra Chahaya S, MSi

(4)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul :

HUBUNGAN PERILAKU DAN HIGIENE SISWA SD NEGERI 030375 DENGAN INFEKSI KECACINGAN DI DESA JUMA TEGUH

KECAMATAN SIEMPAT NEMPU KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2008

Yang dipersiapkan dan diseminarkan oleh :

NIM : 051000539 ANITA H.TUMANGGOR

Proposal Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui Untuk diseminarkan dihadapan peserta seminar

Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Indra Chahaya S, MSi

(5)

ABSTRAK

Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale. Mekanisme infeksi kecacingan adalah melalui tanah yang dicemari tinja. Kasus atau prevalensi kecacingan ini masih tinggi di Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian survai bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk melihat hubungan perilaku dan higiene siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III, IV dan V yang berjumlah 74 orang yang juga dijadikan sampel (total sampling), data yang digunakan adalah data primer dari hasil pemeriksaan laboratorium UPT Puskesmas Buntu Raja Kabupaten Dairi dan menggunakan data sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 74 responden siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi diketahui bahwa pada umumnya terinfeksi cacing (74,3 %) dengan jenis cacing yang menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides (61,8 %). Selanjutnya pengetahuan responden terhadap infeksi kecacingan berada pada kategori baik (66,2%), sikap responden berada pada kategori buruk (63,5%), sedangkan tindakan responden terhadap infeksi kecacingan berada pada kategori buruk (70,3%). Untuk kebersihan kuku responden pada umumnya kotor (64,9%), kebersihan diri responden berada pada kategori kotor (51,4%) sedangkan frekuensi mandi responden pada umumnya tidak melaksanakan mandi minimal 2 kali sehari (68,9%)

Analisis statistik dengan uji Chi Square terhadap hubungan Perilaku responden (pengetahuan, sikap, tindakan) dengan infeksi kecacingan menunjukkan p<0,05 ini berarti ada hubungan yang signifikan antara perilaku responden dengan infeksi kecacingan. Hubungan Higiene perorangan responden (kebersihan kuku, kebersihan diri dan frekuensi mandi) dengan infeksi kecacingan melalui analisis statistik uji Chi Square menunjukkan p<0,05 ini berarti ada hubungan yang signifikan antara higiene perorangan dengan infeksi kecacingan.

Meningkatkan praktek kebersihan diri (personal hygiene) merupakan upaya strategis untuk mencegah terinfeksi oleh parasit cacing. Pemberian obat cacing kepada siswa 6 (enam) bulan sekali diperlukan karena mengingat sanitasi lingkungan yang jelek. Diharapkan kerjasama antara pihak sekolah dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi perlu diintensifkan dalam upaya pencegahan penyakit kecacingan.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Perilaku dan Higiene Siswa SD Negeri 030375 dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008”, guna memenuhi salah sat syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. dr. Ria Masniari Lubis, Msi, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara;

2. Ir. Indra Chahaya S, Msi, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan dan selaku Dosen Pembimbing I Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 3. dr. Surya Dharma, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan

waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

4. Eka Lestasi Mahyuni, SKM, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademis yang selalu memberikan petunjuk selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Sumatera Utara;

5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan seluruh staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya Bapak/Ibu Dosen di Departemen Kesehatan Lingkungan; 6. Suamiku tercinta Naik Syaputra Kaloko, SP,MM dan anak-anakku tersayang Ridho

(7)

dan moril sehingga penulis lebih termotivasi untuk menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini;

7. Kedua orang tuaku dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini;

8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa khususnya Siti, Marina, Dahlena, Panitian dan Mahasiswa Angkatan tahun 2005 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara;

9. dr. Budiman Simanjuntak, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi Semoga Allah SWT melimpahkan rahmatNya kepada semua yang membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.

Medan, Juli 2008

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

(9)

3.3.2. Sampel ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 40 5.1. Perilaku (Pengetahuan, Sikap, Tindakan) Responden Terhadap Infeksi Kecacingan... 53

5.1.1. Pengetahuan ... 54

5.1.2. Sikap ... 55

5.1.3. Tindakan ... 56

5.2. Higiene Perorangan Terhadap Infeksi Kecacingan... 58

5.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium... 61

5.4. Hubungan Perilaku (Pengetahuan, Sikap, Tindakan) Responden Terhadap Infeksi Kecacingan... 63

(10)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 68

6.2. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Siswa/i Berdasarkan Kelompok Umur di SD Negeri

030375 Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi

Tahun 2008... 40 Tabel 4.2. Distribusi Jumlah Staf Pengajar Berdasarkan Tingkat Pendidikan SD

Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008...

41 Tabel 4.3. Data Sepuluh Penyakit Terbesar di Wilayah Kerja Puskesmas Dinas

Kesehatan Kabupaten Dairi Tahun 2007... 42 Tabel 4.4. Distribusi Karateristik Responden Siswa SD Negeri 030375 Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008... 44 Tabel 4.7 Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan

Sikap Terhadap Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008... 44 Tabel 4.8. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan

(12)

Tabel 4.12. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat

Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008... 46 Tabel 4.13. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan Hasil

Pemeriksaan Kecacingan Terhadap Jenis Cacing di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008... 47 Tabel 4.14. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan Umur

dan Jenis Kelamin dengan Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008... 48 Tabel 4.15. Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan Responden Siswa

SD Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat

Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008……... 49 Tabel 4.16. Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Sikap Responden Siswa SD

Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008……... 49 Tabel 4.17 Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Tindakan Responden Siswa SD

Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008……... 50 Tabel 4.18 Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Kebersihan Kuku Responden

Siswa SD Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat

Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008……... 51 Tabel 4.19 Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Kebersihan Diri Responden

Siswa SD Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat

Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008……... 51 Tabel 4.20 Distribusi Tabulasi Silang Hubungan Frekuensi Mandi Responden

Siswa SD Negeri 030375 Yang Terinfeksi/Tidak Terinfeksi Dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat

(13)

ABSTRAK

Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering menginfeksi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale. Mekanisme infeksi kecacingan adalah melalui tanah yang dicemari tinja. Kasus atau prevalensi kecacingan ini masih tinggi di Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian survai bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk melihat hubungan perilaku dan higiene siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III, IV dan V yang berjumlah 74 orang yang juga dijadikan sampel (total sampling), data yang digunakan adalah data primer dari hasil pemeriksaan laboratorium UPT Puskesmas Buntu Raja Kabupaten Dairi dan menggunakan data sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 74 responden siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi diketahui bahwa pada umumnya terinfeksi cacing (74,3 %) dengan jenis cacing yang menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides (61,8 %). Selanjutnya pengetahuan responden terhadap infeksi kecacingan berada pada kategori baik (66,2%), sikap responden berada pada kategori buruk (63,5%), sedangkan tindakan responden terhadap infeksi kecacingan berada pada kategori buruk (70,3%). Untuk kebersihan kuku responden pada umumnya kotor (64,9%), kebersihan diri responden berada pada kategori kotor (51,4%) sedangkan frekuensi mandi responden pada umumnya tidak melaksanakan mandi minimal 2 kali sehari (68,9%)

Analisis statistik dengan uji Chi Square terhadap hubungan Perilaku responden (pengetahuan, sikap, tindakan) dengan infeksi kecacingan menunjukkan p<0,05 ini berarti ada hubungan yang signifikan antara perilaku responden dengan infeksi kecacingan. Hubungan Higiene perorangan responden (kebersihan kuku, kebersihan diri dan frekuensi mandi) dengan infeksi kecacingan melalui analisis statistik uji Chi Square menunjukkan p<0,05 ini berarti ada hubungan yang signifikan antara higiene perorangan dengan infeksi kecacingan.

Meningkatkan praktek kebersihan diri (personal hygiene) merupakan upaya strategis untuk mencegah terinfeksi oleh parasit cacing. Pemberian obat cacing kepada siswa 6 (enam) bulan sekali diperlukan karena mengingat sanitasi lingkungan yang jelek. Diharapkan kerjasama antara pihak sekolah dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi perlu diintensifkan dalam upaya pencegahan penyakit kecacingan.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Untuk mewujudkan Misi Indonesia Sehat 2010 maka ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, antara lain memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau. Oleh karena itu, perlu dilaksanakannya upaya pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 32 menyatakan bahwa upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, diantaranya adalah pencegahan dan penyembuhan terhadap kecacingan.

Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, Indonesia masih menghadapi masalah tingginya prevalensi penyakit infeksi terutama yang berkaitan dengan kondisi higiene sanitasi lingkungan yang belum baik. Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacingan dimana penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan (Depkes RI, 2004).

Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui

tanah (Soil Transmitted Helminthiasis). Kerugian yang ditimbulkan akibat kecacingan sangat besar utamanya terhadap perkembangan fisik, intelegensia, dan produktivitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa (Dinkes Jatim, 2005).

(15)

Propinsi Nusa Tenggara Barat, sedangkan yang terkecil di Propinsi Jawa Timur. Hasil survai prevalensi cacingan tahun 2003, dengan sasaran dari lokasi sama pada tahun 2002 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Prevalensi cacingan keseluruhan 33,1%, cacing gelang 22,26%, cacing cambuk 20,30%, dan cacing tambang 0,75% (Ditjen PPM-PL, 2004).

Dalam laporan hasil survai prevalensi cacingan pada 10 propinsi tahun 2004, Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60,4%) dalam hal penyakit cacingan. Sedangkan untuk angka nasional adalah 30,35%, dengan rincian prevalensi cacing gelang 17,75%, cacing cambuk 17,74% dan cacing tambang 6,46% (Ditjen PPM-PL, 2004).

Dari data sepuluh penyakit terbesar di Kabupaten Dairi tahun 2007 penyakit kecacingan menempati urutan ke-8 (Dinkes Kab. Dairi, 2007).

Hasil survey prevalensi kecacingan yang dilaksanakan pada murid kelas VI sekolah dasar di SDN 030375 dan SDN 034807 Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi tahun 2007 oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan, dari 128 sampel yang faecesnya diperiksa ditemukan 55 anak (42,96 %) terinfeksi kecacingan, (BTKL Medan, 2007).

Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial dimasa akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).

(16)

nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah nilai-nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahzumi (2000) bahwa terdapat penurunan kejadian infeksi cacingan pada anak sekolah dasar setelah diberikan pendidikan kesehatan.

Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia (Zit, 2000).

Vince dalam Poespoprojo dan Sadjimin (2000) menyatakan bahwa infeksi cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan faeces yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Hubungan Perilaku dan Higiene Siswa SD Negeri 030375 dengan Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin mengetahui hubungan perilaku dan higiene siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008.

(17)

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku dan higiene siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi tentang infeksi kecacingan.

2. Mengetahui higiene (kebersihan kuku, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi tentang infeksi kecacingan.

3. Mengetahui siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi yang terinfeksi dan tidak terinfeksi kecacingan melalui pemeriksaan laboratorium.

4. Mengetahui hubungan perilaku (pengetahuan,sikap dan tindakan) siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi

5. Mengetahui hubungan higiene (kebersihan kuku, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki) siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi.

1.4. Manfaat Penelitian

(18)

2. Sebagai bahan masukan bagi anak sekolah sehingga mereka memperhatikan perilaku dan higiene agar terhindar dari penyakit kecacingan.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

Notoatmodjo (1993), menyatakan perilaku manusia dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan sosial yang secara rinci merupakan repleksi kejolak kejiwaan seperti : pengetahuan, motivasi, persepsi sikap dan sebahagian yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, keyakinan, cara fisik dan sosial budaya masyarakat.

Menurut L Blum dalam buku Notoatmodjo (1993) disebut bahwa perilaku seseorang terdiri dari 3 bagian yaitu kognitif, avektif dan fsikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan avektif dari sikap atau tanggapan dan fsikomotor diukur melalui tindakan praktek yang dilakukan.

Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur perilaku dimana salah satu adalah pengetahuan dengan cara memperoleh data atau informasi tentang indikator-indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan tingkat pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara, Notoatmodjo (2003).

Perilaku sehat pada dasarnya adalah respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan makanan serta lingkungan Notoatmodjo (2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan, misalnya perilaku seseorang berhubungan dengan pembuangan kotor yang menyangkut dari segi-segi higiene, pemeliharaan, teknik dan penggunaannya.

Menurut Anwar (1983) perilaku sehat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti : 1. Latar belakang seseorang yang meliputi norma-norma yang ada, kebiasaan, nilai

(20)

2. Kepercayaan meliputi manfaat yang didapat, hambatan yang ada, kerugian dan kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit.

3. Sarana merupakan tersedia atau tidaknya fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Menurut Depkes RI (1988), salah satu aspek yang penting dalam penanggulangan infeksi kecacingan adalah dengan cara meningkatkan pengetahuan dan perilaku keluarga tentang higiene perorangan serta sanitasi lingkungan.

2.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah adanya penginderaan terhadap suatu objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Penelitian Roger tahun 1974 yang dikutip Notoatmodjo, (2003), mengungkapkan sebelum orang mengadopsi perilaku baru, terlebih dahulu terjadi proses yang berurutan, yakni :

1. Awareness (kesadaran), yakni saat orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui lebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Pada tahap ini sikap subjek sudah mulai tumbuh.

3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti bahwa sikap responden sudah lebih baik.

4. Trial, yakni subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu dengan apa yang

dikehendaki oleh stimulus.

5. Adaption, yakni saat subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

(21)

Menurut Notoadmojo (2005) perilaku dikembangkan menjadi 3 (tiga) tingkat yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia atau hasil tau seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilkinya. Secara garis besar pengetahuan dibagi dalam 5 (lima) tingkat yaitu :

1. Tahu (know) diartikan hanya sebagai memanggil memori yang telah ada sebelumnya diartikan sebagai memanggil memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

2. Memahami (comprehension) memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tearsebut tetapi dapat menginterprestasikannya.

3. Aplikasi (applications) apabila telah memahami objek yang dimaksud dalam pengaplikasikan prinsip tersebut pada situasi yang lain.

4. Analisis (analysis) kemampuan seseorang untuk menjabarkan kemudian mencari hubungan antara komponen terdapat suatu masalah.

5. Sintesis (synthesis) kemampuan seseorang untuk menerangkan dalam suatu hubungan yang logis.

2.1.2. Sikap

(22)

Menurut Notoadmodjo (1997), sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:

1. Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan mau memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap yang berarti orang (subjek) menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuiting), indikasinya adalah adanya ajakan kepada orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.

4. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Allport dalam Notoadmodjo (2005) menemukan sikap dalam bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu. Sedangkan sikap negatif terdapat sikap menjauhi, menghindari, membenci tidak menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecendrungan untuk bertindak.

2.1.3. Tindakan

(23)

Tingkat-tingkat praktek (Notoadmodjo, 1997) :

1. Persepsi (Perception), yakni mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin (Guided Respon), yakni melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

3. Mekanisme (Mecanism), yakni apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis ataupun sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan.

4. Adaptasi (Adaption), yakni suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

2.2. Higiene

Higiene merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada masa-masa perkembangan. Dengan kesehatan pribadi yang buruk pada masa-masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Higiene yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan. Menurut Azwar (1996) Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Keadaan higiene yang tidak baik seperti tangan dan kuku yang kotor, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki hal ini dapat menimbulkan infeksi kecacingan.

(24)

2.2.1. Kebersihan Kulit

Kebersihan kulit biasanya merupakan cerminan kesehatan yang paling pertama memberikan kesan. Oleh karena itu, perlunya memelihara kesehatan kulit sebaik-baiknya. Pemeliharaan keseahatan kulit tidak terlepas dari kebersihan lingkungan, makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari-hari.

Untuk selalu memelihara kebersihan kulit, kebiasaan-kebiasaann yang sehat harus selalu diperhatikan, seperti:

1. Mandi minimal 2x sehari 2. Mandi memakai sabun 3. Menjaga kebersihan pakaian 4. Menjaga kebersihan lingkungan

5. Makan yang bergizi terutama sayur-sayuran dan buah-buahan

6. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri (Notoatmodjo, 1997)

2.2.2. Kebersihan Tangan, Kaki, dan Kuku

Tangan, kaki, dan kuku yang bersih selalu indah dipandang mata juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Kuku yang kotor dapat menyebabkan penyakit-penyakit tertentu :

1. Pada kuku sendiri :

a. Cantengan yaitu radang bawah/pinggir kuku b. Jamur kuku

2. Pada tempat lain :

(25)

Untuk menghindari hal-hal tersebut di atas, perlu diperhatikan sebagai berikut : 1. Membersihkan tangan sebelum makan

2. Memotong kuku secara teratur 3. Membersihkan lingkungan

4. Mencuci kaki sebelum tidur (Odang, 1995) 2.3. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Oleh karena itu untuk mencapai kemampuan hidup sehat di masyarakat, maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

2.3.1. Penyediaan Air Bersih

Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan (Slamet, 1996).

Air merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh semua makhluk di dunia, khususnya sebagai air minum. Namun air dapat juga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan terhadap si pemakai (Sutrisno, 1991).

Air bersih juga merupakan kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan masyarakat. Berbagai keperluan seperti mandi, mencuci kakus dan wudhu membutuhkan air yang memenuhi syarat dari segi kualitas dan mencukupi dari segi kuantitas.

Untuk itu penyediaan air bersih harus memenuhi persyaratan dari segi :

a. Kualitas : Tersedia air bersih yang memenuhi syarat kesehatan (fisik, kimia, dan bakteriologis).

b. Kuantitas : Tersedia air bersih minimal 60 liter/hari

(26)

membutuhkan secara berkesinambungan.

Syarat kualitas air secara fisik adalah tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan jernih. Secara kimia air yang baik tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia ataupun mineral terutama zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Dan syarat bakteriologis semua air minum hendaknya dapat terhindar dari kemungkinan terkontaminasi bakteri terutama bakteri pathogen.

Mengingat bahwa tidak mungkin air yang dikonsumsi seratus persen sesuai dengan persyaratan kesehatan, namun air yang ada diusahakan sedemikian rupa mendekati syarat-syarat yang tercantum dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 416/ Menkes/Per/1990.

Evaluasi dampak kesehatan dari usaha sektor penyediaan air bersih dan sanitasi selama kurun waktu 1969-1990 menunjukkan bahwa liputan penyediaan air bersih dan sanitasi terus naik, akan tetapi insiden penyakit bawaan air juga naik. Hal ini mungkin disebabkan oleh :

1. Liputan yang masih sangat rendah (penyediaan air bersih 44%, sanitasi 26,8%) sehingga tidak memberi dampak pada penyakit bawaan air.

2. Meningkatnya penyediaan air bersih yang berarti meningkatnya limbah, sedangkan pengelolaan limbah yang ada pada hakekatnya lebih berbahaya dari pada penyediaan air bersih yang kurang diperhatikan.

3. Pemanfaatan air yang tidak saniter, karena pelaksanaan penyediaan air bersih dan sanitasi tidak disertai dengan penyuluhan higiene perseorangan yang efektif (Slamet, 1996).

2.3.2. Toilet dan Kamar Mandi

(27)

berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Ditjen PPM & PLP, 1992).

Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam penyakit seperti : Diare, Cholera, Dysentri, Poliomyelitis, Ascariasis dan sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain menimbulkan bau, mengotori lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada masyarakat.

Perjalanan agent penyebab penyakit melalui cara transmisi seperti dari tangan, maupun melalui peralatan yang terkontaminasi ataupun melalui mata rantai lainnya. Dimana memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab infeksi masuk melalui saluran pencernaan.

Untuk itu persyaratan toilet dan kamar mandi harus memenuhi persyaratan: a) Toilet selalu dalam keadaan bersih

b) Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang dan mudah dibersihkan

c) Ada pembuangan air limbah dari toilet dan kamar mandi, dilengkapi dengan penahan bau

d) Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan tempat pengelolaan makanan (dapur, ruang makan)

e) Lubang penghawaan harus berhubungan langsung dengan udara luar f) Harus dilengkapi dengan slogan untuk memelihara kebersihan

(28)

2.3.3. Pengelolaan Sampah

Sampah ialah sesuatu bahan/benda padat yang terjadi karena berhubungan dengan aktifitas manusia yang tidak dipakai lagi, tidak disenangi dan dibuang dengan cara-cara saniter kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia (Kusnoputranto, 1983)

Atas dasar defenisi tersebut maka sampah dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat biologis dan kimianya sehingga mempermudah pengelolaannya. Pengelolaan sampah perlu didasarkan atas berbagai pertimbangan :

1. Untuk mencegah terjadinya penyakit 2. Konservasi sumber daya alam 3. Mencegah gangguan estetika 4. Pemanfaatan kembali

5. Kuantitas dan kualitas sampah akan meningkat

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adalah karena kontak langsung dengan sampah misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan akibat proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung dapat berupa penyakit bawaan, vektor yang berkembang biak di dalam sampah.

Mengingat efek daripada sampah terhadap kesehatan maka pengelolaan sampah harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup

2. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan bagian dalam rata dan dilengkapi dengan penutup

(29)

4. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan volume sampah yang dihasilkan setiap kegiatan

5. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah dikosongkan, tidak terbuat dari beton permanen, terletak di lokasi yang mudah terjangkau kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya 3 x 24 jam.

2.3.4. Pengelolaan Air Limbah

Dalam kehidupan sehari-hari pengolahan air limbah dilakukan dengan cara menyalurkan air limbah tersebut jauh dari tempat tinggal tanpa diolah sebelumnya atau menyalurkan air limbah tersebut setelah diolah sebelumnya. Air buangan yang dibuang tidak saniter dapat menjadi media perkembangan mikroorganisme pathogen, larva nyamuk ataupun serangga yang dapat menjadi media transmisi penyakit seperti cholera, typhus abdominalis, dysentri basiller dan sebagainya.

Sarana pembuangan air limbah yang sehat harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut :

1. Tidak mencemari sumber air bersih

2. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk 3. Tidak menimbulkan bau

(30)

2.4. Infeksi Kecacingan Pada Manusia

Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara-negara yang sedang berkembang di daerah tropic adalah penyakit investasi cacing usus. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga seringkali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan investasi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung memberikan analisa yang keliru ke arah penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal.

Cacing-cacing usus pada manusia di antaranya adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus/Ancylostoma duodenale yang penularannya

melalui tanah yang dicemari tinja manusia sehingga distribusi frekuensinya masih tergolong tinggi di Indonesia (Gandahusada, dkk, 2000).

2.4.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Jumlah orang di dunia yang terinfeksi Ascaris mungkin hanya kedua setelah infeksi cacing kremi, Enterobius vermicularis. Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagai Lumbricus teres (dikacaukan dengan cacing tanah yang umum) dan mungkin telah

menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Lebih banyak terdapat di daerah yang beriklim panas dan lembab, tetapi dapat juga hidup di daerah yang beriklim sedang. (Garcia, 1996). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides) adalah ascariasis.

a. Morfologi

Ascaris lumbricoides adalah cacing nematode terbesar, cacing betina dewasa

(31)

dengan panjangnya 12-31 cm dan lebarnya 24 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan.

Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing jantan mempunyai dua buah speculum yang dapat keluar dari kloaka dan pada cacing batina vulva terbuka pada pembatasan sepertiga bahan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cacing kopulasi.

Telur yang dibuahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 600 – 70 X 30 – 50 µ. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu membrane vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut terhadap

lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Disekitar membrane ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid ini

kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Di dalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen

empedu.

Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai ukuran 88 – 94 X 40 - 44µ, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur (Soedarto, 1991).

b. Siklus Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

(32)

usus. Cacing jantan atau betina dapat ditemukan terpisah pada orang-orang dengan infeksi yang ringan sekali. Seekor cacing betina mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan 26 juta butir telur, dan sehari rata-rata dikeluarkan 200.000 butir. Telurnya belum membelah bila dikeluarkan oleh hospes dengan tinja. Suhu yang rendah menghambat pertumbuhan kira-kira 250C dengan batas antara 210C dan 300C. Suhu yang lebih rendah menghambat pertumbuhan tetapi menguntungkan lamanya kehidupan. Pada suhu 370C telur hanya tumbuh sampai stadium delapan sel. Karena telur memerlukan zat arang, maka pertumbuhan terhambat bila terdapat dalam lingkungan yang membusuk. (Brown, 1983).

Telur yang infekstif, bila ditelan oleh manusia, menetas di bagian atas usus muda, dan mengeluarkan larva rabditiform (berukuran 200-300 kali 14µ), yang menembus dinding usus yang masuk vena kecil atau pembuluh limfe. Melalui sirkulasi portal larva ini masuk ke hepar, kemudian ke jantung dan paru. Larvanya mungkin sampai di paru-paru hanya 0,01 mm, maka kapiler tersebut pecah dan larva keluar ke alveoli. Kadang-kadang beberapa larva dapat masuk ke jantung kiri melalui vena paru-paru dan disebarkan sebagai emboli keberbagai alat dalam badan. Larva bermigrasi atau dibawa oleh bronchiolus ke bronchus, naik ke trachea sampai ke epiglottis, dan turun melalui

oesophagus ke usus muda. Selama masa hidupnya di dalam paru-paru, larva membesar sampai lima kali ukuran semula, yaitu 1,5 mm panjangnya. Setelah sampai di dalam usus larva mengalami perubahan kelima. Cacing betina yang bertelur didapati dalam waktu

kira-kira 2 bulan setelah infeksi, dan hidup selama 12 sampai 18 bulan (Brown, 1983). c. Patologi dan Gejala Klinis

(33)

dan baru diketahui sebagai penderita apabila telah dilakukan pemeriksaan tinja atau cacing dewasa keluar bersama tinja (Brown, 1983, Hadiwartono, 1994).

Gangguan karena larva biasanya terjadi pendarahan yang kecil pada dinding alveolus dan akan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan

eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrate, yang menghilang dalam waktu tiga minggu, keadaan ini yang disebut sindromloeffler. Gangguan ini disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan, kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual-mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

Cacing gelang ini mempunyai cairan tubuh yang dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala demam disertai alergi misalnya gatal-gatal, oedema wajah, konjungitis dan iritasi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu cacing dewasa juga dapat menimbulkan berbagai akibat yang bersifat mekanik, seperti obstruksi usus, intususepsi. Migrasi cacing ke organ misalnya lambung, esophagus, mulut, hidung, rima glottis atau bronkus dapat menyumbat pernafasan penderita, dan dapat terjadi apendiksitis, penyumbatan saluran empedu, abses hati dan pankreatitis akut (Brown, 1983).

Cacing dewasa pada anak-anak menimbulkan kekurangan gizi, dan cairan tubuh cacing dapat menimbulkan reaksi sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid disertai tanda alergi misalnya urtikaria, oedema diwajah. Konjungtif dan iritasi pernafasan bagian atas. Akibat mekanik misalnya obstruksi usus, intususepsi atau perforasi ulkus di usus.

(34)

d. Pengobatan dan Pencegahan Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) - Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat dipergunakan bermacam-macam obat misalnya piperazin, pirantel pamoat atau mebendazol (Gandahusada, dkk, 2000).

- P enyuluhan kesehatan

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, higiene keluarga dan higiene pribadi seperti :

1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

2. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu menggunakan sabun.

3. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemic adalah sulit. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan kemoterapi misal setiap 6 bulan sekali di daerah endemic ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit ascariasis.

2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.

4. Makan makanan yang dimasak saja.

(35)

2.4.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Infeksi cacing ini (cacing cambuk) lebih sering terjadi di daerah panas, lembab dan sering terlihat bersama-sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlah-jumlahnya sedikit, pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya cacaing ini (Garcia, 1996). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura) adalah Trichuriasis.

a. Morfologi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Cacing dewasa bentuknya silindris seperti cambuk dimana bagian yang tipis/halus seperti benang adalah bagian interior/kepala dan bagian yang tebal adalah posterior/ekor. Cacing jantan panjangnya 5 cm, ekornya melengkung. Telur berukuran 50 -54 µ x 32 µ, berbentuk tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Gandahusada, 2000). b. Siklus Hidup Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Cacing betina setiap harinya menghasilkan telur 3.000 – 10.000 butir telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai. Telur matang adalah telur yang berisi larva yang merupakan infektif. Cara infeksi langsung yaitu bisa secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke dalam colon, terutama sekum, jadi tidak ada siklus paru. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus bessar hospes (Gandahusada, 2000).

(36)

c. Patologi dan Gejala Klinis

Pada umunya Trichuris trichiura dapat menimbulkan efek traumatic dan efek toksik pada penderita. Kerusakan terjadi pada tempat melekat cacing pada mukosa usus daerah coecum, sedangkan pada infeksi yang berat akan terjadi penyumbatan apendiks dan proses peradangan pada coecum calon dan apendiks tersebut. Pada infeksi berat juga dapat terjadi intoksikasi dan anemia tetapi mekanismenya belum jelas. Cacing yang menghasilkan lytic substance ini juga menghisap darah penderita. Ultikari dan gejala-gejala alergi lain dapat pula dijumpai pada penderita Trichuris trichiura.

Infeksi Trichuris trichiura tanpa komplikasi umumnya menunjukkan gejala-gejala dan keluhan nyeri epigastrum, nyeri perut dan punggung, muntah, konstipasi dan vertigo. Pada infeksi berat sering dijumpai prolapsus rekcti. Beberapa menunjukkan gambaran mirip infeksi cacing tambang yang berat dengan oedema pada muka dan tangan, dispnea, dilatasi jantung, insomnia, sakit kepala dan demam ringan.

Pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh colon dan rectum. Kadang-kadang terlihat mukosa rectum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defakasi. Cacing inki memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan

mukosa usus. Pada tempat perlekatnya dapat terjadi pendarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga menyebabkan anemia.

(37)

Bila infeksi ringan, biasanya asymptomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak, biasanya timbul diare dengan faeces yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun (Entjang, 2001).

d. Pengobatan dan Pencegahan

Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol dan ditiazinin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sekarang dengan adanya mebendazol

dengan dosis 2 x 100 mg selama 3 hari atau dosis tunggal 500 mg, albendazol dosis tunggal 400 mg dan oksantel pirantel pamoat dosis tunggal 10-15 mg/kgBB, infeksi cacing trichuris trichiura dapat diobati dengan hasil yang cukup baik (Gandahusada, dkk, 2000).

Sedangkan pencegahannya dapat dilakukan dengan cara yaitu dalam hal pembuangan tinja haruslah memenuhi syarat sehingga dapat mengurangi jumlah infeksi dan jumlah cacing. Hal ini penting diperhatikan bila berhubungan dengan anak-anak yang melakukan defekasi di tanah (Garcia, 1996).

2.4.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale/ Necator americanus)

Infeksi cacing tambang ditemukan pada daerah hangat yang lembab dan mengakibatkan berbagai penyakit pada manusia, meski morbiditasnya lebih banyak disbanding mortalitasnya. Meskipun secara morfologik terdapat perbedaan yang nyata antara dua cacing tambang yang umum terdapat pada manusia (cacing dewasanya), stadium diagnostiknya (telur) ternyata identik (Garcia, 1996). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang (Ancylostoma duodenale/ Necator americanus) adalah ancylostomiasis.

a. Morfologi Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale/Necator americanus)

(38)

cacing jantan 5-11 x 0,45 mm. Ancylostoma duodenale lebih besar daripada Necator americanus. Cacing ini mempunyai kutikulum yang relatif tebal. Alat kelamin pada jantan

adalah tunggal dan pada yang betina berpasangan. Pada ujung posterior cacing jantan terdapat busa caudal yang merupakan membrane yang lebar dan jernih dengan garis-garis seperti tulang iga, bursa ini dipakai untuk memegang cacing betina selama kopulasi.

Cacing Necator americanus setelah mati biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar, necator americanus mempunyai gigi berbentuk lempeng dari titin, sedangkan Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi berbentuk kerucut (Brown, 1983).

b. Siklus Hidup Cacing Tambang

Hospes definitif parasit ini adalah manusia. Cacing tambang mengkaitkan diri pada

mukosa usus halus dengan gigi di dalam rongga mulutnya. Cacing betina Necator americanus mengeluarkan telur kurang lebih 9.000 butir perhari, sedangkan Ancylostoma

duodenale kurang lebih 10.000 butir perhari.

Telur yang dikeluarkan bersama dengan tinja pada lingkungan yang sesuai, akan menetas menjadi larva rhabditiform stadium pertama dalam waktu 24-48 jam. Kondisi optimum untuk perkembangan larva antara lain terlindung dari cahaya matahari yang kuat, terletak pada tanah dengan ukuran partikel dan struktur yang sesuai dan temperature antara 28-320 C untuk Necator americanus, dan antara 20-270C untuk Ancylostoma duodenale.

Pada kondisi yang menguntungkan larva Necator americanus akan mengalami moulting sebanyak dua kali di luar tubuh manusia dan akan berubah menjadi larva

filariform yang merupakan larva stadium tiga yang infektif pada manusia. Larva ini secara

(39)

Infeksi pada manusia terjadi ketika larva filariform menembus kulit kaki. Kadang-kadang Ancylostoma duodenale dapat menginfeksi manusia melalui mulut. Setelah menembus kulit, larva akan mengikuti aliran limfe atau pembuluh darah kapiler dan menuju ke paru-paru. Larva kemudian naik ke bronkus dan trachea, dan pada akhirnya masuk ke usus menjadi cacing dewasa. Migrasi melalui darah dan paru-paru ini berlangsung kira-kira 1 minggu, sedangkan siklus dari larva menjadi cacing dewasa berlangsung 7-8 minggu, setelah periode ini larva mengalami perubahan lagi menjadi cacing dewasa muda dan mempunyai rongga mulut sementara untuk mengalami makanan. Kemudian menjadi cacing dewasa yang matang yang bertelur 5-6 minggu setelah infeksi (Brown, 1983).

c. Patologi dan Gejala Klinis

Bila larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan eritem yang terbatas, sehingga dapat menimbulkan penyakit “ground itch” dengan gejala gatal, erythem, papula, erupsi dan vesicular pada kulit. Setelah larva sampai ke paru-paru maka akan

menimbulkan batuk dan pnomonitis. Bila larva dalam jumlah besar sekaligus bermigrasi melalui paru-paru atau pada orang-orang yang telah peka, mungkin timbul bronchitis atau pneumonitis.

(40)

d. Pengobatan dan Pencegahan

Pirantel pamoat (Combantrin, Pyrantin, Pirantel, dll) dan mebendazol (Vermox,

Vermona, Vercid, dll) memberikan hasil cukup baik, bilaman digunakan beberapa hari

berturut-turut (Gandahusada, dkk, 2000).

Sedangkan pencegahannya didalam masyarakat, infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan :

- Sanitasi pembuangan tinja

- Melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi (susceptible). - Mengobati orang-orang yang mengandung parasit (Brown, 1983). 2.5. Upaya Pencegahan Penyakit Cacing

Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit cacingan sebagai berikut :

1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan. Gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku jemari yang kotor.

2. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

3. Tidak membiasakan diri menggigiti kuku jemari tangan atau menghisap jempol. 4. Tidak membiasakan bayi dan anak bermain-main di tanah.

5. Tidak membuang hajat di kebun, parit, sungai, atau danau. Biasakan buang hajat di jamban.

6. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban.

7. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup saji atau yang terpegang-pegang tangan.

(41)

9. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas.

10.Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan, bukan karena makan ikan. Telur cacing tertelan akibat kebersihan diri dan lingkungan yang kurang baik.

11.Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang mentah atau setengan matang.

12.Biasakan berjalan kaki ke mana-mana beralas kaki.

13.Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci bersih dengan air yang mengalir. 14.Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit cacing

(Nadesul, 1997).

2.6. Dampak Infeksi Cacingan

2.6.1. Dampak Terhadap Status Kesehatan

Manusia merupakan hospes beberapa nematode usus. Sebagian besar daripada nematode ini menyebabkan dampak kesehatan masyarakat di Indonesia. Adapun dampak

dari masing-masing cacing antara lain sebagai berikut : a. Dampak cacing gelang (Ascaris lumbricoides)

Bila cacing gelang tidak atau hanya sedikit akan menyebabkan kerusakan, zat-zat yang dibentuk oleh cacing yang hidup atau mati dapat menimbulkan manifestasi keracunan pada orang yang rentan, seperti wajah kelihatan oedema, insomnia, perut buncit, muntah-muntah, tidak nafsu makan dan penurunan berat badan.

b. Dampak cacing cambuk (Trichuris trichiura)

(42)

c. Dampak cacing tambang (Ancylostoma duodenale/ Necator americanus)

Pada tempat masuknya larva menembus kulit akan menimbulkan rasa gatal. Migrasi larva yang menembus alveolus akan menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil, namun sering sekali tidak menunjukkan gejala-gejala pneumonia. Gejala klinik yang ditimbulkan adalah lemah, lesu, pucat, sesak nafas bila bekerja berat, tidak enak perut, perut buncit, anemia, dan malnutrisi. Anemia karena cacing tambang biasanya berat. Hemoglobin biasanya 10 gr% cc darah dan jumlah eritrosit dibawah 1.000.000 mm3 . Jenis anemia adalah anemia hypocromic microcytic (Entjang, 2003).

2.6.2. Dampak Terhadap Sumber Daya Manusia

Infeksi kecacingan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap penurunan sumber daya manusia, mengingat kecacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan produktifitas kerja. Dampak dari anak yang terinfeksi kecacingan akan kelihatan letih, lesu, malas makan, kurus. Hal tersebut dapat mengakibatkan IQ anak menurun atau anak menjadi kurang cerdas.

Kecacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif, = penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi kecacingan dapat

(43)

2.7. Kerangka Konsep Penelitian

-

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

2.8. Hipotesa :

1. Ada hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi

2. Ada hubungan antara higiene perorangan (kebersihan kuku, kebersihan diri dan frekuensi mandi) siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi

Perilaku Siswa SDN 030375 Desa Juma Teguh - Pengetahuan - Sikap - Tindakan

Higiene Perorangan Siswa SD 030375 Desa Juma Teguh - Kebersihan kuku - Kebersihan diri - Frekuensi mandi

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional study yaitu melihat hubungan perilaku dan higiene siswa SD Negeri 030375 dengan infeksi kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi tahun 2008. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 030375 Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi, hal ini berdasarkan survey prevalensi kecacingan yang dilaksanakan oleh BTKL Medan pada anak sekolah dasar dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan perilaku dan higiene dengan infeksi kecacingan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan April - Mei 2008. 3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III, IV dan V SD Negeri 030375 Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi yaitu sebanyak 74 orang.

3.3.2. Sampel

(45)

3.4.1. Data Primer

Data yang diperoleh dengan cara melakukan pengamatan langsung pada anak sekolah dasar untuk mengetahui perilaku dan higiene serta hasil infeksi kecacingan diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium di UPT Puskesmas Buntu Raja Kabupaten Dairi.

3.4.2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari UPT Puskesmas Buntu Raja yaitu data 10 penyakit terbesar, SD Negeri 0340375, dan studi kepustakaan yang mendukung untuk penelitian ini.

3.4.3. Metode Pemeriksaan Faeces

Sebelum pemeriksaan faeces dilakukan terlebih dahulu pot faeces dibagikan kepada responden sehari sebelum dilakukan pemeriksaan kemudian pagi harinya dikumpulkan kembali lalu faeces tersebut dibawa ke Laboratorium ke Puskesmas Buntu Raja Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi. Metode yang di gunakan memeriksa faeces untuk menentukan seseorang terinfeksi kecacingan atau tidak digunakan dengan metode Kato Katz. Prosedur metode kato katz adalah sebagai berikut, (Prasetyo,1995) :

1. Bahan-bahan yang diperlukan : - Larutan gliserin hijau malikat - 100 bagian aquadest

- 100 bagian gliserin - Larutan fenol 66 % - Larutan hijau malkis 3 % 2. Alat-alat :

(46)

- Lembar selopan 2-5 x 3 cm - Kertas saring

- Batang aplikator lidi 3. Cara Kerja :

- Rendam lembar selofon dalam larutan gliserin hijau malikat selama lebih 24 jam - Ambil faeces dengan aplikator dalam larutan 50-60 mg (sebesar kacang)

- Letakkan diatas kaca benda benda kemudian tutup dengan selofan yang sudah direndam dan tekan selopan dengan kaca benda.

- Keringkan larutan yang berlebihan dengan kertas saring - Diamkan sediaan selama 1 jam pada suhu kamar

- Periksa di atas mikroskop 4. Interprestasi :

- Positif infeksi kecacingan : Bila didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium ada telur cacing di dalam faeces.

- Negatif infeksi kecacingan : Bila tidak didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium ada telur cacing di dalam faeces.

3.5. Defenisi Operasional

1. Higiene adalah kebersihan pada siswa sekolah dasar yang teridiri dari a. Kebersihan kuku (tidak panjang,bersih dan tidak dalam keadaan kotor).

b. Kebersihan diri (menjaga kebersihan pakaian, mencuci tangan sebelum makan,mencuci tangan dengan sabun setelah BAB, frekuensi mandi.

(47)

2. Infeksi kecacingan adalah berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan metode Kato Katz untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing dalam faeces yaitu :

- Positif infeksi kecacingan : Bila didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium ada telur cacing di dalam faeces.

- Negatif infeksi kecacingan : Bila tidak didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium ada telur cacing di dalam faeces.

3. Perilaku adalah aktifitas siswa yang erat kaitannya dengan infeksi kecacingan yang meliputi :

- Pengetahuan adalah kemampuan siswa tentang infeksi kecacingan. - Sikap adalah tanggapan atau persepsi siswa terhadap infeksi kecacingan.

- Tindakan adalah bentuk perbuatan atau aktifitas nyata dari siswa terhadap infeksi kecacingan

3.6. Aspek Pengukuran

1. Aspek pengukuran adalah mengukur pengetahuan, sikap dan tindakan siswa berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan infeksi kecacingan, higiene dengan menggunakan skala Guttman, (Sugiyono, 2002).

a. Pengetahuan

Pengetahuan ini dapat diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah diberi nilai (skor). Tiap pertanyaan mempunyai nilai 0 sampai nilai 1 dengan kriteria : - Jawaban benar = 1

- Jawaban salah = 0

(48)

a. Baik, jika jawaban benar responden ≥ 75% apabila responden menjawab pertanyaan benar 13 - 17

b. Buruk, jika jawaban benar responden < 75% apabila responden apabila responden menjawab pertanyaan 1 – 12.

b. Sikap

Sikap diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah diberi nilai (skor). Tiap pertanyaan mempunyai nilai 0 sampai nilai 1 dengan kriteria :

- Jawaban setuju = 1 - Jawaban tidak setuju = 0

Berdasarkan jumlah nilai tersebut, sikap diklasifikasikan dalam 2 kategori :

a. Baik, jika jawaban benar responden ≥ 75% apabila responden menjawab pertanyaan benar 4 - 5

b. Buruk, jika jawaban benar responden < 75% apabila responden menjawab pertanyaan benar 1 - 3

c. Tindakan

Tindakan diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah diberi nilai (skor). Tiap pertanyaan mempunyai nilai 0 sampai nilai 1 dengan kriteria :

1. Jawaban ya = 1 2. Jawaban tidak = 0

Berdasarkan jumlah nilai tersebut, tindakan diklasifikasikan dalam 2 kategori:

a. Baik, jika jawaban benar responden ≥ 75% apabila responden menjawab pertanyaan benar 4 - 5

(49)

4. Higiene

Observasi higiene diukur berdasarkan nilai (skor) yang dijumlahkan pada 5 pertanyaan. Tiap pertanyaan mempunyai nilai 0 sampai nilai 1 dengan kriteria :

1. Jawaban setuju = 1 2. Jawaban tidak setuju = 0

Berdasarkan jumlah nilai tersebut, Higiene diklasifikasikan dalam 2 kategori:

a. Baik, jika jawaban ya ≥ 75% apabila responden menjawab pertanyaan benar - 2 - 3 baik

b. Buruk, jika jawaban tidak < 75% apabila responden menjawab pertanyaan benar - 1 buruk

3.7. Analisa Data

(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

4.1.1. SD Negeri 030375 Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Sekolah Dasar Negeri 030375 Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi, didirikan pada tahun 1945 di atas tanah seluas 1852 M² berada di belakang perumahan penduduk dan dekat dengan pekan Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi. Bangunan sekolah terbuat dari papan yang sudah cukup tua dengan kondisi cat bangunan yang sudah memudar. Jumlah kelas sebanyak enam kelas dan satu ruang guru dengan jumlah siswa sebanyak 154 orang. Distribusi jumlah siswa/i berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Siswa/i SD Negeri 030375 Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 6 20 13,0

2 7 18 11,7

3 8 19 12,3

4 9 22 14,3

5 10 25 16,2

6 11 27 17,5

7 12 23 14,9

J u m l a h 154 100,0

Sumber : Laporan Tahunan Siswa/i SD Neferi 030375 Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kebupaten Dairi Tahun 2008

(51)

4.1.2. Distribusi Jumlah Guru

Distribusi jumlah guru SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi Jumlah Staf Pengajar Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pada SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Jabatan Tingkat Pendidikan Jumlah

S1 D2 SPG/PGA

1 Kepala Sekolah 0 1 0 1

2 Guru Kelas 0 5 0 5

3 Guru Kelas 0 0 4 4

J u m l a h 0 6 4 10

Sumber : Laporan Tahunan Guru SD Negeri 030375 Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

Berdasarkan tabel 4.2. di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan guru SD Negeri 030375 Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi adalah tamatan Diploma II sebanyak 6 orang dan tamatan SPG/PGA 4 orang.

4.1.3. Kondisi Sanitasi Lingkungan Sekolah

(52)

4.1.4. Data Sepuluh Penyakit Terbesar di Wilayah Kecamatan Siempat Nempu.

Berdasarkan data 10 jenis penyakit terbesar di wilayah kerja Puskesmas Siempat Nempu yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi dapat dilihat pada tabel 4.3. sebagai berikut.

Tabel 4.3. Data Sepuluh Penyakit Terbesar di Wilayah Kerja Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi Tahun 2007

No Jenis Penyakit Jumlah Kasus

1 Infeksi Saluran Atas 12.294

Sumber : Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten dairi Tahun 2007

Berdasarkan tabel 4.3. diketahui bahwa penyakit kecacingan terdapat pada urutan ke 8 dalam kategori 10 penyakit terbesar, yang berarti bahwa penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan khususnya di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi.

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian distribusi responden menurut jenis kelamin disajikan pada tabel 4.4.

(53)

No Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Laki-laki 43 58,1

2 Perempuan 31 41,9

J u m l a h 74 100,0

Berdasarkan tabel 4.4. dapat diketahui bahwa jenis kelamin responden yang paling banyak adalah laki-laki sebanyak 43 orang (58,1%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 31 orang responden (41,9%). Untuk distribusi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.5. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 9 22 29,7

2 10 25 33,9

3 11 27 36,4

J u m l a h 74 100,0

Berdasarkan tabel 4.5. dapat diketahui bahwa responden yang terbanyak adalah umur 11 tahun yaitu 27 orang (36,4%) kemudian umur 10 tahun yaitu 25 orang (33,9%) dan umur 9 tahun sebanyak 22 orang (29,7%)

4.2.2. Distribusi Perilaku (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan) Responden Terhadap Infeksi Kecacingan.

Distribusi perilaku responden dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan tindakan responden terhadap infeksi kecacingan, dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini.

Tabel 4.6. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan Pengetahuan Terhadap Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Pengetahuan Jumlah (Orang) Persentase (%)

(54)

2 Buruk 25 33,8

J u m l a h 74 100,0

Berdasarkan tabel 4.6. dapat diketahui bahwa pengetahuan responden tentang terjadinya infeksi kecacingan lebih banyak pada kategori baik yaitu 49 orang (66,2%).

Distribusi perilaku atas sikap responden terhadap infeksi kecacingan, seperti pada tabel berikut .

Tabel 4.7. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan Sikap Terhadap Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Baik 27 36,5

2 Buruk 47 63,5

J u m l a h 74 100,0

Berdasarkan tabel 4.7. dapat diketahui bahwa sikap responden terhadap infeksi kecacingan lebih banyak pada kategori buruk yaitu 47 orang (63,5%). Sedangkan untuk tindakan dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini.

Tabel 4.8. Distribusi Responden Siswa SD Negeri 030375 Berdasarkan Tindakan Terhadap Infeksi Kecacingan di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Tindakan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Baik 22 29,7

2 Buruk 52 70,3

J u m l a h 74 100,0

Berdasarkan tabel 4.8. dapat diketahui bahwa tindakan responden terhadap infeksi kecacingan lebih banyak pada kategori buruk yaitu 52 orang (70,3%).

(55)

Higiene perorangan dalam hal ini meliputi keadaan kebersihan kuku, kebersihan diri dan frekuensi mandi responden. Dari hasil observasi dan wawancara diperoleh distribusi masing-masing seperti disajikan pada tabel 4.9. sebagai berikut.

Tabel 4.9. Distribusi Kebersihan Kuku Responden Siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008 No Kebersihan Kuku Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Bersih 26 35,1

2 Kotor 48 64,9

J u m l a h 74 100

Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa observasi terhadap kebersihan kuku, maka sebagian besar responden berada pada kategori kotor (64,9%).

Distribusi hasil pemeriksaan kebersihan diri responden disajikan pada tabel 4.10. berikut ini.

Tabel 4.10. Distribusi Kebersihan Diri Responden Siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Kebersihan Diri Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Bersih 40 54,1

2 Kotor 34 45,9

J u m l a h 74 100

Berdasarkan tabel 4.10. diketahui bahwa observasi terhadap kebersihan diri responden lebih banyak pada kategori bersih yaitu 40 orang (54,1%), dibandingkan dengan yang kotor yaitu sebanyak 34 orang (45,9%).

Distribusi hasil pemeriksaan dan wawancara berdasarkan mandi responden disajikan pada tabel 4.11 berikut ini.

Tabel 4.11. Distribusi Mandi Responden Siswa SD Negeri 030375 di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi Tahun 2008

No Mandi Minimal 2 Kali sehari Jumlah (Orang) Persentase (%)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 4.1.  Distribusi Jumlah Siswa/i SD Negeri 030375 Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Juma Teguh Kecamatan Siempat Nempu Kabupaten Dairi
Tabel 4.2.
Tabel 4.3. Data Sepuluh Penyakit Terbesar di Wilayah Kerja Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi Tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Biaya produksi untuk usahatani lada merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk proses produksi oleh petani sampai umur ekonomis tanaman lada yaitu 10

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi pelaksanaan pengelolaan sanitasi di kawasan kumuh dan mencari faktor-faktor yang dianggap penting oleh masyarakat dalam

Dari berbagai ajaran yang disam- paikan dalam Serat Sana Sunu , adapat dikatakan bahwa karya sastra Jawa, dalam hal ini adalah Serat Sana Sunu dapat digunakan

Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pemanfaatan Alokasi Dana (ADD) (Suatu Studi Di Desa Bukumatiti Kecamatan Jailolo Kabuapten Halmahera Barat). Sumber

Wahyuni Evi, 2015, Pengaruh Budaya Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai Bagian Keuangan Organisasi Sektor Publik Dengan Motivasi Kerja Sebagai

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 04 Tahun 2013 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia

(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata,

Dia meninggal dunia disaat rakyat semua dalam keadaan sejahtera, sampai sampai saat seorang lelaki datang kepada kami untuk menyerahkan harta yang banyak dengan pesan,