Sebelum penulis menguraikan hubungan hukum antara pelaku usaha dengan
konsumen, tentu kita harus mengerti apa yang dimaksudkan dengan hubungan
hukum itu. Hubungan hukum adalah perikatan yang lahir akibat peritiwa hukum.
Peristiwa hukum terjadi karena perjanjian dan undang-undang.
a. Hubungan Hukum yang bersumber dari Perjanjian
Terjadinya suatu hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen,
tentu ada tahapan peristiwa - peristiwa hukum yang terjadi sebelum hubungan
kontraktual tersebut terjadi. Terdapat 3 (tiga) tahapan transaksi antara pelaku
usaha dengan konsumen, yaitu :
1. Tahap Pratransaksi
Tahap Pratransaksi, yaitu keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa
yang terjadi sebelum konsumen memutuskan untuk membeli dan
memakai produk yang diedarkan produsen-pelaku usaha.69 Pada tahap ini
Konsumen dapat menggunakan haknya untuk mencoba mencari informasi
yang berkaitan dengan produk yang sedang dijual, informasi tersebut
tentu dapat di dapatkan dari pelaku usaha atau media lainnya seperti
internet atau media masa. Tahap pratransaksi ini sangatlah penting karena
akan mempengaruhi keabsahan dari hak dan kewajiban.
2. Tahap Transaksi
Tahap Tansaksi merupakan kelanjutan dari tahap pratransaksi.
Apabila konsumen telah menyatakan persetujuannya maka pada saat itu
lahirlah perjanjian. Menurut hukum perdata, “kesepakatan lahir karena bertemunya penawaran (offer) dengan penerimaan (acceptance) sebab
kedua-duanya adalah sama-sama pernyataan kehendak”70. Pada tahap
kesepakatan ini tentu mewajibkan para pihak untuk melakukan apa yang
menjadi hak dan kewajibannya, termasuk cara pemenuhannya.
3. Tahap Purnatransaksi
Tahap Purnatransaksi adalah tahap akhir dari setiap tahapan saat
melakukan transaksi antara pelaku usaha dan konsumen. Transaksi dalam
wujud perjanjian, kontrak tentu masih harus direalisasikan, yaitu “diikuti
dengan pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka sesuai dengan isi
perjanjian yang dibuat itu. Artinya, tahap pengikatan perjanjian
sebenarnya hanyalah bagian awal yang masih harus diikuti dengan
perbuatan pelaksanaan.
Tahapan transaksi diatas merupakan tahap penting untuk melahirkan suatu
hubungan hukum dalam bentuk perjanjian. Perjanjian dapat menimbulkan suatu
hubungan hukum dikarenakan perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Perbuatan mengikatkan diri yang dimaksudkan dari pengertian tersebut adalah
dimana seorang atau lebih berjanji kepada seorang atau pihak lain untuk
pemenuhan hak dan kewajibannya pada peristiwa hukum yang terjadi.
Setiap perjanjian dapat diuraikan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
Unsur-unsur tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Unsur Essensialia yaitu merupakan unsur perjanjian yang mutlak
harus ada dalam suatu perjanjian. Tanpa adanya unsur essensialia
perjanjian tidak berlaku sah. Contohnya : syarat sahnya perjanjian
seperti yang disebut dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.
b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang lazim melekat dalam
perjanjian, maksudnya yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam
perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam
perjanjian. Contohnya adalah penjual menjamin tidak ada cacat
dalam benda yang dijual.
c. Unsur accicendentalia, merupakan unsur yang dibuat sendiri oleh
para pihak dan harus dimuat atau disebutkan secara tegas dalam
perjanjian. Contohnya adalah ketentuan domisili pihak
.
Berkaitan dengan tulisan ini, terdapat 2 (dua) peritiwa hukum71 yang terjadi
yaitu pertama, transaksi jual-beli kartu e-toll dan Top Up saldo dan yang kedua,
transaksi jual beli jasa di ruas pintu jalan tol. Sehubungan dengan peritiwa diatas,
sebelum kita menyimpulkannya sebagai perjanjian jual beli maka terlebih dahulu
harus di ketahui apa makna dari jual beli. Jual-beli dapat diartikan bahwa dari satu
pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan pihak yang lain dinamakan
membeli. Sedangkan menurut pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu
perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan72.
Menurut penulis, peritiwa hukum yang diuraikan di atas merupakan
perjanjian jual beli. Mengapa demikian ? karena dalam transaksi tersebut terdapat
adanya unsur :
1. Kesepakatan.
71 Peristiwa Hukum adalah sebuah peristiwa yang dapat menggerakkan hukum/menimbulkan akibat hukum. Tidak semua peritiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa hukum (Contoh peristiwa hukum : kelahiran, kematian, jual beli, dan sewa menyewa)
Kata sepakat memberikan makna bahwa kedua pihak setuju untuk
melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Berdasarkan
pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat dari suatu perjanjian adalah
sepakat untuk mengikatkan diri. Dari sini kata kesepakatan dapat melahir
suatu perikatan dan suatu perikatan dapat melahirkan hubungan hukum
pada kedua pihak dalam bentuk perjanjian, yang dalam tulisan ini
merupakan perjanjian jual beli.
2. Penyerahan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar sesuai yang
dijanjikan.
Dalam kasus ini, penerbit menjual sebuah Alat penyimpan data
berupa kartu prabayar sehingga ada transaksi pembayaran dan penyerahan
barang yang dijanjikan. Selain dari kartu e-toll terdapat juga transaksi jual Penerbit Kartu
(Lembaga Keuangan/non Lembaga Keuangan)
Konsumen Kesepakatan
Penerbit Kartu (Lembaga Keuangan/non Lembaga
Keuangan)
Konsumen
Kartu (e-toll)
beli jasa yang terdapat di jalan tol, konsumen untuk melewati jalan tol
diwajibkan membayar agar dapat melewati jalan tol tersebut.
3. Standar Kontrak
Standar kontrak merupakan kontrak standar yang mana konsumen
diwajibkan mengisi data diri sesuai dengan yang diberikan pelaku usaha
(contohnya: nama, umur, tanggal lahir, alamat, dll) dan untuk
syarat-syarat dari perjanjian juga telah dicantumkan terlebih dahulu pada
perjanjian tersebut;
Dari ketiga poin di atas tentu membuat yakin penulis bahwa perjanjian yang
dilakukan dalam kasus ini adalah perjanjian jual-beli antara pelaku usaha dan
konsumen karena telah memenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian yaitu adanya
kesepakatan, pencantuman biodata diri, dan cakap melakukan perbuatan hukum
dikarenakan harus mengisi kontrak standar yang ada. Selain unsur-unsur yang
terpenuhi terdapat juga hubungan hukum seperti yang di jelaskan pada Tabel II
yang mana dalam hubungan hukumnya, karena sifat dari uang elektronik adalah
prabayar sehingga hubungan hukum antara penerbit dan pemegang kartu bersifat
jual beli. Dimana penerbitnya menjual sebuah alat penyimpan data berupa kartu
prabayar (stored value card). selain hubungan hukum tersebut, Adanya suatu
timbal balik dalam peritiwa hukum tersebut dikarenakan adanya kesepakatan yang
telah dijanjikan.
Konsumen jalan tol sebelum melewati jalan tol tentu dapat mencari informasi
tol tersebut sesuai dengan Permen Transaksi Tol Non Tunai, konsumen
diwajibkan untuk memiliki uang elektronik dalam bentuk kartu e-toll dan tentunya
kartu tersebut harus memiliki saldo di dalamnya. Untuk dapat memiliki kartu
tersebut maka konsumen dapat membeli tempat penerbit uang elektronik73 yang
menjual kartu tersebut dan setelah itu konsumen dapat melakukan top up saldo
pada kartu tersebut. Setelah memiliki kartu tersebut baru lah konsumen dapat
melakukan transaksi kedua yaitu dengan badan usaha jalan tol 74 untuk
menggunakan jasanya.
Dalam hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen, dapat terjadi
dalam dua hubungan yaitu hubungan langsung dan hubungan tidak lansung.
1. Hubungan Langsung
Hubungan langsung merupakan hubungan antara produsen dengan
konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian75. Artinya,
hubungan tersebut dilakukan hanya dua subjek hukum saja yaitu
konsumen dan pelaku usaha/produsen tanpa ada perantara yang lain dan
diikuti oleh suatu peristiwa hukum. Peritiwa hukum yang dimaksudkan
dalam tulisan ini adalah peritiwa hukum jual beli seperti yang telah
dijelas diatas. Sebagai contoh Konsumen A melakukan transaksi jual beli
dengan pelaku usaha/produsen, setelah itu barang/jasa yang telah di
73 Penerbit uang elektronik yaitu lembaga keuangan atau non keuangan yang menerbitkan alat pembayaran berupa uang. Penerbit uang elektronik disini dapat di kategorikan sebagai pelaku usaha.
74 Sesuai Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2005 tentang jalan tol, Badan usaha jalan tol merupakan badan hukum yang bergerak di bidang pengusahaan jalan tol, dan dalam hal ini dapat dikatakan juga sebagai pelaku usaha yang bertanggungjawab di jalan tol.
dapatkan konsumen A di konsumsi orang lain. Dalam hal ini yang
memiliki hubungan lansung dalam perjanjian jual beli hanya konsumen A
dengan pelaku usaha/produsen tempat dia melakukan transaksi jual beli
barang/jasa tersebut.
Dalam hal perjanjian jual beli, terdapat perjanjian secara tertulis
maupun tidak tertulis. Perjanjian tertulis artinya mereka
menuliskan/menuangkan kesepakatannya di dalam sebuah kontrak dan
telah ditandatangani oleh para pihak, berlakulah sebagai alat bukti yang
kuat. Sedangkan, Perjanjian secara lisan juga dapat dikatakan sah
menurut undang-undang, sebab menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat
umum untuk sahnya perjanjian tidak menunjuk pada suatu bentuk tertentu.
Namun, agar perjanjian lisan tersebut tetap dapat dipertanggungjawabkan
maka konsumen hendaknya memiliki/menerima tanda bukti pembelian
sehingga dapat menjadi alat bukti transaksi.
2. Hubungan Tidak Langsung
Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah
hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung
terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak di antara pihak konsumen
dengan produsen.76 sebagai contoh, dalam produk e-toll yang dibeli
seseorang tidak hanya semata-mata dipakai/dikonsumsi oleh pembeli itu
sendiri, tetapi selalu ada kemungkinan dipakai/dikonsumsi oleh orang lain
yang bukan pembeli, misalnya sanak saudara, bahkan orang lain di luar
dari keluarga dari si pembeli/konsumen, hal ini dapat terjadi dikarenakan
seperti penjelasan mengenai e-money tersebut merupakan unregistered
sehingga kartu e-toll tersebut dapat dengan mudah dipakai siapa saja atau
beralih kepada siapa saja. Mereka merupakan orang-orang yang tidak ada
hubungannya dengan penjual (bukan pihak dalam transaksi jual beli) dan
tidak ada keterikatan hukum dengan penjual.
b. Hubungan Hukum yang bersumber dari Undang-Undang
Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak
produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang
dirugikan tidak berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan
siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan
tidak hanya perjanjian yang melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan
tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang.
Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi
dalam undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia,
yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum.
Perikatan karena undang-undang merupakan perikatan yang dimana
undang-undang tersebut telah mengatur mengenai hak dan kewajiban
seseorang saat melakukan perjanjian. Sebagai contoh, konsumen memiliki
hak dan kewajiban untuk menerima dan membayar prestasi yang telah
pembayaran tersebut dan memberikan prestasi yang telah disepakati tersebut.
Perikatan ini terjadi karena adanya undang-undang yang mengatur hal
tersebut.
Sedangkan perbuatan yang diakibatkan karena perbuatan manusia
termasuk dalam perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan melanggar
hukum dalam B.W. diatur dalam Pasal 1365, yaitu sebagai berikut:
Tiap perbuatan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka bagi konsumen yang dirugikan
karena mengonsumsi suatu produk tertentu, tidak perlu harus terikat
perjanjian untuk dapat menuntut ganti kerugian, akan tetapi dapat juga
menuntut dengan alasan bahwa produsen melakukan perbuatan melanggar
hukum, dan dasar tanggung jawab produsen adalah tanggung jawab yang
didasarkan pada adanya kesalahan produsen.
Untuk melindungi kepentingan konsumen yang terikat dalam suatu
hubungan kontraktual dengan produsen dapatlah di pakai saluran wanprestasi,
termasuk di dalamnya karena tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan
jaminan (warranty). akan tetapi, bagi konsumen yang tidak terikat kontrak
dapat dipakai saluran negligence, implied warranty, ataupun perbuatan
melawan hukum. Sehingga jaminan penjual terhadap produk yang di jual
keluarga yang mengkonsumsinya. Dengan demikian mereka dipandang
mempunyai hubungan kontraktual dengan pelaku usaha.
Menyikapi hubungan konsumen dengan pihak pelaku usaha itu perlu
dipahami doktrin atau teori yang mendasari adanya hubungan antara kedua
belah pihak tersebut. Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen
dalam sejarah mencakup dua macam doktrin, yaitu doktrin caveat emptor,
yang kemudian berkembang menjadi caveat venditor. Perkembangan kedua
caveat itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan paham pada periode
tertentu.77
Doktrin caveat emptor disebut juga let the buyer beware atau pembeli
harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar lahirnya sengketa di
bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan
konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada
proteksi apa pun bagi pihak konsumen.78
Sudah sejak lama perlindungan hukum bagi konsumen hanya didasarkan
pada doktrin caveat emptor, yaitu suatu paham tentang perlunya konsumen
untuk senantiasa berhati-hati, karena pelaku usaha tidak diwajibkan untuk
menunjukan cacat, kecuali jika diminta dan harus menyatakannya. Setiap
transaksi yang terjadi merupakan hasil kesepakatan antara pihak pelaku usaha
dan pembeli (konsumen). pelaku usaha menyerahkan barang dan konsumen
membayar harga. Konsumen menanggung atas risikonya sendiri terhadap
77 Abdul Halim, Hak-Hak Konsumen Sebagai Hak Konstitusional Ekonomi Warga Negara Indonesia, Jurnal MK, Universitas Lambung Mangkurat, 17 Februari 2014, Hal. 3.
suatu barang setelah kewajiban pokok masing-masing pihak telah terpenuhi
secara timbal balik.
Pada kenyataannya, asumsi yang mendasari keseimbangan hubungan
tersebut ternyata tidak terbukti, karena konsumen tidak mendapat akses
informasi yang memadai terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, dan
bukan semata-mata konsumen tidak mampu dalam memahami suatu produk
atau jasa. Kesulitan dalam beban pembuktian yang harus diemban konsumen
bila ada sengketa menimbulkan masalah baru bagi konsumen, karena terdapat
kesulitan mengakses informasi mengenai barang dan/atau jasa yang telah
dikonsumsi untuk dapat dijadikan alat bukti.