Jalan Tol
Konsumen pada umumnya berada dalam posisi yang jauh lebih lemah, bila
dibandingkan dengan pelaku usaha. Bagaimanapun, pelaku usaha memiliki daya
dan dana yang dapat membentuk opini atas suatu produk, dimana pada gilirannya
sangat jauh berbeda dengan harapan (ekspetasi) konsumen. Karena posisi tawar
konsumen yang lemah, maka konsumen seharusnya diberi perlindungan yang
lebih baik dalam peraturan perundang-undangan, dengan harapan agar harkat dan
martabat konsumen terangkat dengan cara menghindarkannya dari akses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
Sebagaimana telah penulis jelaskan pada sub bagian tentang konsep e-toll,
sehingga pemerintah mulai membatasi sistem pembayaran secara tunai. Hal ini
tentu membuat hak memilih dari konsumen menjadi hilang. Dalam hal ini hak
memilih yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan hak memilih jalan melainkan
hak memilih metode pembayaran. Konsumen telah memiliki hak memilih jalan
yaitu memilih jalan tol atau jalan biasa namun konsumen tidak memiliki hak
untuk memilih metode pembayaran. Sejalan dengan mengapa pilihan tersebut
jatuh pada metode pembayaran, karena kalau jalannya lewat mana, jalan tol dibuat
juga untuk kepentingan umum dan apabila berbicara kepentingan umum maka
harusnya semua orang mempunyai kepentingan akses yang sama untuk dapat
melewati jalan tersebut tanpa ada batasan-batasan yang melekat. Oleh karena
merupakan kepentingan yang sama maka konsumen juga berhak memiliki hak
memilih terhadap metode pembayaran karena selama kewajiban membayar
tersebut sesuai nilai tukar yang diperjualbelikan tetap terjadi maka seharusnya
konsumen tetap diperbolehkan untuk melaluinya. Karena pada hakikatnya uang
elektronik dan uang tunai memiliki nilai nominal uang yang sama saat
bertransaksi.
Meskipun setiap transaksi yang diperuntukan dengan tujuan pembayaran,
penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau
transaksi keuangan lainnya, turut disesuaikan oleh Pemerintah guna menyediakan
cara pembayaran yang lebih mudah, efektif dan efisien, Namun perkembangan
teknologi tidaklah dapat serta merta menyingkirkan penggunaan uang dalam
bentuk kertas atau logam dalam setiap transaksi yang diperuntukan dengan tujuan
Nilai uang yang tersimpan di dalam kartu e-toll tersebut, harus dibeli atau
disetorkan dengan uang dalam bentuk kertas atau logam. Sehingga, uang
elektronik yang tersimpan di dalam media kartu adalah nilai uang, yang dengan
kata lain sesungguhnya mempunyai kesamaan fungsi dengan uang dalam bentuk
kertas atau logam, yaitu sama-sama media yang mempunyai atau menyimpan nilai
uang dalam jumlah tertentu.
Jika dilihat dari selisih kemacetannya sendiri, masyarakat juga dirasa tidak
terlalu dirugikan dengan kondisi tersebut. Dengan bantuan manusia di gardu tol,
maka selisih waktu gardu manual dan otomatis diperhitungkan hanya sekitar 6
detik.
Kewajiban untuk membayar jalan berbayar (tol) dengan menggunakan uang
elektronik (e-toll/e-money) dan tidak lagi menerima uang dalam bentuk kertas
atau logam tanpa memperhitungkan terjadi suatu keadaan memaksa (force
majeure), seperti kedaruratan, kealpaan, hingga terjadinya sutau keadaan yang
menyebabkan error pada mesin pembaca chip dalam uang elektronik
(e-toll/e-money), telah membatasi konsumen dalam mendapatkan perlakuan yang
adil dan bebas dari perlakuan diskriminatif sebagai konsumen yaitu dapat
menggunakan jalan lintas alternatif berbayar (tol) yang hendak digunakan.
Ketiadaan cara membayar pada saat sebelum atau sesudah menggunakan
jalan berbayar (tol) dengan uang dalam bentuk kertas atau logam telah
menghilangkan hak konsumen atas perlakukan yang adil dalam menggunakan
uang dalam bentuk kertas atau logam, serta telah berlaku diskriminatif dengan
fungsi dengan uang kertas dan logam. Selain warga negara Indonesia harus
menggunakan rupiah menurut ketentuan yang berlaku, seharusnya Pemerintah
juga tidak mewajibkan secara sewenang-wenang kepada konsumen dalam
melakukan pembayaran penggunaan jalan berbayar (tol) hanya dengan uang
elektronik. Tetapi memberikan pilihan pembayaran penggunaan jalan berbayar
(tol) kepada konsumen, dengan menyediakan loket pembayaran menggunakan
uang elektronik dan loket pembayaran menggunakan uang dalam bentuk kertas
atau logam. Sehingga selain apabila terjadi keadaan memaksa (force majeure),
seperti kedaruratan, kealpaan, hingga terjadinya suatu keadaan yang menyebabkan
error pada mesin pembaca chip dalam e-toll atau e-money, konsumen dapat tetap
menggunakan jalan lintas alternatif berbayar (tol) dengan membayar uang
elektronik atau kertas atau logam, sebagai perwujudan atas hak untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dan bebas dari perlakuan diskriminatif.
Sistem pembayaran secara tunai juga tentu memiliki suatu jaminan keamanan
tersendiri saat melakukan transaksi pembayaran di jalan tol. Adanya suatu
kemungkinan force majeur hingga terjadi suatu keadaan yang menyebabkan error
pada mesin dapat saja terjadi dan dapat merugikan dari pihak konsumen tersebut.
Sebagai contoh dari adanya force majeur yaitu kasus terpotongnya saldo e-money
pengguna jalan tol dua kali di GT Cilitan. Rama Soegianto sebagai konsumen
jalan tol menilai ada yang salah pada sistem pembayaran tol nontunai PT Jasa
Marga Tbk. Dia merasa saldo kartu elektronik miliknya berkurang dua kali setelah
menempelkan e-money pada mesin sensor di gerbang tol. Padahal, dia hanya
sekali melewati gerbang tol. Dia kemudian mendatangi kantor Jasa Marga untuk
buktiin dan benar di system jalan tol hanya mendeteksi satu kali saja. Karena
petugas penjaga pintu tol bersikeras bahwa system mereka sudah benar maka
tentu Rama sebagai konsumen malah disalahkan. Setelah itu rama ke atm bank
mandiri untuk print out mutasi e-money, dan benar ternyata saldo berkurang dua
kali. Dan setelah itu rama kembali mendatangi kembali petugas tol namun tidak
ada di tempat, sehingga rama lansung bertemu dengan petugas kantor mereka
untuk mengkonfirmasi lagi akan hal tersebut. Yang diherankan oleh rama sebagai
konsumen adalah bagaimana bisa antara mutasi e-money dengan system jasa
marga bisa berbeda.79
Berdasarkan kasus diatas, hal tersebut merupakan suatu force mager yang
tentu sangat merugikan konsumen. Menurut penulis, hal tersebut dapat terjadi lagi
suatu saat, dari hal tersebut konsumen dapat mengalami kerugian apabila
konsumen tersebut tidak berhati-hati atau tidak sadar akan kehilangan uang/saldo
pada uang elektronik tersebut. Berdasarkan hal tersebut force mager hingga
terjadi suatu keadaan yang menyebabkan error pada mesin pembayaran dapat saja
terjadi sehingga pembayaran secara tunai masih lebih memberikan rasa aman
kepada setiap konsumen di jalan tol.
Konsumen disaat melakukan isi ulang (top up) saldo e-toll juga masih
dikenakan biaya isi ulang (fee top up). Hal ini tentu membuat hak atas
kenyamanan dari konsumen menjadi terganggu karena apabila pemerintah ingin
memberikan metode pembayaran yang mudah, maka konsumen harus diberikan
79 Fiki Ariyanti, Konsumen Keluhkan Saldo E-Money Kesedot Dua Kali di Tol Jasa Marga,
12 Februari 2018,
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3279729/konsumen-keluhkan-saldo-e-money-kesedot-dua-k ali-di-tol-jasa-marga, dikunjungi pada tanggal 31 Juli 2018 pukul 15.00.
insentif berupa kemudahan dan kenyamanan saat menggunakan e-toll tersebut,
bukan membebankan konsumen pada investasi untuk pelaku usaha dalam
menyediakan infrastruktur pembayaran non tunai. Hal ini merupakan suatu
pemaksaan karena selain konsumen dipaksa beralih metode pembayaran, akan
tetapi konsumen masih dipaksa untuk membantu investasi dari pelaku usaha untuk
infrastruktur non tunai tersebut.
Berdasarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017
yang diterbitkan pada tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran
Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN). PADG GPN merupakan
aturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.19/8/PBI/2017 tentang
GPN.
Dari siaran pers Bank Indonesia (BI) secara garis besar, terdapat beberapa hal
yang diatur dalam PADG GPN, yaitu sebagai berikut:80
1. Prosedur penetapan kelembagaan GPN. Bank Indonesia mengatur prosedur penetapan kelembagaan GPN guna memastikan pihak-pihak yang akan menjadi penyelenggara GPN, yaitu Lembaga Standar, Lembaga Switching dan Lembaga Services, mampu menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagaimana diatur secara sebagaimana diatur secara lebih rinci didalam PADG GPN.
2. Mekanisme kerja sama. Bank Indonesia mengatur mekanisme kerja sama dalam penyelenggaraan GPN,termasuk mekanisme kerja sama antara penyelenggara GPN dengan pihak-pihak di luar GPN.
3. Branding nasional. Bank Indonesia menetapkan kebijakan branding nasional yang terdiri atas logo nasional, perluasan akseptasi (penerimaan) nasional, dan kewajiban pemrosesan domestik. Lebih lanjut, BI mewajibkan penggunaan logo nasional pada setiap instrumen yang diterbitkan dan kanal pembayaran domestik melalui GPN, serta tahapan
80 Agusman, “BI Terbitkan Ketentuan Pelaksana Gerbang Pembayaran Nasional,” 20 September 2017, https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_197217.aspx, dikunjungi pada tanggal 31 Juli 2018 pukul 14.30.
waktu implementasi pencantuman logo nasional untuk instrumen kartu ATM dan/atau kartu debet.
4. Skema harga. Bank Indonesia menetapkan kebijakan skema harga memastikan berjalannya interkoneksi dan interoperabilitas dalam ekosistem GPN, sbb:
a. Skema harga kartu debit, dengan tarif yang dikenakan kepada pedagang oleh bank (Merchant Discount Rate - MDR) sebesar 1% dengan pemberian MDR khusus untuk transaksi tertentu, termasuk MDR 0% untuk transaksi terkait pemerintah.
b. Skema harga Uang Elektronik untuk transaksi pembelian dengan rincian sebagai berikut:
1) Terminal Usage Fee (biaya yang diberikan penerbit kartu
kepada penyedia infrastruktur antar penggunaan terminal):0,35%
2) Sharing infrastructure (biaya investasi sebagai pengganti
atas biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan): sesuai dengan kesepakatan antar penerbit.
3) Merchant Discount Rate (tarif yang dikenakan kepada
pedagang oleh bank) akan ditetapkan tersendiri oleh Bank Indonesia.
c. Skema harga Uang Elektronik untuk transaksi Top Up dengan rincian sebagai berikut:
1) Top Up On Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu), untuk nilai sampai dengan Rp 200 ribu, tidak dikenakan biaya. Sementara untuk nilai di atas Rp 200 Ribu dapat dikenakan biaya maksimal Rp750.
2) Top Up Off Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/mitra), dapat dikenakan biaya maksimal sebesar Rp.1.500,-
d. Seluruh pihak dalam penyelenggaraan GPN wajib memenuhi aspek transparansi di dalam pengenaan biaya.
5. Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengevaluasi kebijakan skema harga.
Berdasarkan pengaturan diatas, Bank Indonesia (BI) telah mengatur mengenai
skema harga kepada Bank dan Penerbit kartu yang berbeda/mitra untuk
Alasan bank membutuhkan biaya isi ulang (fee top up) adalah dengan
pertimbangan kebutuhan bank akan biaya investasi dalam membangun
infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi dan juga
pemeliharaan. Berdasarkan penyedia jasa atau mitra bank kartu perdana yang
dibeli oleh pengguna hanya mampu untuk membiayai cetak kartu, plastik starter
kit, dan distribusi kartu.81
Terkait dengan pengenaan biaya top up, alasan bank perlu mendapatkan
insentif dari konsumen agar memiliki modal lebih banyak untuk menyediakan
infrastruktur pendukung pengembangan uang elektronik seperti mesin pembaca
dan mesin top up. Vice Presiden Business Banking Bank Mandiri Thomas
Wahyudi menekankan, biaya top up yang dikutip dari konsumen tidak akan
masuk sebagai fee based income. Dana tersebut akan digunakan untuk mitra bank
sebagai biaya pemeliharaan mesin pengisian ulang.82
Beberapa negara di dunia selain Indonesia telah menerapkan penggunaan
uang elektronik. Berikut perbandingan penerapan e-money di beberapa negara:83
1. Hong Kong
Kartu elektronik ini bernama Octopus card diterbitkan pada 1997 tujuan
awalnya digunakan sebagai alat pembayaran di sektor transportasi atau mass
transit system. Ada empat metode isi ulang yang bisa digunakan untuk Octopus Card ini, mulai dari menggunakan uang cash, menggunakan e-Pay, menggunakan
81 Dewi Restu Mangeswuri, Wacana Pengenaan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik, Badan Keahlian DPR RI, Vol. IX, No.18, September 2017, Hal. 14.
82 Ibid.
spare coin dan isi ulang saat berbelanja. Namun tidak ada bagian yang
menginformasikan jika isi ulang uang ini dikenakan biaya atau fee.
2. Inggris
Pertama kali Oyter Card diterbitkan pada 2003 dengan fasilitas Travelcards.
Pada 2009, pemerintah mewaajibkan pembayaran menggunakan smartcard, untuk
mempermudah masyarakat dalam bertransaksi. Oyster Card terbagi dua yakni
untuk warga Inggris dan untuk turis. Harga Oyster card diberondol ₤5 per kartu
namun bisa di-refund dan bisa diisiulang. Tidak ada biaya yang dikenakan untuk
isi ulang kartu ini.
3. Jepang
Suica adalah salah satu kartu prabayar multifungsi yang ada di Jepang. Kartu
ini diterbitkan pada November 2001. Pada 2010 kartu ini diterima menjadi uang
elektronik dan bisa digunakan sebagai alat pembayaran di toko. Kartu ini bisa
digunakan untuk naik kereta dan transportasi lain dan bisa diisi ulang di vending
machine yang tersedia. Tidak ada biaya top-up untuk kartu ini.
4. Belanda
Belanda menjadi salah satu negara yang paling berhasil menerapkan cash less
society. Strategi pemerintah Belanda untuk mendorong masyarkat meninggalkan
transaksi tunai adalah dengan cara memberikan potongan harga khusus, fasilitas
istimewa, dan hadia-hadiah menarik yang diberikan kepada masyarakat yang
memberikan penghargaan dan menyelenggarakan kompetensi untuk pedagang
yang mempromosikan pembayaran nontunai.
Dalam rangka menggalakkan gerakan nontunai, negara lain memberikan
kemudahan kepada masyarkat setempat. Hal ini yang seharusnya dilakukan oleh
indonesia, dengan memberikan suatu kepuasan tersendiri untuk konsumen saat
melakukan transaksi menggunakan uang elektronik tersebut. Dikarenakan uang
elektronik tidak menyediakan suatu jaminan keamanan pada saldo pada kartu
tersebut, membuat kartu elektronik dapat merugikan konsumen apabila terjadi
kecurian, kehilangan ataupun kartu tersebut. Hak untuk memperoleh keamanan
tentu harus diberikan kepada konsumen karena sudah menggunakan barang/jasa
pelaku usaha.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada seharusnya pemerintah
melalui kebijakannya dapat memberikan perlindungan terhadap setiap hak
konsumen e-toll sehingga konsumen dapat terjamin setiap hak mulai dari hak
untuk mendapatkan keamanan, hak untuk memilih metode pembayaran, hak untuk
tidak didiskriminasi, serta hak advokasi apabila konsumen merasa untuk dirugikan,
karena dalam kartu e-toll tersebut tidak tercantum call center apabila kartu
tersebut mengalami kerusakan maupun apabila saldo dari konsumen tersebut