• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK

A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen

3. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan

Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen (pelaku usaha) dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lainnya.40

Produsen sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin produsen (pelaku usaha) dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen (pelaku usaha). Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus.

41

Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari jalan penyelesaian. Barang atau jasa yang dialihkan kepada konsumen dalam suatu transaksi dibatasi berupa barang dan jasa yang biasa digunakan untuk keperluan

39

Ibid., hal. 54-55

40

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 9

41

kehidupan atau rumah tangga dan tidak untuk tujuan komersial. Dalam praktik sehari-hari terjadi beberapa tahap transaksi konsumen tahap tersebut adalah:42

a.Tahap Pra-Transaksi Konsumen

Tahap pra-transaksi konsumen, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh, beberapa hanya dan apapula syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Pada tahap ini informasi tentang barang atau jasa konsumen memegang peranan penting. Informasi yang

benar dan bertanggung jawab (informative information) merupakan

kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Putusan pilihan konsumen yangn benar mengenai barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice), sangat tergantung pada kebenaran dan bertanggungjawabnya informasi yang disediakan oleh pihak-pihak berkaitan dengan barang atau jasa konsumen. Informasi yang setengah benar, menyesatkan, apalagi informasi yang menipu dengan sendirinya menghasilkan keputusan yang dapat menimbulkan kerugian materil atau bahkan mgkin membahayakan kesehatan tubuh atau jiwa konsumen karena keliru, salah atau disesatkan dalam mempertimbangkannya.

42

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Harapan,1995), hal 39-56

b.Tahap Transaksi Konsumen

Fase ini transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa menyewa barang, setelah terjadi. Berbagai syarat peralihan kepemilikan, penikmatan, cara-cara pembayaran atau hak/kewajiban mengikuti, merupakan hal-hal pokok bagi konsumen. Pada saat ini umumnya suatu perikatan antara pelaku usaha dan konsumen dengan pembayaran atau pelunasan berjangka (antara lain perjanjian beli sewa, kredit, perbankan, kredit perumahan dan sebagainya) tidak jarang memunculkan masalah. Informasi yang benar dan bertanggungjawab dapat membantu konsumen menetapkan pilihan yang tepat, begitu pula cara-cara memasarkan barang atau jasa. Cara-cara pemasaran yang wajar akan sangat mendukung putusan pilihan konsumen yang menguntungkannya. Leluasanya konsumen memilih barang atau jasa kebutuhannya salah satu hak dan juga merupakan kepentingan konsumen.

c.Tahap Purna-Transaksi Konsumen

Tahap ini transaksi konsumen telah terjadi dan pelaksanaan telah diselenggarakan. Keutuhan konsumen akan barang atau jasa, baik kebutuhan produk rohaniah dan jasmaniah maupun kebutuhan yang dirangsang oleh berbagai praktek atau strategi pemasaran dan keberanian pengusaha mengambil resiko dalam menyediakan berbagai kebutuhan konsumen tersebut, sesungguhnya merupakan dua sisi dari satu kehidupan. Tinjauan lain yang dikemukakan diatas dengan sendirinya memperhatikan makin tingginya tingkat ilmu dan teknologi dalam

memproduksi produk-produk konsumen karena itu anjuran supaya

“konsumen teliti dalam membeli” (caveat emptor) seharusnya

didampingi oleh kewajiban “pengusaha bertanggung jawab” (caveat

venditor). Tanpa tanggung jawa pengusaha, kepentingan ekonomis, keselamatan tubuh dan keamanan jiwa dipertaruhkan dan mengahadapi resiko yang tidak sepatutnya mereka hadapi. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan atau mulai dinikmati, kemudian ternyata tidak sesuai dengan deskripsi yang klaim pengusaha, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya, atau jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap purnal jual. Dengan memperbincangkan asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya masalah sudah termasuk pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.

Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi pada pemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun hanya terhadap pihak tertentu saja. Hal tersebut dimanfaatkan secara sistematis oleh produsen dalam suatu sistem distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai tingkat produktivitas dan efektivitas dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dihasilkan hubungan yang sifatnya massal, yakni adanya permintaan meningkat dari masyarakat sehingga produsen dituntut untuk meningkatkan produktivitasnya. Karena sifatnya massal tersebut, maka peran negara sangat

dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada umumnya. Untuk itu perlu diatur perlindungan konsumen berdasarkan undang-undang antara lain menyangkut mutu barang, cara prosedur produksi, syarat kesehatan, syarat pengemasan, syarat lingkungan, dan sebagainya.43

Diawali dengan sistem pengawasan terhadap mutu dan kesehatan serta ketepatan pemanfaatan bahan untuk sasaran produk. Untuk itu aspek hukum publik sangat dominan. Setelah hubungan bersifat personal, hukum perdatalah yang akan lebih dominan dalam rangka meindungi kepentingan masing-masing pihak. Pada era pasar bebas di mana hubungan produsen dan konsumen menjadi makin dekat dan makin terbuka. Campur tangan negara, kerja sama antar negara dan kerja sama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola

hubungan produsen, konsumen dan sistem perlindungan konsumen.44

Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut menciptakan hubungan secara individual/personal sebagai hubungan hukum yang spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain:45

a. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu; b. Penawaran dan syarat perjanjian;

c. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya; d. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.

Keadaan-keadaan seperti diatas, pada dasarnya akan sangat mempengaruhi dan menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Dalam praktiknya hubungan hukum seringkali melemahkan posisi konsumen karena

43

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 10

44

Ibid., hal 11

45

secara sepihak para produsen (pelaku usaha) sedah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh produsen atau jaringan distributornya.46

Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen. Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”.

Klausula baku dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.47

Memperhatikan rumsan pengertian klausula baku dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tampak penekanannya lebih tertuju dalam prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya.

48

46

Ibid.

Perjanjian baku juga terkandung klausul eksonerasi, yang dalam pengertiannya tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Dengan demikian, klausula baku menggambarkan tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen dipihak lain dalam perjanjian baku jelas tidak pernah dijumpai asas kebebasan

47

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal 18

48

berkontrak.49

Selain terdapat perikatan yang dilakukan oleh PDAM dengan calon pelanggan yang ada dalam formulir pendaftaran, calon pelanggan pun harus menandatangani surat pernyataan yang menegaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban pelanggan. Surat pernyataan pelanggan tersebut berisikan yaitu:

Salah satu contoh klausula baku dalam hubungan produsen dan konsumen, misalnya formulir pendaftaran pemasangan air oleh PDAM. Formulir yang ditandatangani oleh calon pelanggan dan PDAM tersebut merupakan klausula baku atau kontrak baku kepada pelanggan. Dimana klausula baku itu ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha yakni PDAM Tirtanadi dan mengandung ketentuan umum dimana klausula baku ini menggambarkan tidak adanya keseimbangan posisi antara pelaku usaha yang menghasilkan produk dan konsumen di sisi lain, sehingga pihak konsumen hanya memiliki dua pilihan, yakni menyetujui atau menolak.

1. Dengan mengajukan permohonan pemasangan baru saluran air minum dan

menandatangani surat pernyataan ini, maka Pemohon akan mematuhi ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

2. Pemohon bersedia memenuhi kewajiban yang timbul dan menjadi tanggung

jawab Pemohon berkaitan dengan pelaksanaan pemasangan baru saluran air minum di alamat Pemohon yaitu:

a.Membayar biaya pemasangan baru sesuai golongan pelanggan berdasarkan

kriteria yang ditetapkan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

49

b.Membayar biaya tambahan/kelebihan pipa dinas yang jaraknya melebihi dari standar yang ditentukan PDAM Tirtanadi (lebih dari 6 meter), dimana pipa tersebut akan menjadi aset PDAM Tirtanadi dan Pemohon tidak menuntut atas penggunaan pipa tersebut apabila di kemudian hari PDAM Tirtanadi menggunakan pipa tersebut untuk penambahan/ perluasan cakupan pelayanan

c.Menyelesaikan izin/rekomendasi (apabila diperlukan) dengan pihak yang

bersangkutan sehubungan dengan pekerjaan pemasangan pipa.

3. Bersedia menerima kelebihan atas pembayaran biaya pemasangan baru atau

membayar kekurangan biaya pemasangan baru apabila terjadi perubahan golongan pelanggan berdasarkan kriteria PDAM Tirtanadi.

4. Apabila di kemudian hari timbul sengketa mengenai hak milik

tanah/bangunan yang mengakibatkan pipa dinas/pipa persil harus dibongkar, maka hal tersebut diluar tanggung jawab PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dan pemohon tidak dapat menuntut ganti kerugian dalam bentuk apapun kepada PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

5. Apabila meter air telah terpasang dan pemohon telah menikmati pelayanan

air minum dan pemohon mengundurkan diri sebagai pelanggan, maka segala sesuatu yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan kepada pemohon dan kewajiban yang ditimbulkan dari pemakaian air minum harus diselesaikan oleh Pemohon sesuai ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi.

6. Bersedia untuk diputus sambungan air minum apabila melakukan pelanggaran sesuai ketentuan PDAM Tirtanadi.

Apabila dalam kontrak pelanggan tidak mengatur secara seimbang antara hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak, maka pelanggan mengajukan tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya.

Kenyataannya, campur tangan pemerintah dan pemerintahan daerah dalam perjanjian baku sering kali terjadi, misalnya untuk perjanjian pengadaan barang dan lapangan agraria, seperti dalam hal hak pengelolaan tanah atau pemberian hak pakai. Akan tetapi, untuk perjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaris tentu tidak harus distandarkan. Perjanjian-perjanjian yang disebut terakhir tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah lebih diharapkan pada perjanjian yang berskala luas yang dimaksud berkaitan dengan kepentingan massal. Karena itu, jika diserahkan sepenuhnya pembuatannya secara sepihak kepada produsen/pelaku usaha, dikhawatirkan akan dibuat klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat banyak.50

B. Product Liability sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

Dokumen terkait