PENERAPAN PRINSIP PRODUCT LIABILITY OLEH PERUSAHAAN
DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTANADI DALAM MENINGKATKAN
KUALITAS AIR MINUM YANG DIDISTRIBUSIKAN
KEPADA KONSUMEN
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Fenny Uli Ceami 090200311
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PENERAPAN PRINSIP PRODUCT LIABILITY OLEH PERUSAHAAN
DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTANADI DALAM MENINGKATKAN
KUALITAS AIR MINUM YANG DIDISTRIBUSIKAN
KEPADA KONSUMEN
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Fenny Uli Ceami 090200311
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum
Dosen Pembimbing I
Muhammad Husni, SH, M.Hum
Dosen Pembimbing II
Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ABSTRAK
Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang
dikenal dalam dunia hukum “Product Liability”.Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) diharapkan menjadi penegak aturan hukum yang mengatur tanggung jawab produk (product liability).Pelaku usaha sebagai penghasil produk harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan cukup aman untuk dikonsumsi. Salah satunya PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada konsumen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap kualitas air yang didistribusikannya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu
bagaimana pengaturan prinsip product liability dalam UUPK dan peraturan
perundang-undangan lainnya mengenai kualiats air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, bagaimana penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi, dan bagaimana pertanggungjawaban PDAM Tirtanadi apabila air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi tidak memenuhi standar.
Penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif yaitu memperoleh data penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan data sekunder belaka. Penelitian ini juga mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.
Kesimpulan yang dihasilkan antara lain yaitu pengaturan prinsip product liability diatur dalam Pasal 19 UUPK No. 8 Tahun 1999 dan kualitas air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi berpedoman pada PERMENKES No. 429 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi telah sesuai dengan kewajibannya sebagai pelaku usaha dalam mendistribusikan air minum kepada pelanggannya (konsumen).PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara bertanggung jawab atas standar kualitas air minum yang didistribusikannya kepada pelanggan sesuai dengan prinsip product liability.
Diberlakukannya prinsip product liability ini diharapkan agar PDAM
Tirtanadi memperhatikan hak-hak dan kewajiban konsumen serta tanggung jawab kepada konsumen.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
yang senantiasa menyertai penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi
denga judul “Penerapan Prinsip Product Liability Oleh Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Tirtanadi dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum
yang Didistribusikan Kepada Konsumen”.
Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Selama penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari berbagai hambatan
namun berkat bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat teratasi.
Oleh karena itu, dengan tulus hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dengan memberikan bimbingan dan semangat kepada
penulis, yaitu kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M. Hum, DFM, selaku Pembantu
Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M. Hum, selaku Pembantu Dekan III
5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I
7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum, selaku Dosen pembimbing II
8. Para Dosen Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada Penulis selama masa perkuliahan
9. Kedua orang tua penulis, Tumbur Aritonang dan Rosmawaty Purba, serta
Saudara Penulis, Frangky Philip Aritonang dan Frans Toga Aritonang atas
segala perhatian, kasih sayang, dukungan dan doa-doa yang tidak henti
diberikan kepada penulis.
10. Sahabat-sahabat Penulis (Novaliani Munthe, Rina Uli Siburian, Melva
Theresia Simamora, Vonny Hardiyanti, Sri Hartati Nadapdap) yang selalu
mendukung segala proses pembelajaraan Penulis baik di kampus maupun di
luar kampus, melalui suka dan duka bersama. Ingat nama “NAPI” selalu ya
kita sudah seperti satu keluarga. Mudah-mudahan kita bias bertemu lagi di
saat kita sudah sukses.
11. Sahabat Penulis yang selalu siap sedia membantu dalam proses penyusunan
skripsi ini Milda Yuni Ardita, penulis mengucapkan terima kasih karena mau
ikut dalam kesusahan penulis dan memberi semangat kepada penulis.
12. Buat seseorang yang selalu mnghibur penulis dengan semua lelucon-lelucon
garingnya. Terima kasih karena pernah mengisi hari-hari penulis.
13. Untuk organisasi penulis, Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI)
dengan seluruh anggota-anggotanya, bung dan sarinah sekalian yang sudah
menginspirasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini terima kasih
14. Untuk kakak-kakak stambuk dan adik-adik stambuk yang sudah memberikan
semangat dan perhatian kepada penulis, terkhusus untuk seluruh adik
stambuk 2010 dan 2011 yang dekat dengan penulis.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah ikut
member bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena
keterbatasan penulis dalam pengetahuan. Oleh karena itu penulis bersedia
menerima kritik dan saran yang membangun guna melengkapi skripsi ini agar
menjadi lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Medan, November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 10
E. Tinjauan Kepustakaan ... 13
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematka Penulisan ... 19
BAB II : TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM RANGKA UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 21
A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen ... 21
1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha ... 21
2. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 26
3. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ... 31
B. Product Liability sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha ... 38
1. Pengertian Product Liability ... 38
BAB III : PROFIL PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM
TIRTANADI PROVINSI SUMATERA UTARA ... 49
A. Sejarah PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 49
B. Bentuk dan Kelembagaan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 53
C. Tugas Pokok dan Fungsi PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 54
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56
A. Pengaturan Prinsip Product Liability dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya Terkait dengan Kualitas Air Minum yang Dihasilkan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 56
B. Penerapan Prinsip Product Liability Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 67
C. Pertanggungjawaban Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara apabila Air Minum yang Didistribusikan Tidak Memenuhi Standar ... 72
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Parmeter Wajib ... 75
Tabel 2 Parameter Tambahan ... 76
ABSTRAK
Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang
dikenal dalam dunia hukum “Product Liability”.Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) diharapkan menjadi penegak aturan hukum yang mengatur tanggung jawab produk (product liability).Pelaku usaha sebagai penghasil produk harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan cukup aman untuk dikonsumsi. Salah satunya PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada konsumen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap kualitas air yang didistribusikannya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu
bagaimana pengaturan prinsip product liability dalam UUPK dan peraturan
perundang-undangan lainnya mengenai kualiats air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, bagaimana penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi, dan bagaimana pertanggungjawaban PDAM Tirtanadi apabila air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi tidak memenuhi standar.
Penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif yaitu memperoleh data penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan data sekunder belaka. Penelitian ini juga mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.
Kesimpulan yang dihasilkan antara lain yaitu pengaturan prinsip product liability diatur dalam Pasal 19 UUPK No. 8 Tahun 1999 dan kualitas air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi berpedoman pada PERMENKES No. 429 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi telah sesuai dengan kewajibannya sebagai pelaku usaha dalam mendistribusikan air minum kepada pelanggannya (konsumen).PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara bertanggung jawab atas standar kualitas air minum yang didistribusikannya kepada pelanggan sesuai dengan prinsip product liability.
Diberlakukannya prinsip product liability ini diharapkan agar PDAM
Tirtanadi memperhatikan hak-hak dan kewajiban konsumen serta tanggung jawab kepada konsumen.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latarbelakang
Salah satu problematika yang di hadapi oleh pemerintah Indonesia pada
saat ini adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat peningkatan jumlah
penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti pertanian dan industri.
Air bersih merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan manusia. Terpenuhinya
kebutuhan air bersih merupakan kunci utama perkembangan suatu kegiatan.
Kebutuhan air bersih setiap tahun akan semakin meningkat seiring pertambahan
jumlah penduduk. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas
semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi air yang
semakin berkurang serta secara kualitas ketersediaan air bersih mengalami
pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.1
Air yang berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tidak setiap
hari mengalir dan terkadang tidak bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti mandi, mencuci dan memasak bahkan untuk minum. Ditambah lagi
dengan banyaknya keluhan masyarakat mengenai air yang berasal dari PDAM
mulai dari soal kualitas dan kuantitas seperti halnya air yang mengandung timbal
atau kasinogenik, air berwarna kecoklat-coklatan atau keruh, air berbau larutan zat
kimia atau berasa aneh hingga
1
debit air yang kerap kali tidak mengalir sama sekali atau sangat kecil keluarnya.2
Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan
penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
dalam hal ini yaitu PDAM. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi
Provinsi Sumatera Utara merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang
bergerak dalam bidang penyediaan jasa air minum. Dimana hal ini berasal dari
hasil pengkajian yang dilakukan melalui Total Dis of Solide atau Eletrolizer, yang
membuktikan bahwa kualitas air Tirtanadi tidak sehat karena mengandung logam,
lumpur dan berbagai zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan lainnya sebesar
0,60% (nol koma enam puluh persen). Itu artinya kualitas kesehatan air sudah
melampaui ambang batas standarisasi yang sudah ditentukan yakni, 0.12% (nol
koma dua belas persen). Kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun
terutama setelah krisis ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan
perawatan untuk memotong pengeluaran operasi.3
Oleh karena itu, PDAM dinilai tidak memiliki kapasitas untuk bisa
menyediakan air bersih yang cukup bagi masyarakat. Padahal air bersih
merupakan salah satu kebutuhan yang sangat vital bagi manusia sehingga air
bersih menjadi syarat utama untuk bisa hidup sehat. Rendahnya kualitas dan
kuantitas air yang berasal dari PDAM khususnya di Kota Medan diakibatkan
karena air yang selama ini dipenuhi dengan sumber air sumur atau sumber air
2
Amstrong Sembiring. “Menyoal Masyarakat Konsumen Air”. melaui
dalam tanah semakin menipis, kerusakan alam dan percemaran serta kepercayaan
masyarakat terhadap jumlah dan kualitas air yang baik yang berasal dari PDAM.
Permasalahan mengenai kualitas air bersih yang didistribusikan kepada
konsumen ini terkait dengan perlindungan konsumen karena masyarakat sebagai
konsumen merupakan elemen yang paling erat dengan konsumsi air bersih yang
harus diperhatikan oleh para pihak yang terkait baik oleh pelaku usaha maupun
pemerintah.
Upaya perlindungan konsumen yang dapat dilakukan adalah dengan
memperhatikan dan menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi
air bersih yang disalurkan oleh PDAM. Hal ini sejalan dengan dimuatnya
pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Konsumen juga termasuk masyarakat yang tidak terlepas dari hukum
dimana kehidupan yang semakin berkembang ini, keterbatasan pengetahuan
konsumen mengenai kewajaran mutu dan harga barang atau jasa selama ini telah
menempatkan posisi konsumen sebagai mangsa produsen/pelaku usaha.
Kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang dimana konsumen
menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya
oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian
standar yang merugikan konsumen.4
4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Hal tersebut menyebabkan hukum perlindungan konsumen dianggap
penting keberadaannya.5
Sebagaimana tercatat dalam evaluasi yang dilakukan oleh Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan
pengaduan sampai tahun 2012, bidang pengaduan YLKI menerima 624 (enam
ratus dua puluh empat) pengaduan kasus oleh konsumen (melalui surat dan kontak
langsung). Dari banyaknya kasus tersebut, kasus yang diadukan ke YLKI adalah
masing-masing bidang perbankan 115 (seratus lima belas) kasus pengaduan 18%
(delapan belas persen), perumahan 74 (tujuh puluh empat) pengaduan 12% (dua
belas persen), telekomunikasi/multimedia 71 (tujuh puluh satu) pengaduan 17%
(tujuh belas persen), Transportasi 50 (lima puluh) pengaduan 8% (delapan
persen), ketenaga listrikan 48 (empat puluh delapan) pengaduan 8% (delapan
persen), pengaduan lain yang juga cukup signifikan adalah leasing sepeda motor
yaitu sebesar 35 (tiga puluh lima) pengaduan 6% (enam persen), pelayanan
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) 26 (dua puluh enam) pengaduan 4% Sudah menjadi hal yang umum pada saat sekarang
hak-hak konsumen sering kali terabaikan. Banyak orang yang tidak menyadari
bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha dan
konsumen cenderung mengambil sikap diam. Keadaan ini didukung lagi dengan
sikap tak mau tahu pelaku usaha/produsen dalam menanggapi keluhan konsumen
terhadap jasa monopoli seperti air minum.
5
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesi, (Jakarta : PT.Grasindo, 2004),
(empat persen), asuransi 23 (dua puluh tiga) pengaduan 4% (empat persen),
makanan/minuman 24 (dua puluh empat) pengaduan 4% (empat persen).6
Berdasarkan data di atas, dapat terlihat adanya pengaduan masyarakat
mengenai pelayanan dan kualitas air minum PDAM sebanyak 26 (dua puluh
enam) pengaduan dengan persentase sebesar 4% (empat persen).
Contoh bentuk pengaduan konsumen mengenai kualitas air minum yang
buruk pada Harian Medan Bisnis memaparkan bahwa masyarakat terus dibuat
kesal dengan sarana dan prasarana yang dimiliki Perusahaan Daerah Air Minum
Tirtanadi. Belum lagi, pemadaman listrik terselesaikan, kini masyarakat harus
menahan "pil pahit" dengan kondisi air PDAM Tirtanadi yang kotor dan berbau.
Rizanul, warga Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan, menuturkan air
yang diterimanya selalu saja kondisi kotor dan berbau. Warna air kecoklatan
hingga tidak bisa digunakan sama sekali, baik mandi atau keperluan lainnya. "Air
di sini tidak pernah bersih. Kalau pagi dan sore, pasti air sudah kotor dan berbau,"
ujarnya. Kondisi ini, lanjutnya semakin parah dengan terhentinya aliran air
dimulai dari jam 10.00 wib pagi hingga 15.00 wib sore. Kemudian jam 19.00 wib
sampai 05.00 wib pagi kembali tidak mengalir. "Air akan mengalir saat jam 5.30
pagi, tapi itupun keruh serta berbau. Ini bisa sampai setengah jam dan kemudian
air kembali normal dengan aliran yang sangat kecil," katanya. Kualitas air
Tirtanadi yang jorok ini, diakui Rizanul sudah terjadi lebih dari setahun dan
belum ada perbaikan yang dilakukan pihak PDAM Tirtanadi Sumut hingga saat
ini, termasuk juga dengan kualitas aliran air ke pelanggan. "Sudah kecil alirannya,
6
“Pengaduan Kasus oleh pada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (16-01/2012)”
sekali mengalir air nya jorok dan tagihan tetap saja terus naik, tapi kita tidak
pernah terpuaskan terhadap pelayanan Tirtanadi," katanya. Rama, warga Medan
Sunggal juga mengeluhkan tersendatnya aliran air dan keruh. Setiap pagi atau
malam hari air yang mengalir selalu saja dalam keadaan kotor. Kalau air yang
dialirkan ke pelanggan selalu jorok, ini artinya manajemen PDAM Tirtanadi
semakin buruk. Baru saja tarif air naik, tapi pelayanan tetap saja tidak
meningkat."Kenaikan tarif dengan kualitas air yang kita terima tidak sejalan.
Kalau air nya sampai hitam dan berbau, kan tidak mungkin kita pakai," tutur
Rama. Kepala Divisi Public Relations PDAM Tirtanadi, Amrun, menjelaskan, air
yang kotor itu biasanya karena ada kebocoran. Selain itu, akhir-akhir ini pompa
air sering mati hidup karena ada pemadaman listrik sehingga pipa terguncang dan
air yang mengendap di ujung pipa tercampur dengan air bersih.7
Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalah tidak akan
pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu
diperhatikan. Permasalahan mengenai perlindungan konsumen mengenai hak-hak
konsumen, kewajiban pelaku usaha serta jalinan transaksi antara konsumen dan
pelaku usaha akan dikaji lebih mendalam terutama kaitannya dengan
perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi air bersih dari PDAM.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen diharapkan menjadi penegak
aturan hukum dan upaya perlindungan serta tanggung jawab produk (product
liability) PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam meningkatkan kualitas
air minum yang didistribusikan kepada konsumen dapat diberlakukan sama bagi
7
setiap konsumen maupun pelaku usaha. Dimana Undang-Undang ini merupakan
payung hukum masyarakat untuk melindungi haknya atau setidak-tidaknya
konsumen telah memiliki senjata mempertahankan haknya. Diharapkan pelaku
usaha dapat meningkatkan citranya dengan meningkatkan kualitas produk
jasanya.
Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap produk-produk
yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang
dikenal dalam dunia hukum “Product Liability”.8Product liability adalah “suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu
produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam
suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang
atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut”.9 Dimana pelaku
usaha sebagai penghasil produk harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan
cukup aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, apabila di lain hari muncul
keluhan atas kerusakan produk yang mengakibatkan kerugian pada konsumen,
maka pelaku usaha harus bertanggung jawab penuh atas beban kerugian yang
diderita oleh konsumen.10
8
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. (Malang: Ghalia Indonesia, 2008 ) hal. 32.
Dalam kaitan dengan konsumen ini maka pembahasan
akan dilakukan khususnya dalam bentuk tanggung jawab produk (product
liability) terhadap kualitas air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi
kepada konsumen.
9
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 101
10
Adapun judul skripsi yang diajukan dalam penelitian ini yaitu “Penerapan
Prinsip Product Liability Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi
dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum yang Didistribusikan Kepada
Konsumen”(studi di PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang saya buat dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaiman pengaturan prinsip product liability dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen maupun dalam peraturan
perundang-undangan lainnya dalam kaitannya dengan kualitas air minum
yang dihasilkan oleh PDAM Tirtanadi ?
2. Bagaimana PDAM Tirtanadi menerapkan prinsip product liability tersebut
dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada
konsumen ?
3. Bagaimana pertanggungjawaban PDAM Tirtanadi apabila kualitas air minum
yang didistribusikannya kepada konsumen ternyata tidak memenuhi standar
kualitas air minum ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan prinsip product liability dalam
peraturan perundang-undangan lainnya dalam kaitannya dengan kualitas air
minum yang dihasilkan oleh PDAM Tirtanadi.
2. Untuk mengetahui bagaimana PDAM Tirtanadi menerapkan prinsip product
liability tersebut dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan
kepada konsumen.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Perusahaan PDAM Tirtanadi apabila
kualitas air minum yang didistribusikannya kepada konsumen ternyata tidak
memenuhi standar kualitas air minum.
Dari pembahasan skripsi ini, diharapkan juga dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan,
masukan atau tambahan dokumentasi karya tulis dalam bidang hukum perdata
pada umumnya. Secara khusus, skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan
masukan terutama bagi penyempurnaan perangkat ketentuan perlindungan
konsumen dalam kaitannya dengan tanggung jawab (product liability) dalam
meningkatkan kualitas air yang didistribusikan kepada kosumen.
2. Secara Praktis
Secara praktis skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan dan dapat
dijadikan sebagai bahan acuan bagi kalangan akademisi dalam menambah
wawasan sebagai regulator dalam melindungi kepentingan konsumen. Diharapkan
dengan adanya pembahasan prinsip product liability dalam skripsi ini, maka
dan lebih mengetahui bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap konsumen
dalam kaitannya dengan tanggung jawab pihak PDAM Tirtanadi Provinsi
Sumatera Utara dalam mendistribusikan air bersih.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bahwa sudah ada yang menulis tentang PDAM.
Adapun beberapa penulisan tentang PDAM sebagai berikut:
1. Andry Fahrizal / 010272017 (2005)
“Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Air Minum Ditinjau Dari
Undang-undang No. 8 Tahun 1999” ( Studi Pada PDAM Diski)
Rumusan Masalah:
a. Bagaimana pelaksanaan perlindungan konsumen dalam pelayanan air
bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi.
b. Bagaimana konsumen dapat menuntut rugi terhadap kelalaian yang
dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi.
2. Alfi Najmi / 970200005 (2002)
“Hak Dan Kewajiban Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi
Dengan Pelanggan Air Minum”.
Rumusan Masalah:
a. Sejauh manakah relevansinya ketentuan hak dan kewajiban yang timbul
antara pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi sebagai
selaku konsumen sebagai perorangan berdasarkan ketentuan perjanjian
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada umumnya.
b. Bagaimana kedudukan pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Tirtanadi sebagai pelaku usaha yang merupakan badan hukum dengan
pelanggan air selaku konsumen sebagai perorangan dalam hubungan hak
dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang berdasarkan perjanjian
baku menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen.
c. Upaya apakah yang akan dilakukan oleh para pihak untuk
mempertahankan haknya apabila salah satu pihak ingkar janji dalam
pemenuhan kewajibannya menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen.
3. Ira Susanti / 940200091 (1999)
“ Hak Dan Kewajiban Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtauli
Terhadap Pelanggan di P.Siantar”
Rumusan Masalah:
a. Bagaimanakah bentuk perjanjian antara Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Tirtauli dengan seseorang/ badan hukum sebagai pelanggan.
b. Bagaimanakah hak dan kewajiban Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Tirtauli sebagai perusahaan negara terhadap pelanggan air
serta bagaimana hak dan kewajiban pelanggan sendiri terhadap
c. Usaha apakah yang akan dilakukan oleh para pihak untuk
mempertahankan hak apabila salah satu pihak ingkar janji dalam
kewajibannya (wanprestasi).
4. Marisi Sondang Irene / 910200134 (1996)
“Suatu Tinjauan Tentang Hak Dan Kewajiban PDAM Tirtadeli Dengan
Pelanggan Air”
Rumusan masalah:
a. Bagaimana kedudukan antara pihak PDAM Tirtadeli sebagai perusahaan
negara dengan pelanggan air sebagai warga negara dalam hubungan
hukum keperdataan.
b. Usaha apakah yang akan dilakukan untuk mempertahankan hak apabila
salah satu pihak ingkar janji dalam pemenuhan kewajibannya.
c. Sampai sejauh mana relevansi ketentuan hak dan kewajiban antara PDAM
Tirtadeli dengan pelanggan air (individu/badan hukum) jika dihubungkan
denganketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perikatan pada Buku
III Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan
ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya sendiri yang
asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang diperoleh melalui pemikiran,
referensi buku-buku, makalah-makalah, media elektronik yaitu internet serta
bantuan dari berbagai pihak. Dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional,
kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah data adalah merupakan dasar utama,
karenanya metode penelitian sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi. Oleh
karena itu dalam penyusunan skripsi menyusun data dengan menghimpun dari
data yang ada relevansinya dengan masalah yang diajukan. Dalam penulisan
skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian dengan cara:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Adapun jenis dan sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif atau penelitian
hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
hanya menggunakan data sekunder belaka.11
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu pendekatan deskriptif analitis
yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling
berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum
yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau
menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan
seperangkat data lainnya. Penelitian ini juga menguraikan ataupun
11
mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk
melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.12
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data primer dan
data sekunder.
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.13
b. Data Sekunder
Yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara
langsung dengan pihak/informan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.
Data sekunder adalah data yang mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.14
1)Bahan Hukum primer
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
Yang menjadi bahan hukum primer adalah Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 tahun
2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 tahun
2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum
12
Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal, 38. 13
Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, , 2012) hal 30
14
2)Bahan Hukum Sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama.
Data sekunder bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain
sebagainya.
3)Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum,
Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Library Research (Penelitian Kepustakaan)
Metode penelitian ini, memperoleh data masukan dari berbagai
bahan-bahan bacaan yang bersifat teoritis ilmiah, baik itu dari literatur-literatur,
buku-buku, peraturan-peraturan maupun juga dari majalah-majalah dan bahan
perkuliahan penulis sendiri.
b. Field Research (Penelitian Lapangan)
Metode pengumpulan data dengan cara penelitian lapangan ini dilakukan
dengan melakukan wawancara terhadap pihak informan PDAM Tirtanadi
Provinsi Sumatera Utara dan pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia untuk melengkapi data dan
penelitian.
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah disusun
secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif yaitu
suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna
suatu aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan
hukum yang menjadi objek kajian.15
5. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dari proses berpikir dianggap valid bila proses
berpikir tersebut dilakukan menurut cara tertentu, misalnya cara penarikan
kesimpulan secara deduktif. Deduktif ialah cara pengambilan kesimpulan dari
umum ke khusus. Di dalam deduktif, kesimpulan harus mengikuti alasan
(premis) yang diberikan, alasan yang dikatakan berarti kesimpulan dan
merupakan suatu bukti (proof).16 Jadi penarikan kesimpulan secara deduktif
dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung terhadap objek penelitian
yaitu “Penerapan Prinsip Product Liability Oleh Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Tirtanadi dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum yang
Didistribusikan Kepada Konsumen” (studi di PDAM Tirtanadi Provinsi
Sumatera Utara).
15
Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 107
16
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam hal ini penulis bagi dalam bab yang
masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu:
Bab I. Pendahuluan. Dalam Bab I ini diuraikan tentang diuraikan latar
belakang masalah yang menjadi dasar penulisan. Kemudian berdasarkan
latarbelakang masalah tersebut dibuat rumusan masalah dan tujuan penulisan. Bab
ini juga menjelaskan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II. Tinjauan Umum Tentang Product Liability Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum kepada Konsumen.
Bab ini akan membahas pengaturan mengenai Product Liability, kualitas air
minum dan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1999
dalam mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Bab III. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera
Utara yang dibahas dalam bab ketiga ini adalah tentang sejarah Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, bentuk dan
kelembagaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi
Sumatera Utara, Tugas Pokok dan Fungsi PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera
Utara.
Bab IV. Pertanggungjawaban Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Tirtanadi terhadap Kualitas Air Minum yang Didistribusikannya kepada
Konsumen. Bab ini akan membahas bentuk tuntutan ganti rugi terhadap kelalaian
yang dilakukan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi
pelayanan air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi
Provinsi Sumatera Utara.
Bab V. Kesimpulan dan Saran. Pada bagian akhir ini akan diberikan
kesimpulan dan juga saran-saran dari pembahasan terdahulu. Kesimpulan
diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan dari bab-bab
terdahulu. Sedangkan saran-saran merupakan usul dari penulis terhadap topik
BAB II
TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK
(PRODUCT LIABILITY) DALAM RANGKA
UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) yang
berarti adalah lawan dari produsen yaitu setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut.17
Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan “Konsumen sebagai
lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan, dan
sebagainya”18. Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut
“A person who buys goods or service for personal, family, or household use, with
no intention or resale, a natural person who use products for personal rather than
bussiness pupose”19
17
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 22
. Textbook on Consumer Law memaparkan “Consumeris one
who purchase goods or service”.
18
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal 521
19
Definisi tersebut menghendaki bahwa konsumen adalah setiap orang atau
individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak
sebagai produsen, pelaku usaha dan/atau pebisnis.20
Hukum positif Indonesia pada tahun 1999, belum mengenal istilah
konsumen. Meskipun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk
menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen.
Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu
kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian
hukum tentang hak-hak konsumen.21
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan
istilah “setiap orang” untuk pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat jasa
kesehatan dalam konteks konsumen, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 1,
Pasal 3,4,5 dan Pasal 46. Istilah “masyarakat” juga digunakan dalam
undang-undang ini dengan asumsi sebagai konsumen, hal ini termaktub dalam Pasal 9,10,
dan Pasal 21.22
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 tahun
tentang Perlidungan Konsumen yaitu konsumen adalah “Setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
dirisendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”23
20
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ini lebih
luas bila di bandingkan dengan 2 (dua) Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen lainnya, yaitu :24
a. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa “Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali”.
b. Naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan
Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI menentukan bahwa “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.
Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan cara
mengambil alih pengertian yang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda yaitu
“Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”.
Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya untuk merumuskan defenisi
konsumen namun, para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen
adalah “Pemakai terakhir dari benda dan/atau jasa yang diserahkan kepada mereka
oleh pengusaha”. 25
Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan
di atas, maka Az Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,
yakni:26
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu.
24
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 5-6
25
Zulham, Op. Cit., hal 16
26
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa istilah yang
berkaitan dengan konsumen yaitu pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam,
dan sebagainya. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan
istilah tertanggung dan penumpang.27
Selain konsumen, pihak lain yang berkaitan dengan hukum perlindungan
konsumen adalah pelaku usaha dan pemerintah. Istilah pelaku usaha umumnya
lebih dikenal dengan sebutan pengusaha.
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan
pelaku usaha adalah
“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.28
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, pengecer, dan
sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku
27
Zulham. Op.Cit., hal 14
28
usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, karena produsen atau
pelaku usaha dapat berupa perorangan atau badan hukum.29
2. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban. Sebelum membahas hak dan kewajiban para pihak maka terlebih
dahulu akan membahas tentang pengertian hak dan kewajiban. Hukum
didalamnya mengatur peranan dari para subjek hukum yang berupa hak dan
kewajiban. Hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, berbeda dengan kewajiban adalah peran
yang bersifat imperative artinya harus dilaksanakan. Hubungan keduanya adalah
saling berhadapan dan berdampingan karena didalam hak terdapat kewajiban
untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak menyalahgunakan haknya.30
Hak dan Kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum. Setiap
hubungan hukum mempunyai dua aspek yaitu kekuasaan disatu pihak dan
kewajiban (pilot) dipihak lain. Kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada
orang lain (badan hukum) disebut sebagai hak. Menurut Logeman tidak setiap
peraturan hukum memberi hak. Ada peraturan hukum yang tidak memberi hak.
Tetapi setiap peraturan hukum menimbulkan kewajiban.
Presiden John F. Kennedy mengemukakan empat hak konsumen yang
harus dilindungi, yaitu:31
29
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Op.Cit., hal. 8-9
30
Happy Susanto. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal 22
31
a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)
Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang nantinya dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen.
b. Hak memilih (the right to choose)
Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogratif konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.
c. Hak mendapat informasi (the right to be informed)
Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan diblinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapanya dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh produsen.
YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak
dasar konsumen yang dikemukakan oleh John F. Kennedy yaitu hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga keseluruhannya dikenal sebagai
“Panca hak Konsumen”.32
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 4
terdapat hak-hak konsumen antara lain :33
32
Ibid., hal 50
33
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan Advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara paksa.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain.
Selain kesembilan hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ada dua hak konsumen yang berhubungan
dengan product liability, yakni sebagai berikut:34
a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang
baik serta aman. Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali diperdayakan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen sering dihadapkan pada kondisi jika setuju beli, jika tidak silahkan cari di tempat yang lain, padahal di tempat lain pasar pun telah dikuasainya.
b. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian. Jika barang yang dibelinya itu
dirasakan cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Namun, jenis ganti kerugian yang dikalimnya untuk barang yang cacat atau rusak, tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang dibelinya.
34
Sementara hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada
faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian tyang
diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk,
yaitu apabila:35
a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; b. Cacat timbul di kemudian hari;
c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi; e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 6 menjelaskan produsen
disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut:36
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat pelindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain memperoleh hak-hak tersebut, sebagai balance konsumen juga
mempunyai kewajiban, “ Menurut Pasal 5 Undang-Undang Konsumen No.8
Tahun 1999, kewajiban konsumen itu antara lain:37
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikhad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
Selain itu, dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:38
a. Beritikhad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujure mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pelaku usaha di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi
konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak
bahwa itikhad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua
tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa
kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/
diproduksi sampai pada tahap purna penjualan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian
bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi oleh produsen (pelaku
38
usaha). Sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan
produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.39
3. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen
Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen (pelaku usaha)
dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan
berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling
menghendaki dan mempunyai tingat ketergantungan yang cukup tinggi antara
yang satu dengan yang lainnya.40
Produsen sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan
konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin
produsen (pelaku usaha) dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya,
konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen (pelaku
usaha). Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu
hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa, sesuai
dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus.
41
Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi
untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari jalan
penyelesaian. Barang atau jasa yang dialihkan kepada konsumen dalam suatu
transaksi dibatasi berupa barang dan jasa yang biasa digunakan untuk keperluan
39
Ibid., hal. 54-55
40
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 9
41
kehidupan atau rumah tangga dan tidak untuk tujuan komersial. Dalam praktik
sehari-hari terjadi beberapa tahap transaksi konsumen tahap tersebut adalah:42
a.Tahap Pra-Transaksi Konsumen
Tahap pra-transaksi konsumen, transaksi (pembelian, penyewaan,
peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum
terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa
kebutuhannya dapat diperoleh, beberapa hanya dan apapula syarat-syarat
yang harus dipenuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas atau
kondisi dari transaksi yang diinginkan. Pada tahap ini informasi tentang
barang atau jasa konsumen memegang peranan penting. Informasi yang
benar dan bertanggung jawab (informative information) merupakan
kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan
untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam
kebutuhan hidupnya. Putusan pilihan konsumen yangn benar mengenai
barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice), sangat tergantung
pada kebenaran dan bertanggungjawabnya informasi yang disediakan
oleh pihak-pihak berkaitan dengan barang atau jasa konsumen. Informasi
yang setengah benar, menyesatkan, apalagi informasi yang menipu
dengan sendirinya menghasilkan keputusan yang dapat menimbulkan
kerugian materil atau bahkan mgkin membahayakan kesehatan tubuh
atau jiwa konsumen karena keliru, salah atau disesatkan dalam
mempertimbangkannya.
42
b.Tahap Transaksi Konsumen
Fase ini transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa menyewa
barang, setelah terjadi. Berbagai syarat peralihan kepemilikan,
penikmatan, cara-cara pembayaran atau hak/kewajiban mengikuti,
merupakan hal-hal pokok bagi konsumen. Pada saat ini umumnya suatu
perikatan antara pelaku usaha dan konsumen dengan pembayaran atau
pelunasan berjangka (antara lain perjanjian beli sewa, kredit, perbankan,
kredit perumahan dan sebagainya) tidak jarang memunculkan masalah.
Informasi yang benar dan bertanggungjawab dapat membantu konsumen
menetapkan pilihan yang tepat, begitu pula cara-cara memasarkan barang
atau jasa. Cara-cara pemasaran yang wajar akan sangat mendukung
putusan pilihan konsumen yang menguntungkannya. Leluasanya
konsumen memilih barang atau jasa kebutuhannya salah satu hak dan
juga merupakan kepentingan konsumen.
c.Tahap Purna-Transaksi Konsumen
Tahap ini transaksi konsumen telah terjadi dan pelaksanaan telah
diselenggarakan. Keutuhan konsumen akan barang atau jasa, baik
kebutuhan produk rohaniah dan jasmaniah maupun kebutuhan yang
dirangsang oleh berbagai praktek atau strategi pemasaran dan keberanian
pengusaha mengambil resiko dalam menyediakan berbagai kebutuhan
konsumen tersebut, sesungguhnya merupakan dua sisi dari satu
kehidupan. Tinjauan lain yang dikemukakan diatas dengan sendirinya
memproduksi produk-produk konsumen karena itu anjuran supaya
“konsumen teliti dalam membeli” (caveat emptor) seharusnya
didampingi oleh kewajiban “pengusaha bertanggung jawab” (caveat
venditor). Tanpa tanggung jawa pengusaha, kepentingan ekonomis,
keselamatan tubuh dan keamanan jiwa dipertaruhkan dan mengahadapi
resiko yang tidak sepatutnya mereka hadapi. Keadaan barang atau jasa
setelah mulai digunakan atau mulai dinikmati, kemudian ternyata tidak
sesuai dengan deskripsi yang klaim pengusaha, baik tentang asal produk,
keadaan, sifat, jumlahnya, atau jaminan/garansi merupakan masalah pada
tahap purnal jual. Dengan memperbincangkan asal produk konsumen,
mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal yang berkaitan dengan
itu sesungguhnya masalah sudah termasuk pertanggungjawaban pelaku
usaha atau tanggung jawab produk.
Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak
proses produksi, distribusi pada pemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan
tersebut merupakan rangkaian perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat
hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun
hanya terhadap pihak tertentu saja. Hal tersebut dimanfaatkan secara sistematis
oleh produsen dalam suatu sistem distribusi dan pemasaran produk barang guna
mencapai tingkat produktivitas dan efektivitas dalam rangka mencapai sasaran
usaha. Dihasilkan hubungan yang sifatnya massal, yakni adanya permintaan
meningkat dari masyarakat sehingga produsen dituntut untuk meningkatkan
dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada umumnya.
Untuk itu perlu diatur perlindungan konsumen berdasarkan undang-undang antara
lain menyangkut mutu barang, cara prosedur produksi, syarat kesehatan, syarat
pengemasan, syarat lingkungan, dan sebagainya.43
Diawali dengan sistem pengawasan terhadap mutu dan kesehatan serta
ketepatan pemanfaatan bahan untuk sasaran produk. Untuk itu aspek hukum
publik sangat dominan. Setelah hubungan bersifat personal, hukum perdatalah
yang akan lebih dominan dalam rangka meindungi kepentingan masing-masing
pihak. Pada era pasar bebas di mana hubungan produsen dan konsumen menjadi
makin dekat dan makin terbuka. Campur tangan negara, kerja sama antar negara
dan kerja sama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola
hubungan produsen, konsumen dan sistem perlindungan konsumen.44
Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut
menciptakan hubungan secara individual/personal sebagai hubungan hukum yang
spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi, yang sangat
dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain:45
a. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu; b. Penawaran dan syarat perjanjian;
c. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya; d. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.
Keadaan-keadaan seperti diatas, pada dasarnya akan sangat mempengaruhi
dan menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Dalam
praktiknya hubungan hukum seringkali melemahkan posisi konsumen karena
43
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 10
44
Ibid., hal 11
45
secara sepihak para produsen (pelaku usaha) sedah menyiapkan satu kondisi
perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak
ditentukan pula oleh produsen atau jaringan distributornya.46
Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku
usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang
lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang
harus disetujui dan diikuti oleh konsumen. Syarat sepihak ini dikenal pula dengan
istilah ”klausula baku”.
Klausula baku dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.47
Memperhatikan rumsan pengertian klausula baku dalam Pasal 1 Angka 10
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tampak penekanannya lebih tertuju
dalam prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha,
dan bukan isinya.
Perjanjian baku juga terkandung klausul eksonerasi, yang
dalam pengertiannya tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya,
melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab
pelaku usaha. Dengan demikian, klausula baku menggambarkan tidak adanya
keseimbangan posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen dipihak
lain dalam perjanjian baku jelas tidak pernah dijumpai asas kebebasan
47
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal 18
48
berkontrak.49
Selain terdapat perikatan yang dilakukan oleh PDAM dengan calon
pelanggan yang ada dalam formulir pendaftaran, calon pelanggan pun harus
menandatangani surat pernyataan yang menegaskan apa yang menjadi hak dan
kewajiban pelanggan. Surat pernyataan pelanggan tersebut berisikan yaitu:
Salah satu contoh klausula baku dalam hubungan produsen dan
konsumen, misalnya formulir pendaftaran pemasangan air oleh PDAM. Formulir
yang ditandatangani oleh calon pelanggan dan PDAM tersebut merupakan klausula
baku atau kontrak baku kepada pelanggan. Dimana klausula baku itu ditetapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha yakni PDAM Tirtanadi dan mengandung
ketentuan umum dimana klausula baku ini menggambarkan tidak adanya
keseimbangan posisi antara pelaku usaha yang menghasilkan produk dan
konsumen di sisi lain, sehingga pihak konsumen hanya memiliki dua pilihan, yakni
menyetujui atau menolak.
1. Dengan mengajukan permohonan pemasangan baru saluran air minum dan
menandatangani surat pernyataan ini, maka Pemohon akan mematuhi
ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.
2. Pemohon bersedia memenuhi kewajiban yang timbul dan menjadi tanggung
jawab Pemohon berkaitan dengan pelaksanaan pemasangan baru saluran air
minum di alamat Pemohon yaitu:
a.Membayar biaya pemasangan baru sesuai golongan pelanggan berdasarkan
kriteria yang ditetapkan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.
49
b.Membayar biaya tambahan/kelebihan pipa dinas yang jaraknya melebihi
dari standar yang ditentukan PDAM Tirtanadi (lebih dari 6 meter),
dimana pipa tersebut akan menjadi aset PDAM Tirtanadi dan Pemohon
tidak menuntut atas penggunaan pipa tersebut apabila di kemudian hari
PDAM Tirtanadi menggunakan pipa tersebut untuk penambahan/
perluasan cakupan pelayanan
c.Menyelesaikan izin/rekomendasi (apabila diperlukan) dengan pihak yang
bersangkutan sehubungan dengan pekerjaan pemasangan pipa.
3. Bersedia menerima kelebihan atas pembayaran biaya pemasangan baru atau
membayar kekurangan biaya pemasangan baru apabila terjadi perubahan
golongan pelanggan berdasarkan kriteria PDAM Tirtanadi.
4. Apabila di kemudian hari timbul sengketa mengenai hak milik
tanah/bangunan yang mengakibatkan pipa dinas/pipa persil harus dibongkar,
maka hal tersebut diluar tanggung jawab PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera
Utara dan pemohon tidak dapat menuntut ganti kerugian dalam bentuk
apapun kepada PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.
5. Apabila meter air telah terpasang dan pemohon telah menikmati pelayanan
air minum dan pemohon mengundurkan diri sebagai pelanggan, maka segala
sesuatu yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan kepada pemohon
dan kewajiban yang ditimbulkan dari pemakaian air minum harus
diselesaikan oleh Pemohon sesuai ketentuan yang berlaku di PDAM
6. Bersedia untuk diputus sambungan air minum apabila melakukan
pelanggaran sesuai ketentuan PDAM Tirtanadi.
Apabila dalam kontrak pelanggan tidak mengatur secara seimbang antara
hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak, maka pelanggan
mengajukan tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya.
Kenyataannya, campur tangan pemerintah dan pemerintahan daerah dalam
perjanjian baku sering kali terjadi, misalnya untuk perjanjian pengadaan barang
dan lapangan agraria, seperti dalam hal hak pengelolaan tanah atau pemberian hak
pakai. Akan tetapi, untuk perjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaris tentu
tidak harus distandarkan. Perjanjian-perjanjian yang disebut terakhir tumbuh
melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah
lebih diharapkan pada perjanjian yang berskala luas yang dimaksud berkaitan
dengan kepentingan massal. Karena itu, jika diserahkan sepenuhnya
pembuatannya secara sepihak kepada produsen/pelaku usaha, dikhawatirkan akan
dibuat klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat banyak.50
B. Product Liability sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha
1. Pengertian Product Liability
Permasalahan yang dihadapi konsumen di Indonesia, seperti juga yang
dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
semua pihak baik pengusaha, pemerintah, maupun konsumen itu sendiri tentang
pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus
50
menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas,
aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang
sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperluka Undang-Undang
serta Peratura-Peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya
barang dan jas dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk
mengawasi berjalannya Peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik.51
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengakomodasi dua prinsip
penting, yakni tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab
profesional (professional liability). Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk
dalam prinsip-prinsip tentang tanggung jawab, tetapi dibahas secara terpisah
karena perlu diberikan penguraian sendiri.52
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60
(enam puluh) tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat,
sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran.
Baik kalangan produsen (producer and manufacture) maupun penjual (seller,
distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya
resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap
konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat
dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produk product
liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang
51
Ibid., hal 62-63
52