• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

B. Hubungan Interpersonal

1. Pengertian Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik (Walgito, 2003). Setiap orang membutuhkan orang lain dalam melakukan aktivitas sosialnya.

Hubungan interpersonal merupakan hubungan dimana didalamnya terdapat kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain (Schutz, 1996). Kita membutuhkan orang lain sebagai standar untuk mengevaluasi perilaku kita. Hubungan interpersonal akan memberikan dukungan emosional dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Keinginan untuk melakukan kontak dengan orang lain pada umumnya dilandasi adanya imbalan sosial yang dapat

diperoleh individu jika berhubungan dengan orang lain (Dayakisni&Hudaniah, 2003 ).

Jika hal-hal dalam kebutuhan-kebutuhan hubungan interpersonal tidak terpenuhi atau tidak seperti yang diharapkan, dan tidak terealisasi maka akan menghasilkan suatu akibat yang tidak menyenangkan bagi individu (Schutz,1996). Konflik-konflik yang terjadi dalam hubungan interpersonal banyak disebabkan karena adanya perbedaan-perbedaan individual (Schutz, 1996).

2. Emotion focused coping Dalam Hubungan Interpersonal

Dalam hubungan interpersonal terjadi berbagai permasalahan dan konflik, dimana hal tersebut dapat menimbulkan perasaan-perasaan tidak menyenangkan yang dihadapi individu, yang disebut dengan stress. Individu memerlukan cara untuk mengatasi stress yang dialami tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan hal-hal yang berorientasi pada emosi, dalam hal ini disebut emotion focused coping.

Menurut Hardjana (1997), aspek emotion focused coping yang cocok digunakan untuk mengatasi stress dari permasalahan dalam hubungan interpersonal adalah :

a. Mengendalikan emosi, yaitu kemampuan untuk menerima keadaan. Individu melakukan penerimaan dengan menganggap bahwa keadaan itu sudah terjadi dan tidak dapat diubah. Individu cenderung bersikap

mengambil hal-hal positif atau hikmah dari suatu permasalahan, mencari ketenangan, berdiam diri atau merenung, dan melakukan imajinasi atau berkhayal akan keadaan yang lebih baik. Selain itu individu juga melakukan penerimaan dengan berdoa, ataupun tidur.

b. Melepaskan emosi, yaitu kemampuan untuk meluapkan atau melepaskan emosi atau perasaan-perasaan. Melepaskan emosi dilakukan dengan menangis dan berteriak. Selain itu individu juga berbicara pada orang lain tentang perasaan yang dialami, dan mendiskusikan perasaan-perasaan yang dialami saat menghadapi permasalahan atau stressor. c. Relaksasi, yaitu kemampuan untuk meregangkan ketegangan dalam

menghadapi stress dengan humor atau melucu. Individu melakukan humor dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan,bersantai, atau melucu bersama orang lain dengan cara menceritakan pengalaman lucu, membaca buku berisi cerita humor, atau menonton acara dan film lucu.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja merupakan pemuda-pemudi yang berada pada masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang didalamnya terdapat proses perubahan biologis, kognisi, emosi, dan sosial. Remaja mengalami proses pencarian identitas karena kekaburan peran. Hal ini disebabkan karena pada tahap perkembangan ini remaja bukan lagi kanak-kanak, tapi juga belum mencapai usia dewasa. Secara

psikologis remaja adalah individu pada usia dimana ia berintegrasi dengan masyarakat dewasa, masa dimana anak merasa berada dalam tingkatan yang sama dengan orang-orang yang lebih tua paling tidak terkait dengan hak (Santrock, 2003). Masa remaja awal berlangsung dalam rentang usia 13-16 tahun, sedangkan masa remaja akhir berlangsung dalam rentang usia 16-18 tahun ( Santrock, 2003).

2. Karakteristik Remaja

Pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman nyata dan konkret melainkan sudah mampu membayangkan kejadian atau rekaan situasi berupa kemungkinan hipotesis ataupun abstrak (Santrock, 2003). Hal ini sejalan dengan teori kognitif Piaget dimana individu pada masa remaja berpikir secara abstrak (tahap pemikiran operasional-formal).

Beragam tugas perkembangan disertai dengan kekaburan dan kebingungan akan identitas diri menimbulkan konflik yang berbeda-beda pada tiap individu.

Hal ini membuat masa remaja sering dianggap sebagai periode yang penuh ”badai

dan tekanan”. Periode ini sangat menonjol terjadi pada masa remaja awal

(Santrock, 2003) Sesuai dengan tugas perkembangannya remaja awal diharuskan untuk mulai dapat mandiri secara psikologis, termasuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi, dan hal tersebut bukanlah hal yang mudah bagi remaja.

3. Keadaan Emosi Remaja

Emosi merupakan perasaan-perasaan atau respon efektif yang dihasilkan gejolak fisiologis, pikiran-pikiran, dan kepercayaan-kepercayaan, evaluasi subjektif dan ekspresi tubuh (Abella, 1999).

Pada periode perubahan, emosi remaja menjadi lebih tinggi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Adapun meningginya emosi terutama karena remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Remaja awal seringkali mudah marah, mudah dirangsang dan emosinya cenderung meledak, dan sulit mengendalikan perasaannya.

Pola emosi remaja awal terlihat jelas dari kematangan emosi berupa pengendalian dan pelepasan emosi mereka, terutama dalam lingkungan terdekatnya (Dariyo, 2002). Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan membicarakan berbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Selain itu remaja juga dapat belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya, dengan latihan fisik, bermain dan bekerja, serta tertawa, menangis, ataupun berteriak (Dariyo, 2002).

4. Hubungan Interpersonal Remaja Dengan Teman Sebaya

Sekolah bagi remaja merupakan tempat untuk melakukan hubungan interpersonal. Relasi yang dibentuk remaja di lingkungan sekolah adalah dengan teman-teman sekolahnya sendiri, dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Teman-teman inilah yang biasa disebut teman sebaya atau peers (Santrock, 2003).

Bagi remaja, hubungan interpersonal dengan teman sebaya merupakan salah satu bagian besar dalam perkembangannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Condry, Simon, dan Bronffenbrenner, selama 1 minggu remaja baik laki-laki maupung perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada dengan orangtua (Santrock, 2003). Bersama-sama dengan teman sebaya, remaja banyak menghabiskan waktu dalam melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan. Bahkan hubungan interpersonal yang dilakukan remaja bersama dengan teman sebaya tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah saja, melainkan juga terjadi di luar lingkungan sekolah.

Dalam melakukan hubungan interpersonal dengan teman sebaya, remaja juga menghadapi permasalahan-permasalahan. Masalah yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh dari teman sebaya, perubahan perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalamseleksi persahabatan, serta nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial (Santrock, 2003).

Meskipun teman sebaya merupakan bagian penting dalam perkembangan remaja, namun teman sebaya itu juga dirasakan memberi pengaruh yang kurang baik bagi remaja. Beberapa ahli teori menekankan pengaruh negatif dari teman sebaya bagi perkembangan remaja, misalnya seperti ditolak atau tidak diperhatikan oleh teman sebaya dapat mengakibatkan remaja merasa kesepian dan timbul rasa permusuhan (Santrock, 2003). Oleh sebab itu pencetus stress terbesar pada remaja, khususnya remaja awal adalah masalah sosial yang berhubungan dengan persahabatan atau hubungan interpersonal dengan teman sebaya (Santrock, 2003).

Dokumen terkait