Mirsha V.,Smith.,Kirk R.,Retherford R.,2005.Effect Of Cookig Smoke
HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1 Hubungan Karakteristik Balita Dengan Kejadian ISPA Pada Balita .1 Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian tidak ada hubungan antara berat badan lahir
dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini diketahui dari Uji Fisher’s di dapat p
value( 0,491) lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima. Hasil penelitian dapat
dilihat bahwa berat badan lahir pada kasus dan kontrol sebagian besar jumlah
balita mempunyai berat badan normal.Berat badan dikatakan normal jika > 2500
gram.
Hasil wawancara yang dilakukan pada saat penelitian didapatkan bahwa
sebagian besar ibu yang hamil memeriksakan kehamilannya ke POSKESDES
secara rutin, ibu yang akan bersalin juga sebagian besar sudah dibantu oleh bidan
yang ada di POSKESDES Marubun Jaya sehingga dapat mengurangi risiko
kecacatan, dan juga sudah ada penyuluhan tentang gizi untuk ibu hamil yang
dilakukan oleh Pos Kesehatan Desa Marubun Jaya sehingga ibu yang hamil bisa
berkonsultasi kepada bidan tentang makanan bergizi dan sehat untuk ibu dan bayi
yang ada didalam kandungan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Namira (2013), yang
mengatakan bahwa tidak ada hubungan BBL dengan kejadian ISPA pada balita
dan juga sama dengan penelitian Kholisah (2009), menyatakan bahwa tidak ada
63
Menurut Gertrudis (2010), berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian lebih besar dibandingkan
dengan berat badan lahir normal (BBLN), terutama pada bulan pertama kelahiran
karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi, terutama ISPA dan gangguan saluran pernafasan
lainnya.Selain berat badan lahir masih banyak faktor risiko yang bisa
menyebabkan ISPA pada balita seperti lingkungan fisik rumah yang buruk, status
gizi, dan juga status imunisasi yang belum lengkap.
5.1.2 Hubungan Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian tidak ada hubungan status imunisasi dengan
kejadian ISPA pada balita. Hal ini diketahui dari Uji Fisher’s di dapat p value (0,75) lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima. Hasil penelitian dapat dilihat
bahwa status imunisasi pada kasus dan kontrol sebagian besar jumlah balita
mempunyai status imunisasi yang lengkap.Status imunisasi dikatakan lengkap bila
sudah lengkap imunisasi dasar.
Hasil wawancara yang didapatkan sewaktu penelitian status imunisasi bukan
merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pada balita. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena tingginya cakupan imunisasi pada balita,
sebagian besar responden mengetahui bahwa imunisasi sangat penting bagi balita
untuk mencegah terjadinya panyakit infeksi sehingga responden membawa
bayinya ke posyandu untuk diimunisasi dan petugas kesehatan yang ada di
sehingga sedikit bayi yang tidak lengkap status imunisasinya. status imunisasi
tidak ada hubungan dengan kejadian ISPA pada balita dikarenakan status
imunisasi tidak terjadi secara langsung. Masih tingginya ISPA pada
balita,walaupun telah menerima imunisasi lengkap diakibatkan karena belum ada
vaksin yang dapat mencegah ISPA secara langsung.Daya tahan tubuh anak yang
rendah dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yang telah memiliki
imunisasi lengkap. Jadi, walaupun seorang anak telah menerima imunisasi
lengkapkemungkinan untuk menderita ISPA tetap ada.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wahiduddin,
(2012) dan sama dengan Suhandayani (2007), yang membuktikan bahwa
pemberian status imunisasi mencegah terjadinya ISPA pada balita.Imunisasi
dirancang untuk memicu tubuh agar membuat antibodi dan dapat mencegah atau
meminimalkan risiko terkena beberapa penyakit menular yang sering menyerang
balita (Grifford, 2008).
5.1.3 Hubungan Status ASI Ekslusif Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian hubungan status ASI ekslusif dengan kejadian
ISPA pada balita menggunakanUji Chi Squere di dapat p value (0.000) kurang
dari 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan status ASI ekslusif
terhadap kejadian ISPA pada balita. Nilai OR status ASI ekslusif sebesar 2,8(95%
CI=1,347-5,819)yang berarti bahwa balita yang tidak diberikan ASI ekslusif
mempunyai risiko terkena ISPA 2,8 kali dibandingkan balita yang mendapatkan
ASI eklusif. Dikatakan ASI ekslusif apabila sudah diberikan ASI tanpa tambahan
65
Hasil wawancara yang dilakukan pada saat penelitian didapatkan sebagian
besar ibu memberikan makanan dan minumanan sebelum bayi > 6
bulan.Tingginya proporsi anak balita yang tidak ASI eksklusif dan menderita
ISPAmenunjukkan bahwa ibu-ibu di daerah penelitian ini masih belum paham
akanpentingnya ASI eksklusif kepada anak balitanya.Pemberian ASI eksklusif
dapatmemberikan perlindungan kepada bayi dan balita dari penyakit infeksi
termasukpenyakit ISPA.
Tingkat pendidikan ibu mempunyai pengaruh dalam pola pemberian ASI
ekslusif, makin rendahnya pendidikan ibu maka semakin rendah pemberian ASI
ekslusif. Hal ini sama dengan penelitian Mardeyanti (2007), yang didapati
hubungan antara pendidikan terhadap pemberian ASI ekslusif dan disimpulkan
tingkat pendidikan ibu yang rendah meningkatkan risiko tidak memberikan ASI
ekslusif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan Suhandayani (2007),
yang membuktikan bahwa pemberian ASI ekslusif mencegah terjadinya ISPA
pada balita dan juga sama dengan penelitian yang dilakukan Rahayu (2011),
terdapat hubungan balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif dengan kejadian
ISPA dan juga menunjukkan bahwa ASI mengandung bahan-bahan anti infeksi
yang penting dalam mencegah invasi saluran pernafasan oleh bakteri dan virus
serta merupakan faktor protektif terhadap kejadian ISPA.
ASI meningkatkan daya tahan tubuh sehingga dapat menurunkan
meningkatkan daya tahan tubuh tetapi juga dapat meningkatkan kecerdasan balita
(Grifford, 2008).