Mirsha V.,Smith.,Kirk R.,Retherford R.,2005.Effect Of Cookig Smoke
HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.2 Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA
5.2.1 Hubungan Luas Ventilasi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian hubungan luas ventilasi dengan kejadian ISPA
pada balita menggunakanUji Chi Squere di dapat p value (0.001) kurang dari
0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan luas ventilasi dengan kejadian
ISPA pada balita. Nilai OR luas ventilasi sebesar 4,086 (95% CI = 1,815-9,195)
yang berarti bahwa luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko
terkena ISPA pada balita 4,086 kali lebih besar dibandingkan luas ventilasi yang
memenuhi syarat.
Menurut Chandra (2007), luas ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi,
yaitu menjaga aliran udara di dalam rumah tetap segar dan membebaskan udara
ruangan dari bakter-bakteri. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan
menyebabkankelembaban udara di dalam ruangan naik, dimana kelembaban ini
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri.Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.829/MENKES/SK/VII/1999,menetapkan
bahwa ventilasi dikatakan memenuhi syarat kesehatan apabila luas ventilasi >
10% dari luas lantai.
Hasil pengukuran yang dilakukan saat penelitian luas ventilasi rumah
sebagian besar tidak memenuhi syarat, hal ini disebabkan karena luas ventilasi
kurang dari 10% luas lantai.Hasil wawancara pada waktu penelitian menunjukkan
67
rumah menutup jendela rumah sepanjang hari sehingga kemungkinan sirkulasi
udara dalam rumah tidak baik dan cahaya matahari sulit masuk ke dalam
rumah.Rumah yang sedikit cahaya matahari masuk dan udara yang tidak bagus
akan menyebabkan ruanga menjadi lembab. Ruangan yang lembab
merupakantempat perkembangbiakan penyakit.Akibat ventilasi yang tidak
berfungsi dengan baik, menyebabkan pencemaran udara semakin meningkat
karena polusi udara dan berbagai mikroorganisme penyakit dalam rumah tidak
dapat keluar sehingga membahayakan penghuni rumah terutama balita yang
rentan terhadap penyakit yang disebabkan mikroorganisme.
Hasil penelitian diatas sesuai dengan penelitian Maryani (2012), yang
menunjukkan adanya hubungan atara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada
balita dan penelitian ini sama dengan penelitian Suhandayani (2007), yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA
pada balita.
Luas ventilasi merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat menjadi
faktor risiko penyakit ISPA mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai
sarana menjamin udara dalam rumah agar tetap segar, serta menjamin kualitas dan
kecukupan sirkulasi udara yang masuk dan keluar dalam ruangan. Ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat antara lain: menambah lubang angin, dan lubang-lubang pada
dinding sebagai ventilasi alamiah yang dapat mengalirkan udara ke dalam ruangan
5.2.2 Hubungan Pencahayaan Alami Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Hasil analisis hubungan pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada
balita menggunakanUji Chi Squere di dapat p value (0,027) kurang dari 0,05
maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan pencahayaan alami dengan
kejadian ISPA pada balita. Nilai OR pencahayaan alami sebesar 1,8 (95% CI =
1,070-3,091) yang berarti bahwa pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko terkena ISPA pada balita 1,8 kali lebih besar bila dibandingkan
pencahayaan alami yang memenuhi syarat.
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai
daya untuk membunuh bakteri.Rumah yang memenuhi syarat kesehatan
memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alami berupa cahaya matahari
(UV). Pencahayaan alami ruangan di rumah adalah penerangan yang bersumber
langsung dari cahaya matahari yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk
masuknya sinar matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca
(Azwar,2007). Pencahayaan alami yang memenuhi syarat kesehatan berdasarkan
Kepmenkes RI No 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan alami minimal
intensitasnya 60 Lux dan tidak menyilaukan.
Pencahayaan alami sebagian besar tidak memenuhi syarat.Hal ini dapat
terjadi dikarenakan rumah yang ada di Desa Marubun Jaya masih banyak pohon
disekitar rumah sehingga menutupi cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah
dan juga jarak antar rumah yang berdekatan.Selain itu rumah-rumah yang ada
memiliki lorong jalan yang sempit juga mempengaruhi intensitas cahaya yang
69
intensitas cahaya yang mampu masuk ke dalam rumah serta perilaku responden
yang jarang membuka jedela rumah juga mengakibatkan intensitas pencahayaan
yang masuk ke dalam rumah berkurang.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rusdawati (2012), yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA
pada balita.
5.2.3 Hubungan Kelembaban Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian hubungan kelembaban dengan kejadian ISPA
pada balita menggunakanUji Chi Squere di dapat p value (0,001) kurang dari
0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan kelembaban dengan kejaidan
ISPA pada balita. Nilai OR kelembaban 3,2 (95% CI = 1,561- 6,769) yang berarti
bahwa kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai risiko terkena ISPA pada
balita 3,2 kali lebih besar bila dibandingkan kelembaban memenuhi syarat.
Menurut Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan
perumahan, kelembaban ruangan yang baik untuk kesehatan adalah 40-70%.
Hasil pengukuran yang dilakukan waktu penelitian sebagian besar rumah
responden tidak membuka jendela rumah setiap hari sehingga kelembaban di
dalam ruangan meningkat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rusdawati (2012), yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA
pada balita.Salah satu usaha untuk mengurangi kelembaban dalam rumah adalah
5.2.4 Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasrakan hasil penelitian hubungan kepadatan hunian dengan kejadian
ISPA pada balita menggunakanUji Chi Squere di dapat p value (0,012) kurang
dari 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada balita. Nilai OR kepadatan hunian (95% CI = 1,161-3,325)
yang beraarti bahwa kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai risiko
terkena ISPA pada balita 1,9 kali lebih besar bila dibandingkan dengan kepadatan
hunian yang memenuhi syarat.
Menurut Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan
kesehatan rumah,kepadatan hunian dalam kamar tidur minimal 8 m² dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu kamar tidur kecuali untuk
anak di bawah 5 tahun.
Hasil wawancara yang dilakukan saat penelitian sebagain besar rumah
responden yang dicatat memiliki jumlah penghuni kamar 3 orang,sebenarnya
memiliki balita yang tidur di kamar yang sama. Untuk jumlah penghuni yang
kamar yang 4 orang berarti orang tersebut umurnya diatas 5 tahun yang tidur di
kamar yang sama. Sebagian besar rumah responden tinggal dirumah orang tuanya
dan di dalam satu rumah itu terdapat beberapa keluarga lagi sehingga untuk satu
keluarga menempati satu kamar saja.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Maryani(2012),
yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan
71
(2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian kamar
dengan kejadian ISPA pada balita.
Penularan penyakit terkhusus yang menular melalui udara berbanding lurus
dengan tingkat kepadatan hunian suatu rumah. Dengan kata lain semakin tinggi
tingkat kepadatan hunian rumah maka penularan penyakit melalui udara akan
semakin cepat. Kepadatan hunian yang tinggi akan memperburuk sirkulasi udara.
Hal ini akan mengakibatkan penyakit saluran pernapasan terkhusus yang
disebabkan oleh virus akan lebih cepat menyerang anggota keluarga. Semakin
tinggi kepadatan hunian suatu rumah maka semakin mudah penularan penyakit
yang disebabkan oleh pencemaran udara pada balita seperti gangguan pernapasan
atau ISPA (Achmadi, 2008).
5.2.5 Hubungan Jenis Lantai Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian tidak ada huungan jenis lantai dengan kejadian
ISPA pada balita. Hal ini diketahui dari Uji Fisher’s di dapat p value (0,491) lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima. Hasil penelitian dapat diliahat bahwa sebagain
besar jumlah rumah yang memiliki jenis lantai yang memenuhi syarat lebih
banyak ketimbang jenis lantai yang tidak memenuhi syarat.
Menurut Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang kesehatan
perumahan, lantai rumah kedap air,tidak retak dan mudah dibersihkan. Dari hasil
pengamatan yang dilakukan pada kelompok kasus dan kontrol sebagian besar
lantai rumah responden memenuhi syarat.Hal ini dapat dilihat bahwa sebagain
responden memiliki lantai rumah yang terbuat dari semen dan keramik tetapi tidak
Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian Surhandayani (2007), yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada
balita. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak
lembab.Bahan lantai harus kedap air, mudah dibersihkan dan tidak menghasilkan
debu (Ditjen PPM dan PL, 2002).
Menurut Widoyono (2011), kontruksi lantai rumah harus rapat air dan
selalu kering serta harus dapat menghindari naiknya tanah yang dapat
menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Suatu ruangan yang
lembab dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan bakteri dan vector
penyakit.Oleh karena itulah jenis lantai tidak kedap air merupakan salah satu
faktor risiko kejadian ISPA.