• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak a. Kualitas Udara Ambien

Spesies VIII dan Spesies IX secara makroskopik memiliki tipe talus foliose, akan tetapi memiliki warna yang relatif berbeda. Pada spesies VIIII talus

2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak a. Kualitas Udara Ambien

Menurut Soedomo (2001), pengukuran udara ambien dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran udara di suatu daerah, dengan mengacu kepada ketentuan dan peraturan mengenai kualitas udara yang berlaku dan baku mutu udara yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999, terlihat bahwa semua parameter masih berada di bawah ambang batas baku mutu (Lampiran 8). Akan tetapi, pada hasil analisis tiga lokasi tersebut terlihat bahwa kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran yang relatif lebih tinggi pada semua parameter.

Pencemaran udara tersebut baik berupa gas maupun partikel dapat menyebabkan kerusakan pada tumbuhan secara fisiologik, termasuk lumut kerak. Menurut Chamberlain (1986) diacu dalam Karliansyah (1997), masuknya pencemar tersebut kedalam jaringan tumbuhan sangat tergantung pada karakteristik tumbuhan tersebut dan sifat pencemar secara alami yang kadang-kadang dipengaruhi oleh faktor cuaca.

Lumut kerak dapat tumbuh dengan baik pada kondisi udara yang bersih. Faktor-faktor tersebut diduga akan mempengaruhi fotosintesis lumut kerak, yang akan dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil. Hale (1983) diacu dalam Lubis (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan lumut kerak ditentukan oleh faktor iklim (40%) dan substrat (60%). Serta didukung oleh pernyataan Seaward (1977) diacu dalam Noer (2004) bahwa distribusi lumut kerak dipengaruhi oleh morfologi dan respon fisiologi lumut kerak terhadap pengaruh kondisi ekstrim, iklim, substrat dan pencemaran udara.

Menurut Treshow (1989); Jeran et al. (2000) diacu dalam Wijaya (2004), lumut kerak dapat menyerap seluruh nutrien dalam bentuk berupa endapan basah ataupun kering dari atmosfer. Fungi dapat menyediakan kebutuhan utama dari lumut kerak, termasuk tempat jaringan alga berada, menerima air dan melindungi

dari pengaruh lingkungan yang buruk. Hal tersebut didukung oleh keadaan lumut kerak yang tidak memiliki kutikula atau pelindung, sehingga lumut kerak akan menyerap semua unsur-unsur termasuk polutan yang berbahaya tanpa adanya penyeleksian melalui permukaan talus dan diakumulasikan dalam talusnya. Akumulasi logam-logam tersebut tidak pernah diseksresikan sehingga terus ditimbun oleh talus lumut kerak. Hal tersebut yang memungkinkan pemakaian lumut kerak untuk pemantauan pencemaran udara akibat logam-logam yang diemisikan oleh sumber-sumber pencemar (Kovacs, 1992).

Lumut kerak merupakan simbiosis dari dua organisme. Untuk kelangsungan hidupnya, salah satu organisme melakukan fotosintesis yaitu alga. Menurut Soedaryanto et al. (1992), lumut kerak sebagai tumbuhan fotosintetik membutuhkan CO2 sampai batas tertentu. Jika kadar CO2 telah melampaui batas yang dibutuhkan, justru akan menurunkan laju fotosintesis. Fotosintesis lumut kerak dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil dan proses tersebut dipengaruhi oleh kelembaban udara, sinar matahari, temperatur udara dan karbon dioksida. Jika faktor-faktor tersebut tidak optimal bagi masing-masing spesies maka fotosintesis tidak maksimal.

Pada hasil pengukuran kualitas udara ambien, lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai kandungan SO2 yang relatif lebih tinggi dibanding lokasi pengamatan lainnya, meskipun relatif tidak terlalu jauh. SO2 dapat bereaksi dalam tubuh lumut kerak yaitu dapat membuat talus menjadi asam dan merusak klorofil menjadi phaeophytin, sehingga lumut kerak tidak dapat melanjutkan proses fotosintesis. Klorofil dapat kembali normal hanya bila pengaruh SO2 tidak terlalu lama dan lingkungan memungkinkan untuk kembali normal (Cooke, 1977; Hale, 1963). Menurut Connel & Miller (1995) bahwa SO2 dan hujan asam mempunyai bermacam-macam hubungan timbal balik dengan fisiologi dan biokimia tanaman (Varshney & Garg, 1979 diacu dalam Connel & Miller, 1995).

Menurut Fardiaz (1992), pengaruh partikel terhadap tanaman antara lain, dalam bentuk debunya dan jika debu tersebut bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak tebal pada permukaan. Lumut kerak corticolous merupakan lumut kerak yang menjadikan kulit batang pohon sebagai substratnya. Lapisan kerak tersebut diduga dapat mengganggu proses fotosintesis karena akan menghambat masuknya sinar matahari dan dapat mencegah pertukaran CO2 dengan atmosfer.

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak. Pencemaran udara sebagai salah satu faktor lingkungan diduga dapat mempengaruhi iklim mikro suatu tempat. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Soedaryanto et al. (1992), yang menyatakan dengan meningkatnya SO2 dan CO2 di udara akan meningkatkan suhu udara di sekitar lingkungan dan dengan suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju fotosintesis. Jika hal tersebut terus menerus berlangsung, akan menyebabkan kematian pada lumut kerak (Soedaryanto et al., 1992).

b. Suhu dan Kelembaban Udara

Kondisi iklim mikro yang diukur adalah kelembaban dan suhu udara. Hal tersebut diharapkan menggambarkan kondisi lingkungan sekitar. Pada kawasan industri memiliki suhu udara rata-rata yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan adanya aktivitas industri dan kurangnya vegetasi penghijauan. Menurut Dahlan (2004), tumbuhan yang tinggi dan luasan yang cukup akan dapat mengurangi efek pemanasan. Namun, dengan semakin berkurangnya lahan yang tertutup pepohonan sebagai akibat dari pembangunan, maka lingkungan kota menjadi semakin panas.

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%, sedangkan menurut Noer (2004), menyatakan bahwa lumut kerak menyukai tempat yang kering dengan kelembaban 40% sampai 69 %. Hal tersebut, menggambarkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan talus lumut kerak pada suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor kelembaban udara. Pertumbuhan dan perkembangan talus lumut kerak diduga juga dipengaruhi oleh tingkat pencemaran udara.

Pengukuran suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,8-30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Menurut Lubis (1996); Baron (1999), suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju fotosintesis. Jika hal tersebut terus berlangsung akan menyebabkan kematian pada lumut kerak. Pengambilan, penahanan, dan pengeluaran air merupakan hal yang sangat penting dalam lumut kerak, karena lumut kerak dapat mengabsorbsi air hujan, air larian, dan air embun sehingga mampu menciptakan kelembaban yang diperlukan (Landecker, 1996 diacu dalam Rahmatia, 2003).

c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara

Menurut Noer (2004), pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Soedaryanto et al., (1992) yang menemukan 3 jenis lumut kerak pada daerah yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada daerah kontrol di Denpasar, Bali. Cahyono (1987) diacu dalam Herlinda (1990), menyatakan bahwa lumut kerak dapat dijadikan sebagai tumbuhan indikator untuk pencemaran udara dari kendaraan bermotor, dimana dengan adanya pencemaran udara akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan lumut kerak dan penurunan jumlah jenis dengan beberapa marga yang dapat dijadikan indikator polusi yaitu Parmelia, Hypogymnia dan Strigula. Menurut Boonpragob (2003) di Thailand, dengan memilih 20 pohon pada masing-masing lokasi didapatkan pada daerah yang terpolusi ditemukan 7 jenis lumut kerak yaitu: Buelia punctata, Laurera bengaulensis, Lecanora paliida, D. picta, Trypethelium tropicum, Graphis liberta, Cryptothecia sp.

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung hanya ditemukan 3 jenis lumut kerak, pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak dan pada tegakan mahoni Cikabayan sebagai daerah yang diduga memiliki tingkat pencemaran yang rendah, ditemui 10 jenis lumut kerak (Tabel 13).

Tabel 13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang Ditemukan

Parameter Lokasi Pengamatan

Kawasan industri

Pulo Gadung Arboretum Cibubur Tegakan mahoni Cikabayan

Debu (μg/Nm3) 61 45 22

Karbon dioksida (CO2)

(ppmv) 342 336 325

Nitrogen dioksida (NO2)

(μg/Nm3/Jam) 21 15 10

Sulfur dioksida (SO2)

(μg/Nm3/Jam) 12 8 6

Jumlah lumut kerak yang

ditemukan 3 6 10

Daerah kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran kandungan udara ambien yang konsentrasinya relatif lebih tinggi bila dibanding dengan lokasi lainnya (Tabel 2; Tabel 13). Hal tersebut dikarenakan pada kawasan industri telah mengalami perubahan kondisi lingkungan yang diduga karena adanya pencemaran udara akibat emisi buangan yang berasal dari kegiatan industri dan transportasi berupa CO2, SO2, NO2, dan debu. Pada kawasan industri, unsur-unsur tersebut

secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan beberapa hal yang dapat menghambat pertumbuhan maupun keberadaan lumut kerak.

Daerah arboretum Cibubur memiliki kadar kandungan udara ambien yang sedang pada semua parameter, hal ini dikarenakan lokasi pengamatan merupakan daerah luas yang cukup untuk konservasi dan menyerap pencemar udara. Keadaan ini yang memungkinkan terjadinya penurunan kadar kandungan udara ambien sehingga terukur rendah, walaupun daerah ini terdapat aktivitas transportasi. Tegakan mahoni Cikabayan memiliki kadar pencemaran yang sangat rendah, karena daerah ini merupakan daearah dengan pencemaran yang ada hanya dihasilkan oleh sepeda motor yang tidak terlalu banyak.

Pengaruh kadar masing-masing zat pencemar terhadap talus lumut kerak secara khusus belum dapat diketahui, akan tetapi diharapkan respon dari kondisi lingkungan tersebut dapat terlihat dari morfologi talus yang dapat dilihat secara makroskopik. Pertumbuhan lumut kerak di kawasan industri dan Cibubur tidak memiliki pertumbuhan sebaik di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB. Pertumbuhan lumut kerak diduga akan kurang baik salah satunya apabila daerahnya telah tercemar.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, Spesies II dapat ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien. Berdasarkan atas nilai frekuensi perjumpaan Spesies II, berturut-turut mulai dari yang terbesar adalah lokasi pengamatan arboretum Cibubur, tegakan mahoni Cikabayan dan kawasan industri Pulo Gadung. Hal tersebut diduga dapat terjadi karena adanya pengaruh umur tanaman, pada arboretum umur tanaman lebih tua dibanding dengan tegakan mahoni Cikabayan.

Spesies IV ditemukan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Dengan nilai frekuensi perjumpaan Spesies IV di arboretum Cibubur tidak sebesar pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan yaitu sebesar 73,21 %. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan mahoni Cikabayan.

Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies III ditemukan dengan nilai frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak lainnya. Menurut Boonpragob (2003), Dirinaria picta dapat ditemukan di daerah yang tercemar di Thailand.

Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose memiliki frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas talus yang relatif lebih tinggi dibanding dengan tipe foliose. Hal tersebut mengambarkan bahwa tipe talus crustose mudah tumbuh. Boonpragob (2003) mengatakan bahwa tipe talus crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus lainnya. Hal tersebut terjadi karena lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose terlindung dari potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat tipe ini memiliki sifat melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus homoiomerous, yaitu keadaan dimana phycobiont (alga) berada di sekitar hifa (Baron, 1999).

Tipe talus foliose memiliki tipe jaringan talus heteromerous, sehingga talus ini terdiri dari beberapa lapisan. Tipe talus ini dapat memelihara kelembaban, yang dilakukan pada lapisan medula. Menurut Baron (1999), meskipun lumut kerak tidak dapat mengendalikan kadar air, seperti tumbuhan tingkat tinggi namun tidak berarti bahwa tidak ada variasi dalam genus dan spesies lumut kerak yang berbeda dalam mengabsorbsi dan melepaskan air. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab yang memungkinkan tipe talus ini mampu hidup dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Prasetyo & Hastuti (1992), yang menunjukan hasil penelitiannya terhadap lumut kerak dengan tipe morfologi talus foliose dapat mengabsorbsi kation-kation logam dengan senyawa kimia yang berbeda.

Menurut Ahmadjian (1967) diacu dalam Soedaryanto et al. (1992), mengatakan bahwa pada umumnya lumut kerak tahan terhadap perubahan temperatur dan kekeringan, tetapi ada juga yang tidak tahan serta terdapat beberapa jenis lumut kerak yang mampu hidup di daerah industri serta kota besar. Sehingga jenis lumut kerak yang ada pada kawasan industri Pulo Gadung dengan kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang merupakan jenis yang mampu hidup dengan kondisi kandungan polutan relatif memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut dapat dilihat pada hasil pengukuran kualitas udara ambien pada masing-masing lokasi pengamatan.

Dokumen terkait