• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis lumut Kerak yang ditemukan a. Morfologi Talus Lumut Kerak

Spesies VIII dan Spesies IX secara makroskopik memiliki tipe talus foliose, akan tetapi memiliki warna yang relatif berbeda. Pada spesies VIIII talus

1. Jenis lumut Kerak yang ditemukan a. Morfologi Talus Lumut Kerak

Berdasarkan morfologi talus, pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak yang terdiri atas 2 jenis memiliki morfologi talus crustose (Spesies I dan Spesies II) dan 1 jenis lumut kerak talus foliose (Spesies III). Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur ditemukan 2 jenis lumut kerak yang memiliki tipe morfologi talus foliose (Spesies IV dan Spesies V) dan 4 jenis lumut kerak tipe crustose (Spesies II, Spesies VI, Spesies VII dan Spesies XII). Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan, ditemukan 10 jenis lumut kerak dengan 3 jenis lumut kerak yang tergolong kelompok foliose (Spesies IV, Spesies VIII dan Spesies IX) dan 7 jenis tipe morfologi talus crustose (Spesies I, Spesies II, Spesies VI, Spesies VII, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII).

Beberapa jenis lumut kerak belum semua dapat teridentifikasi, karena lumut kerak tersebut belum memiliki struktur alat reproduksi yaitu tubuh buah. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Purvis (2000) bahwa lumut kerak mempunyai rata-rata pertumbuhan yang lambat pada masing-masing habitatnya sehingga kebanyakan lumut kerak yang ditemukan belum memiliki alat reproduksi (tubuh buah).

Menurut Baron (1999), tipe talus crustose memiliki ciri-ciri bentuk seperti kerak yang yang melekat pada substratnya. Tipe talus foliose memiliki ciri-ciri dengan talus mudah terkelupas dari substratnya. Perbedaan tipe morfologi talus lumut kerak dapat dilihat dan ditentukan secara makroskopis.

b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum

Bentuk talus yang ditemukan beragam, terdiri atas bentuk lonjong (memanjang), melingkar/membulat serta bentuk yang tidak teratur. Bentuk talus lumut kerak dengan jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang sama dapat berbeda. Hal tersebut ditentukan oleh faktor tempat tumbuh seperti keadaan permukaan tempat tumbuh. Pada kulit permukaan batang tanaman yang tidak pecah-pecah, pertumbuhan talus lumut kerak dapat utuh dan batas antar koloni terlihat dengan jelas. Secara umum perkembangan talus lumut kerak akan cenderung membulat. Pada kulit batang pohon yang pecah-pecah, perkembangan bentuk talus lumut kerak cenderung akan mengikuti pola pecahan permukaan kulit batang pohon tersebut.

Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, permukaan kulit batang angsana relatif tidak pecah-pecah sehingga memungkinkan untuk talus berkembang ke segala arah, sedangkan pada tanaman mahoni di lokasi arboretum Cibubur memiliki kulit batang yang pecah–pecah. Hal tersebut akan mempengaruhi bentuk talus lumut kerak, sehingga bentuk dan keadaan talus ditentukan oleh keadaan tempat tumbuh yaitu umur dan sifat tanaman itu sendiri sebagai faktor substrat.

Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, bentuk talus yang ditemukan cenderung memiliki bentuk yang relatif membulat (untuk tipe talus foliose) dan pada tipe talus crustose juga cenderung membulat, akan tetapi terkadang memiliki bentuk yang tidak beraturan.

Fink (1961) menyatakan bahwa bentuk talus khususnya untuk tipe talus crustose, akan ditemukan dalam bentuk yang tidak tetap serta beberapa jenis lumut kerak memiliki bentuk talus yang cenderung berbentuk menyerupai lingkaran tetapi juga dapat ditemukan pada keadaan tidak beraturan. Keadaan yang tidak beraturan dapat tumbuh pada permukaan batang kayu, kayu yang sudah lapuk dan batu.

Keadaan talus terlihat dalam berbagai macam keadaan, diantaranya ditemukan utuh, pecah-pecah dan saling tumpang tindih antar satu jenis talus dengan jenis lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pada lokasi arboretum Cibubur dan tegakan mahoni beberapa koloni Spesies VI ditemukan tertindih oleh jenis Spesies IV, akan tetapi keadaan sebaliknya tidak ditemukan. Dari keadaan tersebut, terlihat kemungkinan kolonisasi pada permukaan kulit batang tanaman dimulai dari jenis Spesies VI, kemudian jenis Spesies IV. Namun tidak harus selalu demikian, karena jenis Spesies IV juga dapat ditemukan langsung tumbuh pada permukaan kulit batang.

c. Warna talus secara Umum

Warna talus tidak hanya dapat terjadi pada jenis lumut kerak yang berbeda, namun dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang berbeda. Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar.

Spesies II di lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung memiliki warna lebih muda bila dibanding dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut selain diduga pertumbuhannya kurang baik akibat faktor lingkungan juga dikarenakan umur tanaman di kawasan industri Pulo Gadung lebih muda dibanding dengan umur tanaman yang berada pada lokasi pengamatan lainnya. Warna talus

dapat semakin menggelap seiring dengan bertambahnya umur serta khasnya akan mengikuti tempat kondisi dari tempat tumbuhnya (Fink, 1961) (Gambar 13).

(a) (b)

(c)

Gambar 13. Warna Talus Spesies II. (a) Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung (b) Arboretum Cibubur (c) Tegakan Mahoni Cikabayan

Berbeda halnya dengan Spesies IV (tipe morfologi foliose), spesies ini pada arboretum Cibubur memiliki warna talus yang lebih muda dibanding dengan di lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Hal tersebut diduga karena pengaruh faktor kualitas udara. Umur tanaman sebagai substrat Spesies IV lebih tua dibanding dengan umur tanaman di lokasi tegakan mahoni Cikabayan, sehingga hal tersebut diduga disebabkan pengaruh faktor kualitas udara. Noer (2004) menyatakan bahwa lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya akan kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah (Gambar 14).

Perubahan warna dapat terjadi karena adanya perubahan kadar klorofil pada talus lumut kerak, yang disebabkan gas-gas yang bersifat racun/pencemar (Kovaks, 1992; Hawksworth & Rose, 1976 diacu dalam Wijaya, 2004). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Wijaya (2004), bahwa jenis P. wallichiana (tipe morfologi foliose) di wilayah Alun-alun, Jamika, Mohamad Toha dan Antapani yang

memiliki talus berwarna hijau pucat keabuan sampai putih dan abu-abu keputihan nampaknya sudah terpengaruh oleh pencemar yang berasal dari kendaraan bermotor dan industri kecil maupun besar.

(a) (b)

(c )

Gambar 14. Warna Talus Spesies IV. (a) Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur (b) dan (c) Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan

d. Ciri mikroskopik talus lumut kerak

Menurut Baron (1999), sebagian besar elemen fungi menyusun jaringan talus lumut kerak dengan sel-sel alga menyusun sekitar 5-15% dari talus. Pada lumut kerak, penyatuan cabang hifa fungi membentuk hubungan benang seperti rambut yang merupakan bagian terbesar dalam menyusun talus. Benang-benang hifa akan terbagi dalam bentuk sekat atau dinding pemisah, namun dapat menyalurkan substansi sel dari satu sel ke sel lainnya. Menurut Dharmaputra et al. (1989), hifa adalah satuan struktur pada fungi (Gambar 15).

Gambar 15. Jalinan Hifa pada Tipe Talus Foliose

Aspek mikroskopik dilakukan untuk mengetahui lapisan-lapisan yang menyusun talus lumut kerak. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis yang dilakukan, sebagian besar tipe morfologi talus lumut kerak yang ditemukan termasuk ke dalam jenis talus crustose dan 3 jenis diantaranya termasuk crustose lirella. Pengamatan secara mikroskopis pada tipe morfologi talus crustose sulit untuk dilakukan, karena talusnya yang tipis dan melekat pada substrat. Ahmadjian & Hale (1973) menyatakan pada umumnya tipe talus crustose hanya terbagi ke dalam lapisan korteks atas, lapisan alga, dan medula; tidak pernah memiliki lapisan korteks bawah sehingga pelekatan dengan substratnya langsung menggunakan medula; bersifat homoiomerous, artinya tidak memiliki stratifikasi pada lapisan-lapisan tersebut, miselium menyebar di atas substrat berupa filamen tipis kusut yang menyelubungi alga. Adapun ciri-ciri struktur mikroskopis pada masing-masing jenis lumut kerak yang ditemukan disajikan pada Lampiran 3.

Salah satu jenis lumut kerak yang ditemukan saat pengamatan diantaranya adalah dari marga Graphidaceae (Spesies I, Spesies XI dan Spesies XII) dan dari suku Pyrenorales (Spesies II dan Spesies VII). Menurut Trisusanti (2003), Fissurina, Graphis, Phaeographis, Graphina, dan Phaeographina memiliki apotesium tunggal dengan memiliki ukuran yang pendek sampai panjang.

Apotesia pada kelompok crustose lirella dapat berada dalam bentuk tunggal atau berkelompok (mesokarp). Pada pengamatan terhadap jenis lumut kerak crustose lirela yang ada termasuk ke dalam bentuk apotesium tunggal. Menurut Dharmaputra et al. (1989); Misra & Agriwal (1978), apotesia merupakan badan buah yang berbentuk seperti mangkuk yang menonjol di permukaan atas talus, terdapat askokarp dengan hymenium terbuka pada waktu askospora menjadi matang.

Menurut Trisusanti (2003); Fink (1961), spesies I memiliki apotesium tunggal dengan ukuran pendek sampai panjang; askospora berwarna kecokelatan dengan tipe askospora berupa fragmospora (askospora dengan sekat melintang); dan menurut spesies ini memiliki phycobiont Trentepohlia yang termasuk kedalam kelompok alga hijau (Chlorophyta), phycobiont ini banyak ditemukan di daerah tropis.

Tipe talus foliose secara makroskopis memiliki bentuk seperti lembaran daun, sedangkan secara mikroskopis tipe talus ini memiliki batasan antar lapisan tidak terlalu terlihat jelas. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Fink (1961), yang menyatakan bahwa lapisan dermis pada kebanyakan tipe talus foliose tidak dapat dibedakan dengan lapisan atasnya. Namun, pada tipe talus ini terlihat adanya rizoid, yaitu struktur yang terbentuk dari kumpulan hifa fungi yang berfungsi untuk memperkuat kedudukan talus sehingga dapat melekat pada substrat. Meskipun struktur ini mirip akar, akan tetapi tidak berperan penting sebagai penyalur bahan mineral seperti fungsi akar (Fink, 1961; Baron, 1999).

Menurut Baron (1999), pada tipe talus foliose terbentuk rizoid yang terdiri dari kumpulan hifa yang dapat berbentuk bercabang maupun sederhana. Akan tetapi tidak semua jenis lumut kerak pada tipe talus foliose memiliki rizoid (Gambar 16).

Gambar 16. Rizoid pada tipe talus foliose

Hasil identifikasi terhadap jenis–jenis lumut kerak yang ditemukan yaitu menurut Fink (1961), untuk jenis P. cf austrosinensis Zahllar, Parmelia sp. dan Heterodermia sp. termasuk ke dalam kelas Ascolichens, subkelas Gymnocarpeae, marga Parmeliaceae, sedangkan Graphidaceae dan Pheographis sp. termasuk ke dalam kelas Ascolichens subkelas Gymnocarpeae, marga Graphidaceae. Sedangkan Strigula sp. termasuk ke dalam bangsa Pyrenocarpaceae, suku Strigulaceae.

Menurut Baron (1999), untuk mengidentifikasi jenis alga pada lumut kerak, khususnya sampai tingkat jenis cukup sulit. Menurut Fink (1960), ciri-ciri mikroskopis beberapa golongan lumut kerak adalah sebagai berikut :

1. Kelas Ascolichens ; memiliki ciri–ciri yang membedakan dari kelas lainnya yaitu spora yang dihasilkan dalam askus.

2. Bangsa Lecanorales ; ciri utama adalah hymenium yang dihasilkan dalam struktur yang terbuka, yang menyerupai bentuk cawan.

3. Suku Parmeliaceae (Lecanorales) ; ciri yang paling membedakan dari suku lain yang ada pada bangsa Lecanorales adalah bahwa suku Parmeliaceae merupakan lumut kerak bertalus foliose dan inang alga termasuk golongan Chlorophyceae. Ciri lain yaitu struktur talus berlapis, pada permukaan bawah terdapat rizoid, yang berfungsi untuk melekatkan pada substrat, cyphella atau penutup padat yang merupakan jalinan hifa fungi padat yang berwarna gelap serta spora tidak bersepta.

e. Kulit batang tanaman sebagai substrat

Pada penelitian ini lumut kerak yang diamati adalah lumut kerak yang menempel pada kulit pohon (corticolous), sehingga kulit pohon tersebut akan menjadi substrat bagi lumut kerak. Sifat dan kondisi dari kulit batang tanaman secara langsung akan mempengaruhi bentuk dan keadaan talus yang berkembang. Menurut Boiret (1921) diacu dalam Tophan (1977) diacu dalam Januardania (1995), menyatakan bahwa perbandingan antara garis tengah mendatar dan tegak pada bentuk talus dipengaruhi oleh jenis tempat tumbuh dalam hal ini adalah permukaan kulit pohon.

Dari hasil penelitian ditemukan, Spesies V (Parmeliaceae) dan Spesies IV (Parmeliaceae) dapat tumbuh pada kulit batang tanaman angsana. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wijaya (2004) yang menggunakan jenis lumut kerak P. wallichiana (Parmeliaceae) yang menjadikan tanaman jenis rasamala dan angsana sebagai substrat.

f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak

Luas talus dihitung berdasarkan luas koloni talus yang menempel pada batang tanaman dengan ketinggian sampai 150 cm dari permukaan tanah. Pada Tabel 12, terlihat bahwa lokasi pengamatan arboretum Cibubur memiliki rata-rata luas talus lumut kerak yang relatif lebih besar. Hal tersebut dikarenakan umur tanaman yang berada pada lokasi pengamatan yang akan mempengaruhi ukuran talus lumut kerak. Menurut Fitting et al. (1954) & Ryan (1986) diacu dalam

Ronoprawiro (1989), bahwa talus lumut kerak memiliki pertumbuhan yang pada umumnya sangat lambat, hanya kurang dari 1 cm dalam setahun dan tubuh buah fungi baru dapat terbentuk setelah bertahun-tahun.

Adanya perbedaan antara luas talus lumut kerak pada batang pohon dengan letak dan jarak tempat tumbuh yang berbeda selain karena adanya pengaruh sumber polutan pada kawasan industri dan arboretum Cibubur diduga juga disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti tingkat kelembaban udara, umur pohon, dan jenis tanaman sebagai substrat.

Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies I merupakan spesies yang memliki penyebaran talus yang relatif lebih sering dijumpai dibanding dengan jenis lainnya yang berada pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung. Hal tersebut dapat dilihat pada frekuensi perjumpaan talus dan rata-rata luas talus berturut-turut dari yang terbesar yaitu Spesies I sebesar 24,4 % dengan rata-rata luas talus 6,489 cm2. Spesies II memiliki frekuensi perjumpaan sebesar 8,89 % dengan rata-rata luas talus 0,39 cm2 dan Spesies III memiliki frekuensi perjumpaan sebesar 6,67 % dengan rata-rata luas talus 1,8367 cm2.

Pada 5 meter dari titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) jenis lumut kerak yang ditemukan adalah Spesies III, akan tetapi pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa rata-rata luas talus Spesies III pada titik pengamatan membelakangi titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2 , memiliki nilai yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2 (Tabel 12). Hal tersebut diduga tejadi karena pengaruh zat pencemar.

Pada jarak 10 meter hanya ditemukan 2 jenis lumut kerak. Spesies I tidak memiliki perbedaan nilai rata-rata talus talus yang berbeda jauh antara membelakangi dan menghadap titik pengukuran kualitas udara. Demikian pula dengan jenis Spesies II memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif lebih besar pada titik pengamatan yang menghadap jalan raya meskipun tidak terlalu berbeda jauh.

Pada jarak 25 meter, Spesies I memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif lebih besar pada titik pengamatan yang membelakangi jalan raya yaitu sebesar 5,8412 cm2. Sedangkan Spesies II, memiliki nilai rata-rata luas talus pada titik pengamatan yang menghadap jalan raya sebesar 0,5412 cm2 dan yang titik membelakangi jalan raya 0,2235 cm2.

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu berbeda jauh. Hal tersebut diduga karena dalam kawasan industri yang memiliki sumber polutan titik dan bergerak (transportasi) akan memberi pengaruh pada lingkungan sekitar dan tidak hanya memberikan pengaruh pada tanaman yang berada pada jarak 5 m, 10 m dan 25 m.

Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur tanaman yang akan mempengaruhi ukuran keliling batang tanaman sehingga diduga akan meningkatkan luasan talus lumut kerak.

Frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas koloni talus lumut kerak berturut-turut dari yang tertinggi: Spesies II (73,25%) dengan rata-rata luas talus 189,9012 cm2, Spesies VI (63,95%) dengan rata-rata luas talus 100,8860 cm2 dan Spesies VII (60,46%) dengan rata-rata luas talus 40,1105 cm2.

Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, Spesies IV dan Spesies V memiliki nilai luas talus yang lebih tinggi pada bagian atau letak batang pohon yang menghadap jalan. Rata-rata luas koloni talus berturut-turut pada Spesies IV dan Spesies V, yaitu Spesies IV (395,25 cm2); Spesies V (330,45 cm2) pada bagian batang yang menghadap titik pengukuran kandungan udara ambien dan Spesies IV (6,24 cm2); Spesies V (0,62 cm2) pada bagian batang yang membelakangi titik pengukuran kandungan udara.

Nilai luas talus yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak dari jalan. Hal tersebut terjadi diduga karena faktor substrat, yaitu kulit tanaman angsana. Kulit batang tanaman tersebut memiliki kemampuan untuk menyerap air lebih besar bila dibanding dengan jenis tanaman lainnya yang berada pada jarak 10 meter dan 25 meter. Terlihat pada keadaan batang tanaman yang basah dan dengan kulit yang cukup lunak. Hal tersebut didukung oleh pernyataan berbagai jenis pohon memiliki sifat kimia dan fisika yang berbeda (LeBlanc & De Sloover, 1970 diacu dalam Lubis, 1996), sebagaimana juga diungkapkan oleh Hale (1983) diacu dalam Lubis (1996) yang menyatakan bahwa tiap jenis pohon memiliki kemampuan menyimpan air yang berbeda-beda, sangat tergantung pada porositas dan tekstur batang. Pada pohon yang memiliki kulit lunak, kapasitas penyimpanan air lebih dan laju penguapan lebih lambat, bila dibandingkan dengan pohon yang berkulit keras. Akibat faktor-faktor tersebut, setiap jenis lumut kerak lebih menyukai jenis-jenis pohon yang kondisinya sesuai untuk pertumbuhannya.

Pada tegakan mahoni Cikabayan, nilai luas talus pada tiap jenis tidak terlalu berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena tempat tumbuh pada tiap letak dan jarak yang dipilih untuk pengamatan memiliki keadaan yang relatif sama untuk perkembangan talus. Meskipun rata-rata luas talus pada batang kulit tanaman tidak sebesar di arboretum Cibubur, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan lebih bervariasi.

2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak

Dokumen terkait