• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.6. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran

Setelah data diperoleh, maka data kebisingan dan gangguan pendengaran telinga kanan dan telinga kiri harus diuji apakah telah berdistribusi normal. Untuk

Gangguan

menguji kenormalan data digunakan One Sample Kolmogorof Smirnov Test. Dan untuk melihat hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran tenaga kerja bagian produksi di PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir tahun 2017, maka dilakukan Uji Korelasi Spearman dengan taraf signifikansi ( α ) sebesar 0,05.

Hasil pengujian statistik hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.11. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017

No. Hubungan Variabel N R p

1.

2.

Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Telinga Kanan

Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Telinga Kiri

Untuk telinga kanan, didapat korelasi positif antara intesitas kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja, artinya terdapat hubungan antara kedua variabel yaitu kenaikan intensitas kebisingan akan diikuti naiknya nilai ambang gangguan pendengaran pada tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari hasil koefisien korelasi sebesar 0,756. Dari hasil uji korelasi diatas, didapat p < 0,05 yang artinya ada hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran.

Untuk telinga kiri, didapat korelasi positif antara intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja, artinya terdapat hubungan antara kedua variabel yaitu kenaikan intensitas kebisingan akan diikuti naiknya nilai ambang gangguan pendengaran pada tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari hasil koefisien

korelasi sebesar 0,679. Dari hasil uji korelasi diatas, didapat p < 0,05 yang artinya ada hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran.

BAB V PEMBAHASAN

5.1.Karakteristik Responden Pabrik Kelapa Sawit 5.1.1. Umur Sampel

Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa sampel terbanyak terdapat pada kelompok umur 36-40 tahun sebanyak 11 orang (50,0%) dan kelompok umur 41-45 tahun sebanyak 7 orang (31,8%).

Secara umum faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya penurunan pendengaran, walaupun bukan merupakan faktor yang terkait langsung dengan kebisingan di tempat kerja.

Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia dapat terjadi pada telinga. Membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk di dalamnya gendang telinga menjadi kurang fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang kecil yang terdapat di telinga bagian tengah juga menjadi lebih kaku dan sel-sel rambut di telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mengalami kerusakan.

Penyebab paling umum terjadinya gangguan pendengaran terkait usia adalah presbycusis. Presbycusis ditandai dengan penurunan persepsi terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan bunyi.

Presbycusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 dB setiap tahun, dimulai dari usia 40 tahun (Djojodibroto, 1999). Namun apabila seseorang sering terpapar kebisingan diatas 85 dB, walaupun usianya belum sampai 40 tahun, kemampuan pendengarannya dapat menurun. Hal ini dapat dilihat dari

tabel 4.3. dimana pada sampel dengan umur dibawah 40 tahun yaitu kelompok umur 36-40 tahun dari 11 sampel sebanyak 8 orang mengalami tuli ringan pada telinga kanannya, dan pada telinga kiri 7 orang mengalami tuli ringan.

Usia diatas 40 tahun ditambah terpapar kebisingan yang tinggi dapat memperparah tingkat ketulian, hal ini dapat dilihat untuk untuk kelompok umur 41-45 tahun dari 7 orang sampel, pada telinga kanan terdapat 3 orang mengalami tuli ringan dan pada telinga kiri 2 orang mengalami tuli ringan bahkan 1 orang mengalami tuli berat. Dalam hal ini faktor lain yaitu tingkat kebisingan mempengaruhi tingkat ketulian tersebut (Boeis, 1997).

5.1.2. Masa Kerja Sampel

Lama bekerja sampel yang lebih dari 8 jam sehari menyebabkan sampel terpapar kebisingan lebih lama. NAB kebisingan menurut Permenaker RI No.13/MEN/X/2011 adalah 85 dB untuk 8 jam kerja perhari. Lama bekerja sampel yang melewati NAB dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran pada sampel.

Pada tabel 4.9. dapat dilihat untuk gangguan pendengaran, pada telinga kanan terdapat 3 orang dengan masa kerja 11-15 tahun yang mengalami tuli ringan dan pada telinga kiri 2 orang mengalami tuli ringan, masa kerja 16-20 tahun pada telinga kanan 8 orang dengan mengalami tuli ringan dan pada telinga kiri 7 orang mengalami tuli ringan, 1 orang mengalami tuli berat.

Masa kerja yang lama di tempat kerja yang bising merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan pendengaran. Fahri (2009) dalam penelitiannya

menemukan ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja. Tetapi hal ini tidak berarti semakin lama masa kerja, tingkat kemampuan pendengarannya lebih buruk dibandingkan dengan yang masa kerjanya lebih sedikit, hal ini dapat dilihat dari hasil dimana masa kerja 11-15 tahun terdapat 1 orang yang pendengarannya normal pada telinga kanan dan 2 orang normal pada telinga kiri, pada masa kerja 16-20 tahun terdapat 7 orang mempunyai pendengaran yang normal.

(Soepardi, dkk. 2012) mengatakan masa kerja yang lama di tempat kerja yang bising merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan pendengaran.

Tetapi hal ini tidak berarti semakin lama masa kerja, tingkat kemampuan pendengarannya lebih buruk dibandingkan dengan yang masa kerjanya lebih sedikit. Penurunan kemampuan pendengaran akibat bising dapat terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau lebih. Pekerja yang menjadi sampel dalam penelitian ini telah memiliki masa kerja yang lama (>10 tahun), hal ini menyebabkan semua sampel beresiko mengalami penurunan kemampuan pendengaran.

5.1.3. Stasiun Kerja

Dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa intensitas kebisingan di beberapa stasiun kerja bagian produksi ini telah melewati NAB kebisingan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.13/MEN/X/2011 yaitu 85 dB untuk waktu kerja 8 jam sehari. Untuk stasiun kamar mesin dan kernel intensitas kebisingannya diatas 85 dB untuk stasiun klarifikasi dan press mempunyai

intensitas kebisingan dibawah 85 dB. Stasiun ini tidak menggunakan mesin tetapi sumber kebisingannya berasal dari mesin-mesin pada stasiun lain.

Stasiun pabrik biji (kernel) mempunyai intensitas kebisingan diatas 85 dB.

Hal ini disebabkan oleh penggunaan mesin-mesin seperti depericarper, polishing drum dan ripple mill. Selain itu posisi stasiun pabrik biji berada dekat dengan kamar mesin yang menyebabkan intensitas kebisingannya cukup tinggi. Dengan posisi mesin yang saling berdekatan, hampir seluruh pekerja beresiko terpapar kebisingan yang tinggi. Walaupun ada stasiun kerja yang tidak menggunakan mesin, tetap saja intensitas kebisingannya cukup tinggi. Hal ini disebabkan letak stasiun kerja yang berdekatan dan berada dalam satu lokasi. Adanya kebijakan perusahaan yang melakukan pertukaran pekerja antar stasiun juga menyebabkan setiap pekerja pernah terpapar kebisingan.

Pada stasiun kernel dan kamar mesin terdapat 11 orang mengalami tuli ringan pada telinga kanannya, 9 orang mengalami tuli ringan pada telinga kirinya dan terdapat 1 pekerja di stasiun kamar mesin mengalami tuli berat pada telinga kirinya. Pekerja pada stasiun ini merupakan sampel yang paling banyak mengalami gangguan pendengaran 11 pekerja pada telinga kanan dan 10 pekerja pada telinga kiri, dikarenakan kondisi lingkungan yang sangat bising.

Beberapa stasiun seperti kamar mesin, stasiun pabrik biji (kernel), stasiun klarifikasi dan stasiun boiler lokasinya saling berdekatan sehingga mesin-mesin yang beroperasi mengeluarkan intensitas kebisingan cukup tinggi, pekerja juga jarang menggunakan APT saat bekerja. Karena jenis APT yang diberikan perusahaan kurang nyaman untuk dipakai, sehingga beberapa pekerja memilih

untuk tidak menggunakan APT dan ada yang menggunakan kapas sebagai penyumbat telinga.

Beberapa pekerja tidak mengetahui bahwa dengan menggunakan kapas saja tidak dapat mengurangi paparan bising yang ada di lingkungan kerja, hal tersebut menyebabkan pekerja pada kedua stasiun ini lebih beresiko mengalami gangguan pendengaran, untuk itu kepada perusahaan disarankan melakukan pengawasan terhadap pekerja dalam penggunaan alat pelindung telinga. Bagi pekerja di stasiun pabrik biji (kernel) dan kamar mesin supaya di ganti jenis APT nya menjadi tutup telinga (ear muff), tutup telinga ini biasanya lebih efektif dari pada sumbat telinga (ear plug) dan dapat lebih besar menurunkan intensitas kebisingan yang sampai ke saraf pendengar serta nyaman untuk digunakan ketika bekerja.

5.1.4. Gangguan Pendengaran

Dari pengukuran audiometri, dapat dilihat klasifikasi tingkat kemampuan pendengaran pekerja. Dari tabel 4.7. telinga kanan sampel lebih banyak mengalami gangguan pendengaran dibandingkan telinga kiri. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendengaran normal untuk telinga kanan sebanyak 11 orang (50,0%), lebih sedikit daripada jumlah pendengaran normal untuk telinga kiri sebanyak 12 orang (54,5%). Tuli ringan untuk telinga kanan jumlahnya lebih banyak yaitu sebanyak 11 orang (50,0%) dibandingkan tuli ringan untuk telinga kiri sebanyak 9 orang (40,9%). Untuk tuli sedang pada telinga kanan dan telinga kiri tidak ada.

Untuk tuli berat pada telinga kanan tidak ada, sedangkan pada telinga kiri

sebanyak 1 orang (4,5%) dan untuk tuli sangat berat pada telinga kanan dan telinga kiri tidak ada.

Pekerja yang telinga kanan dan kirinya normal keseluruhan besar bekerja pada stasiun yang intensitas kebisingannya di bawah 85 dB. Untuk tuli ringan pada telinga kanan terdapat pada 11 orang yang bekerja di stasiun dengan intensitas kebisingan diatas 85 dB, yaitu pada pekerja stasiun kamar mesin dan stasiun pabrik biji (kernel) dengan intensitas kebisingan masing-masing 86,35 dB, umur diatas 36 tahun dengan masa kerja diatas 11 tahun. Untuk tuli ringan pada telinga kiri terdapat 9 orang yang bekerja di stasiun dengan intensitas kebisingan diatas 85 dB, yaitu pada pekerja stasiun kamar mesin dan pabrik biji (kernel) dengan intensitas kebisingan 86,35 dB, dengan umur diatas 36 tahun dan masa kerja lebih dari 11 tahun.

Terdapat 1 orang pekerja mengalami tuli berat pada telinga kirinya dan tuli ringan pada telinga kanan. Pekerja tersebut bekerja pada stasiun kamar mesin dengan intensitas kebisingan 86,35 dB, masa kerja yang sudah cukup lama hampir 15 tahun serta usia yang sudah diatas 40 tahun menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pekerja tersebut mengalami gangguan pendengaran pada kedua telinganya. Pekerja juga memiliki riwayat gangguan pendengaran pada telinga kirinya, hal ini disebabkan masuknya cairan kedalam telinga namun tidak pernah diobati. Sehingga saat ini gangguan pendengaran yang dialaminya semakin parah akibat terpaparnya kebisingan di tempat kerja.

Stasiun kamar mesin lokasinya sangat dekat dengan stasiun pabrik biji (kernel) dan boiler yang juga menghasilkan intensitas kebisingan cukup tinggi

(impulsive noise). Namun ada 2 orang pekerja pada stasiun kamar mesin masih memiliki pendengaran yang normal pada telinga kanan dan kirinya, hal ini dipengaruhi karena pekerja rutin menggunakan APT ketika bekerja dan usianya yang masih dibawah 40 tahun. Menurut Achmadi (2013), bahwa usia merupakan faktor yang tidak secara langsung memengaruhi keluhan subjektif gangguan pendengaran akibat kebisingan, namun pada usia di atas 40 tahun akan lebih mudah mengalami gangguan pendengaran dan rentan terhadap trauma akibat bising. Penurunan daya dengar secara alamiah yang diasumsikan mengakibatkan peningkatan ambang pendengaran 0,5 dB(A) tiap tahun sejak usia 40 tahun.

Terdapat perbedaan pada gangguan pendengaran antara telinga kanan dan telinga kiri, hal ini dikarenakan posisi pekerja lebih sering mengahadap ke sebelah kanan ketika sehingga telinga kanan lebih sering terpapar kebisingan.

5.2.Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Kemampuan Pendengaran Salah satu faktor lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja dapat mengakibatkan mengurangi kenyamanan, ketenangan kerja, mengganggu indera pendengaran, mengakibatkan penurunan daya dengar dan bahkan mengakibatkan ketulian menetap kepada tenaga kerja yang terpapar kebisingan.

Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/NIHL) adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak disadari karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga.

Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas

bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat berpengaruh (Manoppo, dkk. 2013).

Pendengaran normal mempunyai nilai ambang batas pendengaran dari 0 dB sampai 25 dB. Tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran akibat bising apabila nilai ambang pendengarannya diatas 25 dB. Dari tabel 4.7. dapat dilihat dari 22 sampel, sebanyak 11 sampel mengalami gangguan pendengaran untuk telinga kanan dan 10 sampel mengalami gangguan pendengaran untuk telinga kiri.

Gangguan pendengaran terjadi secara perlahan, sehingga hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya. Ketika penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya penurunan kemampuan pendengaran sudah dalam tahap yang tidak dapat disembuhkan.

Dari hasil pengukuran diperoleh sampel yang bekerja pada stasiun yang memiliki intensitas kebisingan lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran, hal tersebut juga dipengaruhi dengan lama paparan yang diperoleh pekerja, masa kerja yang cukup lama serta kurangnya pemakaian alat pelindung telinga ketika bekerja. Dalam hal ini masa kerja juga merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat penurunan pendengaran. Masa kerja berpengaruh besar terhadap kondisi temporary threshold shift (TTS) yang dialami pekerja. Ketika kelompok pekerja yang menderita TTS banyak dengan masa kerja pekerja yang lama maka akan meningkatkan jumlah gangguan pendengaran pada pekerja.

Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa terdapat perilaku buruk pekerja yaitu tidak selalu menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja di tempat yang bising. Pekerja tersebut beralasan bahwa APT yang diberikan tidak nyaman

dan kadang menimbulkan sakit di telinga. Walaupun alat pelindung telinga tersebut tidak nyaman seharusnya pekerja tetap menggunakannya untuk mengurangi paparan bising kontinu yang diterima pekerja. Pada penelitian ini masih ada juga ditemukan beberapa pekerja yang menggunakan pelindung telinga berupa kapas dan headset. Beberapa faktor- faktor diatas merupakan penyebab terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja.

Untuk melihat apakah ada hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi digunakan uji korelasi spearman dengan taraf signifikansi α sebesar 0,05. Dari hasil uji diketahui ada hubungan intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja baik untuk telinga kanan maupun telinga kiri dari nilai p < 0,05, dan didapat korelasi positif antara intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran tenaga kerja, artinya terdapat hubungan antara kedua variabel.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Dari 10 stasiun yang ada di PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua hanya 4 stasiun kerja yang diukur, intensitas kebisingan pada 2 stasiun kerja telah melebihi 85 dB yaitu pada stasiun kamar mesin dan stasiun pabrik biji (kernel). 2 stasiun lainnya memiliki tingkat kebisingan dibawah 85 dB yaitu stasiun klarifikasi dan stasiun press.

2. Dari 22 orang pekerja yang menjadi sampel, sebagian besar sampel mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan maupun telinga kiri.

Pada telinga kanan 11 orang mempunyai pendengaran normal, 11 orang mengalami tuli ringan. Pada telinga kiri 12 orang mempunyai pendengaran normal, 9 orang mengalami tuli ringan dan 1 orang mengalami tuli berat.

3. Ada hubungan antara intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja.

6.2. Saran

1. Perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi kepada pekerja akan pentingnya pemakaian alat pelindung telinga saat bekerja dan dampak yang diakibatkan dari kebisingan terhadap kesehatan bila tidak mengunakan alat pelindung telinga ketika berada di lingkungan kerja yang bising.

2. Melakukan pengawasan terhadap pekerja dalam penggunaan alat pelindung telinga dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak

3. Bagi pekerja yang sudah mengalami gangguan pendengaran agar lebih rutin menggunakan APT ketika bekerja, supaya kondisi pendengaran nya tidak semakin memburuk, dan disarankan bagi pekerja yang mengalami tuli berat untuk mengobati pendengaran nya pada tenaga medis.

4. Bagi perusahaan sebaiknya memberikan APT jenis ear muff untuk pekerja yang berada di stasiun khususnya yang memiliki intensitas kebisingan diatas 85 dB.

5. Perusahaan sebaiknya melakukan pemeriksaan kesehatan telinga secara berkala yaitu sekali 6 bulan kepada pekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 1993. Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia.

Jakarta: Depkes RI. http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-08/S45457Endra%20Muhamad%20Fadillah. Diakses pada tanggal 15 Mei 2017.

American Speech-Language Hearing Association (ASHA). 2011. Type, Degree, and Configuration of Hearing Loss. Audiology Information Series: ASHA.

Anggraeni, D. 2006. Hubungan Antara Lama Pemaparan Kebisingan Menurut Masa Kerja Dengan Keluhan Subyektif Tenaga Kerja Bagian Produksi PT.

Sinar Sosro Ungaran Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Semarang. http://lib.unnes.ac.id/679/1/1249.pdf. Diakses pada tanggal 15 Mei 2017.

Anies. 2009. Kedokteran Okupasi: Berbagai Penyakit Akibat Kerja dan Upaya Penanggulangan dari Aspek Kedokteran. AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta.

Anizar. 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Cetakan Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Candra, B. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Deo, M. 2012. Pengaruh Intensitas Kebisingan terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran pada Tenaga Kerja Bagian Weaving di PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/28454/Pengaruh-Intensitas- Kebisingan-terhadap-Gangguan-Fungsi-Pendengaran-pada-Tenaga-Kerja-Bagian-Weaving-di-PT-Iskandar-Indah-Printing-Textile-Surakarta.

Diakses pada 15 Mei 2017.

Djojodibroto, D. R. 1999. Kesehatan Kerja di Perusahaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

European Agency for Safety and Health at Work. 2008. What Problem Can Noise Cause. Diunduh dari file:///C:/Users/USER/Downloads/Magazine_8_-_Noise_at_work.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2017

Gunawanta. 2002. Kebisingan Pada Industri Dampak dan Strategi Penanggulangannya. Seminar Nasional Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam Menghadapi OTDA dan AFTA. Medan.

Kepmenaker No.13 /MEN/X/2011 Tentang NAB Faktor Fisika dan kimia di

file:///C:/Users/USER/AppData/Local/Temp/PERMENA.pdf. Diakses pada 30 April 2017.

Kusumawati, I. 2012. Hubungan Tingkat Kebisingan di Lingkungan Kerja dengan Kejadian Gangguan Pendengaran pada Pekerja di PT X. Skripsi. Depok:

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320210-S-Indah%20Kusumawati.pdf.

Diakses pada 15 Mei 2017.

Listyaningrum, A. W. 2011. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Ambang Dengar Pada Tenaga Kerja Di PT Sekar Bengawan Kabupaten Karanganyar. Laporan Tugas Akhir. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

https://eprints.uns.ac.id/3763/1/203030811201111431.pdf. Diakses pada 15 Mei 2017.

Manoppo, N. F., Wenny Supit dan Vennetia Danes. 2013. Hubungan Antara Kebisingan Dan Fungsi Pendengaran Pada Petugas PT. Gapura Angkasa

Di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado.

file:///C:/Users/USER/Downloads/3620-6828-1-SM.pdf. Diakses pada 15 Mei 2017.

Notoatmodjo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010 Tentang Alat Pelindung Diri http://www.gmf-aeroasia.co.id/wp-content/uploads/bsk-pdf

manager/125_PERMENAKERTRANS_NO._PER.08_MEN_VII_2010_T ENTANG_ALAT_PELINDUNG_DIRI.PDF. Diakses pada 29 Oktober 2017

Permaningtyas, L. D. 2011. Hubungan Lama Masa Kerja Dengan Kejadian Noise-Induced Hearing Loss Pada Pekerja Home Industry Knalpot Di Kelurahan Purbalingga LOR. Mandala of Health.Vol. 5. No. 3. September 2011: 1-5.

http://fk.unsoed.ac.id/sites/default/files/img/mandala%20of%20health/HU BUNGAN%20LAMA%20MASA%20KERJA%20DENGAN%20KEJADI

AN%20NOISE-INDUCED%20HEARING%20LOSS%20PADA%20PEKERJA%20HOM E%20INDUSTRY%20KNALPOT.pdf. Diakses pada 15 Mei 2017.

Primadona, A. 2012. Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Penurunan Pendengaran Pada Pekerja Di PT. Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang. Skripsi. Universitas Indonesia. Jakarta.

file:///C:/Users/USER/AppData/Local/Temp/digital_20295579-S-Amira%20Primadona.pdf. Diakses pada 25 September 2017.

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D); Alfabeta. Bandung

Salami, I. R. S., dkk. 2015. Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan Kerja.

Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Siregar, M. A. P. 2010. Hubungan Kebisingan Dengan Kemampuan Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit Adolina PTPN IV

Kabupaten Serdang Bedagai

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/29911/Chapter%20 III-VI.pdf?sequence=3&isAllowed=n. Diakses pada tanggal 15 Mei 2017.

Soepardi, E. A. dan Iskandar, N. 2012. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &

Leher Edisi ke tujuh cetakan ke 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Soeripto. 2008. Higene Industri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Soepardi, E. A. dan Iskandar, N. 2001. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &

Leher Edisi ke 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Subaris, H. dan Haryono. 2008. Hygiene Lingkungan Kerja. Cetakan Kedua.

Mitra Cendikia Press, Yogyakarta.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cetakan Kedelapan. Alfabeta, Bandung.

Suma’mur, P. K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).

CV Sagung Seto, Jakarta.

Tambunan, S. 2005. Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational Noise). Andi.

Jakarta.

Utami, I. W. 2010. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran Pada Pengemudi Becak Mesin Di Kota Pematang Siantar http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22165. Diakses pada tanggal 15 Mei 2017.

World Health Organization (WHO). 2015. Grades of Hearing Loss Impairment.

Website: http://www.who.int/deafness/hearing_impairment_grades/en/

Lampiran 1. Master Data

Keterangan : a. Umur

1 = 26-30 tahun 2 = 31-35 tahun 3 = 36-40 tahun 4 = 41-45 tahun b. Masa Kerja

1 = 1-5 tahun 2 = 6-10 tahun 3 = 11-15 tahun 4 = 16-20 tahun c. Stasiun Kerja

1 = Press 2 = Kernel 3 = Klarifikasi 4 = Kamar Mesin d. Intensitas Kebisingan

1 = <= 85 dB 2 = > 85 dB

e. Gangguan Pendengaran Telinga Kanan 1 = Normal

2 = Tuli Ringan 3 = Tuli Sedang

4 = Tuli Berat 5 = Tuli Sangat Berat

f. Gangguan Pendengaran Telinga Kiri 1 = Normal

2 = Tuli Ringan 3 = Tuli Sedang 4 = Tuli Berat 5 = Tuli Sangat Berat

Lampiran 2. Output SPSS

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 26-30 3 13.6 13.6 13.6

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1-5 2 9.1 9.1 9.1

6-10 1 4.5 4.5 13.6

11-15 4 18.2 18.2 31.8

16-20 15 68.2 68.2 100.0

Total 22 100.0 100.0

Stasiun Kerja Sampel

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid press 4 18.2 18.2 18.2

kernel 6 27.3 27.3 45.5

klarifikasi 4 18.2 18.2 63.6

kamar mesin 8 36.4 36.4 100.0

Total 22 100.0 100.0

II. Hasil Pengukuran

Gangguan Pendengaran Telinga Kanan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Normal 11 50.0 50.0 50.0

Tuli Ringan 11 50.0 50.0 100.0

Total 22 100.0 100.0

Gangguan Pendengaran Telinga Kiri

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent