• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA SAWIT PT. SALIM IVOMAS PRATAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA SAWIT PT. SALIM IVOMAS PRATAMA"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA

SAWIT PT. SALIM IVOMAS PRATAMA Tbk, PERKEBUNAN SUNGAI DUA KABUPATEN ROKAN HILIR RIAU

TAHUN 2017

SKRIPSI

OLEH:

RUTH DAMERIA MARPAUNG NIM. 131000279

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA

SAWIT PT. SALIM IVOMAS PRATAMA Tbk, PERKEBUNAN SUNGAI DUA KABUPATEN ROKAN HILIR RIAU

TAHUN 2017

Skripsi ini diajukan sebagai Salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

RUTH DAMERIA MARPAUNG NIM. 131000279

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya mengatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI BAGIAN PRODUKSI PABRIK KELAPA SAWIT PT. SALIM IVOMAS PRATAMA Tbk, PERKEBUNAN SUNGAI DUA KABUPATEN ROKAN HILIR RIAU TAHUN 2017” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Januari 2018 Yang Membuat Pernyataan

Ruth Dameria Marpaung

(4)
(5)

ABSTRAK

Kebisingan di tempat kerja dapat mengurangi ketenangan kerja, juga mengakibatkan penurunan daya dengar dan akhirnya dapat mengakibatkan ketulian menetap kepada tenaga kerja yang terpapar kebisingan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik dengan desain penelitian cross sectional, penelitian dilakukan di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk mulai Februari 2017 sampai dengan selesai. Populasi penelitian yaitu pekerja bagian produksi di 4 stasiun berbeda sebanyak 22 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 22 orang.

Hasil pengukuran intensitas kebisingan pada 4 stasiun diperoleh dari perusahaan. Stasiun kamar mesin dan kernel memiliki intensitas kebisingan diatas Nilai Ambang Batas (85 dB) sedangkan stasiun press dan klarifikasi tingkat kebisingannya masih dibawah Nilai Ambang Batas (85 dB). Untuk pemeriksaan gangguan pendengaran menggunakan audiometer oscilla SM 950, untuk telinga kanan dari 22 orang diperoleh 11 orang mempunyai pendengaran normal dan 11 orang mengalami tuli ringan, untuk telinga kiri dari 22 orang diperoleh 12 orang mempunyai pendengaran normal, 9 orang mengalami tuli ringan dan 1 orang mengalami tuli berat. Hasil uji Korelasi Spearman menunjukkan bahwa ada hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja ditunjukkan dengan p = 0,000 untuk telinga kanan dan p = 0,001 untuk telinga kiri.

Kepada perusahaan disarankan untuk mengadakan penyuluhan dan sosialisasi kepada pekerja akan pentingnya pemakaian alat pelindung telinga saat bekerja di lingkungan kerja yang bising.

Kata kunci : Kebisingan, Gangguan Pendengaran

(6)

ABSTRACT

Noise at work can reduce working calm, also resulting in decreased hearing power and may eventually lead to persistent deafness to exposed workforce. The purpose of this study is to determine the relationship of noise with hearing loss in the labor of production at PT. Salim Ivomas Pratama Tbk.

This research uses analytic survey type research with cross sectional research design, research done in PT. Salim Ivomas Pratama Tbk from February 2017 to completion. The research population is production workers in 4 different stations as many as 22 people. Sampling technique in this study is the total sampling and obtained the number of samples of 22 people.

The result of noise intensity measurement at 4 stations was obtained from the company. The engine room and kernel stations have a noise intensity above the Threshold Threshold (85 dB) while the noise and clarification stations are below the Threshold Limit Value (85 dB). For hearing loss examination using audiometer oscilla SM 950, for the right ear of 22 people obtained 11 people had normal hearing and 11 people had light deafness, for the left ear of 22 people obtained 12 people had normal hearing, 9 people had light deafness and 1 person experiencing severe deafness. Spearman Correlation test results show that there is a noise relationship with hearing loss in labor shown with p = 0.000 for the right ear and p = 0.001 for the left ear.

To the company it is advisable to conduct counseling and socialization to the workers about the importance of using ear protective equipment while working in noisy working environment.

Keywords: Noise, Hearing Loss

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran Pada Tenaga Kerja Di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Perkebunan Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Riau Tahun 2017”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada program studi strata 1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ir. Kalsum, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(8)

5. dr. Makmur Sinaga, MS selaku Dosen Penguji I Skripsi yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Arfah Mardiana Lubis, M. Psi. selaku Dosen Penguji II Skripsi yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian., M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi selama studi di FKM USU.

8. Seluruh Dosen FKM USU dan Staf FKM USU yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di FKM USU.

9. Bapak Rozikin selaku Manager PKS Sungai Dua Factory dan Bapak Ramses Simanjuntak selaku Askep PKS Sungai Dua Factory yang telah banyak memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis selama penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh Staff dan Karyawan PKS Sungai Dua Factory yang telah banyak memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis selama penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabat yang saya kasihi, terkhusus Lusiyanti Simamora, Melfa Harefa, Lastiar Marpaung, Sara Tamba, Hillary Siagian, Sri Sianturi, Swanry Nainggolan, Rona Mauli Simamora Am. Keb dan Bang Toni Simamora.

12. Teman-teman peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan teman-teman stambuk 2013 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

Teristimewa kepada orangtua terkasih, Saidi Marpaung (Bapak) dan Rusmaidah Sitohang (Mama), abang saya Andrew Carniage Marpaung, S.H dan adik saya Veronika Marpaung, terima kasih banyak untuk semua kasih sayang, cinta, doa, perhatian dan semangat yang tak terbatas yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih untuk selalu mendukung penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Januari 2018 Penulis,

Ruth Dameria Marpaung

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Bunyi ... 9

2.1.1. Definisi Bunyi ... 9

2.2. Kebisingan ... 9

2.2.1. Definisi Kebisingan ... 9

2.2.2. Jenis Kebisingan ... 11

2.2.3. Sumber Kebisingan ... 12

2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebisingan ... 14

2.2.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan ... 14

2.2.6. Mekanisme Pendengaran ... 16

2.2.7. Pengukuran Kebisingan ... 18

2.2.8. Pengendalian Kebisingan ... 21

2.3. Gangguan Pendengaran... 25

2.3.1. Definisi Gangguan Pendengaran... 25

2.3.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran ... 26

2.3.3. Faktor-faktor Penyebab Gangguan Pendengaran... 28

2.3.4. Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising ... 31

2.4. Dampak Kebisingan Terhadap Manusia ... 32

2.5. Tes Pendengaran ... 36

2.6. Kerangka Konsep ... 39

(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Jenis Penelitian ... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.3. Populasi dan Sampel ... 41

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 42

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 43

3.6. Metode Pengukuran ... 43

3.7. Metode Analisa Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 48

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ... 48

4.1.1. Sejarah Ringkas Perusahaan ... 48

4.1.2. Lokasi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk ... 48

4.1.3. Data Geografi ... 48

4.1.4. Jumlah Karyawan ... 48

4.1.5. Jam Kerja ... 49

4.1.6. Sistem Pengupahan ... 50

4.1.7. Proses Produksi ... 50

4.2. Karakteristik Responden Pabrik Kelapa Sawit ... 58

4.2.1. Umur Sampel ... 58

4.2.2. Masa Kerja Sampel ... 58

4.2.3. Stasiun Kerja Sampel ... 59

4.2.4. Intensitas Kebisingan ... 59

4.2.5. Gangguan Pendengaran ... 60

4.3. Tabulasi Silang antara Umur dan Masa Kerja Dengan Gangguan pendengaran... 61

4.4. Tabulasi Silang antara Stasiun Tempat Kerja Dengan Gangguan Pendengaran ... 62

4.5. Tabulasi Silang antara Intensitas Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran ... 63

4.6. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ... 64

BAB V PEMBAHASAN ... 66

5.1. Karakteristik Responden Pabrik Kelapa Sawit ... 66

5.1.1. Umur Sampel ... 66

5.1.2. Masa Kerja Sampel ... 67

5.1.3. Stasiun Kerja ... 68

5.1.4. Gangguan Pendengaran ... 70

5.2. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ... 72

(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 75

6.1. Kesimpulan... 75

6.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Intensitas dan Waktu Paparan Bising yang Diperkenankan ... 16 Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 46 Tabel 4.1 Jumlah Tenaga Kerja PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk,

Sungai Dua ... 49 Tabel 4.2 Jam Kerja Karyawan Bagian Kantor PKS PT. Salim Ivomas

Pratama Tbk, Sungai Dua ... 49 Tabel 4.3 Distribusi Sampel Menurut Umur Tenaga Kerja Bagian

Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ... 58 Tabel 4.4 Distribusi Sampel Menurut Masa Kerja Tenaga Kerja Bagian

Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ... 58 Tabel 4.5 Jumlah Sampel Berdasarkan Stasiun Kerja PKS PT. Salim

Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ... 59 Tabel 4.6 Intensitas Kebisingan Pada Stasiun Kerja Sampel Tenaga

Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ... 59 Tabel 4.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Klasifikasi Tingkat Gangguan

Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ... 60 Tabel 4.8 Tabulasi Silang antara Umur dan Masa Kerja dengan

Gangguan Pendengaran... 61 Tabel 4.9 Tabulasi Silang antara Stasiun Kerja dengan Gangguan

Pendengaran ... 62 Tabel 4.10 Tabulasi Silang antara Intensitas Kebisingan dengan

Gangguan Pendengaran... 63 Tabel 4.11 Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran

Tenaga Kerja Bagian Produksi PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Tahun 2017 ... 64

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Master Data ... 80

Lampiran 2. Output SPSS ... 83

Lampiran 3. Dokumentasi ... 91

Lampiran 4. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat... 97

Lampiran 5. Surat Izin Telah Melakukan Penelitian dari PKS PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua... 98

Lampiran 6. Surat Peminjaman Alat Audiometer ... 99

(15)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ruth Dameria Marpaung, lahir pada 9 Januari 1996 di Balam. Berasal dari Kelurahan Balai Jaya Kecamatan Balai Jaya Balam Km 37.

Penulis merupakan anak dari pasangan Saidi Marpaung dan Rusmaidah Sitohang.

Penulis bersuku Batak Toba dan beragama Kristen Protestan.

Jenjang pendidikan formal pada penulis di mulai dari TK Yosef Arnoldi Bagan Batu (2000-2001), SD Swasta Yosef Arnoldi Bagan Batu (2001-2007), SMP Swasta Yosef Arnoldi Bagan Batu (2007-2010), SMA ST. Thomas 2 Medan (2010-2013) dan penulis menempuh pendidikan tinggi pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (2013-2017).

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan kesehatan kerja adalah berusaha meningkatkan daya guna dan hasil guna tenaga kerja dengan mengusahakan pekerjaan dan lingkungan kerja yang lebih serasi dan manusiawi. Pelaksanaannya diterapkan melalui Undang-undang RI No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Undang-undang keselamatan kerja lebih bersifat pencegahan (preventif), maka sangat diperlukan usaha-usaha pengendalian lingkungan kerja, supaya semua faktor-faktor lingkungan kerja yang mungkin membahayakan atau dapat menimbulkan gangguan kesehatan tenaga kerja dapat dihilangkan (Anggraeni, 2006).

Dalam dunia usaha dan dunia kerja, kesehatan kerja berkontribusi dalam mencegah kerugian dengan cara mempertahankan, meningkatkan derajat kesehatan dan kapasitas kerja fisik pekerja, serta melindungi pekerja dari efek buruk pajanan hazard ditempat kerja (yaitu hazard yang bersumber dari lingkungan kerja, kondisi ergonomi pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja), selain itu juga berkontribusi dalam membentuk perilaku hidup sehat dan perilaku kerja yang kondusif bagi keselamatan dan kesehatannya.

Peningkatan industrialisasi tidak terlepas dari peningkatan teknologi moderen. Di saat kita menerima peningkatan dan perubahan dari pada teknologi, maka kita pun akan juga harus menerima efek samping dari teknologi tersebut.

Namun masih banyak perusahaan/industri yang lebih berorientasi pada kegiatan

(17)

teknologi yang sebenarnya menjadi kebutuhan utama bukan keselamatan kerja.

Industri tidak menyadari dampak teknologi yang mereka adopsi tidak bisa menjamin keselamatan para tenaga kerja. Antara lain pemakaian mesin-mesin otomatis menimbulkan suara atau bunyi yang cukup besar, dapat memberikan dampak terhadap gangguan komunikasi, konsentrasi dan kepuasan kerja bahkan sampai pada cacat (Anizar, 2009)

.

Salah satu faktor lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja dapat mengurangi kenyamanan, dan ketenangan kerja, mengganggu indera pendengaran, mengakibatkan penurunan daya dengar dan bahkan pada akhirnya dapat mengakibatkan ketulian menetap kepada tenaga kerja yang terpapar kebisingan.

Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/NIHL) adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak disadari karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada ke dua telinga.

Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat berpengaruh.

Salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising (Manoppo, dkk. 2013). Semakin tinggi intensitas bising dan semakin lama pekerja terpajan bising, maka risiko pekerja untuk mengalami gangguan pendengaran akan semakin tinggi pula (European Agency for Safety and Health at Work, 2008).

(18)

Di Indonesia intensitas kebisingan yang disepakati sebagai pedoman bagi perlindungan alat pendengaran agar tidak kehilangan daya dengar untuk pemaparan 8 (delapan) jam sehari dan 5 (lima) hari kerja atau 40 jam kerja seminggu adalah 85 dB (A) (Suma’mur, 2013).

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kenyamanan lingkungan (PER.48/MENLH/11/1996), atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi atau dari alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (PER.13/MEN/X/2011). Risiko yang timbul akibat kebisingan dengan tingkat tekanan bunyi diatas nilai ambang batas pendengaran adalah dapat merusak pendengaran atau gangguan pendengaran.

Di negara-negara industri, bising merupakan masalah utama kesehatan.

World Health Organisation (WHO, 2007), menyatakan bahwa prevalensi ketulian di Indonesia mencapai 4,2%. Negara-negara di dunia telah menetapkan bahwa Noise Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan penyakit akibat kerja yang terbesar diderita. Sebesar 16% dari ketulian yang diderita oleh orang dewasa disebabkan oleh kebisingan di tempat kerja, sehingga NIHL dapat dijadikan masalah yang perlu ditangani dan mendapatkan perhatian khusus (Permaningtyas, dkk. 2011).

Di Amerika Serikat sekitar 10 juta orang dewasa dan 5,2 juta anak-anak sudah menderita gangguan pendengaran akibat bising dan 30 juta lebih lainnya dapat terkena dampak bising yang berbahaya setiap harinya. Survei terakhir dari

(19)

Multi Center Study (MCS) juga menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran cukup tinggi, yakni 4,6% sementara tiga negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Menurut studi tersebut prevalensi 4,6% sudah bisa menjadi referensi bahwa gangguan pendengaran memiliki andil besar dalam menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat (Tjan, dkk. 2013).

Hasil penelitian Utami (2010) menunjukkan hanya 15 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami ketulian, sebanyak 27 responden menyatakan tidak mengalami ketulian. hanya 12 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami tinitus, sedangkan sebanyak 30 responden menyatakan tidak mengalami tinitus. Dan 18 responden yang berada diatas ambang bising menyatakan mengalami vertigo, sebanyak 24 responden menyatakan tidak mengalami vertigo. Hasil analisis yang lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya ketulian (p=0,001), tinnitus (p=0,000) dan vertigo (p=0,011).

Dari hasil penelitian Siregar (2010) ada 18 lokasi yang diukur diperoleh 12 lokasi memiliki intensitas kebisingan diatas Nilai Ambang Batas (85 dB). Untuk pemeriksaan kemampuan pendengaran menggunakan audiometri, untuk telinga kanan dari 18 orang diperoleh 5 orang mempunyai pendengaran normal, 12 orang mengalami tuli ringan dan 1 orang mengalami tuli berat, untuk telinga kiri dari 18 orang diperoleh 7 orang mempunyai pendengaran normal, 10 orang mengalami tuli ringan dan 1 orang mengalami tuli sedang. Hasil uji Korelasi Product Moment

(20)

Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan kebisingan dengan kemampuan pendengaran pada tenaga kerja ditunjukkan dengan p = 0,044 untuk telinga kanan dan p = 0,041 untuk telinga kiri.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Deo (2012) tentang pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan fungsi pendengaran pada tenaga kerja bagian weaving di PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta menunjukkan ada hubungan intensitas kebisingan dengan gangguan fungsi pendengaran p = 0,000 (p<0,05).

PT. Salim Ivomas Pratama Tbk merupakan perusahaan pengolahan kelapa sawit yang memproduksi kelapa sawit menjadi minyak sawit (CPO) dan inti sawit (kernel) melalui beberapa tahapan proses di beberapa stasiun yang tidak terlepas dari bahaya kebisingan. Ada 10 stasiun yang terdiri dari stasiun loading ramp, perebusan, bantingan, hoisting crane, press, klarifikasi, kernel/biji, ketel uap (boiler), kamar mesin, dan water treatmen. Bahaya kebisingan di area PT. Salim Ivomas Pratama Tbk berasal dari mesin di proses produksi.

Pada penelitian ini penulis meneliti tentang hubungan kebisingan terhadap gangguan pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi Pabrik Kelapa Sawit PT. Salim Ivomas Pratama Tbk. Proses kerjanya meliputi proses penimbangan, loading ramp, perebusan, bantingan, hoisting crane, press, klarifikasi, kernel/biji, ketel uap (boiler), kamar mesin, dan water treatment. Pada proses kerja ini digunakan mesin-mesin seperti genset, blower, polishing drum, dan ripple mill, yang menghasilkan intensitas kebisingan yang cukup tinggi, serta kurangnya pemakaian alat pelindung telinga pada tenaga kerja yang terpapar kebisingan.

(21)

Dari survei awal yang dilakukan oleh peneliti, kondisi lingkungan kerja perstasiun mempunyai intensitas kebisingan yang cukup tinggi. Hal tersebut didukung oleh data sekunder yang telah diperoleh dari PT. Salim Ivomas Pratama Tbk pada tahun 2016 dan 2017. Sumber kebisingan yang cukup tinggi pada tahun 2016 dan 2017 terdapat pada stasiun kamar mesin (86,96 dBA) / (86,35 dBA), stasiun kernel (86,23 dBA) / (86,35 dBA), stasiun press (82,12 dBA) / (84,81 dBA) dan stasiun klarifikasi (83,47dBA) / (83,39 dBA). Jenis kebisingannya termasuk kebisingan kontinu atau kebisingan tetap.

PT. Salim Ivomas Pratama Tbk memiliki 60 orang pekerja tetap di bagian produksi. Pada stasiun loading ramp terdapat 10 pekerja, stasiun rebusan 4 pekerja, stasiun bantingan 10 pekerja, stasiun hoisting crane 4 pekerja, stasiun press 4 pekerja, stasiun klarifikasi 4 pekerja, stasiun kernel 6 pekerja, stasiun boiler 6 pekerja, stasiun kamar mesin 8 pekerja, dan stasiun water treatment 4 pekerja, yang terbagi menjadi 2 shift kerja, yaitu shift I mulai pukul 07.00 s/d 16.00 (pagi) dan shift II pukul 16.00 s/d 24.00 (malam) dengan rotasi setiap seminggu sekali. Lama bekerja selama 8 jam juga mempengaruhi pendengaran pekerja karena terpapar bising yang melebihi NAB. Hal ini diperburuk dengan tidak digunakannya alat pelindung telinga oleh pekerja ketika bekerja, sebagian pekerja juga bersuara keras ketika berbicara dengan pekerja lainnya, padahal APD tersebut sudah disediakan oleh PT. Salim Ivomas Pratama Tbk.

Adapun sumber kebisingan di lokasi produksi tersebut disebabkan karena adanya mesin seperti genset, blower, polishing drum, ripple mill, dan lain-lain.

Menurut asisten pengolahan, dari 10 stasiun terdapat 4 stasiun yang sangat

(22)

berpengaruh terhadap tingginya intensitas kebisingan di pabrik, karena 4 stasiun tersebut tidak memiliki sekat atau ruangan tambahan di area tersebut, dan 4 stasiun ini merupakan lokasi yang paling sering dilewati oleh pekerja. Oleh sebab itu pihak perusahaan hanya melakukan pengukuran kebisingan di stasiun kamar mesin, stasiun press, stasiun kernel dan stasiun klarifikasi.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pada Tenaga Kerja di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PT. Salim Ivomas Pratama Tbk Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Riau 2017”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi di pabrik kelapa sawit PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2017 ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Riau.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui intensitas kebisingan pada area produksi di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2017.

(23)

2. Untuk mengetahui gangguan pendengaran pada tenaga kerja area produksi di PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2017.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pihak PT. Salim Ivomas Pratama Tbk, Sungai Dua Kabupaten Rokan Hilir Riau tentang hubungan kebisingan dengan gangguan pendengaran sehingga dapat dijadikan informasi yang bermanfaat untuk melaksanakan tindakan koreksi agar didapat lingkungan kerja yang aman dan nyaman.

2. Menambah wawasan dan pengalaman bagi penulis tentang intensitas kebisingan dan dampaknya terhadap gangguan pendengaran.

3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bunyi

2.1.1. Definisi Bunyi

Suma’mur (2009) mengemukakan bahwa bunyi didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga melalui gelombang longitudinal yang timbul dari getaran sumber bunyi dan manakala bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kualitasnya terutama ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya.

Frekuensi bunyi adalah jumlah gelombang bunyi yang lengkap yang diterima oleh telinga setiap detik. Frekuensi bunyi yang bisa diterima oleh telinga manusia terbatas mulai frekuensi 16-20.000 Hertz. Bunyi dengan frekuensi kurang dari 16 Hz disebut infrasonik dan di atas 20.000 Hz disebut ultrasonic.

Frekuensi bunyi yang terutama penting untuk komunikasi (pembicaraan) yaitu sekitar 250 Hz-3.000 Hz. Intensitas bunyi adalah besarnya tekanan yang dipindahkan oleh bunyi. Tekanan ini biasa diukur dengan microbar. Untuk mempermudah pengukuran digunakan satuan decibel (Anizar, 2009).

2.2. Kebisingan

2.2.1. Definisi Kebisingan

Kebisingan didefinisikan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat- alat proses produksi dan atau alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat rnenyebabkan gangguan pendengaran

(25)

Menurut Suma’mur (2009) kebisingan adalah bunyi atau suara yang keberadaannya tidak dikehendaki (noise is unwanted sound). Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Sementara dalam bidang kesehatan kerja, kebisingan diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran) maupun secara kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, dan pola waktu (Buchari, 2008). Kebisingan adalah bunyi maupun suara-suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, serta dapat menimbulkan gangguan pendengaran (ketulian).

Kebisingan juga didefinisikan sebagai “suara yang tidak dikehendaki”, misalnya suara yang menghalangi terdengarnya suara-suara yang diinginkan, seperti musik, perbincangan, perintah, dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa tidak nyaman bagi tubuh. Bising merupakan bahaya golongan fisika yang terdapat di lingkungan kerja sebagai efek samping pemakaian peralatan/

perlengkapan kerja seperti mesin dan proses yang dilakukan. Efek utama yang menyertai kehadiran bising ini ialah kemungkinan timbulnya ketulian pada pekerja yang dipengaruhi oleh lamanya paparan dan karakteristik bising tersebut (Rachmatiah, dkk. 2015).

(26)

2.2.2. Jenis Kebisingan

Menurut Suma’mur (2009), kebisingan yang sering ditemukan adalah:

a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum frekuensi yang lebar (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin dapur pijar dan lain-lain.

b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler, kutup gas, dan lain-lain.

c. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas, suara kapal terbang di bandara.

d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.

e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.

Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady noise) (Tambunan, 2005).

Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise) Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.

(27)

b. Broad band noise

Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan

“nada” murni).

Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagikan lagi menjadi:

a. Fluctuating noise

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.

b. Intermittent noise

Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas.

c. Impulsive noise

Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.

2.2.3. Sumber Kebisingan

Menurut Subaris dan Haryono (2008), sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber kebisingan statis: pabrik, mesin, tape, dan lainnya.

b. Sumber kebisingan dinamis: mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan lainnya.

(28)

Sumber bising yang dilihat dari bentuk sumber suara yang dikeluarkannya ada dua, yaitu: (Subaris dan Haryono, 2008)

a. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran.

Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak bergerak.

b. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya kebisingan yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak.

Di tempat kerja, disadari maupun tidak, cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut menciptakan dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya:

(Tambunan, 2005)

a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.

b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.

c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya, misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.

d. Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin tiruan.

e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad connection).

(29)

f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya penggunaan palu (hammer)/alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebisingan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara lain:

a. Intensitas, intensitas bunyi yang dapat didengar telinga manusia berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Jadi, tingkat tekanan bunyi di ukur dengan logaritma dalam decibel (dB).

b. Frekuensi, frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia terletak antara 16-20000 Hertz. Frekuensi bicara terdapat antara 250-4000 Hertz.

c. Durasi, efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya paparan dan berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai telinga dalam.

d. Sifat, mengacu pada distribusi energi bunyi terhadap waktu (stabil, berfluktuasi, intermiten). Bising impulsive (satu/lebih lonjakan energi bunyi, dengan durasi kurang dari 1 detik) sangat berbahaya.

2.2.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Soeripto, 2008).

(30)

NAB kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari- hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari dan 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu (Suma’mur 2013).

NAB kebisingan adalah 85 dBA. NAB kebisingan tersebut merupakan ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor :13 /MEN/X/2011 tentang NAB Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja. Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja (Suma’mur 2013).

(31)

Berdasarkan Permenaker RI No.13 /MEN/X/2011 tentang NAB Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja, batas-batas NAB kebisingan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 : Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalam dBA 8

4 2 1

Jam

85 88 91 94 30

15 7,5 3,75 1,88 0,94

Menit

97 100 103 106 109 112 28,12

14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11

Detik

115 118 121 124 127 130 133 136 139

Batas kebisingan yang diperkenankan menurut Permenaker RI No. 13 /MEN/X/2011 adalah maksimal 139 dBA sehingga tenaga kerja tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA walaupun sesaat.

(32)

2.2.6. Mekanisme Pendengaran

Untuk memahami mekanisme terjadinya gangguan pendengaran, perlu diketahui anatomi telinga manusia secara garis besar. Telinga manusia dapat mendengar karena terdiri atas bagian besar (Gambar 2.1).

a. Telinga Bagian Luar

Telinga luar, terdiri atas daun telinga dan lubang luar telinga sampai pada membrana timpani. Telinga luar akan menerima dan meneruskan gelombang suara ke dalam telinga tengah.

b. Telinga Bagian Tengah

Telinga tengah, terdiri atas membrana timpani, yang melekat pada tiga tulang kecil maleus, inkus, stapes, dan berakhir pada membrana oval. Seluruh telinga tengah berisi udara dan berhubungan dengan rongga mulut lewat tuba Eustachius. Getaran yang diterima oleh membrana timpani diteruskan oleh tigatulang kecil pada membrana oval.

c. Telinga Bagian Dalam

Telinga dalam terdiri atas tube berspiral seperti rumah siput berisi cairan.

Getaran dari membrana oval akan diteruskan pada cairan. Cairan ini akan bervibrasi yang menstimulasi rambut sel yang berada pada dinding spiral, meneruskan implus saraf ini ke saraf otak pendengaran. Pajanan yang lama dalam taraf kebisingan tinggi dapat merusak sel rambut dan sel saraf yang halus, menyebabkan ketulian. Ketulian sejenis ini juga terjadi karena usia lanjut.

(33)

Pengenalan sifat dan akibat kebisingan ini kemudian akan digunakan untuk melakukan evaluasi paparan kebisingan di industri dan lingkungan kerja lainnya (Rachmatiah, dkk 2015).

Gambar 2.1 Struktur Organ Pendengaran Manusia 2.2.7. Pengukuran Kebisingan

Telinga manusia sama sekali tidak dapat dijadikan “referensi” tingkat kebisingan yang terdapat pada sebuah temapat. Berdasarkan hasil percobaan, pada intensitas kebisingan sesungguhnya berkurang 2 dB dari tingkat kebisingan awal, pengurangan kebisingan yang dirasakan oleh telinga manusia adalah sekitar 15%, sedangkan pada saat pengurangan (actual) sebesar 20% maka kebisingan yang dirasakan akan berkurang sebesar 81%. Untuk mendapatkan hasil pengukuran tingkat kebisingan yang akurat, diperlukan alat-alat khusus (Tambunan, 2005).

Bunyi diukur dengan satuan yang disebut decibel. Dalam hal ini mengukur besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan decibel diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen

(34)

pada telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, dan C. Skala yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA (Anies, 2009).

Dua suara atau lebih dengan intensitas sama, jika digabungkan akan menghasilkan intensitas kebisingan yang lebih tinggi. Untuk memperoleh hasil pengukuran kebisingan di tempat kerja yang teliti, maka kebisingan dari setiap sumber sebaiknya diukur secara terpisah atau satu per satu (Subaris dan Haryono, 2008).

Menurut Suma’mur (2013), maksud dilakukannya pengukuran kebisingan ada dua hal, yaitu:

a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di perusahaan atau di mana saja.

b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya.

Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 – 20.000 Hz.

Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut yang

(35)

tergantung pada tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan tekanan barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disukai oleh karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk mengukur kebisingan yang intensitasnya tinggi (Suma’mur, 2013).

Adapun bagian-bagian yang terdapat pada Sound Level Meter adalah sebagai berikut (Subaris dan Haryono) :

a. Tombol pengatur hidup/mati atau power on/off b. Tombol pengontrol battery

c. Tombol pengatur penunjuk cepat lambat (slow/fast) d. Tombol pengukur skala angka puluhan

e. Tombol pengatur penunjuk maksimum (max hold) f. Microphone

g. Filter microphone h. Kalibrator

i. Display

Komponen dasar sebuah Sound Level Meter adalah sebuah microphone, penguat suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi dan sebuah layar indikator.

Sesuai namanya, fungsi dasar minimum yang harus ada pada sebuar Sound Level Meter adalah sebagai alat ukur tingkat suara (dB). Fungsi-fungsi tambahan lain cukup bervariasi, seperti fungsi pengukuran TWA (Time Weigted Average) secara otomatis dan pengukuran dosis kebisingan (Tambunan, 2005).

(36)

2.2.8. Pengendalian Kebisingan

Menurut Suma’mur (2013), kebisingan dapat dikendalikan dengan cara sebagai berikut, yaitu:

1. Pengurangan kebisingan pada sumbernya

Pengurangan kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan misalnya dengan menempatkan peredam pada sumber getaran, tetapi pada umumnya hal itu dilakukan dengan melakukan riset dan membuat perencanaan mesin atau peralatan kerja yang baru. Membuat desain mesin dan memproduksi mesin baru dengan standar intensitas kebisingan yang lebih baik.

2. Penempatan penghalang pada jalan transmisi

Isolasi tenaga kerja atau mesin atau unit operasi adalah upaya segera dan baik dalam upaya mengurangi kebisingan. Untuk itu perencanaan harus matang dan material yang dipakai untuk isolasi harus mampu menyerap suara. Penutup atau pintu keruang isolasi harus mempunyai bobot yang cukup berat, menutup pas betul lobang yang ditutupinya dan lapisan dalamnnya terbuat dari bahan yang menyerap suara.

3. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Cara terbaik untuk melindungi pekerja dari bahaya kebisingan adalah dengan pengendalian secara teknis pada sumber suara. Kenyataannya bahwa pengendalian secara teknis tidak selalu dapat dilaksanakan, sedangkan pengendalian administratif biasanya akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu pemakaian APD merupakan cara terakhir yang harus dilakukan. APD yang

(37)

digunakan untuk lingkungan kerja bising adalah alat pelindung telinga (APT) seperti ear plug dan ear muff (soeripto, 2008).

Menurut Permenakertrans RI Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD, APT adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan yang dapat menurunkan kerasnya bising yang melalui hantaran udara sampai 40 dB(A) tetapi umumnya tidak lebih dari 30 dB(A). Jenis alat pelindung telinga terdiri dari:

a. Sumbat telinga (ear plug) yang dapat mengurangi bising sampai dengan 30 dB(A). Sumbat telinga dapat terbuat dari kapas (wax), plastik karet alami dan sintetik.

b. Penutup telinga (ear muff) yang digunakan untuk mengurangi bising sampai dengan 40-50 dB(A). Tutup telinga terdiri dari dua buah tudung untuk tutup telinga, dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi.

4. Pelaksanaan waktu paparan bagi intensitas di atas NAB

Untuk intensitas kebisingan yang melebihi NAB nya, telah ada standart waktu paparan dari pengaturan waktu kerja sehingga memenuhi ketentuan yang diperkenankan, namun masalahnya adalah pelaksanaan dari pengaturan waktu kerja sehingga dapat memenuhi ketentuan tersebut.

Menurut Tambunan (2005), tiga komponen penting yang harus diperhatikan untuk melakukan pengendalian kebisingan (engineering control principle) adalah:

1) Sumber kebisingan

(38)

2) Media perantara kebisingan 3) Penerima kebisingan

Pengendalian teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat kebisingan di tempat kerja adalah:

1) Menggunakan atau memasang pembatas atau tameng atau perisai yang dikombinasi dengan akustik (peredam suara) yang dipasang dilangi-langit.

Kebisingan dengan frekuensi tinggi dapat dikurangi dengan menggunakan tameng/perisai yang akan menjadi lebih efektif jika lebih tinggi dan lebih dekat dengan bunyi. Kegunaan tameng/perisai akan berkurang bila tidak dikombinasi dengan peredam suara (akustik).

2) Menggunakan atau memasang partial enclosure di sekeliling mesin agar bunyi dengan frekuensi tinggi lebih mudah dipantulkan. Bunyi dengan frekuensi tinggi jika membentur suatu permukaan yang keras, maka akan dipantulkan seperti halnya cahaya dan sebuah cermin. Bunyi ini tidak dapat merambat mengelilingi suatu sudut ruang dengan mudah. Pengendalian kebisingan bisa dilakukan dengan cara membuat tudung (tutup) isolasi mesin, sehingga kebisingan yang terjadi akan dipantulkan oleh kaca dan kemudian diserap oleh dinding peredam suara.

3) Menggunakan complete enclosure kebisingan frekuensi rendah merambat ke semua bunyi dan tempat terbuka. Penggunaan complete enclosure maka mesin yang menimbulkan kebisingan dapat ditutup secara keseluruhan dengan menggunakan bahan dinding atau peredam suara. Memisahkan operator dalam

(39)

sound proof room dan mesin yang bising dengan penggunaan remote control (pengendali jarak jauh).

4) Mengganti bagian-bagian logam (yang menimbulkan intensitas kebisingan tinggi) dengan dynamic dampers, fiber glass, karet atau plastik, dan sebagainya.

5) Memasang muffer pada katup penghisap, pada cerobong dan sistem ventilasi.

6) Memperbaiki pondasi mesin dan menjaga agar baut atau sambungan tidak ada yang renggang.

7) Pemeliharaan dan servis teratur.

Menurut Tambunan (2005) pengendalian secara administratif dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Menetapkan peraturan tentang rotasi pekerjaan yang bertujuan untuk mengurangi akumulasi dampak kebisingan pada pekerja.

2. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.

3. Pemantauan lingkungan kerja.

4. Menetapkan peraturan tentang keharusan bagi pekerja untuk beristirahat dan makan di tempat khusus yang tenang atau tidak bising.

5. Menetapkan peraturan tentang sanksi bagi pekerja yang melanggar ketetapan-ketetapan perusahaan yang berkaitan dengan pengendalian kebisingan.

6. Pemasangan safety sign atan rambu-rarnbu kebisingan.

7. Pemasangan noise mapping.

8. Perneriksaan kesehatan pekerja secara berkala.

(40)

Menurut Soeripto (2008), cara terbaik untuk melindungi pekerja dari bahaya kebisingan adalah dengan pengendalian secara teknis pada sumber suara.

Kenyataannya bahwa pengendalian secara teknis tidak selalu dapat dilaksanakan, sedangkan pengendalian administratif biasanya akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, pemakaian APD merupakan cara terakhir yang harus dilakukan. APD yang digunakan untuk lingkungan kerja bising adalah alat pelindung telinga (APT) seperti ear plug dan ear muff.

2.3. Gangguan Pendengaran

2.3.1. Definisi Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran akibat bising atau noise induced hearing loss (NIHL) adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak disadari karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada ke dua telinga. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat berpengaruh (Manoppo, N Fauziah, dkk. 2013).

Gangguan pendengaran terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai normal (0 – 25 dBA) pada salah satu telinga ataupun keduanya (Soepardi, dkk. 2012). Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya 85 dBA (batas aman) dan dengan frekuensi suara berkisar antara 20 sampai dengan 20.000 Hz. Batas intensitas suara tertinggi adalah 140

(41)

dBA dimana jika seseorang mendengarkan suara dengan intensitas tersebut maka akan timbul perasaan sakit pada alat pendengaran dan memicu seseorang terkena gangguan pendengaran atau peningkatan ambang dengar.

Menurut Soepardi, dkk. (2012), seseorang dikatakan memiliki pendengaran yang normal apabila mampu mendengar suara dengan intensitas ≤ 25 dBA sedangkan seseorang yang mengalami peningkatan ambang pendengaran atau derajat ketulian akan dibagi menjadi tuli ringan, tuli sedang, tuli sedang berat, tuli berat.

2.3.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai (ASHA, 2011):

a. Tuli Konduktif

Tuli konduktif terjadi ketika suara tidak diteruskan dengan mudah melalui saluran telinga luar ke membran timpani dan ke tulang pendengaran dibagian telinga tengah. Tuli konduktif membuat suara terdengar lebih halus dan sulit didengar. Tipe tuli ini dapat dikoreksi dengan obat-obatan atau operasi. Beberapa penyebab yang mungkin dapat menyebabkan tuli konduktif antara lain : cairan di telinga tengah, infeksi telinga (otitis media), fungsi tuba yang menurun, lubang di membran timpani, terlalu banyak serumen, benda asing di saluran telinga dan malformasi dari telinga bagian luar ataupun tengah.

b. Tuli Sensorineural (NIHL)

Tuli sensorineural terjadi ketika terdapat kerusakan pada telinga bagian dalam (koklea) atau saraf dari telinga dalam menuju ke otak. Tipe tuli ini merupakan tipe tuli yang biasanya bersifat permanen. Pada tuli sensorineural

(42)

terjadi penurunan kemampuan untuk mendengar suara lemah, atau suara yang sudah cukup keras tetapi masih terdengar tidak jelas atau redup. Beberapa penyebab yang mungkin dapat menyebabkan tuli sensorineural antara lain: obat yang toksik terhadap pendengaran, genetik, penuaan, trauma kepala, malformasi telinga bagian dalam dan paparan terhadap bising.

c. Tuli Campuran

Bila gangguan pendengaran/ketulian konduktif dan sensorineural terjadi secara bersamaan.

Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard Organization (ISO) adalah :

a. Normal (0 – 25 dB) : pendengaran masih normal dan masih mampu mendengar suara bisikan

b. Tuli ringan (26 – 40 dB) : Mengalami sedikit gangguan dalam membedakan beberapa jenis kosonan dan mengalami sedikit masalah saat berbicara.

c. Tuli sedang (41 – 60 dB) : Mampu mendengarkan dan mengulangi kata-kata dengan cara menaikkan nada pada jarak 1 meter.

d. Tuli berat (61 – 90 dB) : Mampu mendengarkan beberapa kata-kata dalam keadaan posisi teriak.

e. Tuli sangat berat (>90 dB) : Tidak dapat mendengar dan mengerti suara yang dihasilkan walaupun dalam keadaan teriak. Derajat gangguan pendengaran ini untuk melihat jumlah tingkatan ambang dengar yang dapat didengar (oleh orang dewasa. WHO, 2015).

2.3.3. Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Pendengaran

(43)

1. Faktor Karakteristik Individu a. Umur

Umur yang semakin bertambah dapat mengakibatkan sebagian sel-sel rambut mati karena tua sehingga manusia menjadi tuli. Namun apabila seseorang mendapatkan tekanan kebisingan dengan intensitas tinggi secara kontiniu untuk jangka waktu yang panjang, maka banyak sel-sel rambut pada organ pendengaran menjadi mati ketika masih berumur muda. Apabila terdapat sejumlah sel rambut organ pendengaran yang mati, maka ia akan menderita kehilangan pendengaran (Tambunan, 2005).

Sel rambut berfungsi sebagai reseptor nada tinggi akan lebih dahulu mati, sehingga kemunduran pendengaran akan pertama kali terjadi untuk daerah frekuensi 4000 – 6000 Hz. Oleh karena frekuensi bicara 500-3000 Hz, maka Noise Induced Hearing Loss (NIHL) awal biasanya tidak disadari, bahkan oleh orang yang bersangkutan. Terkecuali bagi seorang pemusik akan menyadari gangguan lebih dini karena apresiasi musik membutuhkan kepekaan yang lebih tinggi daripada untuk mendengar percakapan (Tambunan, 2005).

b. Masa Kerja

Masa kerja yang lama di tempat kerja yang bising merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan pendengaran. Tetapi hal ini tidak berarti semakin lama masa kerja, tingkat kemampuan pendengarannya lebih buruk dibandingkan dengan yang masa kerjanya lebih sedikit. Penurunan kemampuan pendengaran akibat bising dapat terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau lebih (Soepardi, dkk. 2012).

(44)

c. Lama Paparan

Menurut Kusumawati (2012), gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan berkaitan erat dengan lama paparan yang diperoleh pekerja.

Pekerja yang pernah atau sedang bekerja di lingkungan kerja dalam waktu yang cukup lama berisiko terhadap kejadian gangguan pendengaran. Berdasarkan lama paparan, pekerja yang berisiko mengalami gangguan pendengaran jika bekerja lebih dari 8 jam per hari dengan intensitas kebisingan melebihi 85 dB (A).

Menurut Anizar (2009), bagian yang paling penting adalah:

1. Intensitas kebisingan (tingkat tekanan suara)

2. Jenis kebisingan (wide band, narrow band, impulse) 3. Lamanya terpapar per hari

4. Jumlah lamanya terpapar (dalam tahun) 5. Usia yang terpapar

6. Masalah pendengaran yang telah diderita sebelumnya 7. Lingkungan yang bising

8. Jarak pendengaran dengan sumber kebisingan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor PER 13/MEN/X/ 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, dengan paparan suara 85 dB (A) waktu yang diperbolehkan maksimal 8 jam. Apabila lebih akan menimbulkan gangguan kesehatan pada seseorang seperti perubahan ketajaman pendengaran, gangguan pembicaraan dan gangguan lainnya.

2. Faktor Intensitas Kebisingan

(45)

Kebisingan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan gangguan pendengaran. Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB (A) dapat merusak reseptor pendengaran di telinga dalam, yang mengalami kerusakan adalah organ corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz, dan yang paling berat kerusakannya adalah organ corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz (Soetirto, dkk. 2001).

Gejela yang ditimbulkan antara lain kurangnya pendengaran disertai tinnitus. Bila sudah cukup parah disertai dengan sukarnya mendengar percakapan.

Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, yaitu peningkatan pendengaran sementara atau tetap. Reaksi adaptasi merupakan salah satu respon kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB (A) atau kurang. Peningkatan ambang dengar sementara merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang denga akibat bising dengan intensitas cukup tinggi. Pemulihannya dapat berlangsung selama beberapa menit atau jam (Soetirto, dkk. 2001).

Sedangkan peningkatan ambang dengar tetap adalah keadaan terjadinya peningkatan ambang dengar menetap akibat bising dengan intensitas tinggi dan berlangsung cepat atau lama. Kerusakan biasanya terdapat pada organ corti, sel- sel rambut, vaskularis dan lainnya. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan berkaitan erat dengan masa kerja dan intensitas kerja. Pekerja yang pernah atau sedang berkeja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama berisiko terhadap kejadian gangguan pendengaran (Kusumawati, 2012).

(46)

Jika dilihat berdasarkan masa kerja, pekerja akan mulai terkena gangguan pendengaran setelah bekerja selama lima tahun atau lebih. Namun jika dilihat berdasarkan intensitas kerja, pekerja berisiko terkena gangguan pendengaran jika bekerja lebih dari 8 jam per hari dengan intensitas bising yang melebihi 85 dB (A) (Kusumawati, 2012).

2.3.4. Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Diagnosa atau identifikasi suatu penyakit akibat hubungan kerja yang terjadi pada suatu populasi pekerja dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan epidemiologis dan pendekatan klinis.

a. Pendekatan epidemiologis

Pendekatan ini terutama digunakan apabila ditemukan adanya gangguan kesehatan atau keluhan pada sekelompok pekerja. Pendekatan ini perlu untuk mengidentifikasi adanya hubungan kausal antar suatu pajanan dengan penyakit.

Sebagai hasil dari penelitian epidemologis, banyak berhasil diidentifikasi pajanan yang dapat menyebabkan penyakit. Identifiksi tersebut mempertimbangkan kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifitas, adanya hubungan waktu dengan kejadian penyakit, hubungan dosis dan penjelasan patofisiologis.

b. Pendekatan klinis (individual)

Pendekatan ini perlu dilakukan untuk menentukan apakah seseeorang menderita penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaannya atau tidak. Langkah- langkah yang dilakukan adalah:

1. Menentukan diagnosis klinis.

2. Menentukan pajanan yang dialami induvidu tersebut dalam pekerjaan.

(47)

3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit.

4. Menentukan apakah pajanan cukup besar.

5. Menentukan apakah ada faktor- faktor individu yang berperan.

6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan.

7. Menentukan diagnosis penyakit akibat hubungan kerja (Buchari, 2007).

Diagnosis Tuli akibat bising :

1) Keadaan sebelum kerja : umur, penyakit telinga, pemeriksaan THT, audiometri. Gangguan pendengaran akibat bising dapat dianalisis melalui hasil pemeriksaan audiometri apabila ambang dengar hantaran tulang dan ambang dengar hantaran udara keduanya tidak normal dan saling berhimpit membuat takit pada frekuensi 4000 Hz. Penurunan nilai ambang dengar dilakukan pada kedua telinga.

2) Keadaan bising lingkungan kerja.

3) Pekerja : lama pajanan/hari, alat pelindung telinga, pemeriksaan pendengaran tiap 6 bulan.

4) Pemeriksaan pendengaran : tes berbisik dalam jarak 6 meter, audiometri nada murni dengan waktu 16 – 36 jam bebas pajanan bising (Buchari, 2007).

2.4. Dampak Kebisingan Terhadap Manusia

Dampak utama dari kebisingan terhadap kesehatan manusia adalah kerusakan indera-indera pendengaran yang dapat mengakibatkan ketulian (Suma’mur, 2013). Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung karakteristik fisik, karaktenistik individu, masa kerja dan lama kerja. Pengaruh tersebut berbentuk gangguan yang dapat menurunkan kesehatan, kenyamanan,

(48)

dan rasa aman manusia. Beberapa bentuk gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan adalah sebagai berikut (Listiyaningrum, 2011):

a. Gangguan Pendengaran

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan dengan komunikasi audio/suara. Kerusakan pendengaran (ketulian) merupakan penurunan sensitivitas yang berlangsung secara terus menerus terhadap organ pendengaran.

b. Gangguan komunikasi

Kebisingan dapat mengganggu percakapan sehingga mempengaruhi komunikasi yang berlangsung (tatap muka/via telephone). Sebagai pegangan, gangguan komuniakasi oleh kebisingan telah terjadi, apabila komunikasi pembicaraan dalam pekerjaan harus dijalankan dengan sura yang kekuatannya tinggi dan lebih nyata lagi apabila dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan komunikasi seperti itu menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin mengakibatkan kesalahan atau kecelakaan, terutama pada penggunaan tenaga kerja baru oleh karena timbulnya salah paham dan salah pengertian (Suma’mur 2013).

c. Gangguan psikologis

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan psikologis seperti kejengkelan, kecemasan dan ketakutan. Gangguan psikologis akibat kebisingan tergantung pada intensitas, frekuensi, periode, saat dan lama kejadian, kompleksitas, spektrum/kegaduhan, dan ketidakteraturan kebisingan.

d. Gangguan produktivitas kerja

(49)

Kebisingan dapat mempengaruhi gangguan terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan seseorang yang dimulai dan gangguan psikologis dan gangguan komunikasi sehingga menurunkan produktivitas kerja.

e. Gangguan fisiologis

Gangguan berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, basal metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki dan dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.

Sedangkan menurut Tambunan (2005), kebisingan dapat menyebabkan dua jenis gangguan terhadap manusia yaitu:

1. Dampak Auditorial

Dampak auditorial dan kebisingan cukup banyak jenisnya dengan tingkat keparahan yang beragam, mulai dari bersifat sementara dan dapat sernbuh dengan sendirinya atau disembuhkan hingga yang bersifat permanen.

Tenaga kerja yang mengalami gangguan pendengaran umumnya kesulitan membedakan kata yang memiliki kemiripan atau yang mengandung konsonan pada rentang frekuensi agak tinggi, seperti konsonan S, F, dan C. Salah satu dampak auditorial yang cukup terkenal adalah tinnitus. Gangguan jenis ini dapat dikenali dan adanya bunyi deringan atau siulan ditelinga saat suara yang memekakkan telinga dihentikan dan terus berlanjut hingga waktu yang cukup lama.

Menurut Tambunan (2005), dampak auditorial juga dapat dikiasifikasikan berdasarkan letak atau posisi gangguan pendengaran pada sistem pendengaran manusia. Dampak tersebut antara lain :

(50)

a. Conductive hearing loss (Tuli Konduktif)

b. Sensorineureal hearing loss (Tuli Sensorineural) c. Mixed hearing loss

Jika kedua threshold konduksi menunjukkan adanya kehilangan atau gangguan pendengaran, namun porsi kehilangan lebih besar pada konduksi udara.

2. Dampak non auditorial (non auditorial effect)

Selain menimbulkan dampak negatif (permanen atau sementara) terhadap sistem pendengaran, kebisingan juga dapat mengganggu :

a. Sistem keseimbangan b. Cardiovascular

c. Kualitas tidur (noise induced sleep) d. Kondisi kejiwaan pekerja (stress)

Dampak bising terhadap kesehatan para pekerja menurut Buchari (2008) antara lain :

a. Gangguan fisiologis

Pada umumnya bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan ini berupa peningkatan tekanan darah (mmHg), peningkatan nadi, basal metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.

b. Gangguan psikologis

Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat

(51)

menimbulkan penyakit psikosomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner dan lain-lain.

c. Gangguan komunikasi

Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja bagi yang belum berpengalaman. Gangguan komunikasi secara tidak langsung akan mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan produktivitas kerja.

2.5. Tes Pendengaran

Menurut Soepardi, dkk. (2012), untuk mengetahui seseorang mengalami gangguan pendengaran maka perlu dilakukan tes pendengaran, yaitu sebagai berikut :

1. Tes Berbisik

Pemeriksaan ini bersifat semi kuantitatif yakni menentukan derajat ketulian secara kasar dengan hasil tes berupa jarak pendengaran (jarak antara pemeriksa dengan pasien). Hal yang perlu diperhatikan dalam tes berbisik ini adalah ruangan yang cukup tenang dengan panjang minimal 6 meter. Seseorang yang mampu mendengar dengan jarak 6 sampai dengan 8 meter dikatagorikan normal, kurang dari 6 sampai dengan empat meter dikatagorikan tuli ringan, kurang dari empat sampai dengan satu meter dikatagorikan tuli sedang, kurang dari satu meter sampai dengan 25 cm dikatagorikan tuli berat dan kurang dari 25 cm dikatagorikan sebagai tuli total.

(52)

2. Tes Audiometri

Pemeriksaan audiometri bertujuan untuk mengetahui derajat ketulian secara kuantitatif dan mengetahui keadaan fungsi pendengaran secara kualitatif (pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli campuran).

Pemeriksaan audiometri diawali dengan menempatkan pasien pada ruangan kedap suara, selanjutnya pasien akan mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh audiogram melalui earphone. Pasien harus memberi tanda saat mulai mendengar bunyi dan saat bunyi tersebut menghilang.

Cara membaca hasil audiometri adalah dengan melihat grafik yang dihasilkan. Grafik Air Conductor (AC) untuk menunjukan hantaran udara, sedangkan grafik Bone Conductor (BC) untuk melihat hantaran tulang. Telinga kiri ditandai dengan warna biru, sedangkan telinga kanan ditandai dengan warna merah. Derajat ketulian dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, adapun rumus dari indeks Fletcher yaitu: Ambang Dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1.000 Hz + AD 2.000 Hz + AD 4.000 Hz .

Derajat pendengaran seseorang yang masih berada diantara 0 sampai dengan 25 dBA dikatagorikan normal, 26 sampai 40 dBA dikatagorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran ringan, 41 sampai 60 dBA dikatagorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran sedang, 61 sampai 90 dBA dikatagorikan sebagai tuli berat, dan jika lebih dari 90 dBA maka dikatagorikan sebagai tuli sangat berat. Jika dilihat berdasarkan hasil grafik audiogram, seseorang dikatagorikan normal apabila konduksi udara lebih bagus dari konduksi

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Organ Pendengaran Manusia  2.2.7.  Pengukuran Kebisingan
Gambar 2. Operator Klarifikasi
Gambar 3. Stasiun Kamar Mesin
Gambar 5. Stasiun Pengolahan Biji (Nut dan Kernel)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) ini ditutup pukul 11.00 WIB secara elektronik sesuai dengan jadwal yang tertera pada portal LPSE BKKBN dengan jumlah pertanyaan

Uraian singkat pekerjaan Pengadaan Formulir Pendataan Keluarga Tahun 2015 berjumlah 2.888.770 lembar, Rekapitulasi Tingkat RT berjumlah 38.505 lembar, Rekapitulasi Tingkat

Pelaksanaan supervisi artistik yang dilakukan Kepala SD Negeri 1 Selojari melalui kegiatan kunjungan kelas tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu yang dikemukakan

bisa bekerja sama dengan saudara kita yang lain yang berbeda agama, etnis dan. Alhamdulillah kita bisa sama-sama

E'MAL BAHSAR DEMMAL.. U NDAI NU RBAVANI,

pemerintah, dan keuangan secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan industri kripik tempe di daerah Sanan Kota Malang karena nilai signifikansi

Dadang Ahmad Suriami harja M.Eng... N IXIA TEN RtAWARIJ,

Akulturasi Budaya dalam Arsitektur Bangunan Masjid Lautze