• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BAHAYA DAN IDENTIFIKASI TITIK KRITIS PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PEMBUATAN TAHU CINA DAN TAHU SUMEDANG

DI KELURAHAN SARI REJO KECAMATAN MEDAN POLONIA

SKRIPSI OLEH

ROSALYN SITINJAK 101000035

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS BAHAYA DAN IDENTIFIKASI TITIK KRITIS PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PEMBUATAN TAHU CINA DAN TAHU SUMEDANG

DI KELURAHAN SARI REJO KECAMATAN MEDAN POLONIA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh

ROSALYN SITINJAK 101000035

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi :ANALISIS BAHAYA DAN IDENTIFIKASI TITIK KRITIS PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PEMBUATAN TAHU CINA DAN TAHU SUMEDANG DI KELURAHAN SARI REJO KECAMATAN MEDAN POLONIA

Nama Mahasiswa : ROSALYN SITINJAK Nomor Induk Mahasiswa : 101000035

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan : Gizi Kesehatan Masyarakat Tanggal Lulus : 26 Januari 2015

Disahkan Oleh Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing Skripsi I Dosen Pembimbing Skripsi II

Prof.Dr. Ir. Albiner Siagian M.Si Dra. Jumirah, Apt, M.Kes NIP.196706131993031004 NIP. 195803151988112001

Medan, Januari 2015 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan

(4)

ABSTRAK

Keamanan pangan merupakan syarat penting bagi pangan yang hendak dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidakamanan pangan bisa terjadi pada proses pengolahan pangan yang disebut titik kritis yang apabila tidak dikendalikan bisa membahayakan masyarakat.

Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menganalis bahaya dan mengetahui titik kritis pada industri rumah tangga pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan dokumentasi proses pembuatan tahu.

Hasil penelitian menunjukkan adanya cemaran fisik berupa pasir dan kedelai hitam pada Tahu Cina dan pada Tahu Sumedang hanya ditemukan kedelai hitam. Kedua air perendaman kedelai mengandung E.coli. Pada tahu tidak ditemukan E.coli maupun Salmonella. Bahan penggumpal yaitu kalsium sulfat melebihi dosis untuk pembuatan Tahu Cina. Logam berat (timbal, tembaga, arsen) pada kedua jenis tahu belum melebihi batas aman. Formalin positif pada kedua tahu. Titik kritis pada pembuatan Tahu Cina adalah pada tahap perendaman kedelai, penggumpalan dan pencetakan. Titik kritis pada pembuatan Tahu Sumedang adalah pada perendaman kedelai.

Berdasarkan hasil penelitian, produsen diharapkan untuk memakai bahan kimia sesuai takaran dan tidak memakai bahan kimia yang dilarang. Menggunakan air bersih dalam proses produksi dan memerhatikan kebersihan peralatan yang digunakan sebab peralatan dan bahan-bahan yang digunakan tidak boleh mencemari produk yang bisa membahayakan konsumen.

(5)

ABSTRACT

Food secure is an important condition for food that will be consumed by society. Food insecurity can be happen on food processing process call critical point which is if uncontrolled can endanger society.

This research is observational survey with purpose to analize hazards and to know critical points in the making of Chinese Tofu and Sumedang Tofu at Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. Data collecting done by observation and documentation Tofu making process.

The research result showing the existence of physic contamination such as sand and rotten soybean on Chinese Tofu and just rotten soybean found on Sumedang Tofu.Both of soybean soaking water containing E.coli. Undiscovered E.coli and also Salmonella on tofu. Curd material which is sulphate calcium exceed dose for making Chinese Tofu. Heavy metal (lead, copper, arsenic) at both of the tofu not exceed secure perimeter yet. Formalin positive at both of the tofu. Critical points at the making of Chinese Tofu are on soybean soaking, curd and printing. Critical point found for Sumedang Tofu processing process on soybean soaking.

Base of the observational result, producer expecting to using chemical material accords measuring, do not use harmfull chemical material. Utilizing clean water in production process and paying attention to equipment hygiene that is utilized and material those are utilized may not contaminate product that be endanger consumer.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rosalyn Sitinjak

Tempat/tanggal lahir : Banjar Sitolu-tolu/20 Maret 1992

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 3 dari 5 bersaudara

Status perkawinan : Belum kawin

Alamat rumah : Simamora Nabolak, Kecamatan Pagaran, Kabupaten Tapanuli Utara

Riwayat pendidikan:

1. Tahun 1998-2004 : SD Negeri 177666 Ulaman 2. Tahun 2004 – 2007 : SMP Negeri 1 Pagaran 3. Tahun 2007-2010 : SMA Negeri 1 Pagaran

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa, atas kasih dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada

Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia” ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan guna

memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Seperti pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, penulis

menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna.

Penulisan skripi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai

pihak baik secara moril maupun materi. Untuk itu penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara,

2. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, MSi selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan

Masyarakat dan selaku dosen pembimbing I,

3. Dra. Jumirah Apt. MKes. selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

(8)

4. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, selaku dosen Pembimbing Akademi di Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,

5. Seluruh dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

beserta seluruh pegawai, khususnya Bapak Marihot Samosir,ST, yang sudah

banyak membantu urusan administrasi,

6. Pegawai BTKL dan Badan Standarisasi Industri Medan (BARISTAND) yang

sudah banyak membantu untuk pengerjaan di laboratorium,

7. Bapak drs. B. Sitinjak , mama K. Manalu, dan keluarga sekalian yang sudah

banyak membantu,

8. Teman-teman di FKM khususnya Frans, Nita, Lispa, Hermin, Henrika, Erikka

yang sudah banyak memberikan bantuan dalam pengerjaan skripsi ini,

9. Putri Sion (Kakak Rafika, Erna, Joanna, Purnama, Ria) yang memberikan

semangat dan mendoakan,

10.Teman-teman stambuk 2010, Elsa, Novarida, Iis, Mira, Ayu, Ade Irma,

Meyanta, Kamal, Nur Aida, Rini Piliang, Vinni, Silvina, Octaria, Chatarina,

dan Martaulina,

11.Saudara seperjuangan Eli, Marta, Betesda, Putri, Hardianti, Juspen, Devi

Pohan,

12.Teman sepermainan Canro, Erny, Lastry, Santi,Kristina, Laras, Hady, Hisar,

Jesika, Eva, Fidrin, Asnidar, Jaya, Albet, Geri, Bosmer, Unjur, dan Jhon,

(9)

14.Semua pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna untuk perkembangan

ilmu pengetahuan.

Medan, Januari 2015

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Riwayat hidup penulis ... iii

Kata pengantar ... iv

Daftar isi ... viii

Daftar tabel ... x

Daftar gambar ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) ... 8

2.1.1 Analisis Bahaya ... 12

2.1.2 Titik Kritis ... 15

2.2 Tahu ... 18

2.2.1 Jenis-jenis Tahu ... 19

2.2.3 Proses Pembuatan Tahu ... 21

2.3 Syarat Kualitas Tahu ... 23

2.3.1 Bahan Kimia ... 24

2.3.2 Bahaya Mikrobiologis... 26

2.4 Kerangka Teori ... 28

2.5 Prosedur kerja ... 29

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

(11)

3.3 Objek Penelitian ... 32

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 32

3.4.1 Data Primer ... 32

3.4.2 Data Sekunder ... 34

3.5 Instrumen Penelitian ... 34

3.6 Defenisi Operasional ... 34

3.7 Alat dan Bahan ... 35

3.7.1 Penentuan Adanya Formalin dengan Metode Destilasi ... 35

3.7.2 Penentuan Angka Lempeng Total ... 36

3.7.3 Uji Kandungan Logam Berat dengan Metode Atomic Absorption Spectrometry (AAS) ... 38

3.8 Analisis Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1Gambaran Umum Lokasi penelitian ... 40

4.2 Hasil Pemeriksaan Bahaya Fisik, Kimia dan Mikrobiologis ... 43

4.3 Pohon keputusan penentuan Titik Kritis pada Tiap Tahap Proses Pembuatan Tahu Cina ... 48

4.4 Pohon keputusan penentuan Titik Kritis pada Tiap Tahap Proses Pembuatan Tahu Sumedang ... 54

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis bahaya ... 61

5.1.1 Bahaya Fisik ... 61

5.1.2 Bahaya Kimia ... 62

5.1.3 Bahaya Mikrobiologis... 66

5.2 Identifikasi Titik Kritis ... 68

5.2.1 Titik Kritis pada Pembuatan Tahu Cina ... 68

5.2.2 Titik Kritis pada Pembuatan Tahu Sumedang... 71

5.2.3 Titik Kendali Kritis ... 73

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 74

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA

(12)

Daftar tabel

Tabel 2.1 Pengelompokan bahaya kimia ... …………. 14

Tabel 2.2 Pengelompokan tingkat bahaya ... 14

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan bahaya fisik pada tahu ... 43

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan Formalin pada Tahu ... 44

Tabel 4.3 Hasil pemeriksaan logam berat pada tahu (mg/kg) ... 44

Tabel 4.4 Hasil pemeriksaan mikrobiologis pada air perendaman kedelai ... 44

Tabel 4.5 Hasil pemeriksaan mikrobiologis pada tahu ... 45

Tabel 4.6 Hasil Analisis Bahaya pada Proses Pembuatan Tahu Cina ... 46

Tabel 4.7 Analisis Resiko Bahaya ... 47

(13)

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Skema pembuatan tahu ... 22

Gambar 2.2 Prosedur kerja ... 29

Gambar 4.1 Penggilingan kedelai ... 41

Gambar 4.2 Memindahkan bubur kedelai hasil penyaringan ke wadah penggumpalan ... 41

Gambar 4.3 Proses pembuatan Tahu Sumedang ... 42

Gambar 4.4 Identifikasi titik kritis pada tahap perendaman ... 48

Gambar 4.5 Identifikasi titik kritis pada tahap penggilingan ... 49

Gambar 4.6 Identifikasi titik kritis pada tahap perebusan ………... 50

Gambar 4.7 Identifikasi titik kritis pada tahap penyaringan ... 50

Gambar 4.8 Identifikasi titik kritis pada tahap penggumpalan ... 51

Gambar 4.9 Identifikasi titik kritis pada tahap pencetakan ... 52

Gambar 4.10 Identifikasi titik kritis pada tahap perendaman kedelai ... 54

Gambar 4.11 Identifikasi titik kritis pada tahap penggilingan kedelai ... 55

Gambar 4.12 Identifikasi titik kritis pada tahap perebusan bubur kedelai ... 56

Gambar 4.13 Identifikasi titik kritis pada tahap penyaringan bubur kedelai 56 Gambar 4.14 Identifikasi titik kritis pada tahap penggumpalan bubur kedelai 57 Gambar 4.15 Identifikasi titik kritis pada tahap pencetakan tahu ... 58

Gambar 4.16 Identifikasi titik kritis pada tahap pemotongan tahu ... 59

(14)

ABSTRAK

Keamanan pangan merupakan syarat penting bagi pangan yang hendak dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidakamanan pangan bisa terjadi pada proses pengolahan pangan yang disebut titik kritis yang apabila tidak dikendalikan bisa membahayakan masyarakat.

Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menganalis bahaya dan mengetahui titik kritis pada industri rumah tangga pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan dokumentasi proses pembuatan tahu.

Hasil penelitian menunjukkan adanya cemaran fisik berupa pasir dan kedelai hitam pada Tahu Cina dan pada Tahu Sumedang hanya ditemukan kedelai hitam. Kedua air perendaman kedelai mengandung E.coli. Pada tahu tidak ditemukan E.coli maupun Salmonella. Bahan penggumpal yaitu kalsium sulfat melebihi dosis untuk pembuatan Tahu Cina. Logam berat (timbal, tembaga, arsen) pada kedua jenis tahu belum melebihi batas aman. Formalin positif pada kedua tahu. Titik kritis pada pembuatan Tahu Cina adalah pada tahap perendaman kedelai, penggumpalan dan pencetakan. Titik kritis pada pembuatan Tahu Sumedang adalah pada perendaman kedelai.

Berdasarkan hasil penelitian, produsen diharapkan untuk memakai bahan kimia sesuai takaran dan tidak memakai bahan kimia yang dilarang. Menggunakan air bersih dalam proses produksi dan memerhatikan kebersihan peralatan yang digunakan sebab peralatan dan bahan-bahan yang digunakan tidak boleh mencemari produk yang bisa membahayakan konsumen.

(15)

ABSTRACT

Food secure is an important condition for food that will be consumed by society. Food insecurity can be happen on food processing process call critical point which is if uncontrolled can endanger society.

This research is observational survey with purpose to analize hazards and to know critical points in the making of Chinese Tofu and Sumedang Tofu at Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. Data collecting done by observation and documentation Tofu making process.

The research result showing the existence of physic contamination such as sand and rotten soybean on Chinese Tofu and just rotten soybean found on Sumedang Tofu.Both of soybean soaking water containing E.coli. Undiscovered E.coli and also Salmonella on tofu. Curd material which is sulphate calcium exceed dose for making Chinese Tofu. Heavy metal (lead, copper, arsenic) at both of the tofu not exceed secure perimeter yet. Formalin positive at both of the tofu. Critical points at the making of Chinese Tofu are on soybean soaking, curd and printing. Critical point found for Sumedang Tofu processing process on soybean soaking.

Base of the observational result, producer expecting to using chemical material accords measuring, do not use harmfull chemical material. Utilizing clean water in production process and paying attention to equipment hygiene that is utilized and material those are utilized may not contaminate product that be endanger consumer.

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak

azasi setiap warga masyarakat sehingga harus tersedia dalam jumlah yang cukup,

aman, bermutu, bergizi, beragam dengan harga yang terjangkau oleh kemampuan

daya beli masyarakat.

Keamanan pangan merupakan syarat penting pada pangan yang hendak

dikonsumsi oleh masyarakat. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari

dapur rumah tangga maupun dari industri rumah tangga. Oleh karena itu industri

pangan adalah salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar

mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu program pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk menjaga

agar makanan tidak tercemar sebelum disajikan. Sistem ini merupakan pendekatan

sistematis terhadap identifikasi, evaluasi pengawasan keamanan pangan secara

bermakna (Arisman, 2009).

Sistem HACCP terutama diterapkan dalam industri makanan besar, tetapi

WHO telah membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan hingga ke tingkat rumah

tangga. Konsep HACCP merupakan penggabungan dari mikrobiologis makanan,

(17)

jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan.

Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus dilindungi terhadap pangan

yang tidak memenuhi syarat dan terhadap kerugian sebagai akibat produksi,

peredaran dan perdagangan pangan yang tidak benar. Cara produksi dan peredaran

pangan yang tidak benar dapat merugikan dan membahayakan bagi kesehatan.

Penjamin pangan yang aman merupakan tanggungjawab pemerintah, industri pangan

dan konsumen sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing (Cahyadi, 2008).

Makanan yang kita makan sehari-hari mempunyai resiko menjadi tidak aman

untuk dikonsumsi, karena kemungkinan dicemari bahan-bahan yang berbahaya

seperti mikroba, bahan kimia, atau bahan lainnya yang dapat meracuni atau

mengganggu kesehatan. Karena itu tindakan-tindakan untuk mencegah timbulnya

bahaya dalam makanan baik fisik, kimia dan bahaya biologis dalam seluruh rantai

makanan harus dipahami sepenuhnya.

Makanan yang sehat adalah makanan yang higienis serta mengandung zat

gizi. Makanan yang higienis yaitu makanan yang tidak mengandung kuman penyakit

dan tidak boleh bersifat meracuni tubuh. Dalam pengolahan bahan makanan, banyak

cara yang dilakukan orang atau produsen untuk mendapatkan produk akhir yang

menarik dengan daya simpan yang tinggi, yaitu dengan menggunakan bahan

tambahan makanan. Bahan tambahan makanan (aditif) adalah zat yang ditambahkan

pada makanan yang diberikan dalam jumlah tertentu dengan maksud untuk

(18)

proses pengolahan makanan selama kadarnya tidak melebihi kadar yang dapat

ditolerir oleh tubuh (Irianto dan Kusno, 2004).

Kandungan dan komposisi zat gizi pangan seringkali tidak menjadi faktor

penentu dalam pemilihan jenis pangan, kecuali bagi konsumen yang memperhatikan

segi kesehatan. Keamanan pangan didefenisikan sebagai kondisi dan upaya yang

diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan

benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan

manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat

sehingga aman untuk dikonsumsi (Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2012 tentang

Pangan).

Tahu merupakan makanan hasil olahan kedelai yang sudah tidak asing lagi

bagi masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat kelas atas menengah dan bawah

karena rasanya enak, mudah dibuat, harganya murah, tinggi protein, dan dapat diolah

menjadi berbagai bentuk masakan seperti cemilan, bahkan tidak sedikit masyarakat

yang membuat tahu menjadi lauk sehari-hari. Tahu berasal dari Cina. Nama tahu

adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) yang secara harafiah berarti kedelai yang difermentasi.

Secara umum mutu tahu yang baik mempunyai ciri-ciri tekstur kompak dan

kenyal, penampakan halus tanpa lendir, rasa tidak pahit dan tidak asam, flavor

normal, bau tahu tercium khas bau kedelai, warna putih kecuali tahu kuning yang

(19)

tidak akan menghasilkan tahu dengan kualitas yang baik. Agar diperoleh kualitas

yang baik maka tahap-tahap pengolahan harus memenuhi standar proses pembuatan

tahu.

Proses pembuatan tahu secara sederhana terdiri dari perendaman kedelai

kering yang sudah disortasi dengan menggunakan air bersih selama 4 sampai 12 jam,

pengupasan, perendaman dengan air bersih selama 45 menit, penggilingan, perebusan

selama 30 menit, penyaringan bubur kedelai, pendidihan susu kedelai, penggumpalan

dengan bahan penggumpal dan pencetakan tahu. Sortasi pada kedelai yaitu dengan

memilih kedelai yang baik, biji kedelai yang kurang baik misalnya berwarna hitam,

terdapat bercak serangga dan sebagainya maka kedelai yang seperti itu perlu dipilah

agar tahu yang dihasilkan dapat bermutu tinggi. Tahap pencucian, perebusan,

penggilingan, penggumpalan biji kedelai harus menggunakan air bersih yang bebas

kaporit dan tidak tercemar bakteri patogen seperti e-coli. Penambahan bahan

pengawet seperti formalin dan boraks tidak diperbolehkan karena akan

membahayakan konsumen.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nungki Nurul pada 2006 di industri

rumah tangga pembuatan tahu di Plamongansari Pedurungan, kota Semarang

menunjukkan adanya cemaran fisik pada kedelai yang berupa ranting, kulit kayu,

kulit polong, jagung, dan kedelai hitam. Pada tahu ditemukan cemaran berupa butiran

berwarna hitam dan coklat. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan tidak ada

formalin dan bakteri e-coli tetapi ditemukan bakteri lain yang tidak terindentifikasi.

(20)

proses pembungkusan dengan kain dan proses penyimpanan dapat mempengaruhi

kesehatan konsumen dan mutu tahu.

Hingga sekarang ini sudah semakin banyak industri rumah tangga yang

memproduksi tahu. Industri Rumah Tangga (IRT) adalah perusahaan pangan yang

memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual

hingga semi otomatis. Di kota Medan sendiri terdapat 42 unit industri rumah tangga

pembuatan tahu. Jenis tahu yang paling umum diproduksi yaitu tahu cina, tahu

sumedang mentah dan tahu sumedang goreng ( Giska, dkk. 2013)

Salah satu daerah penghasil tahu di kota Medan yaitu Kelurahan Sari Rejo,

Medan Polonia. Disini ada beberapa industri rumah tangga pembuatan tahu yang

menggunakan teknologi sederhana dalam proses pembuatannya. Produk pangan yang

diolah menggunakan teknologi sederhana biasanya memiliki masa layak konsumsi

yang lebih singkat dibandingkan produk pangan yang diolah dengan teknologi tinggi

karena adanya perbedaan standar keamanan. Pangan yang tidak aman yang

disebabkan interaksi antara bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik tentunya akan

mempengaruhi kesehatan manusia.

Survei awal yang dilakukan pada kedua industri pembuatan Tahu Cina dan

Tahu Sumedang ini memperlihatkan bahwa sarana industri tidak mempunyai

sekat/dinding ke arah luar. Mengingat lokasi ini terletak di dekat jalan yang ramai

(21)

bak perendaman kedelai dan penampungan bubur kedelai terlihat hitam dan berlumut

yang memungkinkan adanya bahaya fisik pada produk tahu. Mesin-mesin penggiling

yang berkarat bisa saja terkikis dan menyebabkan tahu tercemar logam berat. Di

sekitar industri pembuatan Tahu Sumedang juga terlihat sampah berserakan dan lalat

beterbangan yang bisa memindahkan kuman penyakit ke produk tahu. Selain

kebersihan alat, kebersihan pekerja juga sangat mempengaruhi kualitas suatu produk.

Para pekerja di industri ini terutama yang bertugas mencetak tahu tidak menggunakan

pakaian sehingga memungkinkan tahu yang dicetak terkontaminasi keringat pekerja.

Sehubungan dengan kondisi di atas peneliti tertarik untuk meneliti proses

pembuatan tahu di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia untuk melihat

kemungkinan adanya titik kritis seperti bahaya mikrobiologi pada tahap perendaman

dan pencetakan, bahaya fisik pada bubur kedelai dan pada proses penggilingan, serta

bahaya kimia pada proses penggumpalan tahu.

1.2 Perumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan penelitian adalah pada proses pembuatan tahu,

tahap mana saja yang dianggap sebagai titik kritis.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui titik kritis pada proses pembuatan Tahu Cina dan Tahu

Sumedang pada industri rumah tangga di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan

(22)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pada proses pembuatan tahu tahap apa saja yang bisa

menimbulkan bahaya bagi kesehatan ( titik kritis).

2. Untuk mengetahui bahaya kimia (formalin, logam berat dan kadar bahan

penggumpal CaSO4) pada tahu yang diproduksi di Industri Rumah Tangga

pembuatan Tahu Cina dan Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu

Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia.

3. Untuk mengetahui bahaya mikrobiologis pada air rendaman kedelai dan pada

tahu yang diproduksi di Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Cina dan

Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo.

4. Untuk mengetahui bahaya fisik yang terdapat pada tahu hasil produksi

Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Cina dan Industri Rumah Tangga

pembuatan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan

Polonia.

1.4 Manfaat Penelitian

Sebagai informasi yang dapat mendukung ilmu pengetahuan terutama dalam

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

Proses pengolahan dan pengawetan pada makanan dan minuman perlu

dilakukan secara tepat dan benar, disertai dengan sistem pengawasan yang ketat

karena bahan makanan dan minuman berkaitan langsung dengan kesehatan

konsumen. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi akibat buruk yang tidak diinginkan

terhadap konsumen (Suprapti, 2005).

Dalam buku Pangan dan Gizi karangan Sagung Seto tahun 2001, konsep

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pertama kali dikembangkan ketika perusahaan Pillsbury di Amerika Serikat bersama-sama dengan US Army Nautics Research and Development Laboratories, The National Aeronautics and Space Administration serta US Air Force Space Laboratory Projec Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan makanan untuk dikonsumsi astronot pada gravitasi

nol. Misi yang paling utama dalam pembuatan produk tersebut adalah menjamin

keamanan produk agar para astronot tidak jatuh sakit. Jadi, perlu dikembangkan

pendekatan yang dapat memberi jaminan mendekati 100% aman.

Tim tersebut akhirnya menyimpulkan cara terbaik untuk mendapatkan

jaminan tertinggi adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan rekaman data

yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP ini, jika diterapkan dengan

(24)

Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati satu per satu bahan baku proses

dari sejak di lapangan sampai dengan pengolahannya. Bahaya yang dipertimbangkan

adalah bahaya patogen, logam berat, toksin, bahaya fisik, dan kimia serta perlakuan

yang mungkin dapat mengurangi cemaran itu (Seto, 2001).

Pada 1985, The National Academy of Science (NAS) merekomendasikan

penerapan HACCP dalam publikasinya “An Evaluation of The Role of

Microbiological Criteria for Food and Foods Ingredients.” International Commisions on Microbiological Spesification for Foods (ICMSF) juga menerima konsep HACCP dan memperkenalkannya ke luar Amerika Serikat. Ketika NAS

membentuk The National Advisory Commitee on Microbiological Criteria for Food (NACMCF), maka konsep HACCP semakin dikembangkan dengan disusunnya 7

prinsip HACCP yang dikenal sampai saat ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi

oleh berbagai negara termasuk Indonesia (Mortimore dan Wallace, 2004).

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu program pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk menjaga

agar makanan tidak tercemar sebelum disajikan. Sistem ini merupakan pendekatan

sistematis terhadap identifikasi, evaluasi pengawasan keamanan pangan secara

bermakna (Arisman, 2009).

Sistem HACCP terutama diterapkan dalam industri makanan besar, tetapi

WHO telah membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan hingga ke tingkat rumah

(25)

jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno Koswara tentang “HACCP dan

penerapannya pada produk bakeri.” Pada tahap pembentukan adonan dan filling (pengisian krim/vla ke dalam roti) diidentifikasi adanya mikroba salmonella aureus yang disebabkan oleh kebersihan pekerja yang kurang. Juga terdapat salmonella dari cangkang telur yang terbawa karena pemecahan telur yang kurang hati-hati. Pad a

tahap fermentasi ditemukan bakteri dan kapang yang berasal dari kontaminasi wadah.

Bahaya fisik yang ditemukan yaitu rambut dan serangga.

Tahu aci adalah tahu khas daerah Tegal yang dipotong berbentuk segitiga dan

diberi pulungan aci (kanji) diatasnya kemudian digoreng. Pada proses pembuatan

tahu aci analisis potensi bahaya terdapat pada tahap perendaman kedelai dalam ember

dengan air hangat karena air yang digunakan kurang bersih, perebusan bubur kedelai

dengan suhu yang kurang tepat, pemotongan tahu secara manual menggunakan alat

yang kurang bersih karena tidak dicuci terlebih dahulu menyebabkan tahu tercemar.

Pemeriksaan laboratorium negatif untuk formalin, boraks dan e-coli (Andriyani,

(26)

Dalam buku karangan Thaheer tahun 2005, sistem HACCP terdiri dari 7

prinsip sebagai berikut:

Gambar 2.1 Tujuh Prinsip Sistem HACCP Melakukan analisa bahaya

Menentukan Titik Kendali Kritis (CCPs)

Menentukan batas kritis

Membuat sistem pemantauan CCP

Melakukan tindakan korektif

Menetapkan prosedur verifikasi

(27)

Tujuan dari penerapan HACCP dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu

tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penerapan HACCP adalah

memelihara kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus

keracunan pangan (Haryadi, 2001). Adapun tujuan khususnya adalah:

1) Mengevaluasi cara produksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin

timbul dari pangan.

2) Memperbaiki cara produksi pangan dengan memberikan perhatian khusus

terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis

3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan pangan serta

penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan

4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan

karyawan

2.1.1 Analisis bahaya

Bahaya ( hazard): agen biologis, kimia atau agen fisik atau faktor yang berpotensi untuk menimbulkan efek yang merugikan bagi kesehatan (WHO, 2005).

Bahaya yang ada harus ditiadakan atau dikurangi sehingga produksi pangan

dinyatakan aman. Penentuan adanya bahaya berdasarkan tiga pendekatan yaitu

keamanan pangan, sanitasi, dan penyimpangan secara ekonomi seperti penggunaan

bahan yang tidak dibenarkan. Hazard analysis, adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya yang tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah

segala macam aspek mata rantai produksi pangan yang tidak dapat diterima karena

(28)

Bahaya tersebut meliputi keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar

biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan mentah (Nurliana, 2004).

1) Bahaya kimia terjadi apabila bahan pangan terkontaminasi pestisida dan pupuk

kimia saat di lahan pertanian, logam berbahaya. Bahaya kimia juga dapat berasal

dari bahan tambahan terlarang atau bahan tambahan pangan yang melebihi

takaran maksimum yang diizinkan dalam penggunaannya. Selain itu dapat juga

berasal dari bahan pangan atau makanan yang tercemar racun kapang, misalnya

biji-bijian atau kacang-kacangan seperti kacang kedelai yang disimpan pada

kondisi yang salah.

2) Bahaya mikrobiologi meliputi: bakteri patogen (kontaminasi, pertumbuhan,

ketahanan) beserta toksin-toksin yang dihasilkannya, virus, jamur dan

mikotoksin, protozoa.

3) Potensi bahaya fisik seperti: serpihan gelas atau logam dari mesin atau wadah,

benda-benda asing seperti pasir, kerikil atau potongan kayu, rambut, tulang, atau

(29)

Tabel 2.1 Pengelompokan Bahaya Kimia Menurut National Advisory Commitee on Microbiology Criteria for Food

Pengelompokan bahaya

Penjelasan

Bahaya A bahaya yang dapat menyebabkan produk yang ditujukan untuk kelompok beresiko menjadi tidak steril. Kelompok beresiko antara lain bayi, lanjut usia, orang sakit atau orang dengan daya tahan tubuh rendah

Bahaya B yaitu produk yang mengandung bahan yang sensitif terhadap bahaya mikro biologi

Bahaya C proses yang tidak diikuti dengan langkah pengendalian terhadap mikroba berbahaya

Bahaya D produk yang terkontaminasi ulang setelah pengolahan dan sebelum pengepakan

Bahaya E bahaya yang potensial pada penanganan saat distribusi atau penanganan oleh konsumen sehingga menyebabkan produk menjadi berbahaya apabila dikonsumsi

Bahaya F yaitu bahaya yang timbul karena tidak adanya proses pemanasan akhir setelah proses pengepakan atau ketika dimasak di rumah

(Sumber: Sara dan Wallace, 2004)

Tabel 2.2 Pengelompokan Tingkat Bahaya Tingkat bahaya Penjelasan

Kategori 6 Jika bahan pangan mengandung bahaya A atau ditambah dengan bahaya yang lain

Kategori 5 Jika bahan pangan mengandung lima karakteristik bahaya (B,C,D,E,F)

Kategori 4 Jika bahan pangan mengandung empat karakteristik bahaya (antara B-F)

Kategori 3 Jika bahan pangan mengandung tiga karakteristik bahaya (antara B – F)

Kategori 2 Jika bahan pangan mengandung dua karakteristik bahaya (antara B – F)

Kategori 1 Jika bahan pangan mengandung satu karakteristik bahaya (antara B -F)

(30)

2.1.2 Titik Kritis

Alir makanan (food flow), yaitu perjalanan makanan dalam rangkaian proses pengolahan pangan. Titik Kritis (TK) adalah setiap titik, tahap atau prosedur pada

suatu sistem pengolahan pangan yang jika tidak terkendali dapat menyebabkan risiko

dan jika dikendalikan dapat mencegah, mengurangi atau menghilangkan bahaya.

Titik-titik kritis/kondisi rawan dalam proses pengolahan makanan bisa saja terdapat

satu atau lebih dimana kondisi rawan (critical point) tersebut harus dikendalikan untuk menghindarkan bahaya bagi konsumen (Thaheer, 2005).

Titik Kendali Kritis (TKK) atau Critical Control Point (CCP), merupakan suatu langkah/kegiatan pengendalian dan harus diterapkan untuk mencegah atau

meniadakan bahaya keamanan pangan, atau menguranginya sampai pada tingkat yang

dapat diterima. Dengan menggunakan pohon keputusan (decision tree) pada setiap tahapan proses pengolahan makanan/minuman dapat ditentukan titik kritis pada alur

proses.

Titik-titik pengendalian dalam alir makanan adalah pada:

1. Penerimaan bahan. Pada tahap penerimaan bahan harus diperhatikan apakah

kualitas bahan baku masih bagus dan layak untuk diolah menjadi

makanan/minuman

2. Pencucian bahan. Pada tahap pencucian bahan sering terjadi kontaminasi

bakteri akibat penggunaan air yang tidak bersih

(31)

4. Peracikan/persiapan bahan. Pada tahap ini sering terjadi cemaran fisik baik

dari pekerja maupun dari lingkungan. Penambahan zat-zat kimia berbahaya

atau tidak sesuai takaran oleh produsen yang bisa membahayakan konsumen.

5. Pemasakan. Suhu pemasakan yang tidak tepat menyebabkan bakteri patogen

tidak mati dan bisa membahayakan konsumen

6. Penanganan produk jadi

7. Pengemasan dan penyajian;

8. Anjuran kondisi penyimpanan produk jadi. Produk harus disimpan pada suhu

ruangan yang tepat untuk menghindari pertumbuhan kapang atau mikroba

lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Nungki Nurul Aeni pada 2006 di IRT

pembuatan tahu di Plamongansari Pedurungan, kota Semarang menunjukkan adanya

cemaran fisik pada kedelai yang berupa ranting, kulit kayu, kulit polong, jagung, dan

kedelai hitam. Pada tahu ditemukan cemaran berupa butiran berwarna hitam dan

coklat. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan tidak ada formalin dan bakteri

Escherichia coli tetapi ditemukan bakteri lain yang tidak terindentifikasi. Berdasarkan penetapan Titik Kendali Kritis (TKK) diperoleh tahap pemilihan

kedelai, proses perebusan, proses pembungkusan dengan kain dan proses

(32)

Berikut adalah pohon keputusan (decision tree) penentuan Titik Kendali Kritis (Critical Control Point) yang dibantu dengan tiga pertanyaan yaitu pertanyaan 1 (P1), pertanyaan 2 (P2), dan pertanyaan 3 (P3).

P1

P2

[image:32.612.111.545.209.509.2]

P3

Gambar 2.2 Pohon Keputusan Penentuan Titik Kendali Kritis

Sumber: SNI-01-4852-1998 (Sistem HACCP serta pedoman penerapannya)

Apakah tahap ini khusus dirancang untuk menghilangkan/mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai batas aman?

Tidak Ya

Apakah kontaminasi bahaya dapat terjadi/meningkat sampai melebihi batas?

Ya

Tidak Bukan TK

Apakah tahap berikutnya dapat menghilangkan/ mengurangi bahaya sampai batas aman?

Ya Bukan TK Tidak Titik Kritis (TK)

(33)

2.2 Tahu

Tahu yang kaya akan protein sudah lama dikonsumsi oleh masyarakat

Indonesia sebagai lauk. Nama tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) yang secara harafiah berarti kedelai yang difermentasi. Tahu pertama kali muncul di

Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu

An, seorang bangsawan yang merupakan cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang

pendiri Dinasti Han. Di Jepang tahu dikenal dengan nama tofu. Makanan ini lalu

menyebar ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan akhirnya ke seluruh dunia, termasuk

Indonesia (Sarwono, 2005).

Tahu termasuk bahan pangan yang sangat mudah rusak. Secara organoleptik

tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu

antara lain adalah rasa asam, bau masam sampai busuk, permukaan tahu berlendir,

tesktur menjadi lunak, kekompakan berkurang (Astawan, 2009).

Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan

dan diambil sarinya. Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang

terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya (Cahyadi,

2005). Dalam pembuatan tahu, digunakan beberapa macam bahan tambahan kimia

seperti bahan pelunak dan bahan penggumpal. Bahan pelunak kedelai dapat

menggunakan soda abu dengan dosis 0,3 gram atau soda kue 0,5 gram/10 liter air

rendaman kedelai. Ada tiga jenis bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai bahan

(34)

1) Asam cuka (CH3COOH), dengan perbandingan 2 bagian asam cuka

dengan 5 bagian air,

2) Batu tahu ( CaSO4) dibakar hingga menjadi bubuk putih (tepung gips) dan

dilarutkan ke dalam air sampai mengendap. Bagian yang bening kemudian

digunakan sebagai bahan penggumpal,

3) Cairan sisa (whey), cairan sisa berwarna bening yang terdapat pada bagian atas saat proses penggumpalan tahu. Cairan ini disimpan terlebih dahulu

selama 24 jam kemudian digunakan sebagai bahan penggumpal untuk

proses pembuatan tahu selanjutnya.

2.2.1 Jenis-jenis Tahu

Tahu diperdagangkan dengan berbagai variasi bentuk, ukuran dan nama. Di

pasar sudah banyak dikenal berbagai jenis tahu yang sudah memiliki nama dan berciri

khas (Sarwono, 2005) diantaranya:

1. Tahu Cina

Tahu cina yaitu: tahu yang agak keras, biasanya dicetak segi empat agak

besar, dibungkus dengan kain kasa, rasanya lebih enak daripada tahu biasa. Tahu

Cina berupa tahu putih, teksturnya lebih padat, halus, dan kenyal. Ukurannya sekitar

12 cm x 12 cm x 8 cm. Ukuran tahu relatif seragam karena proses pembuatannya

dicetak dan dipres dengan mesin. Dalam pembuatannya digunakan batu tahu (kalsium

(35)

2. Tahu Sumedang

Tahu Sumedang disebut juga tahu pong atau tahu kulit. Tahu ini merupakan

lembaran-lembaran putih setebal kira-kira 3 cm dengan tekstur lunak dan kenyal.

Tahu putih ini di simpan dalam wadah berisi air. Tahu putih yang siap olah biasanya

dipotong kecil-kecil sebelum digoreng. Tahu gorengnya berupa tahu kulit yang lunak

dan kenyal. Isinya kosong (kopong- bahasa Jawa) sehingga disebut tahu pong. Tahu sumedang biasanya dikonsumsi sebagai makanan ringan.

Bahan untuk membuat tahu sumedang umumnya sama dengan pembuatan

jenis tahu lainnya. Hanya zat penggumpalnya yang berbeda. Pada pembuatan tahu

sumedang zat penggumpal yang digunakan yaitu biang atau disebut juga whey. Whey adalah larutan sisa penggumpalan dari proses pembuatan tahu 2-3 hari sebelumnya.

3. Tahu Bandung

Tahu Bandung berbentuk persegi (kotak), tekstur agak keras dan kenyal.

Warnanya kuning karena sebelumnya telah direndam air kunyit. Tahu digoreng

dengan mengoleskan sedikit minyak di wajan.

4. Tahu Kuning

Tahu Kuning mirip tahu Cina. Bentuknya tipis dan lebar. Warna kuning

dikarenakan sepuhan atau larutan sari kunyit. Tahu ini banyak digunakan dalam

masakan Cina.

5. Tahu Takwa

Tahu Takwa merupakan tahu khas Kediri, Jawa Timur. Proses pengolahan

(36)

perendaman dan pengepresan tahu. Bahan bakunya dipilih kedelai lokal yang berbiji

kecil. Penggumpalan sari kedelai menggunakan asam cuka.

6. Tahu Sutera

Tahu ini disebut juga Tahu Jepang. Tahu ini sangat lembut dan enak. Pada

proses penggumpalan digunakan kalsium sulfat. Tahu ini mudah sekali rusak, namun

sekarang proses pembuatannya lebih modern sehingga produk lebih tahan lama. Oleh

karena itu, tahu sutera sekarang disebut long life tofu. 2.2.3 Proses Pembuatan Tahu

Proses pembuatan tahu secara umum terdiri dari tahap sortasi yaitu

memisahkan kedelai yang bagus dengan yang kurang bagus, kemudian kedelai yang

bagus dicuci, dikupas, lalu direndam. Kemudian kedelai digiling, bubur kedelai lalu

direbus dan disaring. Setelah itu diberi bahan penggumpal, lalu dicetak. Berikut

(37)
[image:37.612.112.571.133.620.2]

Gambar 2.2 Skema pembuatan tahu (Suprapti, 2005)

Kedelai yang sudah disortasi

Digiling dengan mesin penggiling Dikupas

Direndam dengan air bersih selama 45 menit Dicuci

Direbus selama 30 menit pada suhu 90°C

Disaring dengan kain saring

Susu kedelai berwarna putih susu

Digumpalkan ± 10 menit dengan suhu 75°C

Gumpalan tahu

Dipres dengan alat kempa (pemberat)

tahu

Cemaran dari mesin penggiling

Bahaya

mikrobiologis dari keringat pekerja Kemungkinan

penambahan formalin

(38)

2.3 Syarat Kualitas Tahu

Tahu merupakan pekatan protein kedelai dalam keadaan basah, dengan

komponen terbesarnya terdiri atas protein dan air. Persyaratan standar kualitas tahu

[image:38.612.119.533.250.618.2]

ditetapkan dalam tabel berikut.

Tabel 2.3 Persyaratan Standar Kualitas Tahu

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Keadaan: Bau Rasa Warna Penampakan Normal Normal

Putih normal atau kuning normal Normal, tidak berlendir, dan tidak berjamur

Abu % (b/b) Maksimal 1,0

Protein % (b/b) Minimal 9,0

Lemak % (b/b) Minimal 0,5

Serat kasar % (b/b) Maksimal 0,1

Bahan tambahan makanan % (b/b) Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Menteri

Kesehatan No.711/Men/Kes/Per/IX/1988

Cemaran logam :

Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 2,0

Tembaga (Cu) mg/kg Maksimal 30,0

Seng (Zn) mg/kg Maksimal 40,0

Timah (Sn) mg/kg Maksimal 40,0 atau 250,0 (dalam kaleng)

Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,03

Cemaran Arsen (As) mg/kg Maksimal 1,0 Cemaran mikroorganisme :

E.coli APM/g Maksimal 10

Salmonella /25 g Negatif

(39)

2.3.1 Bahan Kimia

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No

711/MenKes/Per/IX/88, beberapa bahan pengawet yang umum digunakan adalah :

benzoat, propionat, nitrit, sorbat, dan sulfit. Bahan tambahan yang dilarang : asam

borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin,

Kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan

formalin.

1. Boraks

Boraks (barie acid borax) biasa digunakan dalam industri gelas, pelicin porselain, alat pembersih dan antiseptik, dan pembasmi semut. Penggunaan boraks

apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat mengganggu proses pencernaan usus,

kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dosis fatal boraks yaitu

antara 0,1-0,5 gram/ kg BB (Cahyo dan Diana, 2006)

2. Formalin

Syarat zat pengawet adalah mampu membunuh kontaminan mikroorganisme,

tidak toksik atau menyebabkan iritasi pada pengguna, stabil dan aktif, serta selektrif

dan tidak bereaksi dengan bahan. Alasan para produsen menggunakan formalin dan

boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah

digunakan dan mudah didapat, karena harga nya relatif murah dibanding bahan

pengawet lain yang tidak berpengaruh buruk pada kesehatan (Yuliarti, 2007).

Dalam dunia fotografi formalin digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin

(40)

hidup di sisik ikan dan untuk mengobati kulit berlendir. Di dunia kedokteran

digunakan dalam pengawetan mayat. Untuk pengawetan biasanya digunakan formalin

dengan konsentrasi 10% (Winarno, 2004).

Formalin merupakan larutan yang digunakan sebagai desinfektan. Selain itu

juga digunakan pada industri tekstil untuk mencegah bahan menjadi kusut dan

meningkatkan ketahanan bahan tenunan. Dalam bidang farmasi formalin digunakan

sebagai obat penyakit kutil karena kemampuan formalin yang dapat merusak protein.

Formalin dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa sakit disertai radang.

Hal ini karena sifatnya yang merupakan iritan kuat. Formalin dapat juga

menyebabkan muntah dan diare (Cahyadi, 2008).

Penyimpanan tahu pada suhu rendah (15°C) hanya dapat mempertahankan

umur simpan tahu selama 1-2 hari, sedangkan tahu yang dibiarkan pada udara terbuka

tanpa perendaman di dalam air pada suhu kamar hanya tahan sekitar 10 jam. Tahu

yang mengandung formalin atau boraks berbentuk bagus, kenyal, tidak mudah

hancur, awet hingga lebih dari 3 hari, bahkan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es,

dan berbau menyengat khas formalin (Edi Afrianto, 2008).

3. Kalsium Sulfat

Secara umum terdapat dua jenis bahan pengeras makanan yang biasa

digunakan yaitu bahan aluminium sulfat beserta turunan kimianya ( aluminium

ammonium sulfat ataupun aluminium natrium sulfat) dan segala jenis turunan kimia

(41)

Garam kalsium dinilai memiliki banyak kadar kalsium yang secara langsung

akan menyebabkan menumpuknya kalsium dalam darah. Jika ini terjadi, maka fungsi

syaraf akan memburuk, kinerja tubuh akan menurun, kerusakan ginjal dan

menyebabkan terjadinya penggumpalan pada aliran darah dan cairan dalam tubuh. 2.3.2 Bahaya Mikrobiologis

Bahaya mikrobiologis pada tahu tergantung dari beberapa faktor, antara lain

adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan bakteri pembentukan spora, suhu

penyimpanan, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses

pembuatan sampai tahu siap untuk dikonsumsi. Bakteri yang ditemukan dalam tahu

biasanya dikarenakan pada proses pengolahannya terjadi kontaminasi . Sumber utama

pencemaran bakteri pada tahu biasanya berasal dari bahan mentah , tanah dan air

yang menjadi sumber utama dari bakteri yang dapat menyebabkan keracunan dan

bakteri pembentuk spora seperti Bacillus sp. Lingkungan proses produksi dan karyawan atau pengolah makanan juga menjadi sumber dari kontaminasi bakteri

seperti Escherichia coli dan Salmonella (Santoso, 2010)

Penelitian yang dilakukan oleh Fredia dan kawan-kawan pada tahun 2012 di

industri pembuatan tahu skala rumah tangga di Ketapang Kalimantan Barat yaitu

bahaya mikrobiologis yang teridentifikasi adalah mikroba aspergillus flavus penghasil aflatoksin yang mampu hidup dalam produk pangan dan menyebabkan

pembusukan lebih cepat dari biasanya. Juga ditemukan bahaya mikrobiologis pada

(42)

tidak menggunakan pakaian sehingga keringat bisa saja jatuh ke bahan saat proses

pengolahan sedang berlangsung. Di dalam keringat terkandung berbagai macam zat

sisa sekresi, bahkan dapat berpotensi sebagai migrasi virus ke produk. Bahaya kimia

tidak ditemukan karena hanya menggunakan cuka, sedangkan bahaya fisik terjadi

pada proses pencetakan yaitu tempat pencetakan yang kurang bersih sehingga

mengakibatkan tahu menjadi kekuning-kuningan.

Salmonella sp. adalah spesies bakteri yang tidak tahan panas, dengan

demikian infeksi Salmonella dapat dicegah dengan memanaskan makanan.

Pemanasan yang disarankan untuk mencegah salmonellosis adalah pada suhu 66°C

selama paling sedikit 20 menit. Sumber kontaminasi utama dari salmonella adalah

manusia yang menangani makanan maka pengendalian yang paling penting adalah

dengan memperhatikan kebersihan pekerja yang terlibat langsung dengan penanganan

makanan. Pengendalian terhadap infeksi salmonella juga dapat dilakukan dengan

mencegah terjadinya kontaminasi silang baik antara makanan masak dengan makanan

mentah, maupun kontaminasi dari peralatan yang tidak bersih. (Arisman, 2009)

Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan hewan dan manusia karena secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni tubuh, seringkali menyebabkan infeksi. Escherichia coli dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita, pencemarannya tidak selalu melalui air,

melainkan secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman.

(43)

enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare (Jawetz dkk, 1995). Bila

pertahanan inang normal tidak mencukupi Escherichia coli dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan sepsis.

Suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37°C tetapi Escherichia coli juga mampu tumbuh pada kisaran suhu yang lebar yaitu antara 15 °C-45°C. Strain Escherichia coli juga dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 55°C selama 60 menit dan bahkan pada suhu 60°C selama 15 menit (Willshaw dkk, 2000).

2.4Kerangka Teori

Proses pembuatan tahu diawali dengan pemilihan mutu kedelai yaitu dengan

cara memilih yang berbiji besar, kemudian dicuci dengan air bersih lalu direndam

dalam air yang banyak selama enam jam. Proses selanjutnya dilakukan, pengupasan,

perendaman kembali agar biji kedelai menjadi lunak, penggilingan, sampai menjadi

bubur kedelai yang baik. Berikutnya penyaringan, pemberian zat penggumpal, dan

pemotongan (Sarwono dan Pieter, 2005).

Air sebagai bahan yang selalu terlibat pada setiap tahap proses pembuatan

tahu berpeluang sebagai sumber kontaminasi oleh bakteri patogen yang berbahaya

bagi konsumen apabila sanitasinya kurang baik. Air yang tidak bersih akan

menurunkan mutu tahu. Air ini digunakan saat pencucian, perendaman kedelai, dan

tahu yang sudah siap. Di samping itu, kebersihan diri, alat dan lingkungan kerja harus

mendapat perhatian. Beberapa spesies bakteri yang umumnya terdapat di dalam air

(44)

streptococcus, dan jenis enterokokus diantaranya enterobakter dan escherichia (Santoso, 2010).

Selain bahaya mikrobiologis, bahaya kimia seringkali ditemukan pada produk

tahu akibat penambahan bahan pengawet seperti fomalin karena sifat tahu yang tidak

tahan lama. Disimpan pada kondisi biasa (suhu ruang) tahu hanya tahan 1-2 hari saja.

Formalin merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi manusia karena

merupakan racun. Pada umumnya, alasan para produsen menggunakan formalin dan

boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah

digunakan dan mudah didapat (Edi Afrianto, 2008).

2.5 Prosedur Kerja

Gambar berikut adalah prosedur kerja identifikasi titik kritis pada proses

[image:44.612.91.541.469.655.2]

produksi tahu.

Gambar 2.3 Prosedur Kerja Penggunaan air yang tercemar

Bahaya kimia

bahaya fisik Proses

Pembuatan Tahu

-Penggunaan formalin

– Penggunaan bahan pengumpal

- Logam berat

-peralatan yang tidak bersih -cemaran dari lingkungan - cemaran dari bahan baku

(45)

Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa pada proses pembuatan Tahu Cina

dan Tahu Sumedang akan ditemukan titik kritis yang bisa menimbulkan bahaya bagi

kesehatan seperti ditemukannya bahaya kimia akibat penggunaan bahan tambahan

pangan yang dilarang. Bahaya mikrobiologis kemungkinan dari air tercemar yang

digunakan selama proses pembuatan tahu. Bahaya fisik diakibatkan peralatan yang

digunakan tidak bersih, juga adanya cemaran dari lingkungan dan cemaran dari bahan

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian survei ini bersifat deskriptif yaitu mengetahui gambaran proses

pembuatan tahu dan hasil analisis bahaya fisik, bahaya kimia dan bahaya biologis

pada Tahu Cina dan Tahu Sumedang yang di produksi di industri rumah tangga di

Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua industri rumah tangga yang memproduksi Tahu

Cina dan yang memproduksi Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo, Medan

Polonia. Di Kelurahan Sari Rejo sendiri terdapat beberapa industri rumah tangga

pembuatan tahu baik yang masih menggunakan peralatan sederhana maupun yang

sudah menggunakan teknologi mesin. Alasan pemilihan lokasi ini karena kedua

industri rumah tangga inilah yang sudah menggunakan teknologi mesin dan wilayah

pemasaran produknya yang sudah luas dibandingkan industri rumah tangga lain yang

ada di Kelurahan Sari Rejo. Sampel dari lokasi penelitian kemudian dibawa ke

laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk

diperiksa bahaya mikrobiologis dan kimianya. Untuk pemeriksaan bahaya fisik

(47)

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai Oktober-November 2014.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah Tahu Cina dan Tahu Sumedang yang diproduksi di

Kelurahan Sari Rejo.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Untuk mengetahui di tahap mana saja akan ditemukan titik kritis maka

pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung dan dokumentasi proses

pembuatan Tahu Cina dan proses pembuatan Tahu Sumedang. Pada setiap tahapan

proses pembuatan tahu akan digunakan form pohon keputusan (decision tree).

Sampel untuk pemeriksaan bahaya mikrobiologis, bahaya kimia dan bahaya

fisik yaitu beberapa potongan tahu yang diambil dari satu baki pencetakan. Untuk

pengambilan sampel perlu disiapkan alat seperti termos, plastik putih, botol air

mineral, sarung tangan, dan alkohol 96%. Proses pengambilan sampel dilakukan

secara hati-hati untuk mencegah adanya kontaminasi dari peneliti maupun dari

lingkungan. Prosedur pengambilan sampel untuk air pencucian dan perendaman

kedelai adalah sebagai berikut:

(1) Siapkan termos yang sudah disterilkan dengan membilasnya menggunakan

alkohol.

(2) Siapkan dua buah botol yang sudah diberi tanda untuk wadah pengambilan air

(48)

(3) Gunakan sarung tangan lalu semprot dengan alkohol

(4) Masukkan botol ke dalam drum pencucian kedelai. Setelah sampel kira-kira

sudah cukup botol kemudian ditutup

(5) Semprotkan udara sekitar dengan alkohol lalu masukkan sampel ke dalam termos

(6) Untuk pengambilan air perendaman, masukkan botol ke dalam drum perendaman

kedelai. Setelah sampel kira-kira sudah cukup botol kemudian ditutup

(7) Semprotkan udara sekitar dengan alkohol lalu masukkan sampel ke dalam termos

(8) Tutup termos dengan rapat lalu diikat dengan lakban

(9) Sampel dibawa ke laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan

(BARISTAND) untuk diperiksa bahaya mikrobiologis dan kimianya

Pengambilan sampel tahu dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

(1) Ambil plastik putih, bilas dengan alkohol

(2) Gunakan sarung tangan lalu semprot dengan alkohol

(3) Ambil beberapa potongan tahu lalu masukkan ke dalam plastik

(4) Semprotkan udara sekitar dengan alkohol lalu masukkan sampel ke dalam termos

(5) Tutup termos dengan rapat lalu diikat dengan lakban

(6) Sampel dibawa ke laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan

(49)

Untuk pemeriksaan bahaya fisik, prosedur kerjanya sebagai berikut:

(1) Dengan menggunakan sarung tangan steril, ambil beberapa potongan tahu dari

baki pencetakan yang sama untuk sampel mikrobiologis dan kimia. Masukkan ke

dalam plastik putih yang sudah disterilkan dengan alkohol

(2) Tahu kemudian dibawa ke laboratorium Gizi FKM USU

(3) Tahu digerus diatas gelas objek secara perlahan dengan menggunakan spatula

(4) Isi gelas beaker dengan air secukupnya lalu masukkan tahu yang sudah digerus

(5) Amati apakah ada cemaran, baik yang mengapung seperti serpihan kayu maupun

cemaran yang tenggelam mis. butiran pasir

3.4.2 Data Sekunder

Meliputi gambaran umum wilayah Kelurahan Sari Rejo dan informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menggunakan form identifikasi bahaya dan form pohon

keputusan (decision tree) titik kritis.

3.6 Defenisi Operasional

1. Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan penilaian informasi

mengenai bahaya yang berdampak pada keamanan pangan dalam proses

pembuatan tahu.

2. Identifikasi titik kritis adalah penentuan suatu titik atau tahap yang dianggap

rawan dan harus dikendalikan dengan melihat secara langsung proses

(50)

3. Tahu Cina adalah tahu yang diperoleh dari Industri Rumah Tangga

pembuatan tahu di Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia.

4. Tahu Sumedang adalah tahu yang diperoleh dari Industri Rumah Tangga

pembuatan tahu di Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia.

5. Bahaya fisik adalah adanya benda asing seperti pasir, kerikil, potongan kayu,

rambut, atau cemaran lainnya yang ditemukan pada produk tahu.

6. Formalin adalah bahan tambahan kimia yang berfungsi sebagai desinfektan

dan pengawet mayat.

7. Mikroba adalah mikroorganisme atau organisme yang berukuran sangat kecil

sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantuan.

8. Logam berat adalah adanya kandungan timbal, tembaga, dan arsen pada

produk tahu yang yang berasal dari bahan maupun peralatan yang digunakan

pada proses pembuatan tahu.

3.7 Alat dan Bahan

3.7.1 Penentuan Adanya Formalin dengan Metode Destilasi a. Peralatan

Berikut ini adalah peralatan yang digunakan untuk uji formalin:

1) Neraca analitik

2) Erlenmeyer

3) Seperangkat alat destilasi

4) Tabung reaksi

(51)

b. Bahan

1) Tahu Cina

2) Tahu Sumedang

3) Aquadest

4) Asam phospat 85%

5) Larutan AgNo3

6) Asam kromatoprat 0,5% dalam H2SO4 60%

c. Cara Kerja

1. Timbang 50 gr sampel masukkan ke dalam labu destilasi

2. Tambahkan 100 ml aqaduest dan 5 ml Asam phospat 85%

3. Pasang alat destilasi, lakukan destilasi sampai diperoleh destilat 50 ml yang

ditampung di dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml aquadest (ujung pendingin

harus tercelup ke dalam aquadest)

4. Sebagian di destilat masukkan ke dalam tabung reaksi + Asam kromatoprat

0,5% dalam H2SO4 60%, panaskan dalam water bath sampai menjadi

warna ungu (Cahyo dan Diana, 2006).

3.7.2 Penentuan Angka Lempeng Total a. Peralatan

1) Timbangan dengan ketelitian 0,0001 g

2) Alat hitung koloni

3) Autoclave

(52)

5) Inkubator 35 ± 1°C

6) Anaerobic jar

7) Cawan petri 15 mm x 90 mm

8) Botol pengencer

9) Batang gelas bengkok dengan diameter 3-4mm, panjang tangkai 15-20mm

10) Pipet gelas: 0,1 ml; 1 ml; 5 ml dan 10 ml

b. Bahan

1) Tahu Cina

2) Tahu Sumedang

c. Media dan pengencer

1) Plate Count Agar (PCA)

2) Larutan Butterfield’sphosphate Buffered

3) Gas pack dan indikator air anaerob

d. Cara Kerja

1. Masing-masing sampel ditimbang 25 gram dimasukkan ke dalam gelas ukur,

kemudian ditambahkan larutan buffer phosphat pH.7.0 hingga mencapai

volume 100 ml, kemudian dikocok sampai homogen

2. Dengan menggunakan pipet steril, pindahkan 1 ml suspensi di atas ke dalam

larutan buffer Phosfat. Lakukan pengenceran sampai di dapat pengenceran

(53)

Pengenceran dilanjutkan hingga terbentuk suspensi akhir dengan

pengenceran 10-6.

3. Dengan menggunakan pipet ambil 1 ml dari setiap pengenceran 10-1, 10-2

dst masukkan ke dalam cawan petri steril. Lakukan secara duplo untuk setiap

pengenceran.

4. Ke dalam cawan petri tuang 12 ml – 15 ml PCA, cawan petri digoyang

hingga suspensi tersebar merata

5. Setelah agar menjadi padat, cawan diinkubasi pada suhu 22°C ± 1°C selama

48 jam ± 2 jam dalam posisi dibalik

6. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung (Harmita dan Maksum,

2006)

3.7.3 Uji Kandungan Logam Berat dengan Metode Atomic Absorption Spectrometry (AAS)

a. Peralatan

1) Perangkat AAS

2) Tanur

3) Hot plate

4) Batang pengaduk

5) Kertas saring

6) Timbangan

b. Bahan

1) Tahu Cina dan Tahu Sumedang

(54)

3) Aquadest

c. Prosedur

1. Timbang sampel sebanyak 5 gram, ditanur selama jam pada suhu tanur

300°C

2. Sampel yang sudah ditanur didiamkan hingga dingin

3. Larutan HNO3 6,5% sebanyak 10 ml di masukan ke dalam sampel yang telah

di tanur.

4. Sampel di panaskan pada hot plate selama 5 menit

5. Sampel diaduk menggunakan batang pengaduk agar tercampur dengan larutan

6. Sampel disaring menggunakan kertas saring lalu campurkan aquadest sampai

larutan mencapai 50ml

7. Menyiapkan alat AAS yang telah tersambung dengan komputer yang akan

mencatat hasil analisis (Darmono, 1995).

3.8 Analisis Data

Data yang diperoleh di lapangan beserta hasil pemeriksaan laboratorium

(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Sari Rejo adalah satu dari lima kelurahan di Kecamatan Medan

Polonia. Di daerah ini terdapat 12 Industri Rumah Tangga pembuatan tahu dimana 11

industri yang memroduksi Tahu Sumedang berada di daerah Jalan Ayahanda dan 1

industri yang memproduksi Tahu Cina berada di Jalan Langgar. Industri rumah

tangga pembuatan tahu yang menjadi lokasi penelitian yaitu 1 industri yang berada di

Jalan Ayahanda dan 1 indutri Tahu Cina yang berada di Jalan Langgar. Daerah ini

lumayan strategis menjadi tempat pembuatan tahu karena bahan baku kedelai berupa

kedelai impor mudah diperoleh yang dipasok dari daerah Helvetia juga adanya lahan

yang tersedia sebagai tempat berdirinya industri rumah tangga.

Industri rumah tangga pembuatan Tahu Cina mempunyai luas kira-kira 9x6

meter, dengan bentuk huruf L. Industri ini memiliki halaman yang cukup luas yang

digunakan sebagai tempat parkir truk pengangkut kedelai dan tahu. Industri ini

menggunakan 3 mesin penggiling kedelai dan 3 mesin perebusan bubur kedelai yang

digunakan secara bersamaan setiap hari untuk menghemat waktu kerja, dan 1 alat

penyaring. Di sebelah ruangan produksi terdapat satu tungku berukuran besar yang

digunakan untuk memanaskan air dalam pipa dan uap yang nantinya keluar dari pipa

(56)
[image:56.612.123.519.111.382.2]

Gambar 4.1 Penggilingan Kedelai Gambar 4.2 Pemindahan Bubur Kedelai Hasil Penyaringan ke Wadah Penggumpalan

Dari gambar 4.1 dan 4.2 di atas, peralatan yang digunakan dalam proses

pembuatan Tahu Cina tidak terawat, terlihat dari mesin yang sudah usang dan

berkarat. Begitu juga dengan drum yang digunakan untuk memindahkan bubur

kedelai hasil saringan ke wadah penggumpalan terlihat berwarna coklat dan kotor.

Peralatan yang tidak bersih seperti ini bisa mencemari produk karena terlepasnya

(57)

Tidak berbeda jauh dengan industri pembuatan Tahu Cina, industri pembuatan

Tahu Sumedang juga menggunakan tungku untuk menyalurkan uap yang dibutuhkan

untuk proses perebusan bubur kedelai. Dengan luas bangunan kira-kira 7x7 meter,

disinilah diproduksi Tahu Sumedang setiap hari dengan menggunakan satu alat

penggiling kedelai, dua kuali perebusan dan dua alat penyaring. Sisi kanan dan kiri

industri digunakan sebagai area pencetakan tahu dengan meletakkan baki-baki

pencetakan dalam posisi berjajar.

Gambar 4.3 Proses Pembuatan Tahu Sumedang

Dari gambar terlihat ada dua buah bak penampungan air, yang satu berlumut

dan bak yang lain berwarna cokelat. Bak ini digunakan untuk menampung air yang

[image:57.612.114.525.330.574.2]
(58)

penggilingan dan perendaman tahu yang sudah jadi. Terlihat juga jeregen-jeregen

perendaman kedelai yang kotor. Bak dan jeregen yang tidak dibersihkan akan

memicu produk yang dihasilkan kurang baik seperti adanya cemaran yang akan

mengotori produk.

4.2 Hasil Pemeriksaan Bahaya Fisik, Kimia dan Mikrobiologis

Pemeriksaan fisik pada tahu dilakukan setelah tahap pencetakan. Pemeriksaan

cemaran fisik pada tahu dilakukan untuk melihat adanya benda asing yang mungkin

terikut ke produk saat proses produksi.

Tabel dibawah ini menunjukkan hasil pemeriksaan bahaya fisik pada sampel

[image:58.612.114.524.430.477.2]

Tahu

Gambar

Gambar 2.1 Tujuh Prinsip Sistem HACCP
Tabel 2.2 Pengelompokan Tingkat Bahaya
Gambar 2.2 Pohon Keputusan Penentuan Titik Kendali Kritis
Gambar 2.2 Skema pembuatan tahu (Suprapti, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti telah lakukan pada ketujuh indutri rumah tangga pengolahan tahu di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia Kota Medan Tahun

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ HIGIENE SANITASI PENGOLAHAN DAN PEMERIKSAAN FORMALIN PADA TAHU HASIL INDUSTRI RUMAH TANGGA DI KELURAHAN SARI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada prinsip higiene sanitasi pengolahan tahu yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah penyimpanan bahan baku, pengolahan

Proses pemasakan dan pendinginan tidak ada kemungkinan terkontaminasi bahan non-halal, namun hal ini dapat menjadi tahap titik kritis suatu produk, seperti pada proses pemasakan harus