• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

BAB 2. Tinjauan Pustaka

2.2. Karsinoma Nasofaring

2.2.8. Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring

Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan dkk, 2001). Merokok adalah suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, pada hakekatnya merupakan suatu proses pembakaran massal tembakau yang menimbulkan polusi udara padat dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang et al, 2002)

Dewasa ini 80% perokok tinggal di negara-negara berkembang, Di tahun 1997 ada 5,7 triliun rokok yang dikonsumsi di dunia. Lima besar konsumen rokok di dunia adalah China dengan 1,679 triliun batang setahunnya, Amerika Serikat 480 milyar batang, Jepang 316 milyar batang, Rusia 230 milyar batang dan Indonesia diurutan kelima yang mengkonsumsi 188 milyar batang rokok setahunnya (Aditama, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) di 14 Propinsi di Indonesia mendapatkan 59,04% laki-laki perokok berumur 10 tahun ke atas, sedangkan pada perempuan hanya 4,83%. Sementara itu data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 2001, menunjukkan secara keseluruhan (laki-laki dan perempuan) 31,5% penduduk Indonesia merokok (Aditama, 2004). Di Indonesia jenis rokok yang terbanyak dikonsumsi adalah

rokok kretek (81,34%) yaitu rokok yang berisi campuran tembakau dengan cengkeh (Caldwell, 2001).

Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis kasinogen. Dari penelitian yang ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas (Haugen, 2000; Drastyawan et al, 2001; Port et al, 2004).

Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin bukan karsinogen (Pfiefer et al,2002), tapi merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).

Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan dan ada yang tidak mempunyai hubungan (Zhu et al, 1995).

Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa merokok tembakau sebagai zat karsinogen. Di akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort, dan karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau. Asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika tar asap rokok tersebut dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat (Sasco et al, 2004; Vinies et al, 2004).

b. Merokok dan kanker.

Karsinogenesis adalah suatu studi tentang asal muasal kanker. Penelitian pada sistem biologi dapat dilakukan untuk menghasilkan suatu observasi yang dapat mengetahui tentang tahap-tahap yang terjadi pada perubahan dari sel normal menjadi

sel kanker. Dugaan hubungan antara penggunaan tembakau dan kanker telah dikemukakan oleh Hill (Marshal, 1993). Potensi bahan karsinogen di dalam asap rokok dan hubungannya dengan kanker dapat dievaluasi dengan cara yang bervariasi, akan tetapi sangatlah penting untuk mempertimbangkan komponen-komponen yang ada di dalam asap rokok tersebut dan kemampuannya untuk menginduksi tumor dalam percobaan pada hewan. (Pfiefer et al, 2002).

Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa asap tembakau adalah campuran bahan karsinogen yang multipoten. Dengan kemajuan dalam biokimia dan biologi molekuler telah dilakukan riset-riset untuk mengukur bahan-bahan metabolit rokok dalam cairan dan organ tubuh yang berbeda, untuk mengukur karsinogen-protein dan karsinogen-DNA, dan untuk mengidentifikasi kerusakan genetik (mutasi atau penyimpangan kromosom) yang berhubungan dengan merokok (Venies et al, 2004).

Pada kanker paru, terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa bahan

karsinogen polycyclic aromatic amines (PAHs) dan nitrosamines adalah bahan yang

sangat penting dalam menginduksi kanker paru. Bahan tersebut merupakan karsinogen yang kuat, dan jumlahnya relatif banyak di dalam tembakau. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan paru manusia dapat memetabolisme PAHs menjadi metabolit yang reaktif, dimana dapat berinteraksi dengan DNA, membentuk DNA yang mutagen. Terbentuknya DNA mutagen adalah suatu permulaan dalam proses karsinogenesis. Konsentrasi nitrosamines yang ditemukan didalam tembakau relatif tinggi, dan pada perokok berat mempunyai tingkat keterpaparan yang tinggi terhadap nitrosamines. Penamaan tobacco spesific N-nitrosamines (TSNA), secara prinsip 4(methylnitrosamino) -3-(3-Pyridyl)-1-butanone (NNK), adalah bahan karsinogen yang sangat kuat pada saluran napas yang teridentifikasi di dalam produk rokok (Haugen, 2000).

Pada asap rokok terdapat logam-logam yang relatif banyak. Sedikitnya 30 logam telah teridentifikasi. Kromium, kadmium dan nikel terdapat di dalam asap rokok. Yang pasti logam-logam tersebut diketahui sebagai bahan karsinogen. Bukti eksperimen mengindikasikan banyak bahan logam adalah efektif sebagai inisiator dalam proses

karsinogenesis, tapi dapat juga menjadi promotor yang potensial selama proses karsinogenesis (Haugen, 2000).

Ivy dari Universitas Illinois Amerika Serikat yang telah bertahun-tahun menyelidiki rokok, menemukan bahwa orang yang merokok sebungkus perhari selama 10 tahun, menghirup sekitar 7 liter tar dalam jangka waktu tersebut (Caldwell, 2001).

Selanjutnya pernyataan tersebut dikaji ulang oleh Graham dan Wynder. Mereka mengecat punggung tikus dengan tar tembakau. Eksperimen ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, tetapi tidak menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Menurut kedua peneliti ini, penyebabnya adalah pada penelitian yang terdahulu tidak dikerjakan dalam waktu yang lama, sehingga sebelum hasilnya terlihat penelitian sudah dihentikan. Kali ini Graham dan Wynder akan menyempurnakan penelitian itu, dengan menggunakan larutan tar yang lebih pekat dan periode percobaan yang lebih panjang. Tar yang mereka gunakan diambil dari asap rokok yang dihasilkan oleh sebuah mesin yang mampu menghisap 60 batang rokok sekaligus. Tar yang sudah dikumpul dilarutkan oleh suatu pelarut, kemudian dioleskan pada punggung tikus yang telah dicukur terlebih dahulu, tiga kali dalam seminggu. Selama dua bulan pertama, secara bertahap mereka menaikkan kadar larutan tar sebesar tiga kali dari kadar sebelumnya. Pada pekan ke-42, seekor tikus memperlihatkan gejala awal penyakit kanker. Memasuki pekan ke-72, rata-rata setiap tikus telah terserang kanker (Caldwell, 2001).

Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan antara merokok

dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher menyatakan bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher, didapati mutasi gen p53 yang mempunyai hubungan kuat dengan merokok.

Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa perokok merupakan major risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher. Penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan perokok, dimana kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat besar (Daly, 1993). Juga didapatkan hubungan antara lama merokok dan banyaknya rokok yang

dikonsumsi dengan tren positive dose-respons relationship (Uzcudun et al, 2002; Sasco et al, 2004; Pinar et al, 2007). Pada hasil penelitian lainnya didapatkan bahwa risiko terjadinya kanker pada faring lebih besar jika dihubungkan dengan lama merokok, dibandingkan hubungan risiko dengan banyaknya rokok yang dikonsumsi (Pelucchi et al, 2006).

Berikut ini ditampilkan skema tentang hubungan adiksi nikotin dan kanker paru yang berkaitan dengan bahan karsinogen di dalam asap rokok. Dimana skema yang hampir sama dapat dipertimbangkan untuk kanker-kanker lain yang mempunyai hubungan dengan rokok (Hecht, 2003).

Skema ini menggambarkan peran utama perubahan DNA dalam proses karsinogenesis. Dalam skema ini, nikotin menyebabkan sifat adiksi ingin terus merokok dan menyebabkan pajanan kronis terhadap bahan karsinogen. Karsinogen secara metabolik dapat diaktifkan untuk bereaksi dengan DNA, membentuk produk kovalen

gabungan yang disebut DNA yang berubah (DNA adducts). Bersaing dengan proses

metabolik ini, proses detoksifikasi produk karsinogen gagal untuk diekskresikan. Jika DNA yang berubah tersebut dapat diperbaiki (repair) oleh enzim perbaikan selular, DNA akan kembali kebentuk normalnya. Akan tetapi jika perubahan terus berlangsung selama replikasi DNA, kegagalan pengkodean DNA dapat terjadi, yang cenderung untuk menjadi mutasi permanen dalam urutan DNA. Sel-sel dengan DNA rusak atau

bermutasi dapat dilisiskan dengan proses apoptosis. Jika mutasi terjadi pada bagian utama dalam gen-gen yang krusial, seperti pada RAS atau MYC onkogen atau TP53

atau CDKN2A tumor supresor gen, hasilnya dapat terjadi kehilangan kontrol regulasi

pertumbuhan sel-sel normal dan terjadi pertumbuhan tumor. Nikotin dan karsinogen dapat juga berikatan secara langsung dengan reseptor beberapa sel, selanjutnya

mengaktifasi protein kinase B (AKT), protein kinase A (PKA) dan faktor-faktor lain. Hal

ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan proses apoptosis, peningkatan angiogenesis dan peningkatan tranformasi sel. Bahan isi tembakau juga berisi promotor tumor dan kokarsinogen, yang dapat mengaktifkan protein kinase C (PKC), aktivator protein 1 (AP1) atau faktor lain, yang selanjutnya meningkatkan proses karsinogenesis (Hecht, 2003).

c. Merokok sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring

Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan pankreas. Pada tahun 2002, Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring diantara para perokok, yang secara konsisten dilaporkan dalam beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok.

Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine dan formaldehide, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama.

Namun, Lin et al (1971) di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF (Cheng et al, 1999).

Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) diketahui merupakan enzim aktivasi

pada nitrosamine dan karsinogen lainnya yang mungkin terlibat dalam perkembangan

terjadinya KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian case control mengemukakan bahwa asap rokok adalah sumber penting paparan nitrosamine sehingga memodulasi aktivitas CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan dan merupakan risiko terjadinya KNF.

Vaughan et al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF

dan potensi paparan formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang perokok dan mantan perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang- orang yang tidak pernah merokok (OR 0,5).

d. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi

Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lain-lain (Drastyawan et al, 2001). Berdasarkan lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut; merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005).

Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara dengan berapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Drastyawan dkk, 2001). Klasifikasi menurut jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan sebagai berikut; ringan (1-10

batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan berat (lebih dari 20 batang perhari) (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005).

Mobuchi et al, dalam studi case control, menginvestigasi kemungkinan faktor- faktor etiologi pada KNF. Hasil penelitiannya menunjukkan peningkatan odds ratio

dengan jumlah rokok yang dihisap, yang menggambarkan adanya positive dose-

response relationship (Mabuchi et al, 1985; Chen et al, 1990; Amrstrong et al, 2000; Yang et al, 2005). Sementara itu, Nam et al (1992) dan Zhu et al (1995) mendapatkan hasil yang sama mengenai hubungan peningkatan risiko terjadinya KNF dengan status merokok, makin lama merokok dan jumlah rokok yang dihisap. Laki-laki yang secara rutin merokok akan mempunyai risiko 2 kali kemungkinan menderita KNF dibanding dengan yang tidak merokok.

Chow et al (1993) pada studi cohort meneliti hubungan merokok dengan KNF

pada lebih kurang 250.000 veteran Amerika Serikat. Selama 26 tahun penelitian dijumpai 48 penderita KNF. Perokok berisiko 4 kali lebih besar kemungkinan terkena KNF dibandingkan dengan bukan perokok, dan risiko tersebut akan meningkat lagi menjadi 6,4 kali pada orang yang merokok lebih dari 2 bungkus perhari.

e. Faktor anatomi

Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran dari polusi udara dan asap rokok adalah berpengaruh buruk terhadap mukosa dilokasi tersebut, dimana karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker (Zhuolin et al,2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar dari asap rokok yang dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al, 1985; Cheng et al, 1999).

Adanya variasi bentuk anatomi didalam struktur hidung dan terdapatnya penyakit yang ada sebelumnya diketahui sebagai hal yang penting dalam etiologi tumor ganas nasofaring. Konfigurasi dari saluran udara di hidung dan paranasal memungkinkan terperangkap dan terkumpulnya gas karsinogen, dimana hal ini berperan dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001).

Dokumen terkait