• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan karsinoma nasofaring (KNF). Berdasarkan dari perhitungan besar sampel minimal, penelitian ini menggunakan sampel 192 orang yang terdiri dari 96 orang penderita karsinoma nasofaring (KNF) sebagai kasus dan 96 orang bukan penderita penyakit keganasan sebagai kontrol yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian dengan studi kasus kontrol dengan membandingkan pajanan merokok dan beberapa confounding factors pada penderita KNF dan bukan penderita penyakit keganasan. Kemaknaan perbedaan antara merokok serta beberapa confounding factors pada kasus dan kontrol ditentukan dengan uji chi-square. Risiko terkena penyakit ditetapkan dengan risiko relatif yaitu Odds ratio. Odds ratio (OR) sama dengan 1 berarti bukan merupakan faktor risiko, bila OR kurang dari 1 berarti merupakan faktor protektif, dan bila OR lebih dari 1 berarti merupakan faktor risiko.

Pada penelitian ini subjek kasus dan kontrol dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, pada subjek kasus perbandingannya 2,84:1, dan pada subjek kontrol 2,69:1. Secara statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna menurut jenis kelamin antara subjek kasus dan kontrol (sepadan usia antara kasus dan kontrol). Pada penelitan ini didapatkan hasil lebih kurang sama dengan penelitian Douglas et al (1996) di RSUP Dr.Kariadi Semarang yang mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang menderita KNF 1,87:1. Magdalena et al (1996) di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta melaporkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2,47;1. Vaughan et al (1996) di Amerika Serikat melaporkan dengan perbandingan 1,88:1, sedangkan Adnan (1996) di Medan 3,67:1, Armstrong (2000) di Malaysia 2,24:1, Lutan (2003) di Medan 2,3:1, Susworo (2004) di Indonesia 2-3:1, dan Sun (2005) di Amerika 2,25:1.

Tingginya persentase laki-laki dibandingkan perempuan kemungkinan disebabkan kebiasaan hidup yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, seperti kebiasaan merokok dimana jumlah laki-laki yang merokok lebih banyak dibanding perempuan. Pada beberapa penelitian didapatkan hubungan yang bermakna antara merokok dengan KNF. Kemungkinan

lain laki-laki lebih banyak beraktifitas di luar rumah dibanding perempuan. Akibatnya laki-laki lebih sering mengalami stres yang menyebabkan penurunan respon imun. Selain itu laki-laki relatif lebih sering kontak dengan bahan-bahan karsinogen di tempatnya bekerja. Vaughn et

al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF dan potensi paparan

formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang perokok dan mantan perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah merokok (OR 0,5).

Pada penelitian ini, usia subjek penderita KNF paling muda adalah 9 tahun dan paling tua 74 tahun. Roezin (1995) di Jakarta melaporkan bahwa di Indonesia rentang umur termuda penderita KNF adalah 4 tahun dan tertua 84 tahun, sedangkan McDermott et al (2001) di Inggris mendapatkan yang termuda berusia 2 tahun dan tertua 91 tahun. Dari distribusi data pengelompokan usia penderita KNF dengan uji statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kontrol, dan didapatkan penderita terbanyak pada kelompok usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun, masing-masing 23 orang (24%) dan 28 orang (29,2%). Hal ini hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Roezin (1995) yang mendapatkan kelompok usia 40-49 tahun 25,92% dan 50-59 tahun 19,75% dan Douglas dkk (1996) di RSUP Dr.Kariadi Semarang yang mendapatkan usia 40-49 tahun 22,2% dan 50-59 tahun 27,8%. Magdalena et al (1996) di Yogyakarta yang mendapatkan insiden tertinggi KNF pada kelompok usia 40- 49 tahun sebanyak 42,4%, Lutan (2003) di Medan mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 40%, Abdi (2005) di Medan mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok usia 40-49 tahun sebanyak 37 kasus (35,1%).

Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami sebanyak

1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai kemungkinan 106 mengalami mutasi

spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi. Jika tiap mutasi dapat merubah sel normal

menjadi kanker, maka kita tidak mungkin dapat berfungsi sebagai makhluk hidup. Penelitian epidemiologi menunjukkan kemungkinan perubahan menjadi kanker tidaklah konstan, tetapi bertambah dengan bertambahnya umur (Sukardja, 2000; Irish et al, 2003).

Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor suppressor genes meningkatkan pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekuler patogenesis kanker. Pemahaman tentang patogenesis kanker tersebut diperoleh dari berbagai percobaan binatang dan percobaan laboratorium yang mengungkapkan bahwa mutasi satu atau lebih gen akan menyebabkan penyimpangan dalam pertumbuhan sel yang berakibat transformasi sel ke arah ganas. Sekalipun tampaknya sederhana, pada hakekatnya tumorigenesis pada manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang berlangsung melalui berbagai tahapan

(multistep/multistage process). Bahwa kanker terjadi melalui proses multistep dibuktikan

dengan berbagi penelitian, diantaranya bukti tidak langsung yang diperoleh dari studi epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologi adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Bukti lain adalah bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker, demikian pula peningkatan insiden kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah dijatuhkannya bom atom di Jepang (Kresno, 2004). Dengan demikian dapat dimengerti bahwa proses keganasan berlangsung melalui berbagai tahapan dan diperlukan waktu cukup panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen sampai timbulnya kanker, sehingga jumlah penderita akan meningkat setelah usia dewasa.

Sedangkan McDermott et al (2001) menulis bahwa penderita KNF di Magreb Arab Afrika Utara dan di Tunisia, didapatkan distribusi usia berbentuk kurva bimodal, dimana peningkatan pertama pada kelompok usia 10-20 tahun dan peningkatan kedua usia 55-65 tahun. Kurva bimodal yang hampir sama juga terjadi di beberapa tempat di India. Namun belum ada observasi secara khusus dan lebih jauh bagaimana terjadinya distribusi bimodal tersebut.

Suku batak merupakan kelompok suku terbanyak, baik pada kelompok kasus KNF 54 orang (56,3%) dan kelompok kontrol 49 orang (51%), diikuti ditempat kedua terbanyak adalah suku Jawa. Menurut suku, antara kelompok kasus dan kontrol terdapat kesepadanan (uji statistik tidak ada perbedaan bermakna). Hal ini mungkin berkorelasi dengan proporsi penduduk kota Medan yang memang mayoritas penduduknya adalah suku Batak dan Jawa. Zhu et al (1995) di Amerika Serikat mendapatkan distribusi penderita KNF menurut ras (etnik)

terbanyak adalah ras Orang Kulit Putih (White-non Hispanic) 56,6%, diikuti selanjutnya secara

berurutan ras Kulit Hitam, ras Asia dan ras Hispanic, sedangkan Vaughan et al (2000) di

Amerika Serikat juga mendapatkan hasil yang hampir sama yaitu ras terbanyak adalah Orang Kulit Putih (White) 76%, diikuti ras Asia, Kulit Hitam, dan Amerika-Indian/Eskimo. Sementara itu Cheng et al (1999) di Taiwan mendapatkan ras terbanyak adalah Fukienese 308 orang (82,1%), diikuti ras Hakka, Han, dan Guangdong.

Sebanyak 31 orang (32,3%) penderita KNF bekerja sebagai petani, diikuti wiraswasta 19 orang (19,8%) dan pekerjaan rumah tangga 17 orang (17,7%). Melihat gambaran distribusi menurut jenis pekerjaannya pada tabel 4.1.1, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penderita KNF (kelompok kasus) dan kelompok kontrol yang berobat ke RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU dr.Pirngadi Medan mempunyai tingkat sosioekonomi menengah ke bawah. Pada uji statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok tersebut.

Douglas et al (1996) di RSUP dr.Kariadi Semarang mendapatkan gambaran yang lebih

kurang sama mengenai distribusi penderita KNF menurut jenis pekerjaan, yaitu petani 38,54% diikuti secara berurutan wiraswasta 18,57 %, buruh 14,93%, dan PNS 12,85%.

Banyaknya penderita pada petani, dimungkinkan akibat lebih sering terpapar bahan karsinogen, seperti insektisida, benzo pyrenen, benzo anthracene, dan beberapa ekstrak tumbuhan sebagai faktor yang memicu terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Delfitri, 2007).

Pada penelitian ini sebagian besar penderita KNF mempunyai jenis histopatolgi WHO tipe 3 yaitu karsinoma sel tidak berdiferensiasi 37 orang (38,6%), WHO tipe 2 (karsinoma sel tanpa keratinisasi) 32 orang (33,3%) dan WHO tipe 1 (karsinoma sel dengan keratinisasi) 27 orang (28,1%). Beberapa penelitian mendapatkan bahwa WHO tipe 3 merupakan jenis paling banyak dijumpai, seperti Magdalena et al (1996) di Yogyakarta mendapatkan WHO tipe 3 (88,98%), WHO tipe 1 (7,26%), dan WHO tipe 2 (3,74%), Sudyartono dan Wiratno (1996) di Semarang mendapatkan WHO tipe 3 (60,9%), WHO tipe 2 (29,7%) dan WHO tipe 1(9,4%), Erkal et al (2001) di Turki mendapatkan WHO tipe 3 (60,8%), WHO tipe 1 (34,7%), dan WHO tipe 2 (4,5%). Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Vaughan et al (1996) di Amerika Serikat dimana WHO tipe 1 adalah yang terbanyak (61%), diikuti WHO tipe 3 (26%) dan WHO tipe 2 (13%), begitu juga Sun (2005) di Amerika mendapatkan WHO tipe 1 (40,8%), WHO tipe 3

(36,9%), dan WHO tipe 2 (22,3%). Dari gambaran distribusi jenis histopatologi tampaknya terdapat perbedaan jenis tipe yang terbanyak pada penderita KNF, di Asia jenis yang paling banyak adalah karsinoma sel tidak berdiferensiasi, sedangkan di Amerika Serikat yang paling banyak adalah jenis karsinoma dengan keratinisasi. Dengan adanya perbedaan dominasi jenis histopatologi pada masing-masing penelitian di tempat yang berbeda, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mencari faktor yang mempengaruhi jenis histopatologi.

Derajat tumor (T), status kelenjar (N), metastasis (M), dan stadium karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi UICC 1992 (TNM). Berdasarkan klinis, stadium dapat dikategorikan stadium I dan II adalah stadium dini, dan stadium III dan IV adalah stadium lanjut. Dari hasil penelitan didapatkan paling banyak subjek kasus KNF adalah dengan stadium III (58,4%), diikuti stadium IV (40,6%), stadium II (1%), dan tidak terdapat penderita dengan stadium I. Penelitian ini sama dengan yang didapatkan Armiyanto (1993) di Jakarta sebanyak 93,34% dari 30 kasus adalah stadium III-IV, Magdalena et al (1996) di Yogyakarta mendapatkan stadium lanjut 91,26% dari 454 kasus KNF, Sudyartono dan Wiratno (1996) di Semarang mendapatkan stadium lanjut 50% dari 64 kasus, Erkal et al (2001) di Turki mendapatkan stadium lanjut 93% dari 447 kasus, dan Krishna (2004) di India mendapatkan stadium lanjut 58,6% dari 29 kasus.

Diagnosis KNF sering terlambat ditegakkan, disebabkan karena letak nasofaring tersembunyi di belakang rongga hidung dan di bawah dasar tengkorak sehingga penderita KNF pada umumnya datang berobat dalam stadium lanjut (Hold dan Shockley,1993; Roezin, 1996).

Bila ditinjau berdasarkan usia mulai merokok, maka terdapat perbedaan pada kelompok kasus lebih muda usia mulai merokok dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai OR=4,330 (p=0,000). Usia mulai merokok juga merupakan variabel primer dalam penelitian ini, maka dari hasil uji analisis regresi logistik multivariat terdapat hubungan yang bermakna dengan nilai OR=5,350 (p=0,000).

Proses karsinogenesis pada manusia dapat berlangsung selama 15-30 tahun. Pada tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang tepat dari suatu bahan karsinogen inkomplit,

menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, bila sel membelah diteruskan ke generasi berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa laten secara klinik (Asikin, 2001). Dengan kata lain, bila kebisaan merokok seseorang ditunda 10 tahun dari usia tertentu, maka ia akan mendapat risiko KNF lebih kurang seperlima kalinya, atau dapat dikatakan bila usia mulai merokok 10 tahun lebih awal dari usia tersebut akan mempunyai risiko KNF sebesar limakalinya. Hal ini dapat dipahami dimana jika seseorang semakin muda usia saat terpapar dengan bahan karsinogen yang ada pada rokok, maka proses multi step karsinogenesis sampai terjadinya KNF telah dimulai juga sejak usia muda.

Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan pada orang-orang yang mulai merokok

sebelum berusia 17 tahun mempunyai risiko yang tinggi (OR=13,6) untuk terjadinya KNF. Chow et al (2006) di Amerika Serikat melaporkan suatu studi cohort selama 26 tahun pada veteran perang Amerika Serikat dengan hasil bahwa orang-orang yang mulai merokok sebelum berusia 15 tahun mempunyai risiko sangat tinggi untuk terjadinya KNF. Sementara itu Friborg et al (2007) di Singapura mendapatkan hasil yang berbeda dimana umur mulai merokok tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya KNF, tapi mendapatkan hubungan antara umur mulai merokok dengan kejadian karsinoma orofaring.

Jika dilihat dari lama merokok, pada kelompok kasus relatif lebih lama dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna dengan nilai p=0,293. Lama merokok berhubungan dengan usia mulai merokok, semakin muda usia mulai merokok semakin lama penderita tersebut merokok. Chow et al (2006) di Amerika Serikat melaporkan suatu studi cohort dengan hasil bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara lama merokok dengan kejadian KNF. Berbeda dengan Chen et al (1990) di Taipei yang mendapatkan peningkatan risiko merokok pada kejadian KNF akan meningkat jika semakin lama mengkonsumsi rokok, Nam et al (1992) di Amerika Serikat mendapatkan peningkatan risiko terjadinya KNF pada orang yang konsumsi rokoknya semakin banyak dan lama, Zhu et al (1995) di Amerika Serikat pada studi kasus-kontrol dengan sampel seluruhnya laki-laki mendapatkan bahwa laki-laki yang merokok selama 25 tahun atau lebih mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya KNF (tanpa menyingkirkan faktor perancu ikan asin). Sementara itu Hildesheim et al (1997) di Taiwan mendapatkan pada

orang yang merokok lebih dari 30 tahun mempunyai risiko 2,1 kali terjadi KNF dibandingkan orang yang tidak merokok dengan CI 95% = 1,2-3,7. Cheng (1999) di Taiwan mendapatkan peningkatan risiko menurut lama merokok, dimana orang yang merokok selama kurang 25 tahun OR=1,1 dan yang merokok selama lebih 25 tahun OR=1,7 (p=0,03), dan Friborg et al (2007) di Singapura mendapatkan pada orang yang merokok selama lebih dari 40 tahun mempunyai risiko ganda untuk terjadinya KNF (OR=2,0; CI 95% 1,2-3,3).

Bila dilihat dari jumlah batang rokok yang dikonsumsi setiap hari, pada kelompok kasus lebih banyak batang rokok dihisap perharinya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat, memperlihatkan perbedaan bermakna dengan nilai OR=2,530 (p=0,021) pada perokok dengan konsumsi rokok 11-20 batang perhari. Pada analisis regresi logistik multivariat, jumlah batang rokok perhari tidak memperlihatkan perbedaan bermakna dengan nilai p=0,587. Hasil yang lebih kurang sama dilaporkan oleh Friborg (2007) di Singapura yang mendapatkan tidak ada hubungan antara banyaknya jumlah batang rokok yang dikonsumsi dengan kejadian KNF, Cheng et al (1999) di Taiwan mendapatkan bahwa banyaknya rokok yang dikonsumsi tidak mempunyai efek yang signifikan untuk terjadinya KNF. Berbeda dengan Zhu et al (1995) di Amerika Serikat yang mendapatkan bahwa semakin banyak batang rokok dikonsumsi, semakin meningkat pula tingkat estimasi risiko relatif untuk terjadinya KNF. Chow et al (2006) di Amerika Serikat mendapatkan peningkatan risiko terjadinya KNF sebanyak 6,4 kali pada orang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 2 bungkus perhari.

Ditinjau dari jenis rokok ditemukan perokok dengan jenis kretek lebih banyak pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan perbedaan tidak bermakna dengan nilai p=0,081. Pada analisis regresi logistik multivariat, jenis rokok yang dikonsumsi tidak memperlihatkan perbedaan bermakna dengan nilai p>0.05. Sebagai perbandingan yang lain, Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan terjadinya peningkatan kejadian kanker faring dan oral pada perokok dengan jenis rokok berfilter dibandingkan dengan yang tidak berfilter.

Pada varibel lama merokok, jumlah batang rokok dan jenis rokok yang dikonsumsi, dari analisis regresi logistik univariat dan multivariat didapatkan hasil bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna dengan terjadinya KNF. Hasil ini berbeda dengan beberapa peneliti sebelumnya yang mendapatkan hubungan yang bermakna. Perbedaan ini mungkin akibat dari perbedaan disain penelitian yang dilakukan, dimana beberapa penelitian menggunakan studi secara case control, sementara yang lain dengan studi prospektif kohort. Begitu juga dengan cara pengambilan sampel kelompok kontrol, dimana pada penelitian ini sampel kontrol diambil dari pasien-pasien yang juga dirawat di rumah sakit yang sama dengan sampel kelompok kasus (hospital based controls), sementara beberapa peneliti terdahulu mengambil sampel kontrol bukan pasien rumah sakit. Dengan kata lain, disain penelitian dan cara pengambilan sampel yang berbeda memungkinkan mendapatkan hasil penelitian yang berbeda pula, selain faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan hasil penelitian yang didapatkan.

Bila dilihat dari varibel diluar pengaruh rokok (faktor perancu), orang yang mengkonsumi ikan asin pada usia kurang 10 tahun lebih banyak dan frekuensi konsumsinya lebih sering pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat memperlihatkan hubungan sangat bermakna p=0,000 dengan masing- masing OR menurut frekuensi konsumsinya adalah; jarang OR 1,257, kadang-kadang OR 3,882, dan sering OR 9,429. Pada analisis regresi logistik multivariat, mengkonsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun memperlihatkan hubungan bermakna dengan nilai p=0,000 pada tingkat frekuensi konsumsi kadang-kadang dan jarang, dengan masing-masing OR menurut frekuensi konsumsinya adalah; kadang-kadang OR 7,766, dan sering OR 16,515. Pada penelitian ini berarti setiap peningkatan frekuensi makan ikan asin pada usia kurang 10 tahun maka risiko mendapatkan KNF tersebut akan lebih besar.

Bahan makanan dan zat kimia tertentu dicurigai berperan dalam terjadinya KNF. Makanan yang mengandung nitrosamine yang dikonsumsi pada usia kurang 10 tahun, mempunyai risiko untuk terjadinya KNF pada usia dewasa. Bahan kimia ini merupakan mediator yang dapat mengaktifkan VEB dan bersifat pro-karsinogen (Ning et al, 1990). Nitrosamine banyak dijumpai pada bahan makanan yang diawetkan dengan cara diasinkan seperti ikan asin ataupun dengan cara pengasapan (Yu et al, 1990). Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan pemanasan sinar matahari, terjadi reaksi biokimia berupa

nitrosasi oleh sinar ultrviolet. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamine dan beberapa volatile nitrosamine (Zheng et al, 1994).

Ho (1985) di Hongkong dalam studi kasus kontrol dengan jumlah kasus 250 orang penderita KNF mendapatkan bahwa pada orang-orang yang mengkonsumsi ikan asin pada usia dini dengan frekuensi sedikitnya mengkonsumsi 1 kali dalam seminggu mempunyai OR 37,7 dibanding orang yang mengkonsumsi hanya 1 kali perbulan, sementara itu dalam penelitiannya di Malaysia dengan jumlah kasus 100, didapatkan pada orang yang mengkonsumsi ikan asing pada usia dini mempunyai risiko relatif 17,4 dibandingkan dengan orang yang tidak mengkonsumsi. Yu et al (1989) di Guangzhou-China dan mendapatkan hasil bahwa mengkonsumsi ikan asin, baik pada masa anak-anak dan dewasa mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya KNF. Ning et al (1990) di Tianjin-China mandapatkan bahwa mengkonsumsi ikan asin pada usia dini dengan konsumsi yang lama dan tingkat frekuensi yang semakin meningkat, akan mempunyai risiko yang tinggi pula terjadinya KNF. Zheng et al (1994) di Guangxi-China mendapatkan bahwa orang yang mengkonsumsi ikan asin sebelum berusia 2 tahun mempunyai risiko untuk terjadinya KNF dengan OR 3,8. Sedangkan Zou et al (1994) di Beijing-China mendapatkan hasil yang mendukung kesimpulan risiko tinggi terjadinya KNF di china selatan mungkin akibat dari konsumsi ikan asin yang didalamnya terdapat level N-nitrosamines yang tinggi. Armstrong et al (1998) di Malaysia mendapatkan terdapat hubungan yang sangat jelas antara terjadinya KNF dengan konsumsi ikan asin. Yang et al (2005) di Taiwan mendapatkan adanya hubungan kejadian KNF pada usia dini pada orang yang mengkonsumsi ikan asin sebelum usia 10 tahun dengan OR 3,94 (CI 95% 1,47-10,55).

Bila ditinjau dari pemakaian kayu bakar, ditemukan pengguna kayu bakar lebih banyak pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna dengan nilai p=0,113. Pada analisis regresi logistik multivariat, pemakai kayu bakar memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p=0,014 dengan OR 3,147 (CI 95% 1,26-7,86). Hasil yang lebih kurang sama dilaporkan Zheng (1994) di Guangxi-China, dimana pada orang yang terpapar asap pembakaran kayu bakar rumah tangga mempunyai risiko untuk terjadinya KNF dengan OR 5,4. Armstrong et al

(2000) di Malaysia mendapatkan adanya hubungan antara pajanan asap kayu bakar dengan KNF dengan OR 1,65 (CI 95% 0,69-3,92).

McDermott et al (2004) dalam jurnal tentang etiologi KNF menuliskan pada populasi di Kenya yang terpajan dengan asap kayu bakar mempunyai hubungan dengan KNF, dimana dalam analisa asap kayu bakar tersebut didapatkan tingginya kadar zat karsinogenik hidrokarbon, yaitu benzpyrene dan benzanthracene, hasil lain yang sama dan konsisten juga didapat pada populasi di Alaska dan Indonesia pada orang-orang yang sering menggunakan kayu bakar.

Frekuensi KNF tersering adalah pada usia 40 sampai 59 tahun dan kebiasaan

merokok umumnya dimulai di usia antara 10 sampai 30 tahun.Berdasarkan analisis regresi

logistik multivariat dapat dilihat dari usia mulai merokok, jumlah batang per hari, jenis rokok yang dihisap, serta pengaruh faktor lain selain rokok yaitu pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun, maka dapat dilihat berbagai besarnya risiko mendapatkan KNF (odds rasio) pada perokok, pemakai kayu bakar dan pengkonsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun, seperti dapat dilihat dalam table 4.2.1. Hasil analisis regresi logistik multivariat, variabel-variabel usia mulai merokok antara 10–19 tahun, pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun dengan frekuensi konsumsi kadang-kadang dan sering mempunyai asosiasi yang bermakna dengan kejadian KNF, masing-masing dengan OR 5,350 (p=0,000), OR 3,147 (p=0,014), OR 7,766 (p=0,000) dan OR 16,515 (p=0,000).

Setelah dilakukan uji analisis regresi logistik multivariat secara bertahap, maka didapatkan bahwa hanya faktor usia mulai merokok, mengkonsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun dan pemakaian kayu bakar saja yang dapat diuji secara statistik sebagai faktor-faktor risiko terjadinya KNF. Kemudian dua faktor perancu yaitu konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun dan pemakaian kayu bakar dengan uji statistik dicoba dikeluarkan, dan didapatkan hasil bahwa faktor pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin sebelum usia 10 tahun adalah tetap merupakan faktor perancu yang berpengaruh sebagai faktor risiko, sehingga tidak dapat dikeluarkan sebagai faktor-faktor risiko terjadinya KNF.

Dari keseluruhan hasil ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara rokok dengan KNF, dimana rokok dapat merupakan sebagai faktor risiko terjadinya KNF jika sudah mulai dihisap pada usia kurang dari 20 tahun. Faktor selain rokok (faktor perancu), yaitu faktor konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun dan faktor pemakaian kayu bakar juga mempunyai hubungan dengan KNF sebagai faktor risiko. Sehingga faktor rokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri,

Dokumen terkait