• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Hubungan Patron – Klien

Dalam dokumen PENGANTAR SOSIOLOGI KEHUTANAN (Halaman 52-0)

D. PRANATA EKONOMI

VI. STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN

1. Pola Hubungan Patron – Klien

Christian Pelras mengatakan hubungan Patron-Klien merupakan hubungantidak setara yang terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat (patron) dengan sejumlah pengikutnya (klien). Hubungan itu berdasarkan pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien pada patron diimbali oleh perlindungan patron pada kliennya.

James scott mengatakan hubungan patron klien merupakan hubungan special antara dua pihak di mana pihak yang memiliki status ekonomi lebih tinggi menggunakan pengaruhnya dan resourcesnya untuk melindungi dan member mamfaat pada pihak yang status sosial ekonominya lebih rendah. dalam hubungan ini, imbalan yang diberikan klien dalam bentuk bantuan atau dukungan termasuk pelayanan kepada patron.

Perbedaan imbalan yang diberikan patron dank lien:

a. Imbalan klien pada patron dapat diberikan oleh siapa saja.

b. Imbalan patron hanya dapat diberikan oleh orang yang berstatus tinggi.

Peter M. Blau mengatakan hubungan patron-klien lebih merupakan hubungan pertukaran (exchange-relationship) yaitu bahwa:

a. Pertukaran hanya terjadi di antara pelaku yang mengharapkan imbalan dari pelaku lain dalam hubungan mereka.

b. Dalam mengejar imbalan ini, para pelaku dikonseptualisasikan sebagi seseorang yang mengejar profit.

c. Pertukaran antara dua macam, yang langsung (dalam jaringan interaksi yang relative kecil) dan kurang langsung (dalam system sosial yang lebih besar).

d. Ada empat macam imbalan dengan derajat berbeda, yaitu uang, persetujuan sosial, penghormatan/penghargaan dan kepatuhan.

2. Kekuasaan dan Patron-Klien: Patrimonialisme

Patrimonialisme dalam pemerintahan menurut weber adalah sebagai berikut:

a. Dalam kekuasaan patrimonial wewenang orang-orang yang dianggap lebih berkuasa seperti suami, ayah, lord, dan lain-lain, sangat berperan.

b. Ciri khas kekuasaan patriarkat dan patrimonial: adanya norma yang dianggap suci.

Norma suci itu adalah bahwa yang menguasai (the ruler) akan memimpin yang dikuasai (the ruled). Pelanggaran atas norma suci akan mendatangkan kemarahan dewa. Oleh karena itu, dituntut kepatuhan mutlak.

Ciri-ciri hubungan Patron-klien:

1. Adanya ketidakseimbangan status antara patron dank lien;

2. Meskipun patron juga mengharapkan bantuan dari klien, tetapi kedudukan patron lebih tinggi dari klien;

3. Ketergantungan klien pada patron karena adanya pemberian barang-barang yang dibutuhkan klien dari patron yang menyebabkan adanya rasa utang budi klien pada patron;

4. Utang budi ini menyebabkan terjadinya hubungan ketergantungan.

Menurut Peter M. Blau sifat hubungan patron-klien adalah sebagai berikut:

1. Asas resiprositas 2. In equal

3. Ada force dan coercion

4. Ikatan akrab atas dasar saling percaya.

Sedangkan menurut James Scott ada tiga sifat hubungan Patron-Klien:

1. Basic in equality;

2. Face to face character;

3. Diffuce flexibility (meliputi semua segi kehidupan).

Ada tiga jenis imbalan yang dapat diberikan klien pada patron, yaitu:

1. Klien dapat menyediakan tenaganya bagi usaha patron di lading, sawah atau usaha lainnya;

2. Klien dapat menyerahkan bahan makanan hasil ladangnya buat patron atau pelayanan rumah tangga;

3. Klien dapat menjadi kepentingan politik patron, bahkan bersedia menjadi kaki tangan patron.

A. STRATIFIKASI SOSIAL: UNSUR, SIFAT, DAN PERSPEKTIF

Cara yang paling mudah untuk memahami pengertian konsep stratifikasi sosial adalah dengan berpikir membanding-bandingkan kemampuan dan apa yang dimiliki anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat lainnya.

Sadar atau tidak, pada saat Anda mulai membedakan kemampuan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain dan mulai menyusun pemilahan-pemilahan masyarakat ke dalam berbagai golongan atau strata itu, sebenarnya Anda mulai sedikit paham tentang hakikat stratifikasi sosial. Ketika Anda menyatakan bahwa si A adalah orang kaya dan sanggup membeli rumah mewah, sementara itu si B adalah orang miskin yang tidak sanggup membeli rumah mewah, maka sejak itu berarti Anda telah sadar bahwa masyarakat bukanlah sebuah komunitas yang homogeny, melainkan merupakan komunitas selalu penuh perbedaan.

1. Apakah Stratifikasi Sosial Itu?

Menurut Soerjono Soekanto (1982), di dalam setiap masyarakat di mana pun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru”

atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat atau apapun yang bernilai ekonomis.

Lebih lanjut Sorokin mengemukakan, stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).

Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yag lebih rendah.

Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam-macam.

Namun pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu:

a. Kelas yang didasarkan pada factor ekonomis, b. Kelas yang didasarkan pada factor politis,

c. Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.

2. Karakteristik Stratifikasi Sosial

Pengertian stratifikasi sosial (social stratification) pada hakikatnya berbeda dengan konsep ketidaksamaan sosial (social inequality) (sanderson,1993:145-146).

Ketidaksamaan sosial umumnya lebih berkaitan dengan adanya perbedaan derajat dalam pengaruh atau prestise sosial antar-individu dalam suatu masyarakat tertentu. Dua ciri penting yang menandai ketidaksamaan sosial, yaitu:

1. Ketidaksamaan sosial hanya mengenai perbedaan prestise atau pengaruh antara individu satu terhadap individu lainnya. Jadi, ketidaksamaan sosial bukan berkenaan dengan derajat kekuasaan atau kekayaan. Ketidaksamaan sosial ada dan dapat terjadi dalam masyarakat yang relatif homogeny.

2. Ketidaksamaan sosial mengimplikasikan ketidaksamaan antar-individu bukan antar kelompok yang berlainan.

Berbeda dengan ketidaksamaan sosial, stratifikasi sosial lebih berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa dan prestise yang tidak sama pula. Inti dari stratifikasi sosial adalah perbedaan akses golongan satu denga golongan masyarakat lain dalam memamfaatkan sumber daya.

Jadi, dalam stratifikasi sosial, tingkat kekuasaan, hak istimewa dan prestise individu tergantung pada keanggotaannya dalam kelompok sosial, bukan pada karakteristik personalnya.

Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik startifikasi sosial, yaitu:

1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki strata tinngi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya. Contoh: berbeda dengan pegawai negeri golongan IV yang kebanyakan mampu membeli mobil, akibat keterbatasan gaji yang diperolehnya seorang pegawai negeri golongan I dan II tentu hanya akan sanggup membeli sepeda atau sepeda motor saja.

2. Perbedaan dalam gaya hidup (life style). seorang direktur sebuah perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan aksesoris-aksesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan, seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolahraga tenis atau golf, memakai pakaina merek terkenal dan perlengkapan-perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. seorang direktur perusahaan besar yang berpakaian kumal besar kemungkinan akan menjadi pergunjingan. sebaliknya, seorang bawahan yang berprilaku seolah-olah direktur tentu jugaakan menjadi bahan cemoohan.

3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memamfaatkan sumber daya.

Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak tidak menduduki jabatan strategis apa pun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil. Seorang Kepala Bagian, misalnya, selain bergaji besar dan memiliki ruang kerja sendiri, mereka juga berhak untuk memerintah stafnya.

Bandingkan dengan hak dan fasilitas apa saja yang dimiliki bawahannya? sejauh mana hak dan fasilitas apa antara keduanya berbeda?. Di dalam berbagai perusahaan swasta, biasanya kita akan menemui adanya ketentuan tertulis yang mengatur apa saja yang menjadi hak atasan dan apa pula yang menjadi hak bawahan. Kendati sama-sama pekerja di sebuah perusahaan, bila seorang Kepala Bagian sakit dan harus opname di Rumah Sakit, maka ia akan berhak menginap di kamar yang baik-katakanlah kelas I. Sedangkan bila ada seorang staf yang sakit, mungkin perusahaan hanya akan mau mengganti maksimal biaya nginap di kamar kelas III atau sekurang-kurangnya tidak mungkin sama dengan yang menjadi hak Kepala Bagiannya.

3. Unsur – Unsur Stratifikasi Sosial

Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyarakat adalah:

a. Kedudukan (status) b. Peran (role)

Kedudukan dan peran di samping unsur pokok dala sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi system sosial masyarakat.

status menunjukkan tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan aspek dinamis dari status, merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu tertentu yang menduduki status tertentu. Untuk lebih jelasnya akan dibicarakan masing-masing unsur tersebut di atas.

a. Kedudukan (status)

Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.

Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. dengan demikian kedudukan sosial tidaklah semata-mata merupakan kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompok yang berbeda, tapi kedudukan sosial tersebut memengaruhi kedudukan orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda. Namun,untuk mendapatkan pengertian yang mudah kedua istilah tersebut akan dugunakan dalam pengertian yang sama, yaitu kedudukan (status).

Oleh karena kedudukan sering diartikan sebagai tempat seseorang dalam suatu pola atau kelompok sosial, maka seseorang dapat pula mempunyai beberapa kedudukan sekaligus. Hal ini disebabkan seseorang biasanya ikut dalam beberapa pola kehidupan atau menjadi anggota dalam berbagi kelompok sosial. Misalnya, Pak Amir sebagai warga masyarakat, merupakan kombinasi dari beberapa kedudukan misalnya

sebagai guru, kepala sekolah, ketua RT, suami dari nyonya Rini, sebagai ayah dari anak-anaknya, dan sebagainya. Untuk mengukur status seseorang menurut Pitirim Sorokin secara rinci dapat dilihat dari:

a. Jabatan suatu pekerjaan;

b. Pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan;

c. Kekayaan;

d. Politis;

e. Keturunan: dan f. Agama.

Status pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni: yang bersifat objektif dan subjektif. Jabatan sebagai direktur merupakan posisi status yang bersifat objektif dengan hak dan kewajiban yang terlepas dari individu. Sementara itu, yang dimaksud status yang bersifat subjektif adalah status yang menunjukkan hasil dari penilaian orang lain, dimana sumber status yang berhubungan dengan penilaian orang lain tidak selamanya konsisten untuk seseorang.

Kedudukan, apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, hanyalah merupakan kumoulan hak dan kewajiban. Namun, karena hak dan kewajiban itu hanya dapat terlaksana melalui perantara individu, maka sulit untuk memisahkannya secara tegas dan kaku.

Dalam masyarakat sering kali kedudukan dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Ascribed-status. Status ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan seseorang. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Misalnya, kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula, seorang anak dari kasta Brahmana juga akan memperoleh kedudukan yang demikian. Kebanyakan ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan system pelapisan sosial yang tertutup, seperti system pelapisan berdasarkan perbedaan ras. Meskipun demikian bukan berarti bahwa dalam masyarakat dengan system pelapisan sosial terbuka tidak ditemui adanya ascribed status. Kita lihat misalnya kedudukan laki-laki dlam suatu keluarga akan berbeda

dengan kedudukan isteri dan anak-anaknya, karena pada umumnya laki-laki (ayah) akan menjadi kepala keluarga.

b. Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seorang dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh karena kelahiran. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan dari masing-masing orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang bisa menjadi dokter, hakim, guru dan sebagainya, asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Dengan demikian tergantung pada masing-masing orang apakah sanggup dan mampu memenuhi persyaratan yang telah ditentukan atau tidak.

Di samping kedua kedudukan tersebut di atas, sering kali dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu assigned-status, kedudukan yang diberikan. Assigned-status sangat erat hubungannya dengan achieved-Assigned-status, artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat.

b. Peran (Role)

Peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Artinya, seseorang telah menjalankan hak – hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran. Keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lain saling tergantung, artinya tidak ada peran tanpa status dan tidak ada status tanpa peran. Sebagaimana kedudukan,maka setiap orang pun dapat mempunyai macam-macam peran yang berasal dari pola pergaulan hidupnya. Hal tersebut berarti pula bahwa peran tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Peran sangat penting karena dapat mengatur perikelakuan seseorang, di samping itu peran menyebabkan seseorang dapat meramalkan perbuatan orang lain pada batas-batas tertentu, sehingga seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya.

Peran yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan unsure statis tang menunjukkan tempat

individu dalam organisasi masyarakat. Sedangkan peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, artinya seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam masyarakat dan menjalankan suatu peran. Suatu peran paling sedikit mencakup 3 hal, yaitu:

1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat;

2. Peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat; dan

3. Peran dapat dikatakn sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Seiring dengan adanya konflik antara kedudukan-kedudukan, maka ada juga konflik peran (conflict of role) dan bahkan pemisahan antara individu dengan peran yang sesungguhnya harus dilaksanakan (role-distance). Role-distance terjadi apabila si individu merasakan peran yang diberikan masyarakat kepadanya, sehingga tidak dapat melaksanakan perannya dengan sempurna atau bahkan menyembunyikan diri.

Peranan dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi peran sendiri adalah sebagai berikut:

1. Memberi arah pada proses sosialisasi;

2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan;

3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat; dan

4. Menghidupkan system pengendali dan control, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat.

Peranan sosial yang ada dalam masyarakat dapat diklasifikasikan menurut bermacam-macam cara sesuai dengan banyaknya sudut pandang. Berbagai macam peranan dapat disebutkan sebagai berikut (Hendropuspio), 1989-185).

Berdasarkan pelaksanaannya peranan sosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Peranan yang diharapkan (expected roles): cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan secermat-cermatnya dan peranan ini tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang ditentukan. Peranan jenis ini antara lain peranan hakin, peranan protokoler diplomatic, dan sebagainya; dan

2. Peranan yang disesuaikan (actual roles), yaitu cara bagaimana sebenarnya peranan itu dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih luwes, dapat disesuaikan denga situasi dan kondisi tertentu. Peranan yang disesuaikan mungkin tidak cocok denga situasi setempat, tetapi kekurangan yang uncul dapat dianggap wajar oleh masyarakat.

Sementara itu, berdasarkan cara memperolehnya,peranan bisa dibedakan menjadi:

1. Peranan bawaan (ascribed roles), yaitu peranan yang diperoleh secara otomatis, bukan karena usaha, misalnya peranan sebagai nenek, anak bupati, dan sebagainya; dan

2. Peranan pilihan (achives role), yaitu peranan yang diperoleh atas dasar keputusannya sendiri, misalnya seseorang yang memutuskan untuk memilih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas airlangga dan menjadi mahasiswa program studi sosoiologi.

B. MOBILITAS SOSIAL

Di dalam sosiologi, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang lebih rendah itulah yang disebut mobilitas sosial. dengan demikian jika kita berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak selalu diartikan sebagai bentuk perpindahan dari tingkat yang rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagian orang berhasil mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada status yang dimiliki oleh orang tua mereka.

Menurut Horton dan Hunt (1987), mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.

Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berebda-beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi, sebaliknya pada system kelas sosial tertutup-seperti masyarakat feudal atau masyarakat bersistem kasta –maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

1. Jenis Mobilitas Sosial

Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial horizontal. Yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertical adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosialn lainnya yang tidak sederajat (soekanto, 1982:244). Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis mobilitas vertical, yakni:

a. Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Misalnya, seorang ataf yang dipromosikan naik pangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan swasta.

b. Gerak sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lai lebih rendah posisinya.

Misal, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karena komoditas yang ditanamnya tidak laku-laku dijual di pasaran.

Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertical salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan struktur sosial di mana orang tua itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal pendidikan yang tinggi- bergelar Doktor atau MBA, misalnya-dan hidup di lingkungan masyarakat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan lebih mudah menembus batas-batas lapisan sosial dan naik pada kedudukan lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.

Sebaliknya, setinggi apa pun tingkat pendidikan seseorang, tetapi bila ia hidup pada suatu lingkungan masyarakat yang masih kuat nilai-nilai primodialisme dan system hubungan koneksi, maka kecil kemungkinan orang tersebut akan bisa lancar jenjang kariernya dalam bekeja. Sudah menjadi rahasia umum,bahwa untuk saat ini gelar sarjana bukan jaminan bagi seseorang untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah jika ia sama sekali tidak memiliki patron atau pihak-pihak tertentu yang bisa memberikan rekomendasi atau katebelece.

Seorang petani miskin dalam banyak hal sulit naik status sosialnya dan sulit meningkatkan penghasilannya bila ia hidup di bawah sejumlah tekanan structural.

Untuk memperoleh bantuan kredit, misalnya, mereka bukan saja sering kurang dipercaya, tetapi juga sulit memperolehnya karena kalah bersaing denga warga desa lain yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Studi yang dilakukan Daru Priyambodo dan Bagong Suyanto (1991) menemukan bahwa para petani miskin umumnya agak sulit bisa memperoleh bantuan kredit dari lembaga KURK (Kredit Usaha Rakyat Kecil) karena dinilai sering menunggak angsuran.

2. Saluran-Saluran Mobilitas Sosial Vertikal

Pitrim A. Sotokin, di dalam mobilitas sosial secara vertical dapat dilakukan lewat beberapa saluran terpenting sebagai berikut:

a. Angkatan Bersenjata.

b. Lembaga-lembaga pendidikan.

c. Lembaga-lembaga keagamaan.

d. Organisasi politik.

e. Organisasi ekonomi.

3. Determinan Mobilitas

Horton dan Hunt (1987) mencatat ada dua faktor yang memengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni:

a. Faktor structural, yakni jumlah relative dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. Ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari kerja adalah termasuk faktor struktural.

b. Faktor individu. Yang dimaksud factor individu adalah kualitas orang per orang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, keterampilan pribadi, dan lain-lain-termasuk factor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.

4. Konsekuensi Mobilitas Sosial

Secara rinci Horton dan Hunt (1987) mencatat beberapa konsekuensi negative dari mobilitas vertical, seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau ke status yang lebih rendah.

Di lingkungan kelas sosialnya yang baru, seseorang yang baru saja naik status belum tentu diterima dengan tangan terbuka. Seseorang yang kaya mendadak karena mendapat lotre atau warisan hibah, mungkin saja tetap dianggap bukan sebagai bagian dari kelompok elite eksklusif karena belum atau tidak memiliki gaya hidup yang sama.

Orang-orang yang naik status, tetapi posisinya mengambang ini lazim disebut OKB (Orang Kaya Baru). Di lingkungan masyarakat desa ada sebutan (bernada cemoohan), seperti petruk dadi ratu atau kere munggah bale,, untuk menyebut orang-orang tertentu yang kaya secaramendadak dan dinilai lupa dari mana asalnya. Para OKB biasanya

Orang-orang yang naik status, tetapi posisinya mengambang ini lazim disebut OKB (Orang Kaya Baru). Di lingkungan masyarakat desa ada sebutan (bernada cemoohan), seperti petruk dadi ratu atau kere munggah bale,, untuk menyebut orang-orang tertentu yang kaya secaramendadak dan dinilai lupa dari mana asalnya. Para OKB biasanya

Dalam dokumen PENGANTAR SOSIOLOGI KEHUTANAN (Halaman 52-0)