• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mobilitas Sosial

Dalam dokumen PENGANTAR SOSIOLOGI KEHUTANAN (Halaman 61-64)

Di dalam sosiologi, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang lebih rendah itulah yang disebut mobilitas sosial. dengan demikian jika kita berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak selalu diartikan sebagai bentuk perpindahan dari tingkat yang rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagian orang berhasil mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada status yang dimiliki oleh orang tua mereka.

Menurut Horton dan Hunt (1987), mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.

Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berebda-beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi, sebaliknya pada system kelas sosial tertutup-seperti masyarakat feudal atau masyarakat bersistem kasta –maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

1. Jenis Mobilitas Sosial

Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial horizontal. Yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertical adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosialn lainnya yang tidak sederajat (soekanto, 1982:244). Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis mobilitas vertical, yakni:

a. Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Misalnya, seorang ataf yang dipromosikan naik pangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan swasta.

b. Gerak sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lai lebih rendah posisinya.

Misal, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karena komoditas yang ditanamnya tidak laku-laku dijual di pasaran.

Menurut Soedjatmoko (1980), mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertical salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan struktur sosial di mana orang tua itu hidup. Seseorang yang memiliki bekal pendidikan yang tinggi- bergelar Doktor atau MBA, misalnya-dan hidup di lingkungan masyarakat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan lebih mudah menembus batas-batas lapisan sosial dan naik pada kedudukan lebih tinggi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.

Sebaliknya, setinggi apa pun tingkat pendidikan seseorang, tetapi bila ia hidup pada suatu lingkungan masyarakat yang masih kuat nilai-nilai primodialisme dan system hubungan koneksi, maka kecil kemungkinan orang tersebut akan bisa lancar jenjang kariernya dalam bekeja. Sudah menjadi rahasia umum,bahwa untuk saat ini gelar sarjana bukan jaminan bagi seseorang untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah jika ia sama sekali tidak memiliki patron atau pihak-pihak tertentu yang bisa memberikan rekomendasi atau katebelece.

Seorang petani miskin dalam banyak hal sulit naik status sosialnya dan sulit meningkatkan penghasilannya bila ia hidup di bawah sejumlah tekanan structural.

Untuk memperoleh bantuan kredit, misalnya, mereka bukan saja sering kurang dipercaya, tetapi juga sulit memperolehnya karena kalah bersaing denga warga desa lain yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Studi yang dilakukan Daru Priyambodo dan Bagong Suyanto (1991) menemukan bahwa para petani miskin umumnya agak sulit bisa memperoleh bantuan kredit dari lembaga KURK (Kredit Usaha Rakyat Kecil) karena dinilai sering menunggak angsuran.

2. Saluran-Saluran Mobilitas Sosial Vertikal

Pitrim A. Sotokin, di dalam mobilitas sosial secara vertical dapat dilakukan lewat beberapa saluran terpenting sebagai berikut:

a. Angkatan Bersenjata.

b. Lembaga-lembaga pendidikan.

c. Lembaga-lembaga keagamaan.

d. Organisasi politik.

e. Organisasi ekonomi.

3. Determinan Mobilitas

Horton dan Hunt (1987) mencatat ada dua faktor yang memengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni:

a. Faktor structural, yakni jumlah relative dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. Ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari kerja adalah termasuk faktor struktural.

b. Faktor individu. Yang dimaksud factor individu adalah kualitas orang per orang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, keterampilan pribadi, dan lain-lain-termasuk factor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.

4. Konsekuensi Mobilitas Sosial

Secara rinci Horton dan Hunt (1987) mencatat beberapa konsekuensi negative dari mobilitas vertical, seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat, keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau ke status yang lebih rendah.

Di lingkungan kelas sosialnya yang baru, seseorang yang baru saja naik status belum tentu diterima dengan tangan terbuka. Seseorang yang kaya mendadak karena mendapat lotre atau warisan hibah, mungkin saja tetap dianggap bukan sebagai bagian dari kelompok elite eksklusif karena belum atau tidak memiliki gaya hidup yang sama.

Orang-orang yang naik status, tetapi posisinya mengambang ini lazim disebut OKB (Orang Kaya Baru). Di lingkungan masyarakat desa ada sebutan (bernada cemoohan), seperti petruk dadi ratu atau kere munggah bale,, untuk menyebut orang-orang tertentu yang kaya secaramendadak dan dinilai lupa dari mana asalnya. Para OKB biasanya baru diterima dan dianggap sebagai bagian dari kelas sosial barunya bila telah beberapa lama melakukan penyesuaian atau adaptasi.

Dalam dokumen PENGANTAR SOSIOLOGI KEHUTANAN (Halaman 61-64)