• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

6.8 Hubungan antara Pengaruh Teman Sebaya dengan Kecenderungan

Remaja dan dewasa muda sangat rentan terhadap gangguan perilaku makan, karena mereka berusaha untuk menemukan identitas mereka ketika mereka beranjak dari masa kanak-kanak menjadi dewasa. Mereka membandingkan diri mereka dengan orang lain dan lebih sensitif atas pandangan orang lain terhadap mereka. Mereka ingin menyesuaikan diri dan dikagumi oleh teman-teman mereka. Mereka sangat menghargai pendapat rekan-rekan mereka. Akibatnya, remaja sangat ingin di nilai "keren" oleh orang-orang disekitar mereka (NAMED, 2011).

Dalam penelitian ini, hasil univariat menunjukkan 46,6% pernah terpengaruh oleh teman sebaya dan 53,6% tidak pernah terpengaruh oleh teman sebaya. Hal tersebut tidak beda jauh dengan penelitian Hapsari (2009) karena tidak lebih dari 50% responden pernah mengalami kritik dari teman sebaya. Sedangkan hasil tabulasi silang antara pengaruh teman sebaya dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang diketahui responden yang terpengaruh oleh teman sebaya yang mengalami kecenderungan perilaku makan menyimpang yaitu sebanyak 27 orang responden (31,8%).

Ketika dilakukan uji Chi-Square didapatkan hasil uji statistik memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara pengaruh teman sebaya dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang dengan p-value sebesar 0,000 dan didapatkan nilai OR = 0,159 (95% CI ; 0,084-0,304) yang artinya responden yang terpengaruh oleh teman sebaya memiliki peluang 0,159 kali lebih besar untuk memiliki kecenderungan perilaku makan menyimpang dibandingkan dengan responden yang tidak terpengaruh oleh teman sebaya. Penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2009) juga mengemukakan adanya hubungan antara pengaruh teman sebaya dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang.

Adanya hubungan antara pengaruh teman sebaya dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang telah sesuai dengan yang dikemukakan oleh NAMED (2011) yang menyatakan bahwa remaja ingin sekali terlihat keren diantara teman-temannya. Selain itu, hal ini sesuai dengan teori Peer Cluster yang memandang pentingnya pengaruh lingkungan dalam membentuk perilaku seseorang. Dalam perkembangan kepribadiannya, remaja sangat mendambakan penerimaan dari teman sebayanya. Penerimaan dari kelompok ini merupakan suatu bagian dari upaya mencari identitas diri

(Sarwono, 2000). Oleh karena itu, responden tidak perlu selalu ingin terlihat sama dengan teman sebaya. Dalam hal ini berarti responden perlu meningkatkan rasa percaya diri agar tidak terpengaruh. Sehingga kecenderungan perilaku makan menyimpang dapat dihindari.

6.9 Hubungan antara Riwayat Pelecehan Seksual dengan Kecenderungan Perilaku Makan Menyimpang

Pelecehan seksual dianggap sebagai salah satu pemicu yang dapat menimbulkan penyimpangan perilaku makan (Tiemeyer, 2007 dalam Putra, 2008). Penelitian Moore, et al (2002) melaporkan adanya hubungan antara pelecehan seksual dengan penyimpangan perilaku makan baik pada perempuan kulit putih ataupun kulit hitam.

Pada penelitian ini, hasil analisis univariat menunjukkan sebesar 19,1% mahasiswa pernah mengalami pelecehan seksual dan 80,9% tidak pernah mengalami pelecehan seksual. Hasil analisis tabulasi silang antara riwayat pelecehan seksual dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang sebesar 54,3% responden dengan adanya riwayat pelecehan seksual mengalami kecenderungan perilaku makan menyimpang.

Ketika dilakukan uji Chi-Square didapatkan hasil uji statistik memperlihatkan tidak adanya hubungan antara riwayat pelecehan seksual dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang dengan p-value sebesar 1,000.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pelecehan seksual dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putra (2008)

juga tidak menemukan adanya hubungan antara pelecehan seksual dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang.

Tidak adanya hubungan antara pelecehan seksual dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang mungkin disebabkan karena pelecehan seksual tidak selalu menjadi faktor yang terkuat untuk melakukan perilaku makan menyimpang tetapi masih banyak faktor lain yang mampu mempengaruhi adanya perilaku makan menyimpang dan dapat dilihat pula jumlah distribusi responden yang mengalami pelecehan seksual lebih sedikit bila dibandingkan dengan yang tidak mengalami pelecehan seksual. Selain itu kemungkinan seperti yang diungkap oleh Mazzeo (2008) perlunya evaluasi lebih lanjut tentang pengaruh potensial dari fungsi keluarga terhadap hubungan pelecehan seksual dengan perilaku makan menyimpang.

6.10 Hubungan antara Kekerasan Fisik dengan Kecenderungan Perilaku Makan Menyimpang

Kekerasan fisik merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam terbentuknya perilaku makan menyimpang. Sebuah studi yang dilakukan oleh Fairburn dan rekan (1999) menemukan bahwa kekerasan fisik yang pernah berulang kali yang dialami oleh perempuan berhubungan secara signifikan sebagai salah satu faktor risiko

anoreksia nervosa. Moore, et al (2002) melaporkan bahwa para perempuan kulit putih dan kulit hitam penderita BED mengalami kekerasan fisik lebih tinggi secara signifikan daripada objek pembanding yang sehat. Moore, et al (2002) juga mengindikasikan adanya hubungan antara kekerasan fisik pada berbagai tingkat keparahan dengan binge-eating disorder.

Berdasarkan hasil analisis univariat pada penelitian ini, sebagian besar mahasiswa tidak pernah mengalami kekerasan fisik yaitu sebesar 87,4%. Hasil analisis tabulasi penelitian diketahui 65,2% responden dengan adanya riwayat kekerasan fisik yang mengalami kecenderungan perilaku makan menyimpang.

Ketika dilakukan uji Chi-Square didapatkan hasil uji statistik memperlihatkan tidak adanya hubungan antara riwayat kekerasan fisik dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang dengan p-value sebesar 0,387. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya pada penelitian-penelitian sebelumnya, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Aini (2009) karena penelitian sebelumnya mengemukakan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kekerasan fisik dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang.

Tidak adanya hubungan antara kekerasan fisik dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang mungkin disebabkan distribusi responden yang pernah mengalami kekerasan fisik lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang tidak pernah mengalami kekerasan fisik dan tidak selalu yang mengalami kekerasan fisik memilih untuk melakukan perilaku makan menyimpang.

6.11 Hubungan antara Pengaruh Media dengan Kecenderungan Perilaku Makan Menyimpang

Media merupakan sumber utama yang mencerminkan dan memperkuat cita-cita daya tarik fisik yang menggambarkan karakteristik maskulin dan feminin. Biasanya wanita cenderung disajikan dalam media sebagai sosok yang langsing, lemah, dan rentan, sementara pria digambarkan sebagai sosok yang kuat, berotot dan energik

(NAMED, 2011). Orang yang menganggap hal tersebut memiliki risiko lebih besar terkena ketidakpuasan tubuh yang dapat menyebabkan gangguan perilaku makan yang mengarah kepada perilaku makan menyimpang.

Dalam sebuah laporan tahun 1999 berjudul, "Laki-laki: Pesan Media Tentang Maskulinitas". Sebuah organisasi yang meneliti dampak dari media pada anak-anak menyimpulkan bahwa penggambaran manusia melalui media memperkuat sikap sosial yang memiliki pranala maskulinitas kekuasaan, kontrol dan dominasi. Gambar dikomunikasikan melalui media massa seperti televisi, majalah dan iklan yang tidak realistis, digunakan untuk mencapai citra budaya sehingga dianggap sebagai 'kesempurnaan' namun sebenarnya tidak benar-benar ada. Implikasinya adalah bahwa jika seseorang meniru selebriti atau membeli produk pengiklan, Anda akan menjadi sukses, dikagumi dan menarik secara seksual (NAMED, 2011).

Menurut Hasil analisis univariat menunjukkan 9,3% mahasiswa sering terpapar majalah, 19,1% sering terpapar televisi dan 24,0% sering terpapar internet. Dari semua media yang ada ternyata mahasiswa lebih sering mengakses internet daripada majalah dan televisi. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara keterpaparan media dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang didapatkan p-value sebesar 0,883 untuk media majalah, p-value sebesar 0,498 untuk media televisi dan p-value sebesar 0,326 untuk media internet. oleh karena itu, karena p-value selalu menunjukkan > 0,05 maka dinyatakan tidak adanya hubungan antara keterpaparan oleh majalah dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang.

Tidak adanya hubungan antara media dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang disebabkan karena menurut hasil penelitian mahasiswa yang menganggap

majalah yang mereka baca tidak pernah membaca majalah yang berkaitan dengan gaya hidup. Hal ini dapat dilihat dari persentase mahasiswa yang tidak pernah menemukan majalah mengenai gaya hidup lebih tinggi yaitu sebesar 53%. Begitu pula dengan media televisi dan internet cenderung lebih tinggi pada mahasiswa yang jarang menemukan topik yang membahas tentang gaya hidup.

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gonzalez, et al (2003) yang menemukan bahwa media massa berperan dalam onset perilaku makan menyimpang dan Field, et al (1999) yang menyatakan media massa berperan dalam informasi bentuk tubuh ideal kurus yang tidak realistis. Hal tersebut karena pada kenyataannya media massa pada penelitian ini tidak memiliki hubungan yang dengan kecenderungan perilaku makan menyimpang.

84

Dokumen terkait