• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Skabies

Secara statistik menunjukkan adanya hubungan pengetahuan santri dengan kejadian skabies. Dimana didapatkan p = 0,000 dengan nilai OR 7,344 artinya santri yang berpengetahuan kurang akan berpeluang menderita skabies. Pengetahuan santri yang berkaitan dengan kejadian skabies dimana masih dijumpai santri yang belum mengetahui penyebab terjadinya skabies, begitu juga tentang penularan skabies mereka lebih banyak menyatakan menular melalui pakaian.

Banyak penelitian yang sejalan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, diantaranya Taufik (2006), membuktikan ada peningkatan bermakna pengetahuan pengungsi tentang pencegahan skabies yang dilihat dari segi promosi kesehatan. Tingkat pengetahuan mempunyai peran penting dalam pencegahan penyakit skabies, khususnya dalam lingkungan yang penduduknya padat dalam hal ini termasuk asrama.

Sugiharto (2003) menyatakan ada peningkatan pengetahuan responden setelah diberikan pendidikan kesehatan pada kader untuk pencegahan HIV/AIDS, Sosanto, (2002) yang memberikan intervensi pendidikan dengan berbagai model dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Novelasari, (2004) membuktikan intervensi pendidikan kesehatan dapat

meningkatkan pengetahuan guru surau untuk mencegah kejadian Anemia gizi besi, penelitian Rahanto, (1997) membuktikan peningkatan pengetahuan ibu-ibu hamil tentang pencegahan risiko kehamilan melalui intevensi penyuluhan kesehatan serta penelitian Suskamdani, (1995) yang membuktikan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit menular dengan dilakukannya penyuluhan kesehatan pada masyarakat.

Peningkatan pengetahuan untuk santri selama menempati asrama telah banyak memperoleh informasi tentang kesehatan, diantaranya tentang penyakit kulit. Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada santri ini disampaikan melalui kuliah singkat yang bisanya dilakukan setiap selesai shalat magrib. Sebagai penyegaran terhadap informasi yang telah diperoleh dengan penekanan terhadap pengetahuan pencegahan lebih mendalam tentang penyakit skabies. Peningkatan pengetahuan santri memang tidak semata dipengaruhi proses pelaksanaan pendidikan kesehatan saja. WHO (1992) menyatakan faktor lain yang juga mempengaruhi antara lain motivasi, kebutuhan terhadap informasi, pengalaman/mengalami, kecerdasan, guru, teman, buku dan media massa (Werner dan Bower, 1986).

Peningkatan pengetahuan juga dapat dilibatkan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang ada dilingkungan sekolah dan pesantren. Peran UKS sangat penting dalam meningkatkan kesehatan para santri, karena merema memiliki wewenang terhadap kesehatan. Berkaitan dengan pengetahuan santri tentang kejadian skabies ada beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan diantaranya ; tahu (know)

diartikan mengingat suatu materi atau ilmu yang berkaitan dengan skabies. Dalam hal ini santri mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau didapatkan atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang rendah. Misalnya dalam menguraikan, mendefinisikan tentang penyakit skabies. Memahami (comprehension), adalah kemampuan santri dalam menjelaskan secara benar tentang penyakit skabies. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi dapat menjelaskan kembali, misalnya dapat menjelaskan penyakit skabies dapat ditularkan melalui apa saja. Aplikasi (application) adalah kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Analisis (analysis) diartikan kemampuan dalam menjabarkan objek kehidupan sehari-hari misalnya saling menjaga kebersihan diri atau tidak menggunakan pakaian orang lain. Sintesis (synthesis) diartikan adanya kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya dapat menjelaskan tentang hal-hal yang harus dijaga dengan orang yang menderita skabies. Evaluasi artinya kemampuan seseorang dalam melakukan penilaian terhadap kejadian skabies. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria orang lain. Misalnya dapat membandingkan dengan kebiasaan hidup yang kurang maka santri mudah terkena penyakit skabies. Pada penelitian ini santri kemungkinan belum mengetahui penyebab skabies dan cara menghindari penyakit skabies.

Roger (1974), berpendapat bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berturut-turut. Kesadaran (awareness) yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui objek terlebih dahulu, Interest adalah orang mulai tertarik kepada stimulus, misalnya santri ingin mengikuti hidup bersih sesuai dengan kaidah yang menyatakan kebersihan bagian dari iman, evaluation artinya menimbang baik atau tidaknya stimulus yang diterima. Trial adalah mereka telah mulai mencoba dengan perilaku baru untuk menghindar terjadinya penyakit skabies. Adoption yaitu seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, sikap terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2005).

Sesuai dengan tiori di atas maka santri yang menderita skabies membutuhkan tahap-tahap dalam meningkatkan pengatahuan. Peningkatan pengatahuan juga harus diikuti dengan informasi-informasi yang dapat menguntungkan bagi santri. Pengetahuan tentang penyakit skabies belum dapat mengubah sikap dan perilaku. Kebiasaan pola hidup yang sudah rutin dan hampir berlaku disemua pesantren termasuk opini dan persepsi yang salah terhadap penyakit skabies ternyata cukup sulit diubah.

Kurangnya pengetahuan terhadap penyakit skabies, sehingga menyebabkan cepatnya penularan skabies yang terjadi didalam lingkungan pesantren. Penularan skabies dalam kategori tinggi di dalam masyarakat, lingkungan keluarga, sekolah-sekolah dalam hal ini termasuk pesantren yang santrinya terinfeksi skabies. Kerlinger (2003) menyatakan bahwa pengetahuan

yang maksimal dalam waktu singkat sulit terjadi perubahan baik peningkatan ataupun penurunannya. Banyak faktor yang menjadi alasan diantaranya masyarakat kesulitan memperoleh informasi yang lebih banyak tentang sesuatu setelah informasi utama diperolehnya (Sadulloh, 2003).

Analisis distribusi frekuensi terhadap jenis pertanyaan yang diberikan menunjukkan bahwa penyebab, tanda dan gejala skabies umumnya tidak diketahui oleh santri. Pengetahuan ini sebagian besar mereka peroleh dari pengalaman mengalami baik langsung pada dirinya maupun tidak langsung pada anggota keluarga atau tetangga. Werner and Bower (1986) menyatakan bahwa penyakit bila seseorang pernah mengalami penyakit atau sedang menderita, bila ada informasi yang berkaitan dengan penyakit yang ia derita maka akan lebih tertarik untuk mendengarkannya. Seperti halnya santri yang memiliki pengalaman menderita skabies baik diri atau kawannya serta anggota keluarganya memiliki ketertarikan lebih tinggi dalam mengikuti pendidikan atau penyuluhan yang disampaikan.

Penyebutan ”kudee buta” dalam bahasa Aceh dipahami santri sebagai kudis seperti yang dipahami oleh sebagian besar santri. Dalam masyarakat Aceh sendiri masih sangat awam dengan sebutan kudee buta, karena memang penyakit ini sudah jarang sekali ditemukan saat ini. Kutu sarcoptes scabeie juga banyak yang tidak diketahui oleh santri, hal ini disebabkan informasi yang pernah mereka dapatkan tidak terlalu mendalam.

Cara menghindari penyakit skabies yang efektif untuk menanggulangi skabies masih banyak kurang dipahami, kebiasaan selama ini mereka hanya mengobati penderita saja. Mereka juga masih banyak yang menganggap pengobatan skabies memerlukan karantina. Pencegahan efektif sebaiknya harus meliputi seluruh anggota keluarga dan untuk pengobatan hanya diperlukan obat esensial yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih murah (Orkin dan Maibach, 1997).

Pengetahuan yang bekaitan dengan penyakit skabies di lingkungan pesantren masih merupakan suatu masalah yang menjadi perhatian khusus dalam mencegah penyakit skabies. Peningkatan pengetahuan santri dapat dilakukan secara berjenjang dan bertahap salah satunya dapat dilakukan melalui penyuluhan- penyuluhan.

Dokumen terkait