• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Skabies Pada Pesantren Di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Skabies Pada Pesantren Di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT SKABIES PADA PESANTREN

DI KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2007

TESIS

Oleh

MUZAKIR

047023015/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesehatan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduk yang hidup dengan perilaku dan lingkungan yang sehat. Upaya perbaikan dalam bidang kesehatan masyarakat salah satunya dilaksanakan melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

(3)

tidak jatuh sakit, sedangkan yang sakit dapat pula segera disembuhkan agar menjadi sehat (Depkes. RI, 2004).

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, di mana pelayanan kesehatan masyarakatnya belum memadai sehubungan dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Permasalahan utama yang dihadapi masih didominasi oleh penyakit infeksi yang sebagian besarnya adalah penyakit menular yang berbasis lingkungan. Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi penyakit skabies dalam masyarakat diseluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6% - 12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering.

Data pola penyakit di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat seperti malaria, demam berdarah dan penyakit infeksi lainnya termasuk skabies. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2003 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit skabies. Pada tahun 2004 kejadian penyakit skabies prevalensinya 40,78% (Depkes, RI 2004 dan Dinkes Prov. NAD, 2005).

(4)

skabies. Peningkatan kasus penyakit skabies yang meluas secara cepat, baik jumlah kasus maupun daerah terjangkit terutama di daerah yang padat penghuninya, seperti asrama, panti asuhan dan pesantren. Penularan penyakit skabies yang sangat cepat dilingkungan pesantren terutama disebabkan penyakit skabies merupakan penyakit yang dapat menular secara langsung dan juga disebabkan oleh perilaku santri yang kurang menjaga kebersihan diri (Dinkes Kab. Aceh Besar, 2005).

Pada Kecamatan Indrapuri juga terdapat dua pesantren yaitu satu pesantren terpadu dan satu pesantren tradisional. Pesantren terpadu yaitu pesantren Oemar Diyan, dari jumlah santri pada tahun 2005 sebanyak 745 terhadap penyakit skabies sebanyak 287 kasus. Sedangkan untuk pesantren tradisional tidak tercatat kasus penyakit gatal-gatal maupun penyakit skabies. Kedua kecamatan tersebut dan juga adanya pesantren, merupakan kasus terbanyak penyakit skabies di Kabupaten Aceh Besar (Pustu Lamkareung, 2007).

Pada Kecamatan Ingin Jaya terdapat dua pesantren yaitu Pesantren Al-Falah dan Pesantren Ulumul Qur’an. Pada Pesantren Al-Falah tahun 2006, dari 625 santri didapatkan 108 santri menderita penyakit gatal-gatal, sementara itu pesantren Ulumul Qur’an dari 650 santri didapatkan 125 santri menderita penyakit gatal-gatal. Selain itu juga ke tiga pesantren tersebut memiliki asrama bagi santri dan santri diwajibkan untuk tinggal di asrama.

(5)

pelajaran yang terlewatkan baik di sekolah maupun di pesantren, karena santri adanya rasa kurang percaya diri dalam pergaulan. Bila sudah dalam keadaan parah santri sering dijemput oleh orang tuanya atau keluarga untuk dilakukan pengobatan diluar pesantren. Tingginya angka kejadian di pesantren menyebabkan santri merasa terganggu dalam belajar, sehingga prestasi belajarnya menurun. Berdasarkan data dari tiga pesantren tahun 2006 didapatkan 15,5% santri yang menderita skabies nilai rapornya menurun bahkan diantaranya tinggal kelas dan tidak lulus ujian akhir.

Ketiga pesantren tersebut dilengkapi dengan fasilitas yang sama seperti asrama pemondokan, penyediaan air bersih, serta memiliki peraturan yang sama. Namun berkaitan dengan penyakit skabies sebagian dari santri menderita dan juga ada yang tidak menderita dalam hal ini adanya tingkat perbedaan pengetahuan, sikap dan tindakan (kebersihan dan kebiasaan) santri di pesantren tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya perbedaan tersebut maka penyebaran penyakit skabies juga berbeda pada setiap pesantren maupun secara individu santri.

(6)

dimulai dari pengetahuan yang kemudian menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap yang akhirnya menimbulkan respon yang lebih jauh yaitu tindakan. Skabies merupakan salah satu penyakit yang sering diderita oleh penghuni pesantren dan sering dianggap sebagai penyakit tradisional dikalangan santri. Anggapan ini disebabkan karena penyakit skabies selalu terjadi pada santri yang tidak pernah putus dan juga penyakit skabies ini sudah dianggap sebagai penyakit ringan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka perumusan masalah yang dapat dikembangkan adalah bagaimana hubungan antara pengetahuan, sikap dan tindakan dengan kejadian penyakit skabies di pesantren.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap, tindakan (kebersihan diri dan kebiasaan) dengan kejadian penyakit skabies pada santri di pesantren Kabupaten Aceh Besar.

1.4. Hipotesis

a. Adanya hubungan pengetahuan santri dengan kejadian penyakit skabies. b. Adanya hubungan sikap santri dengan kejadian penyakit skabies.

(7)

1.5. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti

Dapat memberikan suatu masukan yang berkaitan dengan penyakit skabies dan meningkatkan pengetahuan terhadap pola pencegahan penyakit skabies.

b. Bagi santri

Dapat menjadi masukan terhadap perbaikan kebiasaan hidup yang merugikan bagi kesehatan sehingga dapat menjaga kesehatan diri khususnya yang berkaitan dengan penyakit skabies.

c. Bagi pengelola

(8)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Sarcoptes Scabiei

2.1.1. Klasifikasi Sarcoptes scabiei

Sarcoptes scabiei termasuk Filum Arthropoda, Kelas Arachnida, Ordo Ackari, superfamili Sarcoptoidea dan Genus Sarcoptes.

2.1.2. Morfologi

Sarcoptes scabiei secara morfologik adalah tungau kecil berbentuk lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau tersebut translusen, berwarna putih kotor dan tidak bermata. Besar tungau bervariasi, yang betina berukuran kurang lebih 339-450 x 250-350 mikron, sedangkan tungau jantan lebih kecil yaitu 200-240 x 150-200 mikron. Tubuh tungau terbagi bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut dengan notogaster. Nototoraks dan notogaster masing-masing mempunyai dua pasang kaki. Pada tungau betina dua pasang kaki kedua berakhir dengan rambut dan kaki keempat berakhir dengan ambulacra (semacam alat yang melengketkan diri) (Harahap, 2006).

2.1.3. Kebiasaan hidup Sarcoptes scabiei

(9)

sampai mencapai jumlah 40 hingga 50 butir. Tungau betina yang telah dibuahi dapat hidup sebulan lamanya setelah telur menetes. Telur ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga diluar terowongan (Djuanda, 2006).

Tungau skabies lebih suka hidup didaerah yang berkulit tipis seperti sela jari, penggelangan tangan, kaki, aksila, umbilikus, penis, areola mammae dan dibawah payudara wanita. Kutu dapat hidup diluar kulit manusia hanya 2 – 3 hari dan pada suhu kamar 21 derajat celsius dengan kelembaban relatif 40 – 80%. Kutu jantan membuahi kutu betina dan kemudian mati. Kutu betina kemudian menggali lobang ke dalam epidermis membentuk terowongan didalam stratum korneum. Kecepatan menggali terowongan 1 – 5 mm/hari. Kemudian kutu betina mati di ujung terowongan. Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea, pada permukaan kulit dapat bergerak kurang lebih 2,5 centimeter permenit (Harahap, 2000). 2.1.4. Siklus hidup skabies

Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari didalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dan dapat tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih 30 hari.

(10)

yang mempunyai dua bentuk jantan dan betina. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa adalah 10 – 14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek daripada tungau betina, dan mempunyai peran yang lebih kecil pada patogenesis penyakit biasanya hanya hidup di permukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina. Tungau ini merupakan parasit obligat pada manusia dan hanya dapat hidup diluar tubuh manusia selama kurang lebih 2 – 3 hari (Ginanjar, 2006).

2.1.5. Skabies 1. Pengertian skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Skabies disebut juga dengan the itch, pamaan itch, seven year itch (diistilahkan dengan penyakit yang terjadi tujuh tahunan). Di Indonesia skabies lebih dikenal dengan nama gudik, kudis, buduk, kerak, penyakit ampera dan gatal agogo (Djuanda, 2006). 2. Sejarah skabies

(11)

1812 Bonomo telah menemukan sercoptes skabiei yang dijelaskan oleh Meunir. Penemuan tersebut yang dibuktikan oleh temuan orang lain. Pada tahun 1820 Raspail menyatakan bahwa tungau yang ditemukan Gales identik dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan sebagai penipu penemuan. Gales baru diakui pada tahun 1839 dengan berhasil mendemontrasikan cara mendaptkan tungau dari penderita skabies dengan sebuah jarum (Kandun, 2000).

2.1.6. Epidemiologi skabies

Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi.Di beberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27% populasi umum, dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1983 diketahui bahwa di sepanjang sungai Ucayali, Peru, ditemukan beberapa desa di mana semua anak-anak dari penduduk asli desa tersebut mengidap skabies. Behl pada tahun 1985menyatakan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak di desa-desa Indian adalah 100%. Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 10 -19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paulo, Brazil insiden tertinggi terdapat pada anak di bawah 9 tahun. Di India, Gulati (dikutip dari 4) melaporkan prevalensi tertinggi pada anak usia 5 - 14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan laporan Srivastava yang menyatakan prevalensi tertinggi terdapat pada anak di bawah 5 tahun. Di negara maju, prevalensi skabies sama pada semua golongan umur (Maibach, 1997).

(12)

lingkungan yang padat dengan jumlah penghuni tiap rumah 13 orang atau lebih. Pada survei pertama didapatkan prevalensi skabies sebesar 28% pada suatu kelompok dan pada kelompok yang lain 42%. Dua tahun kemudian dilakukan survei pada pulau Van", lebih besar yang berpenduduk 2.000 orang. Pada survei tersebut ditemukan bahwa 90% penduduk mengidap skabies. Pada tahun 1986 survei di desa Indian lainnya yang berpenduduk 756 orang didapatkan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak yang berumur 10 tahun adalah 61% dan pada bayi yang berumur kurang dari 1 tahun adalah 84% (Orkin, 1997).

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan wanita. Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10 – 15 tahun (Harahap, 2000).

(13)

tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes. RI, 2000).

Dariansyah, 2006 dalam penelitiannya yang dilakukan juga di pesantren Oemar Diyan dari 61 santri yang diambil 37 orang menderita skabies dan 24 orang tidak menderita skabies. Hasil penelitian ini didapatkan OR 2,2. Di pesantren yang padat penghuninya prevalensi skabies mencapai 78,7%, tingginya prevalensi pada kelompok tersebut yang kebersihan dirinya kurang baik 72,7% dan pada kelompok yang kebersihan dirinya baik hanya 2,2% - 3,8% (Sungkar, 2001).

2.1.7. Patogenesis skabies

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau sarcoptes scabiei, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sesitisasi terhadap sekreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Akibat garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.

2.1.8. Gambaran klinis skabies

(14)

bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, aerola mammale (area sekeliling puting susu), dan permukaan depan pergelangan (Sungkar, 2001).

Ciri-ciri seseorang terkena skabies adalah kulit penderita penuh bintik-bintik kecil sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan menjadi bernanah jika terinfeksi (Djuanda, 2006). Ginanjar, 2006 menyatakan ada empat tanda kardinal yaitu :

a. Pruritus nokturna yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. b. Penyakit ini menyerang secara kelompok, mereka yang tinggal di asrama,

barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah.

c. Adanya torowongan (kunikulus) dibawah kulit yang berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka akan timbul gambaran pustula (bisul kecil), lokalisasi kulit ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan, siku bagian luar, kulit sekitar payudara bokong dan perut bagian bawah.

(15)

2.1.9. Bentuk-bentuk skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang sering menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga disebut sebagai the great imitator. Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Handoko dalam buku Djuanda, 2006 menyatakan selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk yang khusus antara lain :

a. Skabies pada orang bersih (Scabies of cultivated)

Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan torowongan yang sedikit jumlahnya hingga sangat sukar ditemukan. Dalam penelitian dari 1000 orang penderita skabies menemukan hanya 7% terowongan.

b. Skabies in cognito

Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa terjadi. Skabies incognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit gatal lainnya.

c. Skabies nodular

(16)

jarang ditemukan. Nodus dapat bertahan selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberikan pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.

d. Skabies yang ditularkan melalui hewan

Sumber utama skabies ini adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies manusia yaitu tidak terdapat torowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak atau memeluk binatang kesayangannya yaitu paha, dada dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4 - 8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena skabies varietas binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.

e. Skabies Norwegia

Skabies norwegia atau skabies krustosa pertama kali dilaporkan oleh Danielsen, seorang warga Norwegia yang menderita kusta. Skabies ini juga tidak hanya terjadi pada penderita kusta namun juga dapat terjadi pada redardasi mental, dementia senilis, penderita keganasan, penderita dengan defisiensi imunologik.

f. Skabies terbaring di tempat tidur (Bed-ridden)

(17)

g. Skabies pada bayi dan anak-anak muda

Dalam kelompok usia ini, wajah, kulit kepala, telapak tangan dan telapak kaki dapat terserang, yang paling umum menimbulkan lesi adalah papule, vesicopustules dan nodules, akan tetapi distribusi dapat bersifat atipikal. Eksemastisasi dan impetigenisasi sekunder umum terjadi dan burrow sulit ditemukan. Prevalensi skabies adalah paling tinggi pada bayi yang berusia dibawah dua tahun (Stone, dikutip Orkin, 1997).

2.1.10. Penularan skabies

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularanya adalah :

a. Kontak langsung (kulit dengan kulit)

Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan cara tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.

b. Kontak tak langsung (melalui benda)

(18)

skabies pada rumah sakit, panti jompo, pemondokan/asrama dan rumah sakit jiwa karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2006).

2.1.11. Pencegahan skabies

Siregar (1996) yang dikutip Ruteng, 2007, penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit ini dapat dilakukan dengan cara :

a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun

b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu

c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.

d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.

e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau skabies.

f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari (Prabu, 1996).

(19)

1) Suci hamakan sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan antiseptik.

2) Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering (dry-cleaned).

3) Keringkan topi yang bersih, kerudung dan jaket. 4) Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab.

Departemen Kesehatan RI, 2002, memberikan beberapa cara pencegahan yang dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan orang-orang yang kontak meliputi :

1) Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya

2) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan.

3) Isolasi santri yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif.

(20)

Penanggulangan wabah yang terjadi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :

1) Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko.

2) Pengobatan dilakukan secara massal.

3) Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik didalam keluarga, didalam unit atau institusi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan. 4) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum, jika ada sangat

membantu dalam pencegahan infeksi. 2.1.12. Diagnosis skabies

Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel dan pustula di tempat predileksi. Selain itu, didapat keterangan bahwa gejala penyakit ini terdapat pada sekelompok orang. Diagnosis pasti ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya pada pemeriksaan laboratorium. Namun dengan cara permeriksaan tersebut tungau sulit ditemukan karena tungau yang menginfestasikan penderita hanya sedikit (Medicastore, 2007).

Beberapa cara yang dapat dipakai untuk menemukan tungau, telur atau terowongan adalah :

a. Kerokan kulit

(21)

terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan ditutup dengan kaca tutup lalu diperiksa dibawah miskroskop.

b. Mengambil tungau dengan jarum

Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat ke luar.

c. Kuretasi terowongan (kuret dermal)

Kuretasi dilakukan secara superfisial mengikuti sumbu panjang, terowongan atau puncak papul. Hasil kuret diletakkan pada gelas obyek dan ditetesi minyak mineral lalu diperiksa dengan mikroskop.

d. Sweb kulit

Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat. Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop.

e. Burow ink test

Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama 20 - 30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig zag.

f. Uji tetrasiklin

(22)

akan menunjukkan fluoresensi. g. Epidermal shave biopsy

Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris dengan skalpel. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas obyek, ditetesi dengan minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop. h. Pemeriksaan histopatologik

Gambaran histopatologik menunjukkan bahwa terowongan terletak pada stratum korneum, dan hanya ujung terowongan tempat tungau betina berada terletak di irisan dermis. Pemeriksaan histopatologik tidak mempunyai nilai diagnostik kecuali bila pada pemeriksaan tersebut ditemukan tungau atau telurnya. Daerah yang berisi tungau menunjukkan sejumlah eosinofil dan sulit dibedakan dengan reaksi gigitan artropoda lainnya misalnya gigitan nyamuk atau katu busuk.

(23)

positif karena biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki tinta atau salep (Ginanjar, 2006).

Agar pemeriksaan berhasil baik terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada waktu melakukan pemeriksaan laboratorium yaitu :

1) Kerokan kulit jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi dengan infeksi sekunder. Pada lesi ekskoriasi tungau mungkin sudah terangkat oleh garutan dan pada lesi dengan infeksi sekunder terdapat pus yang bersifat akarisida sehingga tungau tidak ditemukan pada lesi tersebut, selain itu kerok kulit didaerah infeksi sekunder dapat memperberat infeksi. 2) Kerokan harus superfisial karena tungau berada dalam stratum korneum,

jadi kerokan tidak boleh berdarah.

3) Papel yang baik untuk dikerok adalah papul yang baru dibentuk yaitu berbentuk lonjong dan tidak berkrusta karena biasanya tungau ditemukan pada papul atau terowongan yang baru dibentuk.

4) Jangan mengerok dari satu lesi tetapi keroklah dari beberapa lesi tungau belum tentu berada dalam lesi tersebut.

5) Lokasi yang paling sering terinfeksi adalah sela jari tangan, karena itu perhatian utama ditujukan pada daerah tersebut.

(24)

2.2. Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Penyakit Skabies

Penyakit skabies merupakan penyakit yang sangat mudah menular melalui kontak langsung dengan penderita, beberapa hal yang dapat mempengaruhi terhadap kejadian penyakit skabies diantaranya :

2.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengar dan indera penglihatan. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini kemampuan santri dalam menjaga penyakit skabies baik dalam pencegahan maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan untuk memelihara kesehatan diri sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit (Damayanti, 2005).

Usaha-usaha tersebut meliputi : a. Kebersihan badan

Mandi memakai sabun sekurang-kurangnya dua kali sehari, tangan selalu dalam keadaan bersih, kuku bersih dan pendek, rambut dalam keadaan bersih dan rapi.

b. Kebersihan pakaian

(25)

c. Kebersihan tempat tinggal

Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara tersebut meliputi :

1) Penularan terhadap penyakit menular termasuk dalam hal ini penyakit skabies yang diketahui (tanda-tanda, gejala, penyebab, cara penularan, dan cara pencegahan).

2) Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait mempengaruhi kesehatan antara lain gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan sampah, polusi udara, serta kebersihan diri.

3) Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional maupun tradisional.

2.2.2. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang. Newcomb dalam buku Notoadmodjo, 2005 menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup. Sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :

(26)

objek. Sikap santri terhadap penyakit skabies misalnya, berarti, bagaimana pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap penyakit skabies.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. Seperti contoh butir a tersebut, berarti bagaimana orang menilai terhadap penyakit skabies, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.

c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Misalnya, tentang contoh sikap terhadap penyakit skabies di atas, adalah apa yang dilakukan seseorang bila ia menderita penyakit skabies Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2005).

(27)

menganggap kebersihan diri bukanlah soal yang penting diperhatikan, maka sikapnya dapat dikarakteristikan oleh pikiran, perasaan dan tindakan yang konsisten satu sama lain (Azwar, 2000).

2.2.3. Tindakan

Tindakan merupakan hal yang sulit bagi sasaran, karena sudah terbiasa dengan perilaku tersebut yang berasal dari tradisi. Misalnya kebiasaan santri tidur ditempat tidur orang lain. Tindakan ini dilakukan tidak melihat resiko yang dialaminya termasuk dalam hal ini tertularnya penyakit skabies (Hasan, 2005).

Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya yaitu :

a. Praktik terpimpin (Guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi mesih bergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. Misalnya seseorang menjaga kesehatannya tetapi menunggu diingatkan oleh orang lain, Begitu juga dengan santri mereka mau menjemur kasur bila selalu diingatkan oleh kawannya atau diingatkan oleh pengasuh asrama, ini adalah disebut praktik atau tindakan terpimpin.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)

(28)

c. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi atau tindakan perilaku yang berkualitas. Misalnya mencuci pakaian bukan hanya saja menjadi bersih tetapi juga berusaha bajunya tidak bercampur dengan orang yang menderita penyakit skabies.

Berdasarkan tiga tingkatan terhadap tindakan dapat juga dilihat terhadap kebersihan diri dan kebiasaan.

1) Kebersihan diri (personal hygiene)

Kebersihan diri adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Banyak manfaat yang dapat dipetik dengan merawat kebersihan diri, memperbaiki kebersihan diri, mencegah penyakit, meningkatkan kepercayaan diri dan menciptakan keindahan.

Kebersihan individu yang buruk atau bermasalah akan mengakibatkan berbagai dampak baik fisik maupun psiskososial. Dampak fisik yang sering dialami seseorang tidak terjaga dengan baik adalah gangguan integritas kulit (Wartonah, 2003).

2) Kebiasaan

(29)

lingkungan masyarakat tempat seseorang atau kelompok masyarakat berinteraksi. Hal ini dapat disimpulkan kebiasaan para santri yang ada dalam sebuah pesantren tentu tidak akan terlepas dari kebiasaan-kebiasan dalam lingkungan pesantren tersebut (Damayanti, 2005).

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan kebiasaan untuk menerapkan kebiasaan yang baik, bersih dan sehat secara berhasil guna dan berdaya guna baik di rumah tangga, institusi-institusi maupun tempat-tempat umum. Kebiasan menyangkut pinjam meminjam yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit menular seperti baju, sabun mandi, handuk, sisir haruslah dihindari (Dinkes Prov. NAD, 2005).

Kebiasaan yang sangat berpengaruh dalam penularan penyakit skabies di pesantren adalah menyangkut dengan kebersihan diri, serta kebiasaan saling tukar menukar pakaian, serta handuk yang sering digunakan bersama-sama, sehingga penularan penyakit skabies sangat cepat terjadi.

2.2.4. Penyuluhan

(30)

timbulnya masalah kesehatan adalah karena perilaku yang menyimpang. (Notoatmojo, 2005).

Steward (1968) yang dikutip Susanto, 2003, mengemukakan bahwa penyuluhan kesehatan adalah salah satu unsur dari program kesehatan dan kedokteran yang didalamnya terkandung rencana untuk mengubah perilaku perorangan dan masyarakat serta meningkat pengetahuan masyarakat tentang suatu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat tesebut sehingga membantu tercapainya tujuan program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan termasuk dalam usaha pencegah penyakit menular disuatu daerah. Philosofi yang melandasi penyuluhan kesehatan ialah bahwa individu atau kelompok mempunyai hak dan potensi untuk menentukan pilihan mengenai hal-hal sehubungan dengan kesehatannya. Karena sebagian besar masalah kesehatan muncul akibat dari perilaku individu atau kelompok itu sendiri.

Tenaga penyuluhan adalah petugas yang melakukan promosi kesehatan yang mempunyai disiplin ilmu yang profisional dan kemampuan untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat khususnya dibidang kesehatan, sesuai dengan strategi yang ditujukan oleh pimpinanya, serta mampu menyusun strategi untuk dapat memotivasi atau mempengaruhi masyarakat dalam perubahan perilakunya yang dapat menunjang derajat kesehatan (Mantra, 1997).

(31)

maupun kader kesehatan berfungsi sebagai saluran komunikasi. Dalam penyampaian informasi petugas dengan para santri menyangkut tiga hal pokok yaitu :

1) Pengembangan prasarana

Dalam hal ini meliputi semua upaya untuk mengembangkan, mengelola dan memelihara kelestarian jaringan pesantren kendati begitu hanya menyediakan pelayanan bagi santri bukanlah jaminan bahwa mereka akan mengenalnya serta memahami manfaat atau alasan menggunakan pelayanan yang disediakan. Komponen penyuluhan diperlukan untuk memberi informasi, saran dan mempopulerkan alasan dan manfaat menjaga kesehatan diri serta mendidik para santri dan pengelola atau petugas tentang manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas ataupun sarana pelayanan kesehatan lainnya (Depkes RI, 2000).

2) Komponen penyuluhan

Komponen penyuluhan merupakan bagian pennting dari pelayanan kesehatan santri di Pesantren. Tapi pengalaman membuktikan, bila penyuluhan hanya dianggap sebagai menyebarluaskan pengetahuan, jarang sekali berhasil untuk meyakinkan para santri supaya mau melaksanakan perilaku baru yang dianjurkan.

3) Perubahan perilaku

(32)

sistimatis telah dikembangkan. Pendekatan ini berdasarkan sikap tanggapan terhadap sikap santri mengenai kesehatan diri dan lingkungan. Teknik pemasaran sosial untuk mempromosikan kesehatan diri dan lingkungan. Penggunaan pendekatan ini juga dimaksudkan untuk memperkuat program penyuluhan kesehatan secara menyeluruh (Depkes. RI, 2002).

2.2.5. Pesantren

Pesantren adalah tempat mengaji, belajar agama Islam. Suatu lembaga pendidikan Islam dikatakan pesantren apabila terdiri dari unsur-unsur Kyai/ Syekh/ Ustadz yang mendidik serta mengajar, ada santri yang belajar, ada mesjid/ musalla dan ada pondok/ asrama tempat para santri bertempat tinggal. Asrama adalah rumah pemondokan yang ditempati oleh santri-santri, pegawai dan sebagainya yang digunakan sebagai tempat untuk berlindung, beristirahat dan sebagai tempat bergaul antar sesama teman (Dariansyah, 2006).

Pesantren telah berdiri sejak berkembangnya agama Islam yang di siarkan oleh orang Arab dan lokasinya tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah tidak kurang dari 40.000 pesantren, namun 80% dari padanya masih menghadapi persoalan air bersih dan rawan sanitasi lingkungan sehingga sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) termasuk penyakit skabies dan diare di pesantren.

(33)

menguasai iman, taqwa, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesantren tradisional adalah tempat pendidikan dalam meningkatkan pengetahuan dan ketaqwaan kepada Allah tanpa dibatasi waktu atau umur dalam menuntut ilmu pada pesantren tersebut (Dinkes. NAD, 2005).

Azwar, 2003 menyatakan fungsi secara sederhana adalah tempat beristirahat dan menunaikan ibadah, mengaji dan melakukan kegiatan sehari-hari serta tempat berlindung dari keadaan lingkungannya. Arti dan fungsi pondok pesantren adalah sebagai berikut :

1) Tempat mengaji/belajar

2) Tempat untuk berlindung dari pengaruh lingkungan.

3) Tempat yang dapat memberi jaminan psikologis bagi penghuni seperti kebebasan, keamanan, kebahagiaan dan ketenangan.

4) Tempat atau lembaga pendidikan agama Islam. 5) Tempat beristirahat.

6) Tempat pemondokan para santri.

2.3. Landasan Teori

(34)

secara tidak langsung. Penularan secara langsung melalui sentuhan dengan penderita sedangkan secara tidak langsung melalui peralatan yang digunakan oleh penderita. (Ginanjar, 2006, Djuanda, 2006 dan Notoatmodjo, 2005).

2.4. Kerangka Konsep

Sarcoptes scabiei

Kebersihan diri - Pakaian

- Handuk - Tempat tidur

Pengetahuan T

inda

ka

n

Sikap

Kebiasaan - Pinjam pakaian - Pinjam Handuk - Pinjam Tempat

tidur Kulit

Kejadian Penyakit Skabies

(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi analitik observasional dengan kasus kontrol berpasangan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada tiga (3) pesantren terpadu yang kasus penyakit skabies terbanyak pada tahun 2006, yang berada di Kabupaten Aceh Besar pengambilan data tahun 2007.

3.2.2. Waktu

(36)

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

a. Kasus santri kelas II Tsanawiyah (SLTP) sampai dengan kelas III Aliyah (SMA) yang menderita penyakit skabies dan gatal-gatal sebanyak 520 orang.

b. Kontrol adalah santri II Tsanawiyah (SLTP) sampai dengan kelas III Aliyah (SMA) yang tidak menderita penyakit skabies yang diambil berdasarkan jumlah kasus dalam satu kelas.

3.3.2. Sampel

Besarnya sampel dihitung berdasarkan rumus (Ariawan, 1998).

[

]

R = Perkiraan Odds Rasio = 2,2 dari hasil penelitian terdahulu (Dariansyah, 2006)

α = Tingkat kemaknaan (0,05)

β = Besar perkiraan yang diperlukan (0,10) Zα = Deviat baku normal untuk α (1,96) Zβ = Deviat baku normal untuk β (1,28)

(37)

[

]

76,7

Kasus adalah santri yang menderita penyakit skabies, yang telah dilakukan diagnosa oleh dokter spesialis penyakit kulit atau dokter umum yang telah dilatih oleh dokter spesialis penyakit kulit, besar sampel dalam penelitian ini yaitu 77 orang. Besarnya sampel untuk masing-masing pesantren ditentukan secara proporsional sehingga diperoleh besarnya sampel sebagai berikut.

Tabel 3.1. Pengambilan Sampel Berdasarkan Pesantren

Pesantren Jumlah kasus Besar sampel

1. Oemar Diyan 2. Al-Falah 3. Ulumul Qur’an

287

(38)

Tabel 3.2. Pengambilan Sampel Berdasarkan Kelas

Pesantren Kelas

Oemar Diyan Al-Falah Ulumul Qur’an

1. II SLTP

Pengembilan sampel dilakukan secara sistimatis. b. Kontrol

Kontrol adalah santri yang berada dalam pesantren yang sama dengan kasus namun tidak menderita penyakit skabies dalam penelitian ini diambil sesuai dengan jumlah kasus yaitu 77 sampel, kemudian dilakukan matching (kelas, umur dan jenis kelamin). Pengambilan sampel juga dlakukan hal yang sama dengan jumlah kasus.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data primer

Data yang diperoleh dari peninjauan langsung pada objek penelitian yaitu ke lapangan melalui wawancara dengan menggunakan format kuisioner. 3.4.2. Data sekunder

(39)

Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta instansi-instansi yang terkait yang ada hubungannya dengan pengumpulan data seperti Badan Statistik dan Departemen Agama.

3.4.3. Pengujian validitas dan reliabilitas a. Pengujian validitas

Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan instrumen sebagai alat ukur penelitian yang dapat mengukur apa yang ingin diukur dan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data, koofisien korelasi dikatakan valid jika nilai r hasil hitung > dari r tabel, dan berdasarkan tabel dengan taraf kepercayaan 95% dengan responden 30 orang nilai r tabel adalah 0,351 (df = n - 2). Berdasarkan hasil hitung dapat disimpulkan semua pertanyaan dalam intrumen penelitian ini valid karena semua hasil dari nilai r hitung > 0,351. Nilai r dapat dilihat pada lampiran colom corrected item-total correlation.

b. Pengujian reliabilitas

(40)

3.5. Definisi Operasional

3.5.1. Kejadian penyakit skabies adalah berdasarkan diagnosis dokter.

3.5.2. Pengetahuan adalah kemampuan santri mengetahui cara penularan dan pencegahan penyakit skabies diukur dengan menggunakan kuisioner. 3.5.3. Sikap adalah respon melibatkan faktor pendapat dan emosi santri terhadap

penyakit skabies. 3.5.4. Tindakan

a.Kebersihan diri

1) Pakaian adalah kebersihan akan pakaian yang meliputi menggantikan pakaian serta mencuci pakaian.

2) Handuk adalah yang digunakan untuk membersihkan diri setelah mandi dan frekuensi mencuci handuk.

3) Tempat tidur adalah kebersihan tempat tidur berdasarkan frekuensi menjemur kasur dan bantal serta mengantikan sprei dan sarung bantal dalam seminggu. Diukur dengan menggunakan kuisioner yang masing-masing bobot dijumlahkan yaitu pakaian, handuk dan tempat tidur karena merupakan satu kesatuan (kebersihan), diberikan kategori baik, sedang dan kategori kurang.

b. Kebiasaan

(41)

2) Pinjam pakaian adalah ada tidaknya atau sering meminjamkan pakaian orang lain

3) Tempai tidur adalah kebiasaan santri tidur berpindah-pindah tempat tidur baik pada malam hari maupun pada saat istirahat siang hari. Terhadap ketiga kebisasan tersebut diukur dengan menggunakan kuisioner yang masing-masing bobot dijumlahkan yaitu pinjam pakaian, pinjam handuk dan tempat tidur karena merupakan satu kesatuan (kebiasaan) kemudian diberikan kategori baik, sedang dan kurang.

3.6. Metode Pengukuran

Untuk mempermudah melakukan penilaian, maka diperlukan suatu cara pengukuran variabel sebagai berikut :

3.6.1. Pengetahuan

a. Baik : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penularan penyakit skabies bila didapatkan bobot nilai ≥ 75% (≥ 27).

b. Sedang : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penularan penyakit skabies bila didapatkan bobot nilai 40% - 75% (15 - 26).

(42)

3.6.2. Sikap

a. Baik : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penularan penyakit skabies bila didapatkan bobot nilai ≥ 75% (≥ 22).

b. Sedang : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penularan penyakit skabies bila didapatkan bobot nilai 40% - 75% (13 – 21)

c. Kurang : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penularan penyakit skabies bila didapatkan bobot nilai < 40% (< 12).

3.6.3. Kebersihan

a. Baik : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan pinjam meminjamkan pakaian, handuk dan tukar menukar tempat tidur bila didapatkan bobot nilai ≥ 75% (≥ 16).

b. Sedang : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan pinjam meminjamkan pakaian, handuk dan tukar menukar tempat tidur bila didapatkan bobot nilai 40% - 75% (9 – 15).

(43)

pakaian, handuk dan tukar menukar tempat tidur bila didapatkan bobot nilai < 40% (< 8).

3.6.4. Kebiasaan

a. Baik : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan pinjam meminjamkan pakaian, handuk dan tukar menukar tempat tidur bila didapatkan bobot nilai ≥ 75% (≥ 16).

b. Sedang : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan pinjam meminjamkan pakaian, handuk dan tukar menukar tempat tidur bila didapatkan bobot nilai 40% - 75% (9 – 15).

c. Kurang : apabila responden menjawab seluruh pertanyaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan pinjam meminjamkan pakaian, handuk dan tukar menukar tempat tidur bila didapatkan bobot nilai < 40% (< 8).

3.7. Metode Analisa Data

3.7.1. Analisi univariat

(44)

b. Untuk menjelaskan variabel dependen yaitu kejadian penyakit skabies dan dideskripsikan.

3.7.2. Analisa bivariat

Untuk melihat hubungan satu variabel independen dengan variabel dependen diuji dengan uji Chi square dengan menggunakan program komputer (software), dimana taraf signifikan ( ) sebesar 5%.

3.7.3. Analisis multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan (kebiasaan, kebersihan) sekaligus kejadian penyakit skabies, melalui analisis regresi logistik dengan rumus :

)

P = Peluang terjadinya efek e = Bilangan natural (2,718) a = Konstanta

(45)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum dan Keadaan Wilayah

4.1.1. Letak geografis

Kabupaten Aceh Besar terletak di ujung pulau sumatera yaitu 5,200 – 5,80 Lintang Utara dan 950 – 95,80 Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut ; sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie.

Kabupaten Aceh Besar memiliki wilayah pantai yaitu terletak dibagian utara dan barat, mulai dari Kecamatan Lhoong sampai dengan Kecamatan Mesjid Raya, wilayah tengah merupakan dataran rendah dan tergolong lebih padat penduduknya, dan wilayah dataran tinggi, terletak di sebelah timur yang dibatasi oleh gunung Seulawah. Disamping dataran tinggi di wilayah Kabupaten Aceh Besar terdapat juga gugus kepulauan, yaitu kepulauan Aceh, terdiri dari Pulau Breuh, Pulau Nasi dan pulau-pulau kecil lainnya.

4.1.2. Luas wilayah dan jumlah penduduk

(46)

dan desa yang sedikit. Kemukiman yang terbanyak terdapat di Kecamatan Ingin Jaya, Kuta Baro, Seulimum, Darul Imarah. Jumlah keseluruhan yang ada di Kabupaten Aceh Besar berjumlah lima kelurahan yang terdapat di Kecamatan Seulimum. Indrapuri, Suka Makmur, Ingin Jaya dan Kecamatan Lhooknga masing-masing satu kelurahan. Desa terbanyak adalah Kecamatan Ingin Jaya, Kuta Baro, Montasik, Indrapuri dan Kecamatan Seulimum.

4.2. Latar Belakang Pesantren

4.2.1. Pesantren Oemar Diyan

Pesantren Oemar Diyan merupakan salah satu pesantren modern terpadu, bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam Oemar Diyan yang berlokasi di Desa Krueng Lamkareung Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar yang telah diresmikan oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 27 Oktober 1990. Pesantren ini berdiri atas prakarsa dan usaha almarhum H. Sa’aduddin Djamal, SE. Beliau adalah seorang aktifis muslim yang lama sehidupnya aktif di berbagai organisasi Islam seperti PII, HMI, MI dan dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Sejak berdiri pesantren ini sampai saat ini sistim dan kurikulum yang dipakai sama yaitu sistim pendidikan terpadu.

a. Lokasi

(47)

Pesantren Oemar Diyan antara lain 6 asrama Putri (12 kamar/asrama), 4 asrama putra (8 kamar/asrama). Ruangan belajar sebanyak 19 ruang, 1 lapangan bola kaki, 2 lapangan voli dan basket, 1 tenis meja, 1 mushalla, 1 ruangan untuk kantor, 1 ruangan untuk pustaka, 1 ruangan untuk laboratorium, 10 WC untuk santri putri dan 10 WC untuk santri putra serta satu Puskesmas pembantu. Jumlah santri setiap kamar ± 20 santri dengan 10 ranjang yang bertingkat.

Adapun batasan lingkungan Pesantren Oemar Diyan adalah sebagai berikut :

1) Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai.

2) Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Krueng Jrue

3) Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan dan perkebunan penduduk 4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai

b. Keadan santri

Pesantren Oemar Diyan saat ini memiliki santri 735 santri yang terdiri dari 540 santri dari Tsanawiyah (laki-laki sebanyak 279 orang dan perempuan sebanyak 261 orang) dan 195 santri dari Aliyah (laki-laki sebanyak 96 orang dan perempuan sebanyak 99 orang). Sementara guru pengasuh sekaligus merangkap sebagai tenaga pengajar saat ini berjumlah 90 orang.

4.2.2. Pesantren Al-Falah

(48)

a. Lokasi

Pesantren Al-Falah merupakan salah satu pusat pendidikan agama yang dilengkapi dengan Sekolah Tsanawiyah dan Aliyah, yang berlokasi di Desa Santan dengan luas tanah ± 15 Ha. Fasilitas-fasilitas yang ada di pesantren antara lain 5 asrama Putri (10 kamar/asrama), 4 asrama putra (8 kamar/asrama), 15 ruangan untuk belajar, 1 lapangan bola kaki, dan 1 lapangan voli, 1 mushalla, 1 ruangan untuk kantor, 1 ruangan untuk pustaka, 10 jamban untuk santri putri dan 5 WC untuk santri putra. Adapun batasan lingkungan Pesantren Al-Falah adalah sebagai berikut :

1) Sebelah Timur berbatasan dengan permukiman penduduk 2) Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai

3) Sebelah Utara berbatasan dengan persawahan

4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai dan perbukitan b. Keadaan santri

Pesantren Al-Falah saat ini memiliki santri 531 santri yang terdiri dari 249 santri dari Tsanawiyah dan 282 santri dari Aliyah

4.2.3.Pesantren Ulumul Qur’an

(49)

a. Lokasi

Pesantren Ulumul Qur’an merupakan salah satu pusat pendidikan agama yang dilengkapi dengan Sekolah Tsanawiyah dan Aliyah, yang berlokasi di Desa Lamjampok, luas tanah ± 9 Ha. Fasilitas-fasilitas yang ada di pesantren antara lain 4 asrama Putri (8 kamar/asrama), 3 asrama putra (6 kamar/asrama), 10 ruangan untuk belajar, 1 lapangan bola kaki, dan 1 lapangan voli,1 tenis meja, 1 mushalla, 1 ruangan untuk kantor, 1 ruangan untuk pustaka, 8 jamban untuk santri putri dan 6 WC untuk santri putra. Jumlah santri setiap kamar ± 10 santri dengan 5 ranjang yang bertingkat.

Adapun batasan lingkungan Pesantren Ulumul Qur’an adalah sebagai berikut :

1) Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai 2) Sebelah Barat berbatasan dengan perbukitan

3) Sebelah Utara berbatasan dengan jalan dan pemukiman penduduk 4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan dan pemukiman penduduk. b. Keadaan santri

(50)

4.2.4. Keadaan kesehatan di pesantren secara umum

(51)

4.3. Hasil Analisis

4.3.1. Analisis univariat

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Responden Kasus dan Kontrol di Pesantren Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Kasus Kontrol Karakteristik

Frek % Frek % Total 1. Pesantren Oemar Diyan

Kelas II SLTP Kelas III SLTP Kelas I SLTA Kelas II SLTA Kelas III SLTA

8

2. Pesantren Al-Falah Kelas II SLTP Kelas III SLTP Kelas I SLTA Kelas II SLTA Kelas III SLTA

1

3. Pesantren Ulumul Qur’an Kelas II SLTP

Kelas III SLTP Kelas I SLTA Kelas II SLTA Kelas III SLTA

(52)
(53)

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Independen di Pesantren Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Kontrol Kasus

(54)

Berdasarkan sikap santri yang menderita skabies baik lebih banyak dibandingkan dengan sikap baik santri yang tidak menderita skabies. Dalam hal ini sikap seseorang baik belum tentu akan terhidar dari penyakit, sikap yang baik juga harus didukung oleh tindakan. Terhadap kebersihan diri santri dengan kebersihan kurang juga lebih banyak bila dibandingkan dengan santri yang tidak menderita skabies. Kebersihan juga merupakan suatu tuntutan yang harus dijalankan oleh santri dalam lingkungan pesantren, namun kebersihan ini sering terabaikan, hal ini diketahui kasus skabies lebih sering terjadi dalam lingkungan pesantren. Kebiasaan kurang pada santri yang menderita skabies lebih banyak dari pada santri yang tidak menderita skabies.

Berdasarkan hasil lampiran 4 pada nomor urut pertanyaan 5 tentang pengetahuan 76,6% santri menyatakan skabies ditularkan melalui pakaian begitu juga dengan umur mereka menyatakan hanya pada golongan umur tertentu saja. Dilihat dari kebersihan diri, hasil dari lampiran 3, tentang kebersihan nomor urut pertanyaan 1 didapatkan 57,1% santri yang menderita skabies menggantikan baju satu kali dalam sehari. Dalam mencuci handuk 66,2% dicuci dua minggu sekali, begitu juga jarak waktu menjemur kasur dan bantal 67,5% menyatakan sebulan sekali (Lampiran 4 tentang kebersihan).

(55)
(56)

4.3.2. Analisis bivariat

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Kontrol dan Kasus Berdasarkan Variabel Independen dan Dependen di Pesantren Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

(0,000)* 1,094 (0,457-2,617) 7,344 (3,170-17,015)

(0,479) 0,826 (0,405-1,683)

1,440 (0,542-3,824)

(0,000)* 1,758 (0,718-4,309) 6,737 (2,788-16,282)

(0,028)* 1,296 (0,550-3,055) 2,733 (1,215-6,148) Ket * = Signifikan

(57)

a. Hubungan pengetahuan dengan kejadian skabies

Hubungan pengetahun santri dengan kejadian skabies, semakin baik pengetahun semakin kecil frekuensi untuk menderita skabies. Hasil uji yang diperoleh adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian skabies (p=0,000). Santri yang berpengetahuan sedang tidak memberikan dampak yang berarti terhadap penyakit skabies. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa santri yang pengetahuan kurang berpeluang menderita skabies 7,344 (95% CI:3,170-17,015) kali dibandingkan santri yang berpengetahuan baik, dan santri yang berpengetahuan sedang berisiko menderita skabies 1,049 kali dibandingkan dengan santri yang berpengetahuan kurang.

b. Hubungan sikap dengan kejadian skabies

Hasil uji statistik diperoleh nilai p > 0,05 artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara sikap dengan kejadian skabies. Nilai OR 1,440 (0,542-3,824), artinya sikap santri bukan merupakan faktor terjadinya penyakit skabies pada tingkat kepercayaan 95%.

c. Hubungan tindakan kebersihan dengan kejadian skabies

(58)

d. Hubungan tindakan kebiasaan dengan kejadian skabies

Proporsi kasus yang kebiasaan kurang 53,2% sedangkan kontrol 32,5%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p < 0,05, artinya terdapat hubungan yang bermakna tindakan kebiasaan dengan kejadian skabies. Nilai OR 2,733 (CI 95% : 1,215-6,148), artinya santri yang menderita skabies kemungkinan besar 2,7 kali yang kebiasaan kurang, dibandingkan santri yang menderita skabies dengan kebiasaan sedang pada tingkat kepercayaan 95%.

Penelitian ini ada empat variabel yang diduga berhubungan dengan kejadian skabies, yaitu pengetahuan, sikap, kebersihan dan kebiasaan. Untuk mendapatkan model multivariat keempat variabel tersebut terlebih dahulu dilakukan analisis bivariat dengan variabel dependen. Variabel yang pada saat dilakukan uji memiliki p < 0,25 dan mempunyai kemaknaan secara substansi dapat dijadikan kandidat yang akan dimasukkan kedalam model multivariat. 4.3.3. Analisis multivariat

Tabel 4.4. Multivariat Regresi Logistik antara Pengetahuan, Kebersihan dan Kebiasaan dengan Kejadian Penyakit Skabies Pada Santri Di Pesantren Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

(59)

Dari hasil tabel 4.4, didapatkan p. valuenya lebih besar dari 0,05 akan dikeluarkan dari model dalam hal ini adalah kebiasaan, maka variabel kebiasaan tidak masuk ke model multivariat. Kebiasaanya adanya hubungan dengan kejadian skabies, namun pengaruhnya kurang dalam kejadian penyakit skabies.

Tabel 4.5. Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel yang Masuk dalam Model Faktor Kejadian Penyakit Skabies pada Santri di Pesantren Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Variabel Independen B P OR 95% CI

Overall percentage 73,4%

Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan model yang terbaik dalam menentukan determinan kejadian skabies. Dalam pemodelan ini semua variabel independen dicoba secara bersama-sama. Setelah dikeluarkan variabel yang nilai p > 0,05 secara bertahap maka didapatkan 2 variabel yang masuk dalam kandidat model yaitu pengetahuan dan kebersihan.

(60)

kurang dibandingkan santri yang kebersihan baik. Berdasarkan nilai OR kita dapat memperkirakan kekuatan pengaruh variabel pengetahuan dan kebersihan dalam hubungannya dengan kejadian skabies. Semakin besar nilai OR, semakin kuat pula pengaruh variabel terhadap kejadian skabies. Variabel dengan nilai OR terbesar merupakan variabel yang paling dominan atau berisiko dalam hubungannya dengan kejadian skabies, dalam hal ini adalah pengetahuan. Melalui model ini dengan dua buah variabel independen yang terdiri dari pengetahuan dan kebersihan dapat diperkirakan pengaruh faktor risiko dalam hubungannya dengan kejadian skabies sebesar 73,4%. Model ini didapatkan suatu turunan perhitungan matematika tentang pengetahuan dan kebersihan yang menderita skabies.

)

Tabel 4.6. Peluang Terjadinya Penyakit Skabies Berdasarkan Pengetahuan dan Kebersihan

Kebersihan Pengetahuan

Kurang Sedang Baik

Kurang

(61)

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Skabies

Secara statistik menunjukkan adanya hubungan pengetahuan santri dengan kejadian skabies. Dimana didapatkan p = 0,000 dengan nilai OR 7,344 artinya santri yang berpengetahuan kurang akan berpeluang menderita skabies. Pengetahuan santri yang berkaitan dengan kejadian skabies dimana masih dijumpai santri yang belum mengetahui penyebab terjadinya skabies, begitu juga tentang penularan skabies mereka lebih banyak menyatakan menular melalui pakaian.

Banyak penelitian yang sejalan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, diantaranya Taufik (2006), membuktikan ada peningkatan bermakna pengetahuan pengungsi tentang pencegahan skabies yang dilihat dari segi promosi kesehatan. Tingkat pengetahuan mempunyai peran penting dalam pencegahan penyakit skabies, khususnya dalam lingkungan yang penduduknya padat dalam hal ini termasuk asrama.

(62)

meningkatkan pengetahuan guru surau untuk mencegah kejadian Anemia gizi besi, penelitian Rahanto, (1997) membuktikan peningkatan pengetahuan ibu-ibu hamil tentang pencegahan risiko kehamilan melalui intevensi penyuluhan kesehatan serta penelitian Suskamdani, (1995) yang membuktikan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit menular dengan dilakukannya penyuluhan kesehatan pada masyarakat.

Peningkatan pengetahuan untuk santri selama menempati asrama telah banyak memperoleh informasi tentang kesehatan, diantaranya tentang penyakit kulit. Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada santri ini disampaikan melalui kuliah singkat yang bisanya dilakukan setiap selesai shalat magrib. Sebagai penyegaran terhadap informasi yang telah diperoleh dengan penekanan terhadap pengetahuan pencegahan lebih mendalam tentang penyakit skabies. Peningkatan pengetahuan santri memang tidak semata dipengaruhi proses pelaksanaan pendidikan kesehatan saja. WHO (1992) menyatakan faktor lain yang juga mempengaruhi antara lain motivasi, kebutuhan terhadap informasi, pengalaman/mengalami, kecerdasan, guru, teman, buku dan media massa (Werner dan Bower, 1986).

(63)
(64)

Roger (1974), berpendapat bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berturut-turut. Kesadaran (awareness) yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui objek terlebih dahulu, Interest adalah orang mulai tertarik kepada stimulus, misalnya santri ingin mengikuti hidup bersih sesuai dengan kaidah yang menyatakan kebersihan bagian dari iman, evaluation artinya menimbang baik atau tidaknya stimulus yang diterima. Trial adalah mereka telah mulai mencoba dengan perilaku baru untuk menghindar terjadinya penyakit skabies. Adoption yaitu seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, sikap terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2005).

Sesuai dengan tiori di atas maka santri yang menderita skabies membutuhkan tahap-tahap dalam meningkatkan pengatahuan. Peningkatan pengatahuan juga harus diikuti dengan informasi-informasi yang dapat menguntungkan bagi santri. Pengetahuan tentang penyakit skabies belum dapat mengubah sikap dan perilaku. Kebiasaan pola hidup yang sudah rutin dan hampir berlaku disemua pesantren termasuk opini dan persepsi yang salah terhadap penyakit skabies ternyata cukup sulit diubah.

(65)

yang maksimal dalam waktu singkat sulit terjadi perubahan baik peningkatan ataupun penurunannya. Banyak faktor yang menjadi alasan diantaranya masyarakat kesulitan memperoleh informasi yang lebih banyak tentang sesuatu setelah informasi utama diperolehnya (Sadulloh, 2003).

Analisis distribusi frekuensi terhadap jenis pertanyaan yang diberikan menunjukkan bahwa penyebab, tanda dan gejala skabies umumnya tidak diketahui oleh santri. Pengetahuan ini sebagian besar mereka peroleh dari pengalaman mengalami baik langsung pada dirinya maupun tidak langsung pada anggota keluarga atau tetangga. Werner and Bower (1986) menyatakan bahwa penyakit bila seseorang pernah mengalami penyakit atau sedang menderita, bila ada informasi yang berkaitan dengan penyakit yang ia derita maka akan lebih tertarik untuk mendengarkannya. Seperti halnya santri yang memiliki pengalaman menderita skabies baik diri atau kawannya serta anggota keluarganya memiliki ketertarikan lebih tinggi dalam mengikuti pendidikan atau penyuluhan yang disampaikan.

(66)

Cara menghindari penyakit skabies yang efektif untuk menanggulangi skabies masih banyak kurang dipahami, kebiasaan selama ini mereka hanya mengobati penderita saja. Mereka juga masih banyak yang menganggap pengobatan skabies memerlukan karantina. Pencegahan efektif sebaiknya harus meliputi seluruh anggota keluarga dan untuk pengobatan hanya diperlukan obat esensial yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih murah (Orkin dan Maibach, 1997).

Pengetahuan yang bekaitan dengan penyakit skabies di lingkungan pesantren masih merupakan suatu masalah yang menjadi perhatian khusus dalam mencegah penyakit skabies. Peningkatan pengetahuan santri dapat dilakukan secara berjenjang dan bertahap salah satunya dapat dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan.

5.2. Hubungan Sikap dengan Kejadian Skabies

(67)

tersebut tidak terlalu kuat. Penjelasan yang lebih sederhana dan mudah diterima (Werner dan Bower, 1986) tentang cara penularan skabies mungkin akan lebih membantu mengatasi penularan tanpa muncul sikap antipati terhadap penderita.

Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini antara lain, Astuti, (2002) membuktikan bahwa sikap baik pada anak sekolah dasar untuk mencegah kecacingan dapat ditingkatkan dengan memberikan penyuluhan yang ideal. Santoso, (2002) membuktikan penyuluhan kesehatan mampu meningkatkan sikap positif penduduk untuk melakukan pencegahan malaria. Sikap positif kader posyandu untuk melaksanakan tugas pelayanan posyandu dapat ditingkatkan secara signifikan dengan pendidikan kesehatan menggunakan metode belajar berbasis masalah dibuktikan oleh Tjahjowati, (2002). Sikap positif untuk melakukan pencegahan penyakit demam berdarah dengue oleh guru UKS dapat dapat ditingkatkan dengan penyuluhan kesehatan.

(68)

diri mereka, bahwa mereka memiliki sikap yang lebih baik daripada komunitas lain untuk menghadapi masalah kesehatan (Azwar, 2003).

Komunikasi yang lebih mudah dilakukan antara sesama santri karena berada dalam satu kelompok yang mudah dijangkau menyebabkan intensitas interaksi dan pertukaran informasi diantara mereka lebih tinggi. Komunikasi yang mudah dipahami dan diterima menurut Azwar (2003) lebih banyak terjadi dari pertukaran informasi sesama anggota kelompok sehingga mereka cenderung memiliki sikap yang sama terhadap suatu masalah.

Berdasarkan analisis distribusi frekuensi terhadap pernyataan yang diukur dapat dibicarakan beberapa hal menarik. Sikap kurang yang dimiliki santri antara lain menjaga jarak dengan penderita skabies. Kondisi ini dapat dipahami sebagai bentuk ketakutan mereka dapat ditulari penyakit skabies, meskipun alasan tersebut tidak terlalu kuat. Penjelasan yang lebih sederhana dan mudah diterima tentang cara penularan skabies mungkin akan lebih membantu mengatasi penularan tanpa muncul sikap antipati terhadap penderita.

(69)

contoh sikap orang-orang yang dihormati santri, menyandarkan cara bersikap pada tuntunan agama atau komunikasi dan informasi dari media massa tentang masalah yang sedang dihadapi adalah beberapa alternatif untuk menumbuhkan sikap baik yang bisa ditawarkan kepada santri (Azwar 2003).

5.3. Hubungan Tindakan Kebersihan dengan Kejadian Skabies

(70)

Kebersihan diri sangat berkaitan dengan pakaian, tempat tidur yang mereka gunakan sehari-hari. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Irijal, 2004 dikaitkan dengan yang pernah menderita penyakit kulit 51,9% pernah mengalami karena kurangnya menjaga kebersihan diri. Penyakit kulit yang terjadi disebabkan pemeriksaan yang dilakukan tidak secara rutin. Penyakit kulit yang diderita khususnya gatal-gatal. Kebersihan diri perlu dijaga, untuk terhindar dari penyakit kulit terutama skabies.

Islam sangat memperhatikan umutnya agar selalu menjaga thuharah (kesucian) dan kebersihan. Maka Islam menganjurkan mereka untuk berwudhuk ketika hendak shalat. Wudhuk dalam Islam disamping merupakan perintah dalam ibadah juga merupakan sarana terbaik dalam menjaga kebersihan, bukan hanya kebersihan diri saja numun juga kebersihan pakaian, atau tempat shalatnya. Selain wudhuk dan mandi, diantara upaya menjaga kebersihan dalam Islam adalah bersikat gigi ketika wadhuk (Raqith, 2007).

(71)

Kebersihan diri adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psiskis yang mempunyai banyak manfaat diantaranya meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri, mencegah penyakit dan meningkatkan kepercayaan diri. Penderita dengan kebersihan baik dapat menderita skabies karena skabies adalah penyakit kulit yang mudah menular sehingga lingkungan tempat tinggal yang telah terinfeksi kuman skabies dapat menyebabkan seseorang menderita skabies. Tindakan kebersihan yang kurang baik memudahkan penyebaran skabies. Kebanyakan kasus-kasus yang terjadi karena adanya kontak personal. Secara tioritis kaum muda yang tinggal sendirian, mereka kebanyakan terinfeksi penyakit menular tetapi jika salah satu anggota keluarga tidak terinfeksi, maka yang lainnya juga akan ikut terinfeksi (Parish, 1997).

5.4. Hubungan Tindakan Kebiasaan dengan Kejadian Skabies

(72)

menjadi model kebiasaan sehingga dapat dijadikan pengalaman berperilaku oleh santri yang lain.

Elder, (1993) cit Graeff (1996) yang dikutip dari Notoadmodjo, 2005 menyatakan bahwa kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan dibentuk oleh kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan sosial maupun fisik. Penghuni asrama (santri) menganggap bahwa tukar menukar pakaian merupakan hal yang biasa terjadi dalam lingkungan pesantren. Bilapun mereka tidak meminjamkan pakaian maupun handuk maka orang lain atau temannya yang akan meminjam pakaian atau handuk. Terkadang pula mereka mengambil tanpa memberitahukan pada pemiliknya. Handuk merupakan hal yang sering mereka tukar menukarkan. Begitu juga dengan kebiasaan mereka dalam menggunakan tempat tidur, terkadang kawan atau orang yang menderita penyakit skabies tidur ditempat tidur orang lain yang tidak menderita skabies, dengan kejadian seperti ini maka penularan skabies dalam lingkungan pesantren sangat cepat. Kurangnya pengetahuan santri tentang penularan penyakit skabies, maka santri yang menderita penyakit skabies, kurang memperhatikan penularan terhadap orang lain.

(73)

menyatakan perilaku positif untuk peduli terhadap kehamilan pada perempuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan melalui organisasi sosial.

Tindakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh individu-individu sebaiknya mendapatkan dukungan untuk mengidentifikasikan tingkah laku yang khusus dan positif sehingga mereka mendapatkan kesempatan untuk memulai tindakan dan kemudian mengevaluasikan apakah tindakan ini berhubungan dengan bagaimana mereka ingin bertingkah laku. Kepentingan tujuan mencoba untuk membedakan tujuan yang penting bagi individu dan sasaran yang penting bagi orang lain, untuk mencapai suatu tujuan dari tindakan kebiasaan yang sering dilakukan mereka juga memiliki beberapa rintangan. Rintangan yang dimaksud antara lain kurangnya pengetahuan dan dibutuhkannya informasi atau fakta-fakta yang dibutuhkan jika tujuan ingin dicapai.

(74)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap sanitasi lingkungan di tiga pesantren dikategorikan sudah baik, hal ini dapat dilihat dari sarana air bersih yang digunakan bersumber dari air sumur bor, secara fisik air sudah memenuhi syarat. Bagitu juga dengan penggunaan jamban yang tersedia setiap bak mandi. Ketiga pesantren tersebut letaknya berdekatan dengan sungai, maka kebiasaan dari santri masih menggunakan air sungai untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian.

Bila dilihat dari letak kamar sudah sesuai dengan persyaratan kontruksi dimana setiap kamar memiliki ventilasi yang mudah masuknya sinar matahari. Bila dilihat dari kebiasaanya santri dalam menata tempat tidur masih kurang, dimana sering dijumpai bila salah satunya sprei kotor maka terkadang pula santri saling menukarkan dengan kawannya. Kebiasaan yang seperti ini masih banyak dijumpai di lingkungan pesantren. Secara umum hubungan dengan kesehatan lingkungan sudah baik penataan kamar, air bersih serta jamban sudah memenuhi syarat kesehatan. Tempat pengambilan air wudhu masih banyak digunakan bak air yang terbuka hanya beberapa saja yang menggunakan kran air.

(75)

beriklim tropis dan subtropis adalah lingkungan yang mempermudah perkembang biakan skabies, sehingga prevalensi skabies cenderung meningkat di negara tersebut. Pengetahuan berarti tindakan yang diambil untuk mengetahui sesuatu. Ketika seseorang telah mengetahui atau mendapatkan informasi mengenai sesuatu, maka ia akan melaksanakannya (Devita, 2006).

Berdasarkan hasil model regresi yang dilakukan pengetahuan dan kebersihan mempunyai peran yang besar dalam kejadian penyakit skabies. Kedua variabel tersebut saling mendukung, dengan pengetahuan yang baik berarti kebersihan seseorang juga akan baik. Kebersihan dengan kebiasaan bukan tidak ada kaitan, namun dalam penelitian ini kebiasaan santri dalam pesantren hampir sama. Kebiasaan yang santri lakukan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada didalam pesantren. Jadi kebiasaan santri akan terhalangi oleh adanya suatu aturan. Misalnya kita lihat dalam hal ini ada aturan yang melarang santri tidur ditempat tidur orang lain atau tidur dikamar lain.

5.5. Pengetahuan dan Kebersihan dengan Kejadian Skabies

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konsep
Tabel 3.1. Pengambilan Sampel Berdasarkan Pesantren
Tabel 3.2. Pengambilan Sampel Berdasarkan Kelas
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Responden Kasus dan Kontrol di Pesantren Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Antara Status Gizi Ibu dan Anak dengan Kejadian Penyakit Campak di Wilayah Kerja Puskesmas Teras Kabupaten Boyolali... Hubungan Antara Status Imunisasi

hubungan antara status gizi ibu dengan kejadian penyakit campak di Wilayah Kerja Puskesmas Teras Kabupaten Boyolali..

Variabel yang akan dianalisis meliputi variabel dependen yaitu responden yang menderita penyakit asma dan variabel independen yang diduga kuat memiliki hubungan dengan penyakit

Karena bahan-bahan pada tempat bekerja dapat menyebabkan kelainan kulit, sangat bermanfaat untuk melakukan screening kulit pada semua pasien penyakit kulit akibat

Apakah sebelumnya Anda pernah mengalami penyakit

Odds Ratio (OR) dari variabel riwayat pengobatan TB adalah 4,2 yang artinya risiko seseorang terkena TB MDR pada pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB sebelumnya 4,2

1) Kerokan kulit jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi dengan infeksi sekunder. Pada lesi ekskoriasi tungau mungkin sudah terangkat oleh garutan dan pada lesi dengan

1 menunjukkan hasil analisis data dari 15 artikel penelitian mengenai faktor risiko personal hygiene dengan kejadian penyakit kulit skabies pada santri pondok pesantren di Indonesia