• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara perlakuan stres suhu terhadap sintasan dan pertumbuhan biomassa mutlak

G. Kualitas Air

4. Hubungan antara perlakuan stres suhu terhadap sintasan dan pertumbuhan biomassa mutlak

Persentase sintasan ditentukan oleh banyaknya kematian larva Cherax selama masa percobaan. Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan kematian Cherax pada media percobaan, diantaranya adalah ; (1) Kualitas air yang tidak layak, (2) Hadirnya hama dan penyakit, (3) Penanganan yang kurang baik pada saat pengamatan, (4) Pakan yang tidak tepat jenis dan ukurannya, (5) Terjadinya gagal molting, (6) Terjadinya kanibalisme, (7) Akibat perlakuan suhu subletal.

Ditinjau dari aspek kualitas air, kondisinya cukup baik dan tingkat kelayakannya relatif seragam pada media percobaan. Dengan demikian dugaan kematian Cherax karena jeleknya kualitas air tidak terbukti. Demikian pula dengan dugaan adanya hama dan penyakit, peluang terjadinya relatif kecil karena media percobaan telah dibebaskan dari hama dan penyakit melalui pengendapan dibak tandon dan sterilisasi alat sebelum digunakan. Dari aspek penanganan percobaan, dapat diketengahkan bahwa kegiatan pengambilan sampel hemolim telah dilakukan dengan sangat hati-hati dan telah melalui beberapa kali latihan pengambilan hemolim. Sehingga pengaruhnya relatif kecil terhadap kematian Cherax. Selanjutnya, bila ditinjau dari aspek pakan, dapat dilihat bahwa pakan yang diberikan adalah pakan udang dengan kadar protein 30%, kadar air maximal 11%, lemak minimal 5% dan fiber maximal 4%. Jumlah dan ukuran pakan yang diberikan telah disesuaikan dengan umur Cherax dan terbukti disukai oleh pascalarva Cherax. Bila ditelaah lebih lanjut dan sesuai pengamatan selama percobaan bahwa kematian terjadi akibat gagal molting dan stres akibat perlakuan suhu subletal terutama pada perlakuan D dan E. Kejadian yang menarik dan sekaligus perlu penelitian lanjutan mengenai kematian akibat kanibalisme, sebab dari hasil pengamatan tidak terjadi kanibalisme pada perlakuan dengan suhu subletal. Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan kontrol, dimana kematian akibat kanibalisme masih terjadi.

Sintasan pascalarva Cherax pada masing-masing perlakuan berkisar antara 50-80%, dimana sintasan tertinggi pada perlakuan B (80%) jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya, diduga bahwa perlakuan dengan waktu 15 menit mengakibatkan Cherax mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi stres suhu serta

memanfaatkan pakan. Kematian yang terjadi lebih banyak disebabkan karena gagal molting dan stres suhu. Dari hasil pengamatan kematian akibat gagal molting, disebabkan Cherax kehabisan energi untuk melepaskan kulitnya, jika kulit tidak terlepas secara sempurna maka Cherax akan menyentakkan tubuhnya untuk memudahkan lepasnya kulit tua, kegiatan ini memerlukan banyak energi dan jika kulitnya tidak terlepas maka Cherax akan mati karena kehabisan energi untuk ganti kulit. Menurut Ferraris et al. (1987) dalam Anggoro (1992), kematian akibat gagal molting berkaitan dengan terjadinya gangguan osmolaritas internal, kehabisan energi untuk ganti kulit (pindah stadia) serta berkurangnya daya pemanfaatan pakan.

Pertumbuhan biomassa pascalarva Cherax dievaluasi berdasarkan kajian terhadap pertambahan bobot biomassa dan laju pertumbuhan spesifik. Dari hasil uji beda nyata terkecil diperoleh bahwa perlakuan A berbeda nyata terhadap perlakuan B, D dan E tetapi tidak berbeda nyata terhadap perlakuan C. Untuk perlakuan B berbeda nyata terhadap perlakuan C, D dan E, pada perlakuan C berbeda nyata terhadap perlakuan D dan E. Demikian pula pada perlakuan D berbeda nyata terhadap perlakuan E.

Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan biomassa tertinggi adalah perlakuan B (11,29 gram), terendah pada perlakuan D (9,45 gram). Diduga bahwa terjadinya perlambatan pertumbuhan setelah perlakuan 45 dan 60 menit dengan suhu subletal, menyebabkan peningkatan pertumbuhan tidak terjadi secara signifikan akibat penggunaan energi yang relatif besar untuk adaptasi stres suhu. Tingginya pertumbuhan pada perlakuan B (15 menit), disebabkan oleh tingkat adaptasi yang lebih cepat pasca stres suhu dan pemanfaatan pakan relatif lebih baik selama percobaan.

5. Kualitas Air

Kualitas media pemeliharaan pascalarva lobster air tawar selama penelitian, terdiri dari beberapa peubah fisika dan kimia air, yang berperan sebagai penentu kelayakan habitat bagi kehidupan lobster air tawar.

Suhu air, pascalarva lobster air tawar sebagaimana udang dewasa memiliki sifat

euritermal. Dengan demikian pascalarva lobster air tawar mempunyai kemampuan beradaptasi pada media yang kisaran suhunya cukup lebar. Meskipun daya adaptasinya

cukup lebar, ternyata rentang suhu yang layak untuk tumbuh dan mendukung aktivitasnya sangat terbatas. Menurut Rouse (1977), Cherax jenis red claw akan mengalami pertumbuhan terbaik pada suhu air 24 – 290C. Berdasarkan kriteria tersebut dapat dinyatakan, bahwa suhu media pemeliharaan pascalarva lobster air tawar sebesar 250C ±10C (Lampiran 13) masih dalam rentang layak dan optimum bagi proses pertumbuhan lobster air tawar. Percobaan dilakukan dalam ruangan terkontrol, suhu diusahakan homogen dan fluktuasinya relatif kecil, sehingga stres akibat fluktuasi suhu harian yang besar dapat dihindari.

Kemasaman (pH) air, merupakan indikator kemasaman serta kebasaan air yang

dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokimia di dalam tubuh lobster air tawar. Hasil pengukuran pH air media pemeliharaan selama percobaan menunjukkan bahwa semuanya bersifat alkalis, dengan nilai terendah 6,9 dan tertinggi 7,8 (Lampiran 13). Menurut Meade et al. (2002), pH 7,5 ±0,2 sangat sesuai untuk pemeliharaan dan perkembangan juvenile red claw. Berdasarkan kriteria tersebut, pH air selama percobaan masih berada pada rentang layak yang optimum bagi media pemeliharaan lobster air tawar.

Oksigen terlarut, kandungan oksigen terlarut merupakan faktor pembatas

dalam mendukung optimalisasi organisme perairan. Selama penelitian, kandungan oksigen terlarut media pemeliharaan berkisar antara 4,09 – 6,65 ppm. Kisaran ini masih sesuai dengan media pemeliharaan lobster air tawar, sebagaimana dikemukakan oleh Rouse, (1977), bahwa Cherax masih dapat mentolerir kadar oksigen hingga 1 ppm. Dengan demikian dapat dikatakan kandungan oksigen terlarut selama penelitian masih dalam kisaran yang mampu mendukung pertumbuhan optimal lobster air tawar.

Karbondioksida bebas (CO2), keberadaannya di dalam air sebagian besar

berasal dari aktivitas respirasi lobster air tawar. Bila kadarnya terlalu tinggi, CO2 bebas tersebut dapat mempengaruhi pH air serta berdaya racun. Akumulasi CO2 bebas ≥ 5 ppm dapat meracuni telur dan larva udang bila kadar O2 terlarut ≤ 3,5 ppm (Tsai, 1989 dalam Anggoro, 1992). Hasil pengukuran CO2, menunjukkan bahwa kandungan CO2 relatif rendah yaitu antara 2,90 – 3,69 ppm. Dengan kandungan oksigen terlarut > 4 ppm selama penelitian, dapat dinyatakan bahwa kandungan CO2 bebas tersebut belum membahayakan kehidupan pascalarva lobster air tawar.

Amonia dan nitrit, kehadiran amonia (NH3) dan nitrit (NO2) di dalam air dapat mengganggu aktivitas dan perkembangan pascalarva lobster air tawar karena jika konsentrasinya tinggi dapat bersifat toksit. Konsentrasi amonia dan nitrit yang dinyatakan aman bagi telur dan larva udang adalah ≤ 0,01 ppm (Tsai, 1989 dalam Anggoro, 1992). Hasil pengukuran amonia (NH3) dan nitrit (NO2) selama penelitian masing-masing berkisar antara 0,01-0,1 ppm dan 0,01-0,09 ppm. Fakta ini memberi petunjuk bahwa konsentrasi tersebut masih dalam kategori layak untuk pemeliharaan lobster air tawar.

Dokumen terkait