• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taksonomi dan Morfologi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Lobster air tawar umumnya terdiri dari 3 bagian, yaitu kepala, thorax merupakan bagian yang menunjang kaki jalan dan abdomen yang mengandung sebagian besar karkas (Jones, 1990). Sedangkan menurut Martosudarmo dan Ranoemihardjo (1980), udang secara morfologi dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu sepalotoraks (bagian kepala dan dada) dan bagian abdomen (perut). Penutup sepalotoraks terdiri dari zat tanduk atau kitin yang tebal dan disebut karapas. Zat tanduk ini merupakan Nitrogen Polisakarida (C8H13O5N)x yang disekresikan oleh epidermis dan dapat mengelupas (molting) pada interval waktu tertentu. Fungsi karapas adalah untuk melindungi organ-organ bagian dalam seperti insang, alat pencernaan termasuk organ-organ hepatopankreas, jantung dan organ reproduksi.

Secara umum tubuh udang terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas, namun segmentasi ini tidak terlihat dari luar karena tertutup oleh karapas. Masing-masing segmen memiliki anggota badan dengan fungsi yang bermacam-macam. Anggota badan tersebut mulai ruas badan terdepan hingga ruas badan terakhir terdiri atas : tangkai mata, antennula, antena, mandibula, maksila, maksiliped, periopoda, pleopoda dan uropoda. Struktur morfologis Cherax dapat dilihat pada Gambar 2.

Dorsal View Ventral View

Gambar 2. Struktur morfologis Cherax sp (dilihat dari arah punggung dan perut ; Masser dan Rouse, 1997)

Distribusi, Habitat dan Tingkah Laku

Menurut Olszewki (1980), jenis lobster air tawar terdiri dari famili Astacidae yang terdapat di belahan bumi utara, dan famili Parastacidae di belahan bumi bagian selatan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Riek (1968) dalam Widha (2003), bahwa famili Parastacidae yang terdiri dari 14 genus tersebar di belahan bumi selatan, yaitu Madagaskar, Tasmania, Australia, Selandia Baru, Irian dan Amerika Selatan.

Menurut Holthuis (1949) dalam Widha (2003), genus Cherax banyak terdapat di daerah Australia, Irian dan pulau-pulau di sekitarnya. Hingga kini telah diketahui bahwa di Irian Jaya terdapat 12 spesies, di Papua New Guinea ada 2 spesies (Sabar, 1975) sedangkan di Australia ada 27 spesies (Riek, 1968 dalam Kaligis, 2005). Menurut Rouse (1977), dari sekian spesies Cherax yang ada di Australia, ada tiga spesies yang saat ini sedang digalakkan pembudidayaannya, yaitu Cherax tenuimanus (marron), Cherax destructor (yabbie) dan Cherax quadricarinatus (redclaw atau capit merah). Ketiga spesies ini berasal dari wilayah Australia yang berbeda-beda dan memiliki penyebaran alamiah yang berbeda.

Habitat Cherax adalah pada aliran air yang dangkal dan pada perairan tawar (Storer dan Usinger, 1961). Menurut Holthuis (1949) dalam Widha (2003), Cherax dapat hidup di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Sedangkan menurut Frost (1975), Cherax di Australia hidup pada kedalaman 0,8 – 1,0 meter dan pada kedalaman kurang dari 0,8 meter menyebabkan kematian, karena perubahan temperatur selama musim panas. Menurut Holdich dan Lowery (1988), pada suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan cenderung Cherax akan membenamkan diri dalam lumpur atau menjadi tidak aktif.

Menurut Rouse (1977), habitat alami Cherax jenis capit merah adalah wilayah tropis Australia bagian utara yaitu daerah Queesland. Cherax jenis capit merah akan mengalami pertumbuhan terbaik pada suhu air 24o – 29oC. Kondisi kualitas air untuk Cherax jenis capit merah meliputi , oksigen terlarut (>1 ppm), alkalinitas (20 – 300 ppm CaCO3) dan pH (6,5 – 9). Cherax jenis capit merah dewasa menunjukkan toleransi terhadap kadar oksigen terlarut sampai 1 ppm, tetapi capit merah muda lebih rentan terhadap kadar oksigen terlarut yang rendah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Cherax

jenis capit merah juga toleran terhadap konsentrasi ammonia terionisasi sampai 1,0 ppm dan nitrit sampai 0,5 ppm dalam jangka waktu yang pendek.

Menurut Salmon dan Hyatt (1983), teritorialitas atau sistem daerah teritorial merupakan ciri utama hewan krustasea, terutama ordo decapoda, karena pada umumnya jenis hewan non soliter. Namun menurut Rouse (1977), Cherax jenis capit merah relatif suka berkelompok dan toleran terhadap kondisi yang padat, akan tetapi pada umur yang muda sering menunjukkan sifat agresif yang tinggi dan perilaku kanibalisme.

Menurut Jones (1998), genus Cherax merupakan pemakan oportunis, terutama sisa-sisa tumbuhan (serasah) dan koloni mikroba yang banyak ditemukan pada dasar kolam. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan pellet komersial dapat memberikan hasil yang memuaskan. Tingkat pertumbuhan benih yang bagus dapat juga dicapai jika zooplankton berkembang dengan baik dikolam. Menurut Rouse (1977), pakan alami yang cocok untuk Cherax adalah jenis makanan seperti wortel, seledri dan hati. Menurut Wickins dan Lee (2002), Cherax bersifat nokturnal, artinya aktif mencari makan dan beraktifitas pada malam hari atau pada suasana gelap. Sebaliknya, pada siang hari aktivitasnya menurun dan lebih banyak membenamkan dirinya kedalam Lumpur, pasir atau bersembunyi di sela-sela batu. Ketika mencari makan Cherax akan berenang dan merayap di dasar perairan sambil menangkap mangsanya. Cherax memerlukan makanan yang mudah dicerna karena anatomi dan susunan ususnya sangat sederhana.

Untuk menghindari pemangsaan Cherax senang menggali untuk bersembunyi terutama saat molting. Sebagai tempat berlindung (shelter) pada usaha pembesaran Cherax, umumnya digunakan bahan-bahan seperti pipa PVC, batu koral, batu bata atau mesh. Sehingga Cherax dapat bersembunyi dan menghindari pemangsaan terutama pada saat molting.

Molting dan Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah perubahan bentuk dan ukuran, baik panjang, bobot atau volume, yang secara fisik diekspresikan dengan perubahan jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh dalam jangka waktu tertentu. Secara morfologi, pertumbuhan diwujudkan dalam perubahan bentuk (metamorfosis). Sedangkan secara energetik,

pertumbuhan dapat diekspresikan dengan perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode tertentu (Hartnoll, 1982). Pertumbuhan larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan struktur melalui metamorfosis dan ganti kulit (molting), serta peningkatan biomassa sebagai proses transformasi materi dari energi pakan menjadi massa tubuh udang (Yamaoka dan Scheer, 1970 ; Hartnoll, 1982). Molting adalah proses pergantian cangkang pada udang dan terjadi ketika ukuran daging udang bertambah besar sementara eksoskeleton tidak bertambah besar karena eksoskeleton bersifat kaku, sehingga untuk menyesuaikan keadaan ini udang akan melepaskan eksoskeleton lama dan membentuk kembali dengan bantuan kalsium (Wickins dan Lee, 2002). Semakin baik pertumbuhannya semakin sering Cherax berganti cangkang (Rouse, 1977).

Lama periode perkembangan stadia pascalarva udang ditentukan oleh waktu antar ganti kulit yang disebut juga periode intermolth (Sastry 1983). Semakin singkat periode intermolth maka perkembangan pascalarva cenderung semakin cepat. Menurut Effendie (2002), pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal meliputi sifat genetik dan kondisi fisiologis dan faktor eksternal yakni berkaitan dengan lingkungan yang menjadi media pemeliharaan. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya yaitu, komposisi kimia air, substrat dasar, temperatur air dan ketersediaan pakan.

Holdich dan Lowery (1988), menyatakan bahwa proses perkembangan larva pada Cherax terbagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pra larva, larva dan pascalarva. Pada tahap pra larva, terdapat empat stadia yang dapat diidentifikasi melalui perubahan warna telur (Tabel 1) dan pada tahap pascalarva merupakan periode proses diferensiasi pembentukan karapaks, telson dan uropoda.

Tabel 1. Tahapan perkembangan larva Cherax

Tahap Ciri-ciri dan masa Inkubasi Stadia

Pra larva Telur berwarna krem, pada saat dikeluarkan dari

induknya (1-4 hari) 1

Warna telur berwarna coklat muda (5-7 hari) 2 Warna telur berwarna coklat tua (8–14 hari) 3 Warna telur menjadi ungu keabu-abuan (15-17 hari) 4 Larva Warna telur berubah menjadi merah, tanpa bercak

mata (18-21 hari) Nauplius

Warna telur berwarna merah, dengan bercak mata

(22-27 hari) Protozoea

Warna telur berwarna merah, hampir menetas (28-35

hari) Mysis

Pascalarva Berwarna kelabu, jatuh dari pleopoda/ dilepaskan

induk (35-40 hari) Juvenil

Sumber : Rouse (2001) dalam Widha (2003)

Pada organisme yang tidak memiliki eksoskeleton pertumbuhan dapat berlangsung terus menerus, tetapi pada krustasea hal ini tidak dapat terjadi karena dibatasi oleh adanya eksoskeleton, sehingga proses pertumbuhan menjadi terputus-putus (Hartnoll 1982). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan panjang individu merupakan fungsi berjenjang (step function), tubuh bertambah panjang pada setiap pergantian kulit dan tidak bertambah panjang antar pergantian kulit. Pada setiap ganti kulit intergumen membuka, pertumbuhan terjadi cepat pada periode waktu yang pendek, sebelum intergumen yang baru menjadi keras. Wickins dan Lee (2002), secara sederhana menjelaskan karakteristik ganti kulit pada udang mengikuti alur proses sebagai berikut;

1. Mobilisasi dan akumulasi cadangan material metabolik, seperti Ca, P dan bahan organik ke dalam hepatopankreas selama akhir periode antar ganti kulit (intermolt akhir)

2. Pembentukan kulit baru diiringi dengan resorpsi material organik dan anorganik dari kulit lama selama periode persiapan (awal) ganti kulit (premolt)

3. Pelepasan kulit lama pada saat ganti kulit dan diikuti dengan absorpsi air dari media eksternal dalam jumlah besar (molt).

4. Pembentukan dan pengerasan kulit baru dari cadangan material organik dan anorganik yang berasal dari hemolimfee (darah) dan hepatopankreas (sebagian kecil berasal dari media eksternal), yang terjadi pada periode setelah ganti kulit (postmolt).

5. Pertumbuhan jaringan somatik selama periode setelah ganti kulit dan awal antar ganti kulit, fase dimana Cherax akan mengalami homeostasis kalsium yakni proses yang bertujuan untuk menyeimbangkan kandungan ion kalsium tubuh dengan ion kalsium diperairan (intermolt awal).

Menurut Merrick (1993), frekuensi pergantian cangkang akan selalu beriringan dengan pertambahan umur, pada juvenile terjadi setiap 10 hari, sedangkan setelah dewasa terjadi 4-5 kali setahun, ketika sudah menjadi induk dan pernah memijah biasanya melakukan molting 1-2 kali setahun. Sedangkan menurut Sokol (1988) dalam Tapilatu (1996), pada tahapan juvenil Cherax terdiri dari 3 tahap yaitu ; Juvenil I, II dan III. Juvenil biasanya akan meninggalkan induknya setelah mencapai panjang tubuh antara 3-4 mm. Setelah tahapan Juvenil, Cherax akan terus tumbuh dan akhirnya menjadi dewasa, Skema daur hidup Cherax disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Skema siklus hidup Cherax (Sokol, 1988 dalam Tapilatu, 1996)

Diketahui bahwa, ada 2 faktor yang mempengaruhi molting pada krustasea yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal diantaranya; adanya stressor, nutrisi, photoperiod dan temperatur sedangkan faktor internal terkait dengan produksi hormon ekdisteroid dan Molt Inhibiting Hormon (MIH) (Quackenbush, 1986 ; Fingerman, Nagabhusanam dan Thompson, 1997). Menurut Aiken (1980) , Skinner (1985) dan Quackenbush (1986), ada beberapa faktor yang mempengaruhi siklus ganti kulit pada krustasea dintaranya faktor lingkungan eksternal. Pelepasan hormon

Telur

Cherax dewasa

Juvenil III Mysis

Protozoea Nauplius

Juvenil II Juvenil I Cherax muda

ekdisteroid oleh organ-Y yang bervariasi berdasarkan stadium yang dilaluinya dalam siklus ganti kulit dan juga tergantung pada kadar hormon ekdisteroid yang terdapat dalam hemolim.

Pengaturan kadar hormon ekdisteroid hemolim dapat dipengaruhi melalui beberapa lintasan. Penelitian terhadap organ-Y dengan cara in vitro memperlihatkan bahwa ekstrak tangkai mata dapat memperlambat atau menghentikan pelepasan hormon ekdisteroid (Mattson dan Spaziani, 1985 ). Berdasarkan sistem pengaturan kadar hormon ekdisteroid hemolim tersebut diatas dan hubungannya dengan MIH, Mattson dan Spaziani (1986) dalam Zas (1992), telah membuat sebuah model sistem pengaturan neuroendokrin, yaitu interaksi antara organ-X – kelenjar sinus dan organ-Y. Faktor lingkungan termasuk didalamnya stres akan mengaktifkan neuron serotonergik tangkai mata yang merangsang kompleks sel-sel neurosekretori organ-X (XO) – kelenjar sinus (SG) untuk melepaskan MIH. MIH dalam hemolim berikatan dengan permukaan reseptor sel organ-Y yang menyebabkan adenilat siklase (AC) aktif dan mengubah ATP menjadi cAMP (siklik AMP). Produksi hormon ekdison dari kolestrol akan ditekan oleh cAMP. Pengaruh yang berlawanan ditimbulkan oleh kalsium (Ca) yang berikatan dengan kamodulin akan mengaktifkan enzim cAMP-fosfodiesterase membentuk 5 AMP, sehingga produksi ekdison dapat ditingkatkan kembali. Kenaikan kadar kalsium hemolim pada awal ganti kulit dan akan turun kembali pada saat ganti kulit, keadaan ini berhubungan dengan perubahan ekdisteroid hemolim. Pengaruh photoperiod dan temperatur terhadap kinerja hormon molting dan reproduksi pada Cherax dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh photoperiod dan temperatur terhadap kinerja hormon molting dan reproduksi pada Cherax (Sumber ; Fingerman, Nagabhusanam dan Thompson, 1997)

Kalsium sebagai penyeimbang pada krustasea

Mineral utama pada eksoskeleton krustasea adalah CaCO3. Postmolt lobster air tawar mengambil zat kapur dari lingkungan sebagai pembentuk eksoskeleton yang baru. Sumber dari karbonat (CO3 2-) tersedia dari proses-proses metabolisme atau dari lingkungan yang salah satunya dalam wujud bikarbonat. Zat kapur (Ca2+) dan bikarbonat (HCO3-) kemudian membentuk kalsium karbonat CaCO3dan ion Hidrogen (H+) (Zanotto dan Wheatly, 1995).

Lobster air tawar mengatur konsentrasi-konsentrasi hemolim zat kapur (Ca2+) selama proses pergantian kulit melalui mekanisme-mekanisme yang cukup rumit yang didasarkan pada perubahan-perubahan dalam osmose ekstraseluler dan penyerapan kembali zat kapur (Wheatly dan Gannon, 1995). Selanjutnya Wheatly (1996), mengemukakan bahwa keseimbangan zat kapur bergantung pada tahapan-tahapan pergantian kulit dan batas konsentrasi ion dalam air. Setelah proses intermolt kalsium dilepas secara perlahan-lahan ke lingkungan melalui insang. Konsentrasi zat kapur hemolim mencapai puncak pada saat premolt dan postmolt yang ditandai dengan suatu pengambilan yang aktif dari kalsium dan ion-ion lainnya.

Ruang penyimpanan zat kapur dalam eksoskeleton lobster air tawar adalah hampir tak terbatas dan pengambilan yang aktif akan memerlukan energi selama proses pergantian kulit. Kandungan zat kapur pada lobster air tawar sangat bervariasi, karena hilangnya kalsium dari eksoskeleton yang dikerahkan kedalam lingkungan pada proses premolth yang berjalan lambat, diikuti penyerapan pada tahap postmolth (Jussila, 1997).

Menurut Adegboye (1981), ketika terjadi proses molting, terjadi pula proses homeostasis kalsium yaitu penyesuaian konsentrasi antara ion kalsium bagian dalam tubuh dengan ion kalsium perairan. Hal ini diperjelas oleh Dick (2004), bahwa proses penyerapan kalsium dari lingkungan dilakukan dengan cara diangkut melintasi sel dan disimpan untuk menjaga keseimbangan ion kalsium tersebut di dalam sel. Untuk melindungi gangguan-gangguan yang terjadi pada sistem penyerapan, maka sel tetap mempertahankan sejumlah kalsium dalam sitoplasmanya. Maka untuk itu proses pembentukan cangkang pada media yang memiliki ion Ca2+ tinggi, akan lebih efektif karena dapat membantu dalam proses homeostasis kalsium. Menurut Wickins dan Lee (2002), mineralisasi kulit baru dipengaruhi ketersediaan ion tertentu (seperti kalsium dan bikarbonat) dalam lingkungan perairan dan makanan yang dikonsumsinya.

Total hemosit dan glukosa darah krustasea sebagai indikator respon terhadap stres

Stres adalah suatu fenomena biologi yang non-spesifik dari suatu perubahan lingkungan atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi daya adaptasi homeostasis, dimana konstalasi proses perubahan secara stabil tersebut akan mempengaruhi proses-proses fisiologis yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan fisik bahkan kematian (Makmur, 2002). Lebih lanjut Esch dan Hazen (1978) dalam Adams (1990) mengemukakan bahwa stres didefinisikan sebagai pengaruh beberapa perubahan lingkungan yang memperluas homeostasis atau proses penstabilan diluar batas normalnya, pada berbagai tingkat organisasi biologi.

Menurut Pickering (1981), Adams (1990) dan Heath (1990), penyebab stres atau stressor dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Perubahan lingkungan (environmental change), yang terdiri dari perubahan suhu, kepadatan, salinitas, perubahan tekanan air, polusi, pH, penyakit, perubahan arus air, muatan-muatan sedimen, konsentrasi DO dan ketersediaan makanan.

2. Penanganan (handling), seperti pemeliharaan di tank, transportasi dan pemindahan ikan dengan serok atau ember.

3. Penangkapan (capture) dengan pukat harimau, tramel net, gill net, hand line, dan lainnya (tujuan penangkapan untuk ikan hidup misalnya untuk ikan yang akan dijadikan induk, ikan hias atau pada ikan yang lolos dari alat tangkap tersebut). Sementara Afrianto dan Liviawati (1992), mengelompokkan penyebab stres atas :

1. Stres kimia, stres yang diakibatkan oleh terjadinya penurunan konsentrasi oksigen, meningkatnya konsentrasi karbondioksida, konsentrasi amonia maupun konsentrasi nitrit, konsentrasi sublethal dari insektisida dan pestisida maupun logam berat. 2. Stres lingkungan, parameternya antara lain suhu yang ekstrim dan air yang terlalu

jenuh dengan gas atau intensitas cahaya yang berlebihan.

3. Stres biologi yaitu stres yang disebabkan oleh aktivitas parasit eksternal maupun internal, serta kondisi pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan ikan.

Menurut Jusilla (1997), jumlah hemosit yang bersirkulasi dalam hemolim lobster air tawar menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap stressor lingkungan dan penyakit, sehingga dapat menjadi indikator status kesehatan lobster air tawar dan adanya stressor lingkungan. Sedangkan menurut Jiravanichpaisal (2005), hemosit yang bersirkulasi dalam hemolim krustasea mengandung sejumlah enzim-enzim antioksidan dan memainkan peran kunci dalam sistem imunitas.

Bila udang mengalami stres, udang tersebut menanggapinya dengan mengembangkan suatu kondisi homeostatis yang baru dengan mengubah metabolismenya. Stres didefiniskan sebagai sejumlah respons fisiologis yang terjadi pada saat hewan berusaha mempertahankan homeostasis. Respons terhadap stres ini dikontrol oleh sistem endokrin melalui pelepasan hormon kortisol (Barton et al. 1980) dan katekolamin (Woodward, 1982). Sandnes dan Waagbo (1991) dalam Marzuqi et al. (1997) menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan metabolisme glukosa pada tubuh yang dipicu oleh hormon kortisol dan katekolamin tersebut.

Stres menyebabkan peningkatan sekresi kortisol (glukokortikoid). Dengan demikian stres dapat meningkatkan glukosa darah. Beberapa mekanisme yang berperan dalam mempertahankan kestabilan glukosa darah adalah glukoneogenesis, lipolisis, glikogenesis, dan lipogenesis. Homeostatis kadar glukosa dalam darah dipertahankan oleh beberapa mekanisme, yaitu mekanisme yang mengatur kecepatan konversi glukosa menjadi glikogen atau lemak yang disimpan, dan mekanisme yang mengatur pelepasan kembali dari bentuk simpanan untuk dikonversi menjadi glukosa yang masuk ke dalam darah. Oleh karena itu, dengan banyaknya mekanisme yang berperan dalam mempertahankan homeostatis glukosa darah, kestabilan glukosa darah menjadi sangat penting bagi kesehatan bahkan kehidupan (Piliang dan Al Haj, 2006).

Kualitas air

Dalam pengertian yang sangat luas, kualitas air ditentukan oleh banyak variabel biologi, fisika dan kimia yang mempengaruhi kesesuaian air untuk suatu penggunaan tertentu. Dalam budidaya perikanan , kualitas air biasanya diartikan sebagai kesesuaian air untuk kejayaan dan pertumbuhan ikan, dan biasanya ditentukan oleh hanya beberapa variabel (Boyd, 1982). Beberapa variabel pendukung untuk budidaya Cherax adalah sebagai berikut :

a. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting yaitu sebagai controlling factor yang dapat mempengaruhi aktivitas fisiologis dan biokimiawi organisme perairan termasuk Cherax (Sianipar, 2004). Menurut Wedemeyer (1996), salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan ikan atau udang dalam budidaya intensif adalah variasi suhu dari media tempat hidupnya.

Setiap spesies memiliki suhu optimum yaitu kisaran suhu dimana pertumbuhan dapat mencapai optimum, serta kisaran toleransi suhu yaitu suatu kisaran dimana spesies tersebut dapat bertahan hidup. Suhu diluar kisaran tersebut secara terus menerus akan menyebabkan stres dan bahkan kematian (Stickney, 1979). Tienssongrusme (1980) dalam Sianipar (2004), menyatakan udang mempunyai toleransi terhadap suhu air yaitu antara 18-38oC dan didapatkan laju pertumbuhan optimal pada suhu air sekitar 25-30oC. Menurut Haslam (1995) dalam Effendi (2000), bahwa peningkatan suhu

mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti ; gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Lebih lanjut Effendi (2000), menjelaskan bahwa kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 10oC suhu perairan meningkatkan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Peningkatan suhu ini dibarengi dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan, sehingga keberadaan oksigen di perairan kadangkala tak mampu memenuhi peningkatan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme akuatik untuk metabolisme dan respirasi.

b. Derajat keasaman

Mackereth et al. (1989) dalam Effendi (2000), berpendapat bahwa pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5, alkalinitas bisa mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin sedikit kadar karbondioksida bebas. Menurut Tebbut (1992) dalam Effendi (2000), toksisitas dari senyawa kimia juga dipengaruhi oleh pH. Senyawa ammonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan pH rendah. Pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Ammonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan ammonium.

Menurut Setiawan (2006), bahwa pH yang ideal untuk lobster air tawar ada pada kisaran 6-8. Sedangkan menurut Novotny dan Olem (1994) dalam Effendi (2000), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Proses biokimia perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Proses nitrifikasi akan berakhir jika pH bersifat asam. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah.

c. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut pada perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfir. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfir (Jeffries dan Mills, 1996 dalam

Effendi, 2000). Boyd (1982), menyatakan bahwa laju respirasi (konsumsi oksigen) oleh ikan bervariasi menurut spesies, ukuran, aktivitas, suhu, keadaan nutrisi dan faktor-faktor lain. Hilangnya oksigen di perairan selain karena proses respirasi tumbuhan dan hewan, juga dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik yang berlangsung pada suasana aerob.

Kandungan oksigen terlarut dalam air yang dapat mendukung kehidupan udang yaitu antara 4-8 ppm, kebutuhan minimal oksigen terlarut adalah 4 ppm, sedangkan kandungan optimal untuk pertumbuhan udang adalah 6-8 ppm dan kandungan oksigen terlarut sebesar 3 ppm merupakan konsentrasi kritis bagi udang (Wickins dan Lee, 2002).

d. Karbondioksida bebas (CO2)

Menurut Boyd (1982), jika konsentrasi oksigen terlarut rendah, keberadaan karbondioksida yang cukup besar akan menghambat penyerapan oksigen terlarut oleh ikan. Konsentrasi karbondioksida biasanya sangat tinggi ketika konsentrasi oksigen terlarut rendah, terutama setelah kematian massal fitoplankton di kolam.

Pada dasarnya keberadaan karbondioksida di perairan bisa dalam bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3-), ion karbonat (CO32-) dan asam karbonat (H2CO3) (Boney, 1989 dan Cole, 1988 dalam Effendi, 2000). Menurut Boyd (1988) dalam Effendi (2000), perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar karbondioksida bebas 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik untuk tumbuh asalkan dibarengi dengan kadar oksigen yang cukup.

e. Ammonia (NH3)

Ammonia (NH3) di alam berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial dari senyawa nitrogen. Tumbuhan secara cepat menyerap ammonia, bakteri tertentu mengoksidasi ammonia menjadi nitrat dan ammonia mungkin hilang melalui jalan lain. Namun demikian, di kolam dengan kepadatan ikan yang tinggi dan diberi

Dokumen terkait