• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hubungan Pertambahan Berat Badan Selama Masa Kehamilan dengan Kejadian BBLR

Hasil uji regresi logistik dengan mengendalikan variabel penyakit penyerta selama kehamilan, menunjukan bahwa ibu hamil yang memiliki pertambahan berat badan kurang selama masa kehamilan dan disertai dengan adanya penyakit penyerta selama masa kehamilan berisiko lebih tinggi yakni 4,07 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki pertambahan berat badan normal selama masa kehamilan dan tidak punya penyakit penyerta selama masa kehamilan (95% CI= 1,60 – 10,34). Pada penelitian ini, standar yang digunakan untuk menilai pertambahan berat badan ibu selama masa kehamilan adalah standar IOM.

Hasil yang sama juga diperoleh Wisnawathan (2008), bahwa hasil meta analisis dari 12 penelitian diperoleh hubungan yang sangat kuat pada ibu hamil yang memiliki pertambahan berat badan kurang (sesuai dengan status IMT normal dan kurang sebelum hamil) berdasarkan standar IOM

87

dengan kejadian BBLR. Word Health Organiation (WHO) dalam hasil studi pengukuran antropometri ibu dengan sampel 111.000 wanita dari berbagai kalangan dunia, menyatakan bahwa ibu yang memiliki IMT kurang dan memiliki pertambahan berat badan kurang selama hamil berisiko melahirkan bayi BBLR sebesar 2,25 kali dibandingkan dengan ibu yang memiliki pertambahan berat badan normal sesuai dengan IMT sebelum hamil (95% CI 2,3- 2,7) (Muthayya., dkk, 2009). Hasil Tsai, dkk (2012) di Taiwan menunjukan bahwa ibu hamil dengan status IMT kurang sebelum hamil dan memiliki pertambahan berat badan <10 kg selama masa kehamilan berisiko melahirkan BBLR sebesar 6,33 kali dibandingkan dengan ibu dengan status IMT kurang sebelum hamil dan memiliki pertambahan berat badan normal selama masa kehamilan (95% CI=1,29-31,1).

Berbeda dengan hasil penelitian Esimai (2014) di Nigeria dengan desain studi kohort, bahwa hasil uji regresi logistik menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan selama masa kehamilan dengan BBLR (p=0,16). Watanabe (2009) di Jepang menunjukan bahwa ibu hamil yang memiliki status IMT overweight sebelum hamil dan memiliki pertambahan berat badan lebih selama masa kehamilan berisiko mengalami hipertensi dalam kehamilan (OR:1,27; 95% CI=1,08-1,49) dan berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir ≥4000 kg (OR: 1,21; 95% CI=1,10-1,34).

88

Pertambahan berat badan ibu hamil merupakan indikator penting selama masa kehamilan serta dapat berpengaruh terhadap kondisi berat lahir bayi. Pada ibu hamil yang memiliki pertambahan berat badan kurang selama masa kehamilan dapat dikarenakan faktor lain yakni asupan gizi yang kurang selama masa kehamilan (Munim, dkk, 2012; Nucci, dkk, 2001). Maurice (2005) menyatakan bahwa pada masa kehamilan, terjadi peningkatan kebutuhan energi dan zat gizi makro lainnya (karbohidrat, lemak, protein). Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga, apabila ibu hamil mengalami kekurangan asupan energi dan zat gizi maka dapat mengakibatkan janin tumbuh tidak sempurna (Maurice., dkk, 2005).

Pertambahan berat badan yang kurang selama masa kehamilan dapat mencerminkan kurangnya asupan zat gizi pada ibu, yang mana asupan tersebut sangat dibutuhkan untuk proses perkembangan janin (Shah, 2002). Muthayya (2009) menyatakan bahwa asupan gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) dan energi selama masa kehamilan dapat meningkatkan pertambahan berat badan selama hamil dan menurunkan terjadinya BBLR (p<0,001). Hasil meta analisis tersebut juga menyatakan bahwa suplementasi gizi makro dapat menurunkan prevalensi terjadinya BBLR dari 17% menjadi 11,11%.

Selain faktor pertambahan berat badan selama kehamilan, variabel penyakit penyerta selama kehamilan juga berpengaruh terhadap kejadian

89

BBLR di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Penyakit penyerta selama masa kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang terdiri dari hipertensi, diabetes melitus dalam kehamilan dan pendarahan. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Tsai (2012), bahwa terdapat salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertambahan berat badan ibu hamil terhadap kejadian BBLR adalah faktor komplikasi kesehatan selama masa kehamilan. Secara biologis, ibu yang memiliki penyakit selama masa kehamilan akan mengalami gangguan metabolisme tubuh sehingga dapat berpengaruh terhadap gangguan pertambahan berat badan selama masa kehamilan. Selain itu, adanya penyakit penyerta yang dialami ibu selama masa kehamilan, dapat mempengaruhi aliran sirkulasi darah ibu ke janin. Sehingga dapat mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke plasenta dan suplai nutrisi ke janin serta berakibat pada terganggunya pertumbuhan janin didalam kandungan (Marintrama,dkk, 2013; Nucci, dkk, 2002).

Berbeda dengan hasil penelitian Minarti (2011) terkait penyakit penyerta selama kehamilan, pertambahan berat badan selama masa kehamilan dengan kondisi bayi saat lahir. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pre-eklampsia terjadi pada ibu hamil yang memiliki pertambahan berat badan normal (75%) dan lebih (32,8%) dan diperoleh hasil hubungan yang signfikan antara pertambahan berat badan ibu hamil dengan kejadian pre-eklampsia. Pada penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa pertambahan berat badan pada ibu yang lebih selama masa kehamilan berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan kehamilan baik bagi ibu maupun bayi. Risiko pada ibu antara lain adalah

pre-90

eklampsia, diabetes gestasional. Sedangkan risiko pada janin antara lain adalah bayi mengalami obesitas, bayi lahir prematur atau bayi lahir kurang dari 37 minggu dan bayi lahir mati.

Ajaran agama Islam pada Surat An-Nisa ayat 9 menjelaskan bahwa “Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah dan mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka”. Oleh sebab itu, hendaklah

mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”.

Berat Bayi Lahir Rendah, bayi prematur bahkan bayi lahir mati merupakan salah satu kondisi bayi dengan status lemah. Oleh karena itu, diharapkan bagi ibu hamil agar tetap menjaga kondisi kesehatan selama masa kehamilan dan menjaga pertambahan berat badan secara ideal. Hal ini bertujuan agar ibu terhindar dari komplikasi kehamilan, yang mana komplikasi atau penyakit penyerta selama masa kehamilan dapat memberikan dampak yang buruk bagi kondisi kesehatan janin yakni BBLR bahkan kematian janin.

2. Hubungan Pertambahan Berat Badan Per Trimester dengan Kejadian BBLR

Hasil uji regresi logistik dengan mengendalikan variabel penyakit penyerta selama kehamilan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan selama trimester I (Adjusted OR=1,59; 95% CI=0,69-3,62) dan trimester II (Adjusted OR=2,30; 95% CI=0,97-5,45) dengan kejadian BBLR. Namun, terdapat hubungan yang

91

signifikan antara pertambahan berat badan selama trimester III dengan kejadian BBLR (Adjusted OR=2,67; 95% CI=0,97-5,45). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kelompok kontrol yang memiliki pertambahan berat badan yang kurang selama trimester I dan II tidak memberikan efek yang cukup signifikan terhadap kejadian BBLR. Pertambahan berat badan yang kurang selama trimester I dan trimester II dapat diperbaiki dengan cara memiliki pertambahan berat badan yang normal selama trimester III. Dimana, pada hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan selama trimester III dengan kejadian BBLR. Pertambahan berat badan yang normal selama trimester III dapat diperoleh melalui pemenuhan kebutuhan zat gizi dan energi yang cukup (Nyaruhucha, 2006).

Hasil yang sama dengan penelitian sebelumnya, diperoleh Farizqina (2014) bahwa tidak ada hubungan antara pertambahan berat badan trimester I dengan kejadian BBLR. Berbeda dengan hasil yang ditemukan oleh Brown (2002) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan trimester I dengan kondisi berat bayi saat lahir (p<0,05). Secara teori, terdapat faktor yang mempengaruhi tidak bertambahnya berat badan ibu selama trimester I, yakni faktor mual dan muntah (morning sickness) di usia awal kehamilan dimana kejadian tersebut dapat berpengaruh terhadap nafsu makan ibu. Kejadian morning sickness tersebut merupakan hal yang wajar dialami ibu di usia awal kehamilan, hal ini dikarenakan terjadinya perubahan hormon ibu selama masa kehamilan (Cheung, 2000). Oleh karena itu, walaupun tidak

92

ditemukan hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan selama trimester I dengan kejadian BBLR. Diharapkan bagi petugas kesehatan agar tetap mengontrol pertambahan berat badan ibu mulai dari usia awal kehamilan, melalui pemberian konseling kesehatan serta asupan zat gizi dan energi ibu.

Berbeda dengan teori yang dinyatakan oleh Watanabe (2009), bahwa adanya pertambahan berat badan ibu hamil mulai usia awal kehamilan sangat bermanfaat untuk memperkirakan pertumubuhan janin. Brown, dkk (2002) juga menyatakan bahwa pertambahan berat badan ibu hamil trimester I memiliki dampak yang kuat terhadap kondisi berat lahir bayi, dibandingkan dengan pertambahan berat badan ibu selama trimester II maupun trimester III. Pertambahan berat janin juga dipengaruhi oleh pertambahan berat badan ibu di awal kehamilan, hal ini dikarenakan masa awal kehamilan merupakan perkiraan awal kondisi status gizi ibu untuk mendukung perkembangan janin selama 9 bulan kedepan.

Hasil yang sama juga diperoleh Nyaruhuca (2006) dengan desain studi kohort di Tanzania, bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan ibu pada trimester II dengan kejadian BBLR (p value 0,122). Pada penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa rata-rata pertambahan berat badan ibu hamil selama trimester II rendah (4,5 kg) pada semua kategori IMT sebelum hamil. Berbeda dengan hasil penelitian Watanabe (2009), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan selama trimester II dengan berat lahir bayi pada

93

wanita usia subur di Jepang. Darmayanti (2010) menunjukan bahwa ibu hamil yang memiliki pertambahan berat <250 gram/minggu atau <0,25 kg per minggu pada trimester II berisiko melahirkan BBLR sebesar 7,1 kali dibandingkan dengan ibu yang memiliki pertambahan berat badan >0,25 kg per minggu selama trimester II (95% CI= 4,0 – 12,5).

Hasil yang sama dengan penelitian sebelumnya juga diperoleh Aea (2014) di Algeria, bahwa ada hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan ibu hamil menurut standar IOM dengan berat lahir bayi (p <0,05). Hasil yang sama juga diperoleh Nyaruhuca (2006) dengan desain studi kohort di Tanzania menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pertambahan berat badan ibu pada trimester III dengan kejadian BBLR (p value 0,034). Berbeda dengan hasil penelitian Brown (2002) dengan desain studi kohort di USA bahwa tidak ada hubungan antara pertambahan berat badan ibu hamil selama trimester III dengan berat lahir bayi (p=0,40). Brown (2002) juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pertambahan berat badan dengan berat lahir bayi.

Secara teori, Marie (2002) menyatakan bahwa pertambahan berat badan ibu hamil selama trimester III merupakan masa penentuan kondisi kesehatan janin didalam rahim ibu. Ibu yang memiliki perkembangan pertambahan berat badan secara normal sampai akhir trimester, dapat dinyatakan perkembangan janin telah stabil. Berbeda bagi ibu hamil yang memiliki pertambahan berat badan kurang sampai akhir trimester, terdapat kemungkinan adanya gangguan kesehatan dan dapat berpengaruh

94

terhadap berat janin. Namun, terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertambahan berat badan selama trimester III, Drehmer, dkk (2013) di Brazil menyatakan bahwa jumlah paritas, pendidikan terakhir dan status gizi ibu sebelum hamil mempunyai hubungan secara signifikan dengan pertambahan berat badan ibu hamil selama trimester III dengan masing-masing nilai p value<0,001. Dengan demikian, meskipun pertambahan berat badan selama trimester I dan trimester II tidak berhubungan secara langsung dengan kejadian BBLR, diharapkan bagi ibu hamil agar dapat memperbaiki status gizi ibu selama masa kehamilan khususnya pada trimester terakhir. Hal ini dikarenakan trimester terkahir merupakan masa dimana bayi tumbuh dengan cepat (60% pertambahan berat badan ibu merupakan bagian dari janin) dan sangat membutuhkan asupan nutrisi dan zat besi dari ibu (Cheung, 2000). Sehingga pertambahan berat badan ibu selama trimester terakhir merupakan salah satu faktor penting dan berpengaruh secara langsung terhadap kondisi berat bayi.

Bagi pertugas kesehatan juga diharapkan agar dapat meningkatkan frekuensi pemberian edukasi dan konseling mulai dari awal trimester sampai akhir trimester secara rutin setiap kali ibu melakukan pemeriksaan kehamilan. Hal ini bertujuan agar ibu hamil tetap sadar akan kebutuhan zat gizi dan energi yang dibutuhkan selama masa kehamilan. Sehingga dengan terpantaunya pertambahan berat badan ibu per timester, maka dapat diketahuinya kondisi kesehatan janin dan dapat mengurangi terjadinya kasus BBLR.

95 BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait