• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PERANTAUAN PEREMPUAN MINANG

Perubahan Daerah Tujuan Rantau

Pola merantau perempuan Minang umumnya adalah pola merantau D (langsung ke Jakarta). Tabel 4 menunjukkan bahwa perempuan Minang yang sekarang ditemui tinggal dan bekerja di Jakarta, umumnya memang semenjak dari awal merantau telah menjadikan Jakarta sebagai daerah tujuan rantau, namun sejumlah 35 persen diketahui sempat singgah di daerah tujuan rantau lain sebelum akhirnya menetap di Jakarta.

Tabel 4 Pola merantau perempuan Minang

Pola merantau Jumlah (n) Persentase (%)

Pola merantau A 3 5,0 Pola merantau B 6 10,0 Pola merantau C 7 11,7 Pola merantau D 39 65,0 Pola merantau E 3 5,0 Lain-lain 2 3,3 Jumlah 60 100,0

Perempuan Minang dalam proses merantau bahkan ada yang sempat singgah di dua atau lebih daerah tujuan rantau, seperti yang terjadi pada Pola merantau lainnya selain pola merantau D, terutama pada pola merantau E (transit kabupaten/kota dalam satu provinsi ditambah dengan transit daerah Jawa non Jakarta). Trend-nya perempuan Minang merantau adalah dari tahun 2000 hingga kesininya, terutama mereka yang pola merantau D dan pola merantau E. Tabel 5 menunjukkan bahwa perempuan Minang dengan pola merantau A (transit kabupaten/kota dalam satu provinsi) telah ada sejak tahun 1980 hingga sekarang. Mereka dengan pola merantau B (transit provinsi dalam satu pulau) adalah trend merantau pada periode 1970 hingga 1979. Pola merantau C (transit daerah Jawa non Jakarta) sendiri baru mulai berkembang pada tahun 2000 hingga sekarang. Tabel 5 Hubungan periode dan pola merantau perempuan Minang

Pola Merantau

Periode merantau (tahun)

Jumlah 1970-1979 1980-1989 1990-1999 ≥ 2000 n % n % n % n % n % Pola merantau A 0 0,0 1 25,0 1 8,3 1 2,6 3 5,0 Pola merantau B 3 60,0 0 0,0 1 8,3 2 5,1 6 10,0 Pola merantau C 0 0,0 0 0,0 0 0,0 7 17,9 7 11,7 Pola merantau D 2 40,0 3 75,0 9 75,0 25 64,1 39 65,0 Pola merantau E 0 0,0 0 0,0 0 0,0 3 7,7 3 5,0 Lain-lain 0 0,0 0 0,0 1 8,3 1 2,6 2 3,3 Jumlah 5 100,0 4 100,0 12 100,0 39 100,0 60 100,0

kakaknya menyarankan buka usaha di rantau dari pada bekerja dengan orang lain. Ia kemudian buka toko sendiri di Cempaka Mas dengan bantuan tambahan modal dari kakak.

37 Semakin lancarnya transportasi (terutama transportasi udara) juga menjadi pendukung tersendiri bagi semakin berkembangnya pola merantau D, terutama sejak tahun 2000. Tabel 6 menunjukkan bahwa perempuan Minang yang merantau terutama sejak tahun 2000 kesininya umumnya menggunakan pesawat sebagai alat transportasi untuk bepergian merantau. Trend penggunaan bus (yang kemudian lewat jalur laut dengan kapal) telah beralih pada trend penggunaan pesawat semenjak berkembangnya transportasi udara yang lebih efektif dari segi waktu, dan perempuan Minang pun tidak harus bermalam di jalan yang oleh adat dinilai sumbang (salah).

Tabel 6 Hubungan transportasi yang digunakan dengan periode merantaunya perempuan Minang

Periode merantau

Alat transportasi yang digunakan awal pergi merantau

Jumlah Bus Pesawat Mobil pribadi

n % n % n % n % periode 1970-1979 5 15,2 0 0,0 0 0,0 5 8,3 Periode 1980-1989 4 12,1 0 0,0 0 0,0 4 6,7 Periode 1990-1999 10 30,3 1 4,2 1 33,3 12 20,0 ≥ tahun 2000 14 42,4 23 95,8 2 66,7 39 65,0 Jumlah 33 100,0 24 100,0 3 100,0 60 100,0

Pola merantau A: Transit kabupaten atau kota dalam satu provinsi

Pola merantau A telah berkembang sejak periode 80-an hingga sekarang. Ibu HN adalah salah satu contoh kasus perantau perempuan Minang asal Pariaman yang sempat tinggal serta berusaha (usaha konveksi dan toko sepatu) di Padang bersama suami; Bu HN bersama suami dan 8 (delapan) orang anaknya pindah ke Jakarta tahun 1986 karena tertarik melihat orang Minang banyak yang sukses dengan berdagang di Jakarta. Perempuan Minang yang merantau ke Padang tahun 2000 ke atas, satu kasus ditemukan karena alasan pekerjaan yakni bu YR; Bu YR merantau ke Padang pada tahun 2004, dan sempat bekerja sebagai akuntan di Padang; Bu YR ikut kerabat (tante) ke Jakarta tahun 2005.

Pola merantau B: Transit provinsi dalam satu pulau

Pola merantau B terutama trend pada periode 1970 hingga 1979 karena memang pada periode tersebut Jakarta masih menjadi rantau elit (bukan rantau untuk semua orang) dan belum sebebas sekarang. Pekanbaru, Lampung, Jambi, dan Palembang merupakan daerah yang dijadikan daerah tujuan rantau di Sumatera, terutama Pekanbaru. Ibu SNV adalah contoh kasus yang sempat merantau ke Pekanbaru pada tahun 1978 karena dibawa oleh kerabat, dan disana bu SNV disekolahkan hingga SMA; Bu SNV pindah ke Jakarta tahun 1991 karena suami adalah laki-laki Minang perantau yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Pekanbaru dijadikan daerah tujuan rantau selain karena keberadaan orang yang dikenal di daerah tersebut, juga karena daerah yang bersangkutan adalah yang paling dekat dari daerah asal perantau perempuan Minang. Naim (1984) mengemukakan bahwa Pekanbaru pun sempat menjadi salah satu daerah tujuan utama perantau laki-laki Minang karena Jakarta masih merupakan rantau baru dan belum seterbuka sekarang. Semenjak Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota dan menjadi kota yang terbuka, perantau Minang mulai berbondong-bondong ke

38

Jakarta dari berbagai daerah, sehingga Sumatera bukan lagi satu-satunya daerah tujuan rantau utama.

Perempuan Minang yang merantau ke Jambi umumnya pada periode 90-an, yang juga karena alasan keberadaan keluarga. Ibu AD adalah salah satu contoh kasus yang merantau ke Jambi pada tahun 1990 karena ada keluarga (kakak) di Jambi, dan sempat bekerja disana selama satu tahun sembari menunggu informasi peluang kerja di Jawa; Bu AD pindah ke Jawa (Bogor) setelah mendapat panggilan kerja, dan setelah satu tahun bekerja Bu AD pindah ke Jakarta karena ingin mencoba pekerjaan lain.

Perempuan Minang yang merantau ke Lampung justru salah satunya ditemukan karena alasan pendidikan, karena Lampung merupakan salah satu kota di Sumatera yang memiliki banyak perguruan tinggi. Ibu NW merupakan salah satu contoh kasus yang sempat merantau ke Lampung setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA (tahun 1976), dan melanjutkan pendidikan Diploma III di sana; Bu NW pindah ke Jakarta tahun 1991 karena suami adalah perantau yang sudah tinggal dan punya usaha di Jakarta.

Pola Merantau C: Transit daerah Jawa non Jakarta

Pola merantau C baru mulai pada tahun 2000 kesininya. Perempuan Minang yang merantau langsung ke Jawa non Jakarta, kebanyakan merantau ke Bandung dan Depok. Perempuan Minang yang merantau ke Bandung dan Depok umumnya karena alasan pendidikan. Ibu ERZ adalah contoh kasus yang merantau ke Bandung pada tahun 2002 untuk melanjutkan pendidikan, dan bekerja di Jakarta setelah menyelesaikan studinya. Kasus lain adalah Bu EF yang merantau untuk melanjutkan pendidikannya pada tahun 2005, dan setelahnya bekerja di Jakarta karena lulus PNS untuk penempatan Jakarta. Semakin tingginya kesadaran akan pendidikan pada diri perempuan Minang, semakin banyak diantara mereka yang akan memutuskan menempuh pendidikan di tempat yang kualitas pendidikannya bagus, seperti halnya di Jawa, dan setelahnya mereka akan lebih memilih untuk tinggal dan bekerja di Jawa, maka terbentuklah pola merantau C ini.

Perempuan Minang yang sempat merantau ke daerah Jawa non Jakarta juga ada yang merantau ke daerah selain Bandung dan Depok. Bu AM adalah salah satu contoh kasus yang merantau pada tahun 2005 bersama tantenya ke Bekasi setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA.

Perempuan Minang yang sempat merantau ke daerah Jawa selain Jakarta, kebanyakan tetap memilih kawasan yang dekat dengan Jakarta. Perantau perempuan Minang yang tinggal di luar Jakarta bahkan sering mengemukakan bahwa mereka tinggal di Jakarta, terutama yang tinggal di daerah yang dekat dengan Jakarta (seperti: Depok, Ciputat, Tangerang, dan Bekasi). Benang merah yang dapat diambil adalah bahwa bekerja di Jakarta menjadi suatu prestise tersendiri. Masyarakat di daerah asal yang belum pernah ke Jawa, memang lebih

mengenal “Jawa dan Jakarta”, bukan Bekasi, Bogor, Bandung, ataupun lainnya.

Mereka ketika ditanya dimana anak mereka bekerja, serempak menjawab “Jakarta” atau “Jawa”.

39

Pola Merantau D: Langsung ke Jakarta

Pola merantau D sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya semakin trend sejak tahun 2000, meskipun pada periode sebelum tahun 2000 telah mulai ada. Contoh kasus dengan pola merantau D yaitu kasus bu DW dan bu ID. Ibu DW merantau ke Jakarta ikut suami pada Tahun 2001 karena suami orang Minang yang sudah lama merantau dan punya usaha di rantau. Bu ID sendiri merantau ke Jakarta tahun 2000 setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA karena kebetulan ada kerabat di Jakarta. Perempuan Minang semakin kesininya (terutama sejak tahun 2000-an) tidak lagi mau tinggal di daerah asal, terutama yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas).

Pola Merantau E: Transit kabupaten atau kota ditambah transit daerah Jawa non Jakarta

Pola merantau E sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya telah berkembang semenjak periode 90-an, dan semakin berkembang pada tahun 2000 hingga sekarang. Perempuan Minang yang sempat merantau ke Padang umumnya karena alasan pendidikan, yang bermakna bahwa 14 tahun belakangan kesadaran perempuan Minang untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi semakin tinggi. Bu WK adalah salah satu contoh kasus yang sempat kuliah di universitas swasta di Padang pada tahun 2007 sebelum tinggal dan bekerja seperti sekarang di Jakarta; Bu WK kemudian merantau ke Bekasi setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi pada tahun 2013; Bu WK memilih ke Bekasi terlebih dahulu karena ada kerabat yang tinggal disana; Bu WK pindah ke Jakarta setelah mendapat panggilan kerja dari Jakarta. Bu BD dan bu GS adalah contoh kasus lain yang pernah merantau ke daerah Jawa non Jakarta. Bu BD merantau setelah menyelesaikan studinya di Padang untuk memenuhi panggilan kerja di Tangerang; Bu BD yang tidak genap satu tahun bekerja di Tangerang memilih pindah ke pekerjaan lain di Jakarta. Bu GS sendiri juga merantau setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi di Padang; Bu GS merantau demi memenuhi panggilan kerja di Tangerang. Bu GS kemudian pindah ke Jakarta dan tinggal di Jakarta karena tidak lagi bekerja di Tangerang. Ini memberi makna bahwa perempuan Minang yang sempat merantau ke Tangerang sebelum ke Jakarta umumnya karena alasan panggilan kerja (memperoleh kerja di sana). Ini sesuai dengan pernyataan Naim (1990) bahwa konsekuensi pendidikanlah yang membuat anak-anak kemudian banyak keluar dari daerah asal. Perempuan Minang yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi lebih senang melanjutkan pendidikan di luar daerah asalnya, minimal mereka memilih kota Padang sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan yang dianggap lebih bergengsi. Mereka ini umumnya akan lebih memilih bekerja di Jawa, sehingga terbentuklah pola merantau E ini.

Lain-lain: Kasus khusus diluar pola

Kasus merantau lain-lain dalam hal ini adalah kasus diluar dari kelima pola yang ada, dan karena kasus tersebut masing-masingnya hanya satu-satu kasus maka tidak bisa kelompokkan ke dalam pola. Kasus merantaunya bu AD dan bu ASD merupakan contoh kasus khusus yang memang terpisah dari pola yang ada. Ibu AD sebelum menetap seperti sekarang di Jakarta sempat merantau ke Jambi dan Bogor; Bu AD ke Jambi pada tahun 1990 karena kebetulan ada keluarga

40

disana sambil menunggu panggilan kerja dari Jawa, sehingga ketika mendapat panggilan kerja dari sebuah PT (industri) di Bogor bu AD langsung berangkat ke Bogor pada tahun 1991; Bu AD hanya satu tahun bekerja di Bogor dan memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 1992 dan sempat berganti-ganti pekerjaan hingga memutuskan menjadi penjaga toko. Ibu ASD sendiri sebelum menetap di Jakarta sempat kuliah di Padang (Sumatera Barat) pada tahun 2007, dan setelah menyelesaikan pendidikannya akhir 2011 bu ASD pergi ke tempat kakaknya di Batam sembari menunggu panggilan kerja; Bu ASD langsung ke Jakarta ketika memperoleh panggilan kerja dari sebuah perusahaan (PT) dari Jakarta pada tahun 2012. Kedua kasus ini jika disimpulkan maka ada dua kasus merantau, yaitu: (1) transit provinsi dalam satu pulau ditambah dengan transit daerah Jawa non Jakarta; dan (2) transit kabupaten atau kota dalam satu provinsi ditambah transit antar pulau non Jawa.

Perempuan Minang yang transit di satu atau beberapa daerah tujuan rantau lain sebelum menetap di Jakarta pada periode 70-an hingga periode 80-an umumnya tinggal di daerah tujuan rantau pertama diatas 5 (lima) tahun, seperti pada kasus merantaunya bu SNV dan bu UN. Ibu SNV sempat merantau ke Pekanbaru tahun 1978 dan tinggal disana selama lebih kurang 13 tahun sebelum akhirnya memutuskan menetap di Jakarta. Bu UN sempat merantau ke Padang tahun 1981 dan tinggal disana selama lebih kurang 8 (delapan) tahun sebelum akhirnya memutuskan menetap di Jakarta. Mereka yang merantau periode 90-an hingga tahun 2000 kesininya umumnya transit di daerah tujuan rantau pertamanya kurang dari 5 (lima) tahun, yaitu kasus merantaunya bu RS, bu DM, bu ID, dan bu GA. Ibu DM sempat merantau ke Pekanbaru tahun 1993 dan tinggal disana selama lebih kurang satu tahun sebelum akhirnya memutuskan menetap di Jakarta; Bu RS sempat merantau ke Pekanbaru tahun 2008 dan tinggal disana selama lebih kurang 2 (dua) tahun sebelum akhirnya memutuskan menetap di Jakarta; Bu ID sempat kuliah di Padang tahun 2006 dan tinggal disana selama lebih kurang 4 (empat) tahun sebelum akhirnya menetap di Jakarta setelah memperoleh pekerjaan di Jakarta; Bu GA sendiri juga sempat kuliah di Bandung tahun 2000 dan tinggal disana selama lebih kurang 4 (empat) tahun sebelum akhirnya menetap di Jakarta karena memperoleh pekerjaan di Jakarta.

Perempuan Minang yang merantau sebagaimana ditunjukkan beberapa kasus adalah mereka yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas), walaupun tingkat pendidikan sendiri tidak berpengaruh signifikan (hubungannya lemah) terhadap daerah tujuan rantau yang dipilih. Tabel 7 menunjukkan bahwa pola merantau D yang ditemukan paling banyak sebagian besar dilakukan oleh perempuan Minang yang berpendidikan SMA. Mereka dengan pola merantau C dan pola merantau E sebagian besar berpendidikan SMA, dan mereka yang berpendidikan SMA yang menempuh pendidikan tinggi baik di di Sumatera Barat ataupun di Jawa akan memilih menetap dan bekerja di Jawa setelahnya. Perempuan Minang yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi (terutama di Jawa), akan tinggal di daerah sekitar kampus sampai selesai masa pendidikan. Mereka setelah menyelesaikan pendidikan umumnya akan mencari pekerjaan di Jawa sehingga terbentuklah pola merantau C. Mereka yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di kota yang dekat dengan daerah asal mereka juga demikian, terutama karena sempitnya lapangan kerja di sana ditengah banyaknya peluang kerja yang

41 di tawarkan di Jawa, sehingga banyak yang merantau karena memperoleh pekerjaan (panggilan kerja) di Jawa.

Tabel 7 Hubungan tingkat pendidikan terhadap pola merantau perempuan Minang

Pola Merantau

Tingkat pendidikan awal merantau

Jumlah di bawah

SMA SMA di atas SMA

n % n % n % n % Pola Merantau A 0 0,0 3 7,3 0 0,0 3 5,0 Pola Merantau B 2 25,0 4 9,8 0 0,0 6 10,0 Pola Merantau C 1 12,5 6 14,6 0 0,0 7 11,7 Pola Merantau D 5 62,5 24 58,5 10 90,9 39 65,0 Pola Merantau E 0 0,0 3 7,3 0 0,0 3 5,0 Lain-lain 0 0,0 1 2,4 1 9,1 2 3,3 Jumlah 8 100,0 41 100,0 11 100,0 60 100,0

Perempuan Minang yang merantau dengan pola merantau C dan pola merantau E terutama, secara keseluruhan berstatus belum menikah. Perempuan Minang sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya kebanyakan merantau dengan pola merantau D, mereka ini umumnya juga berstatus belum menikah atau belum berkeluarga saat merantau. Hubungan antara status perkawinan dengan daerah tujuan rantau yang tidak signifikan, tetap menunjukkan adanya hubungan meskipun lemah. Tabel 8 menunjukkan bahwa perempuan Minang yang berstatus menikah umumnya langsung ke satu daerah tujuan rantau (lebih memilih pola merantau D). Perempuan Minang yang merantau saat telah berstatus menikah (berkeluarga) ini secara keseluruhan merantau beserta suami dan anak-anaknya (jika sudah memiliki anak). Ini membedakan perempuan Minang dengan etnis sunda yang ditemukan merantau dengan meninggalkan keluarga di daerah asal6. Tabel 8 Hubungan status perkawinan perempuan Minang terhadap keputusan

akan daerah tujuan rantau yang dipilih

pola merantau

Status pernikahan

Jumlah belum menikah Menikah

n % n % n % Pola merantau A 2 4,2 1 8,3 3 5,0 Pola merantau B 4 8,3 2 16,7 6 10,0 Pola merantau C 7 14,6 0 0,0 7 11,7 Pola merantau D 30 62,5 9 75,0 39 65,0 Pola merantau E 3 6,2 0 0,0 3 5,0 Lain-lain 2 4,2 0 0,0 2 3,3 Jumlah 48 100,0 12 100,0 60 100,0 6

Seperti yang diinformasikan Aliansyah (2014) bahwa dari penelitiannya di Ciamis, perempuan disana di tinggal suaminya merantau atau tidak menyertai suami merantau. Ini menandakan orang Ciamis tidak mengenal merantau sekeluarga, dan mereka inilah yang ditemukan rumah tangganya banyak yang gagal karena suami menikah lagi di sana atau sang istri ini yang menikah lagi di daerah asal (hasil penelitian ini memang belum diterbitkan tapi sudah diujikan dan telah disampaikan dalam seminar hasil penelitian pascasarjana IPB)

42

Tabel 9 menunjukkan bahwa Perempuan Minang yang sebagian besar merantau dengan pola merantau D sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, umumnya ada keluarga atau kerabat yang tinggal di daerah tujuan rantau yang dituju, demikian juga dengan perempuan Minang dengan pola merantau C. Perempuan Minang dengan pola merantau A dan pola merantau B secara keseluruhan memiliki keluarga atau kerabat di daerah tujuan rantau. Perempuan Minang yang berpendidikan diatas SMA sebagai mana pada kasus yang disebutkan sebelumnya dalam menunggu panggilan kerja pun lebih memilih tinggal di kota. Mereka yang memiliki keluarga atau kerabat di rantau akan memilih tinggal disana sembari menunggu panggilan kerja, walaupun daerah tersebut bukanlah daerah tujuan rantau yang ingin dijadikan tempat menetap dan bekerja nantinya. Keberadaan keluarga atau kerabat di daerah tujuan rantau memang tidak berhubungan signifikan dengan daerah tujuan rantau yang dipilih, namun cukup memberikan gambaran tentang fenomena merantaunya perempuan Minang yang mengutamakan merantau ke tempat yang diketahui ada keluarga atau kerabat di sana dibandingkan daerah yang tidak ada keluarga atau kerabat mereka disana.

Tabel 9 Hubungan interaksi yang terbentuk terhadap daerah tujuan rantau

Pola Merantau

Ada tidaknya keluarga atau kerabat di

rantau Jumlah tidak ada Ada

n % n % n % Pola merantau A 0 0,0 3 5,7 3 5,0 Pola merantau B 0 0,0 6 11,3 6 10,0 Pola merantau C 1 14,3 6 11,3 7 11,7 Pola merantau D 4 57,1 35 66,0 39 65,0 Pola merantau E 2 28,6 1 1,9 3 5,0 Lain-lain 0 0,0 2 3,8 2 3,3 Jumlah 7 100,0 53 100,0 60 100,0

Perubahan Tingkat Pendidikan Perantau Perempuan Minang

Perempuan Minang yang merantau sebagian besar tidak mengalami perubahan pendidikan di daerah tujuan rantau, akan tetapi ada beberapa kasus merantau yang mengalami perubahan atau perkembangan tingkat pendidikan. Pola merantau perempuan Minang berhubungan signifikan dengan perubahan tingkat pendidikan perantau perempuan Minang tersebut. Tabel 10 menunjukkan bahwa perempuan Minang dengan pola merantau E dalam kasus ini tidak ada yang tidak mengalami perubahan pendidikan, dan secara keseluruhan umumnya pendidikan mereka berubah dari tingkat pendidikan SMA ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi (seperti DI, DIII, atau S1). Mereka yang umumnya mengalami perkembangan pendidikan dari tingkat pendidikan SMA ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi selain yang merantau dengan pola merantau E juga mereka yang merantau dengan pola merantau C. Perempuan Minang yang dibawa merantau semenjak kecil (semenjak dari bangku sekolah dasar atau pun semenjak dari bangku sekolah menengah pertama) juga mengalami perkembangan tingkat pendidikan (bagi yang tingkat pendidikannya SD minimal berkembang hingga

43 SMP, sementara bagi yang tingkat pendidikannya SMP minimal berkembang hingga SMA). Mereka yang merantau semenjak dari kecil ini umumnya mereka yang merantau dengan pola merantau B dan pola merantau D.

Tabel 10 Hubungan Pola merantau dan perubahan tingkat pendidikan perantau perempuan Minang

Perubahan tingkat pendidikan

Pola merantau Perempuan Minang

Jumlah Pola merantau A Pola merantau B Pola merantau C Pola merantau D Pola merantau E Lain-lain n % n % n % n % n % n % n % SD – SMP 0 0,0 1 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,7 SD – SMA 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 2,6 0 0,0 0 0,0 1 1,7 SMP – SMA 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 2,6 0 0,0 0 0,0 1 1,7 SMP – DIII 0 0,0 1 16,7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,7 SMA – DI/DIII/S1 1 33,3 1 16,7 4 57,1 2 5,1 3 100,0 1 50,0 12 20,0 tidak berubah 2 66,7 3 50,0 3 42,9 35 89,7 0 0,0 1 50,0 44 73,3 Jumlah 3 100,0 6 100,0 7 100,0 39 100,0 3 100,0 2 100,0 60 100,0 Perkembangan tingkat pendidikan perempuan Minang yang dibawa merantau semenjak kecil

Perempuan Minang ada yang dibawa merantau semenjak dari kecil (umumnya semenjak dari bangku sekolah dasar), dan biasanya karena kondisi ekonomi orang tuanya buruk atau karena orang tua meninggal, seperti pada kasus merantaunya bu RN dan bu AS. Bu RN pada tahun 1995 (ketika berusia 12 tahun) dibawa merantau oleh kakaknya ke Jakarta karena orang tuanya meninggal, dan oleh kakaknya Bu RN disekolahkan hingga SMA. Bu AS pada tahun 1978 (ketika berusia 6 tahun) dibawa oleh mamaknya ke Payakumbuh dan disekolahkan hingga SMP, setelahnya bu AS dibawa lagi oleh mamaknya merantau ke Jakarta. Orang Minang meskipun telah menetap di rantau tetap menjaga empatinya terhadap keluarga atau kerabat minimal membantu pendidikan anak dari keluarga atau kerabatnya. Mamak di Minangkabau memiliki tanggungjawab yang besar terhadap kemenakannya, dan kasus merantaunya bu AS merupakan wujud dari berjalanannya peran mamak terhadap kemenakannya yakni dalam menyekolahkan kemenakannya.

Perkembangan tingkat pendidikan perempuan Minang yang merantau atas keputusan sendiri

Perempuan Minang yang mengalami perkembangan pendidikan hingga tingkat pendidikan yang lebih tinggi (DI, DII, atau S1) dari yang sebelumnya hanya berpendidikan SMA selama proses merantau adalah mereka yang umumnya merantau sejak tahun 2000 kesininya. Mereka dengan pola merantau C dan pola merantau E umumnya meninggalkan daerah asal untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, seperti pada kasus merantaunya bu ERZ dan bu RS. Bu ERZ merantau semenjak Tahun 2002, sebelum menetap dan bekerja di Jakarta bu ERZ sempat melanjutkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Bu BDA sendiri adalah contoh kasus dengan pola merantau E yang mengalami perkembangan pendidikan. Bu BDA sebelum tinggal dan bekerja di

44

Jakarta seperti sekarang, sempat kuliah di Padang dari tahun 2007 hingga tahun 2011.

Trend perempuan Minang memasuki bangku perkuliahan dengan demikian baru berkembang sejak tahun 2000-an, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa perempuan Minang yang merantau dengan pola merantau C dan pola merantau E yang umumnya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi baru berkembang sejak tahun 2000, sehingga wajar jika bu RN pada Tahun 1995 hanya disekolahkan hingga SMA oleh kakaknya yang masa itu sudah terbilang tinggi. Tabel 11 menunjukkan bahwa memang perempuan Minang yang merantau pada periode 1990 hingga 1999 umumnya berpendidikan SMA. Kasus bu AS yang dibawa merantau pada tahun 1978 juga demikian, bu AS hanya disekolahkan hingga SMP karena masa itu sudah tergolong berpendidikan tinggi. Tabel menunjukkan bahwa perempuan Minang yang merantau periode 1970 hingga 1979 umumnya memang berpendidikan SMP kebawah dan hanya sebagian