• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Perantauan Dan Identitas Perempuan Minang Di Jakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Perantauan Dan Identitas Perempuan Minang Di Jakarta."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PERANTAUAN DAN IDENTITAS PEREMPUAN

MINANG DI JAKARTA

SINTA OKTAVIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SINTA OKTAVIA. Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di Jakarta. Dibimbing oleh TITIK SUMARTIdanNURMALA K PANDJAITAN.

Etnis Minangkabau memandang merantau sebagai upaya mengubah nasib agar terangkat harkat dan martabat. Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika perantauan perempuan Minang di daerah tujuan rantau, mengkaji bagaimana rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan dampaknya pada nilai-nilai asli (identitas) perempuan Minang, serta mengkaji interaksi sosial antar perantau yang membentuk kemampuan ekonomi perantau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang terdiri atas 60 responden dan didukung data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Perantau perempuan Minang sejumlah 35 persen transit di daerah lain sebelum menetap di Jakarta; mereka yang merantau di atas 5 (lima) tahun umumnya mengalami perubahan penghidupan, yaitu: tingkat pendidikan, status pernikahan, serta jenis pekerjaan; (2) Perantauan perempuan Minang didasarkan oleh rasionalitas tujuan, agar dapat mempertahankan serta memperjuangkan harkat dan martabat sebagai perempuan Minang; sekali memutuskan merantau, sebuah keharusan untuk mengubah nasib atau mengangkat harkat dan martabat; meskipun telah terjadi dinamika (perubahan) penghidupan, atau bahkan telah menjadi orang Jakarta (ditandai dengan 38 persen responden telah menetap di Jakarta di atas 10 tahun), identitas mereka sebagai perempuan Minang tidak berubah; dan (3) Interaksi sosial perantau perempuan Minang adalah closed system (kinship system), karena tetap menjaga hubungan kekeluargaan atau kekerabatan di daerah tujuan rantau.

(5)

SUMMARY

SINTA OKTAVIA. Dynamic and identity of Minang‟s womens migrant in Jakarta. Supervised by TITIK SUMARTIand NURMALA K PANDJAITAN.

Minangkabau ethnic view migration as an effort to change their fate to be better so it could improve their dignity. This research was aimed to studied the Minang women migration dynamics in migration destination, studied how does the rationality action of Minang‟s womens migrant and it‟s impacts to the indigenous values of Minang‟s women, and also studied social interaction between migrants which create economics power. This research use quantitative approach with 60 respondents which supported by qualitative data.

Research show that: (1) 35 percent of Minang‟s women migrant were transit in other destination area before come and stay in Jakarta; Minang‟s women migrant who has migration above five years, had experience some live changes, in: education level, marital status, and kind of job; (2) The migration of Minang‟s women were based on their purposes rationalities in order to maintain and work for their dignity as Minang‟s women; once they decided to migrate, they will not come back before success to the principle. Once they decided to migrate, they should to ensure that they can change their dignity; although there were a life

dynamics (changes), or even they have been Jakarta‟s society it‟s means that they

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

DINAMIKA PERANTAUAN DAN IDENTITAS PEREMPUAN

MINANG DI JAKARTA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di Jakarta Nama : Sinta Oktavia

NIM : I353120061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Titik Sumarti, MS Ketua

Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah merantau, dengan judul Dinamika Perantauan dan Identitas Perempuan Minang di Jakarta.

Terimakasih penulis ucapkan kepada:

1. Ibu Dr Titik Sumarti, MS dan Ibu Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA selaku pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis.

2. Ibu Dr Ir Ekawati S Wahyuni, MS selaku dosen penguji luar komisi sekaligus revewer jurnal yang telah banyak memberikan masukan yang sangat membangun.

3. Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan.

4. Staf pengajar serta staf Tata Usaha Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa yang diberikan. 6. Responden (perantau perempuan Minang di Jakarta) yang telah membantu

selama penelitian.

7. Teman-teman sesama alumni Univeritas Andalas Padang yang sama-sama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, teman-teman Sosiologi Pedesaan 2012, teman-teman Maharlika Atas, serta teman sepembimbing atas persahabatannya.

Penghargaan terbesar penulis persembahkan untuk kedua orang tua dan saudara tercinta atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR ii

1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Tinjauan tentang Migrasi 5 Tinjauan tentang Merantau 5 Masyarakat Minang sebagai Masyarakat yang Dinamis 8 Identitas Sosial dan Identitas Diri 13

Penelitian Terdahulu: Kasus Merantaunya Perempuan 15

Teori Tindakan Sosial: Tindakan Rasional Weber 20

Interaksi Sosial 22

Kerangka Pemikiran 23

Hipotesis Penelitian 25

Defenisi Operasional 25

3 METODOLOGI PENELITIAN 28

Metode Penelitian 28

Lokasi Penelitian 28

Metode Pengambilan Responden 28

Metode Pengumpulan Data 30

Metode Pengolahan dan Analisis Data 30

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31

5 DINAMIKA PERANTAUAN PEREMPUAN MINANG 36

Perubahan Daerah Tujuan Rantau 36

Perubahan Tingkat Pendidikan Perantau Perempuan Minang 42

Perubahan Status Pernikahan Perantau Perempuan Minang 45

Perubahan Jenis dan Status Pekerjaan Perantau Perempuan Minang dalam Proses Merantau 47

6 RASIONALITAS TINDAKAN PERANTAU PEREMPUAN MINANG DAN DAMPAKNYA PADA NILAI-NILAI ASLI PEREMPUAN MINANG 54

Rasionalitas yang Berhubungan dengan Alasan Merantaunnya Perempuan Minang 54

Rasionalitas Perempuan Minang yang Berhubungan dengan Perubahan Pekerjaan 61

7 INTERAKSI SOSIAL YANG DIBANGUN OLEH PERANTAU PEREMPUAN MINANG DI DAERAH TUJUAN RANTAU 73

Pola interaksi perantau perempuan Minang 73

(14)

Hubungan jenis pekerjaan perantau perempuan Minang dengan

Interaksi di daerah tujuan rantau 80

8 IDENTITAS PEREMPUAN MINANG YANG DIPELIHARA

SELAMA PROSES MERANTAU 82

Identitas yang dipelihara semenjak perjalanan merantau 82 Identitas tetap dipelihara setelah menetap di rantau 90

9 SIMPULAN DAN SARAN 97

Simpulan 97

Saran 98

DAFTAR PUSTAKA 98

(15)

DAFTAR TABEL

1. Data penelitian, deskripsi, alat analisa, metode analisa, dan sumber data 30

2. Karakteristik responden ketika meninggalkan daerah asal 34 3. Karakteristik responden setelah menetap di daerah tujuan rantau 35 4. Pola merantau perempuan Minang 36 5. Hubungan periode dan pola merantau perempuan Minang 36 6. Hubungan transportasi yang digunakan dengan periode merantaunya perempuan Minang 37

7. Hubungan tingkat pendidikan terhadap pola merantau perempuan Minang 41 8. Hubungan status perkawinan perempuan Minang terhadap keputusan akan daerah tujuan rantau yang dipilih 41 9. Hubungan interaksi yang terbentuk terhadap daerah tujuan rantau 42 10. Hubungan Pola merantau dan perubahan tingkat pendidikan perantau perempuan Minang 43

11. Hubungan periode merantau dengan tingkat pendidikan perantau perempuan Minang 44

12. Hubungan status pernikahan awal merantau dengan periode merantau 45

13. Hubungan lama merantau dan perubahan status perkawinan perantau perempuan Minang 45

14. Hubungan Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang dimasuki 47

15. Perubahan pekerjaan perantau perempuan Minang 47

16. Hubungan perubahan status pernikahan dan perubahan pekerjaan 48

17. Hubungan lamanya merantau dan perubahan jenis pekerjaan 52

18. Hubungan keberadaan keluarga atau kerabat di daerah tujuan rantau dengan perubahan pekerjaan perantau perempuan Minang 52

19. Hubungan periode merantau dan alasan merantau 56

20. Perbedaan kedudukan perempuan Minang di rantau dengan di daerah asal 65

21. Pola interaksi perempuan Minang di Jakarta 74

22. Pihak yang memberi tempat tinggal di rantau 75

23. Pihak yang membantu perantau perempuan Minang dalam mendapatkan pekerjaan 75

24. Pengaruh status perkawinan terhadap pola interaksi yang terbangun di daerah tujuan rantau 80

25. Hubungan jenis pekerjaan dengan pola interaksi yang terbentuk 81

26. Hubungan identitas perempuan Minang dengan periode merantau 83

27. Hubungan status pernikahan dengan identitas sebagai perempuan Minang ketika meninggalkan daerah asal 83

28. Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas sebagai perempuan Minang ketika meninggalkan daerah asal 86

(16)

30. Hubungan lamanya merantau dengan identitas perempuan Minang 91 31. Hubungan pola interaksi yang terbangun dengan identitas

perempuan Minang 91

32. Hubungan status perkawinan dengan identitas sebagai

perempuan Minang 92

33. Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas perempuan Minang

selama di rantau 93

34. Hubungan jenis pekerjaan dengan identitas sebagai

perempuan Minang 95

DAFTAR GAMBAR

1. Perkembangan Masyarakat 8

2. Kerangka pemikiran 24

3. Peta kota Jakarta 31

4. Proses memotong bahan kain 49

5. Proses menjahit 49

6. Pakaian jadi yang siap dipasarkan 49

7. Proses pemasaran 50

8. Posisi responden dalam keluarga di daerah asal 54 9. Aktifitas sehari-hari orang Jawa yang bekerja sama dengan

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain merupakan konsekuensi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan tidak meratanya fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain, penduduk yang tinggal di daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah akan berpindah ke daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi (Statistik Indonesia 2014). Suku bangsa Indonesia yang tinggi tingkat perpindahan penduduk atau tingkat merantaunya berdasarkan sensus penduduk tahun 1961 yaitu Minangkabau, Batak, Banjar, Bugis, Menado, Ambon, Bawean, Jawa, Bali dan Aceh (Naim 1973). Bandiyono (2006) juga menemukan bahwa etnis Minangkabau masih menjadi salah satu etnis yang tinggi tingkat mobilitasnya, dan kebanyakan dari mereka merantau ke daerah perkotaan di luar Sumatera Barat, terutama Jawa, Riau, serta Malaysia.

Adat Minangkabau menganjurkan laki-laki Minang untuk merantau (Naim 1973). Kato (1982) juga mengemukakan bahwa secara matrilineal memang laki-laki Minang lah yang seharusnya terdorong untuk merantau, karena mereka tidak punya bekal di daerah asal. Akan tetapi, pada kenyataannya perempuan Minang yang dinilai sudah punya bekal1 di daerah asal pun juga banyak ditemukan hidup di rantau. Mursini (2009) menemukan perempuan etnis Minangkabau merantau ke Batam lebih banyak dibandingkan dengan etnis lainnya.

Aktifitas merantaunya perempuan Minang, dahulunya dianggap sebagai suatu yang tidak wajar atau salah. Hakimy (2004) mengemukakan bahwa berjalan sendirian untuk perjalanan jauh merupakan salah satu perilaku sumbang bagi perempuan Minang2. Naim (1983; 1989) mengemukakan bahwa banyaknya perempuan yang merantau untuk bekerja merupakan bukti telah memudar dan berubahnya sendi-sendi (nilai-nilai) dasar tentang perempuan Minang, yakni bergesernya peran dan fungsi perempuan Minang dari yang seharusnya (salah satunya ditandai dengan banyaknya perempuan yang menyamai dan memasuki ranah atau pekerjaan yang seharusnya dimasuki oleh laki-laki). Hakimy (2004) juga mengemukakan sebelumnya bahwa perempuan yang mengerjakan pekerjaan yang umumnya dikerjakan laki-laki (pekerjaan berat), dinilai sebagai suatu pekerjaan yang sumbang atau salah. Permasalahan utama perempuan yang bekerja menurut Naim (1991; 2004) adalah ketika mereka mulai lupa dengan tanggungjawab pokoknya untuk memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya. Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa kaum perempuan sangat menentukan dalam pembinaan generasi bangsa. Ini bermakna bahwa Naim dan Hakimy sangat menekankan pada prinsip bahwa perempuan sejatinya bekerja di rumah. Akan tetapi, Syafrizal dan Meiyenti (2012) mengemukakan bahwa sistem matrilineal di Minangkabau telah mengalami pergeseran dan perubahan meskipun

1

Harta kaum (rumah dan tanah) di Minangkabau di turunkan ke perempuan

2

(18)

2

tidak radikal dengan masih dijaganya beberapa hal prinsipiil, seperti harta pusaka yang masih menjadi milik bersama (perempuan memiliki kekuasaan atas harta pusaka milik bersama). Tanah yang dapat digarap untuk keperluan keluarga tersebut semakin sedikit karena jumlahnya memang tidak bertambah, sementara jumlah anggota kerabat semakin bertambah. Ini bermakna bahwa tanah (hasil sawah dan ladang) tidak lagi sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan keluarga karena kebutuhan pun berkembang seiring berkembangnya masyarakat.

Sebetulnya bukan hanya perempuan Minang yang memiliki keterbatasan untuk merantau, di beberapa daerah lain juga ditemukan perempuan dibatasi merantau, meskipun belum dikemukakan secara jelas terkait norma yang melarang. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, aktifitas merantaunya perempuan untuk bekerja dianggap kurang baik. Mursini (2009) yang meneliti tentang migran perempuan ke kota Batam mengemukakan, bahwa ada beberapa orang migran perempuan yang mengaku dipandang sinis oleh masyarakat di daerah asalnya ketika pertama kali merantau. Pandjaitan (1990) menemukan perempuan (terutama perawan) di desa Purwaraja, kecamatan Raja Desa, Ciamis, Jawa Barat yang terbatas keluar dari desanya lebih karena kehawatiran orang tua. Pandjaitan (1977), terkait perempuan Batak Toba yang merantau, menemukan bahwa Batak Toba mengenal yang namanya pekerjaan yang pantas dan tidak pantas untuk perempuan, terutama menyangkut apakah pekerjaan tersebut membuat perempuan tersebut harus berdekatan dengan orang lain yang bukan keluarga dekat atau suami, yang dianggap tabu dan melanggar adat Batak, karena secara adat tempat tinggal orang Batak Toba terbagi atas tempat tinggal untuk anak laki-laki, anak perempuan, orang tua, anak-anak yang masih kecil, dan tempat tinggal bagi tamu.

Apa yang dikemukakan Naim dan Hakimy dalam tulisannya tentang perempuan Minang menyiratkan bahwa bukan hanya soal identitas mereka sebagai perempuan makanya perempuan Minang terbatas untuk merantau (seperti halnya perempuan asal Purwaraja, Jawa Barat dan Batak Toba), tapi juga karena keutamaan serta martabat mereka sebagai perempuan Minang. Naim (1991; 2004) mengemukakan bahwa secara adat perempuan Minang merupakan figur sentral dalam rumah tangga. Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa perempuan Minang adalah seorang Bundo Kanduang, yakni seseorang yang memiliki prestise

atau martabat yang tinggi (mulia) serta memiliki “rasa malu” (malu berbuat hal

yang sumbang atau salah menurut adat dan agama). Akan tetapi sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, bagaimanapun perempuan Minang telah banyak yang ditemukan tinggal dan bekerja di luar daerah asalnya. Agustin (2007) bahkan menemukan perempuan Minang bekerja sebagai buruh dan PRT di luar negeri meskipun tidak banyak, dan umumnya meninggalkan daerah asal pada usia muda dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah. Agustin menambahkan bahwa mereka yang statusnya ilegal, sempat mengalami kekerasan fisik (jam kerja yang panjang dan menggunakan waktu libur sebagai jam kerja, dilarang makan serta dipaksa bekerja walau dalam keadaan sakit) dan psikis (direndahkan dengan kata-kata kasar dan bentakan, ancaman pelecehan seksual). Ini menandakan bahwa dalam perantauan (terutama keluar negeri), perempuan Minang telah mempertaruhkan martabat (harga diri dan nama baik)nya.

(19)

3 karena bukan saja soal kekhawatiran orang tua dan pandangan sinis masyarakat sekitar, tapi juga karena keutamaan dan martabat wanita Minang itu sendiri. Studi perempuan yang ada sejauh ini lebih banyak mengungkap sisi tidak pantas sekaligus akibat dari aktifitas merantau mereka, namun masih sangat sedikit yang mencoba memahami dan mempertanyakan dinamika (perubahan) yang terjadi selama proses perantauan perempuan Minang tersebut, khususnya dinamika ekonomi atau jatuh bangunnya mereka di perantauan, apakah mereka yang berhasil di rantau karena mereka perempuan Minang (dengan nilai-nilai yang masih mereka pegang), atau justeru karena profesionalitas (pendidikan, keterampilan, modal, dan lain-lain) yang mereka miliki.

Naim baru fokus pada ibu-ibu muda (mereka yang berstatus menikah) yang bekerja dan belum sampai pada perempuan Minang yang berstatus belum menikah, sementara yang merantau justru kebanyakan yang berusia muda dan berstatus belum menikah. Mursini meskipun memasukkan perempuan Minang dalam kajiannya, dan sempat mengungkapkan bahwa ada perantau yang dipandang sinis ketika awal merantau, namun baru sebatas pandangan keseluruhan, bukan terhadap perempuan Minang secara khusus. Penelitian untuk mengkaji secara khusus terkait nilai-nilai asli (identitas) perempuan Minang, apakah benar identitas perempuan Minang telah lemah bahkan hilang seiring perjalanan dan menetapnya mereka di rantau atau sebaliknya tetap kuat, perlu dilakukan.

Wiyono (2000) mengemukakan bahwa suku Minang merupakan salah satu suku yang ketika di daerah tujuan migrasi memiliki peluang kerja lebih tinggi dibandingkan suku yang lain. Wiyono baru sebatas menemukan bahwa suku Minangkabau paling mudah dalam memperoleh pekerjaan, sehingga perlu untuk mengkaji apakah ada yang membantu mereka sehingga mudah memperoleh pekerjaan atau secara khusus perlu mengkaji tentang interaksi sosial perantau perempuan Minang tersebut di daerah tujuan.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana dinamika perantauan perempuan Minang; mengkaji bagaimana tindakan rasional perantau perempuan Minang dan dampaknya pada nilai-nilai asli (identitas) perempuan Minang; serta mengkaji bagaimana interaksi sosial di antara perantau Minang membentuk kemampuan ekonomi perantau perempuan Minang.

Perumusan Masalah

(20)

4

Hakimy (2004) mengemukakan bahwa perempuan di Minang memiliki banyak keutamaan serta merupakan figur sentral di Minangkabau. Aktifitas merantau untuk bekerja yang dilakukan seseorang perempuan Minang dengan harapan untuk memperoleh imbalan di masa yang akan datang (berupa perubahan nasib, hingga terangkatnya harkat dan martabat sebagai perempuan Minang), jika digunakan konsepnya Weber, maka hal tersebut merupakan suatu pilihan tindakan yang memiliki makna, yang sebelumnya telah melalui pertimbangan yang matang karena akan berhadapan dengan identitas yang melekat pada diri perempuan Minang tersebut. Ini berada dalam kerangka bahwa dalam memahami identitas perempuan Minang apakah telah lemah ataupun hilang atau justeru sebaliknya identitas tersebut masih kuat. Untuk memahami nilai yang sedang diupayakan terwujud melalui merantau, harus memiliki variasi rasional dan bukan hanya didominansi oleh perasaan dan tradisi mengenai perempuan Minang duhulunya. Tujuan yang ingin dicapai (imbalan berupa perubahan nasib) merupakan suatu yang diprioritaskan oleh perempuan Minang di perantauan, ditengah nilai-nilai lainnya (identitas) yang harus tetap mereka pegang sebagai simbol harga diri mereka, maka bagaimana sebetulnya rasionalitas tindakan perempuan Minang perantau dan sejauhmana telah berdampak pada identitas perempuan Minang?

Wiyono (2003) mengemukakan bahwa perempuan Minang dan Jawa di daerah tujuan rantau memiliki peluang kerja yang lebih tinggi dibandingkan suku lainnya. Wiyono menambahkan, bahwa adanya peningkatan dari peluang bekerja perempuan Minang itu sendiri. Ini bermakna bahwa, kesempatan perempuan Minang untuk berhasil di rantau lebih besar dibandingkan suku lainnya. Asumsinya, ada faktor pendukung sehingga perempuan Minang memiliki peluang kerja yang lebih tinggi di bandingkan suku yang lainnya. Sementara itu, secara sosiologi faktor pendukungnya adalah karena adanya solidaritas antar perantau, yakni adanya perasaan tanggungjawab untuk saling membantu dan perasaan merasa berhak untuk memperoleh bantuan dari keluarga (kerabat) atau teman yang lebih dulu merantau, dengan adanya nilai adat yang mengajarkan bahwa sebagai orang Minang harus memiliki empati yang tinggi dan harus menjadi pribadi yang mampu melahirkan rasa kekeluargaan di rantau. Sikap saling membantu atau rasa solidaritas merupakan upaya untuk pencapaian tujuan bersama. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebetulnya interaksi sosial diantara perantau Minang tersebut, sehingga mampu membentuk kemampuan ekonomi perantau perempuan Minang?

Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini ingin menjawab beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah dinamika perantauan perempuan Minang?

2. Bagaimanakah rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan dampaknya pada identitas mereka sebagai perempuan Minang?

(21)

5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum ingin memberikan pemahaman mengenai dinamika perantauan perempuan pedesaan terutama terkait migrasi internal, karena sejauh ini masih banyak fokus pada migrasi Internasional. Secara khusus penelitian ini bertujuan menjawab setiap permasalahan yang telah dirumuskan, yakni:

1. Mengkaji dinamika perantauan perempuan Minang.

2. Mengkaji bagaimana rasionalitas tindakan perantau perempuan Minang dan dampaknya pada identitas mereka sebagai perempuan Minang.

3. Mengkaji interaksi sosial antar perantau yang telah berhasil membentuk kemampuan ekonomi perantau.

Manfaat Penelitian

Mengacu pada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Pada ranah akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah khususnya pada sosiologi ekonomi, dapat menambah pengetahuan terkait pengembangan ekonomi suatu komunitas atau etnis Minang dengan berbasiskan pada kinship (kekerabatan) meskipun telah menetap di daerah tujuan rantau; khususnya bagi perantau perempuan Minang asli Sumatera Barat yang secara nilai (simbol) memiliki kedudukan sosial yang tinggi di daerah asal.

2. Pada tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai: (a) Sarana untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan di daerah pedesaan, karena Statistik Indonesia mengemukakan bahwa aktifitas merantau merupakan salah satu konsekuensi ketimpangan pembangunan antara desa dan kota; (b) Bahan rujukan bagi perempuan merantau dari manapun daerahnya, bahwa ada peluang sukses dengan nyaman di negara sendiri dengan menjadi pengusaha (apapun tingkat pendidikannya), sehingga tidak lagi harus mengadu nasib di negara lain dengan segala ketidakadilan dan pertaruhan harga diri yang harus di tanggung.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan tentang Migrasi

(22)

6

suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik atau negara (migrasi internasional) untuk tujuan menetap atau relatif permanen.

Rusli (2012) berangkat dari apa yang dikemukakan Lee mengemukakan bahwa baik migrasi jarak dekat maupun migrasi jarak jauh senantiasa melibatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, serta faktor pribadi (seperti cepat lambatnya menerima perubahan), dan rintangan-rintangan antara (seperti jarak dan biaya transportasi); Setiap daerah memiliki faktor-faktor plus (faktor-faktor yang bersifat mengikat orang dalam suatu daerah atau memikat orang terhadap daerah tersebut; (2) faktor-faktor minus (faktor-faktor yang cenderung menolak mereka); dan (3) faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh menolak ataupun mengikat. Statistik Indonesia (2014) terkait faktor-faktor yang menyebabkan orang melakukan migrasi juga mengemukakan konsep terkait faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor); faktor pendorong tersebut antara lain : (1) semakin berkurangnya sumber-sumber kehidupan (seperti menurunnya daya dukung lingkungan); (2) menyempitnya lapangan pekerjaan (seperti semakin sempitnya lahan); (3) adanya tekanan-tekanan politik, agama, dan suku yang mengganggu hak asasi di daerah asal; (4) alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan; dan (5) bencana alam; sementara faktor penarik adalah : (1) adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk mempebaiki taraf hidup; (2) kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik; (3) kondisi lingkungan dan kehidupan yang menyenangkan (seperti fasilitas-fasilitas publik); (4) daya tarik kota besar. Data Statistik Indonesia juga berangkat dari empat faktor yang menjadi penyebab orang mengambil keputusan bermigrasinya Lee sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya.

Portes (2010) dalam bukunya yang berjudul “Economic Sociology” terkait aktifitas migrasi mengemukakan tentang kelompok imigrant, artinya Portes mencoba menekankan pada pola migrasi berkelompok. Portes juga membuktikan dengan ditemukannya para migran di daerah tujuan yang sering berkelompok, baik secara ekonomi (usaha yang digeluti rata-rata sama, hingga membentuk enclave ekonomi) maupun secara tempat tinggal (tinggal berkelompok pada suatu kawasan tertentu, hingga membentuk enclave tempat tinggal).

Hugo (1981) berangkat dari apa yang dikemukakan Germani Tahun 1965 mengemukakan bahwa karakteristik individu mempengaruhi keputusannya untuk berpindah; Karakteristik individu memiliki dua tipe, yakni : (1) sosial budaya (mencakup aspek umur dan jenis kelamin, serta aspek pekerjaan dan pendidikan) yang akan berhubungan dengan status sosial ekonomi; (2) kecerdasan dan ciri psikologi-sosial lainnya (berhubungan dengan sikap inovasi, aspirasi yang tinggi, kepemimpinan, dan kegemaran). Hugo menambahkan bahwa peran informasi

(faktor informasi) merupakan “pendorong” yang sangat kuat dalam proses migrasi

(23)

7 European Communities juga menambahkan bahwa keberadaan keluarga, teman dan hubungan sosial lainya juga erat hubungannya dengan informasi terutama terkait informasi perumahan, pekerjaan dan bantuan biaya perjalanan. Hugo (2003), dalam tulisannya tentang “Urbanisation in Asia (An Overview)”, juga memukan bahwa kesempatan kerja di kota menjadi faktor penarik tersendiri bagi masyarakat desa untuk datang ke kota.

Tinjauan tentang Merantau

Konsep merantau

Hugo (1981) mengemukakan bahwa merantau merupakan bentuk gerak penduduk (keluar dari desa) yang sifatnya non-permanent. Hugo juga menegaskan bahwa merantau ini soal lamanya ketidakhadiran seseorang di daerah asal, yang dimaksud ketidakhadiran berlanjut untuk jangka waktu 6 (enam) bulan atau untuk jangka waktu yang lebih lama.

Naim (1984) mengemukakan bahwa merantau merupakan suatu tipe tertentu dari migrasi yang cukup khas bagi situasi di Indonesia yang menjadikan daerah rantau sebagai alat untuk menjamin, memperbaiki dan memperkokoh kedudukan seseorang di daerah asalnya. Dari sudut sosiologi, menurut Naim seseorang baru dikatakan merantau apabila yang bersangkutan meninggalkan kampung halamannya (daerah asal) atas kemauan sendiri. Merantaunya orang Minang menurut Naim baik dalam jangka waktu yang lama maupun tidak, umumnya dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau untuk tujuan mencari pengalaman. Namun merantau dalam konsepnya Naim adalah merantau yang biasanya dengan maksud kembali pulang, sebagaimana yang diungkapkan Naim bahwa merantau telah melembaga di tengah-tengah kehidupan sosial di Minang, artinya aktifitas merantau telah membudaya, dan dengan merantau

laki-laki Minang diharapkan mampu “memberi guna” di kampung. Pelembagaan

merantau membedakan antara perantau Minang dengan perantau dari suku

lainnya. Naim (1984) juga mengemukakan bahwa “merantau” sendiri sebetulnya berarti “migrasi”, tapi merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah didefenisikan ke dalam bahasa inggris atau bahasa Barat mana pun. Ciri khas merantau adalah atas dasar kemauan sendiri, oleh Rusli (2012) dikemukakan bahwa mereka yang meninggalkan tempat tinggalnya karena keputusan sendiri biasanya lebih karena alasan pekerjaan atau mencari pekerjaan serta ada juga untuk alasan pendidikan dan lain-lain.

Istilah merantau tidak hanya ditemukan pada suku Minang, tapi juga pada

suku lain sebagaimana yang dikemukakan Naim (1984) dalam buku “merantau”

nya, yakni selain suku Minang ada 9 daerah lain yang disebutkan Naim, yaitu ; Batak, Banjar, Bugis, Menado, Ambon, Bawean, Jawa, Bali dan Aceh. Akan tetapi hanya Minangkabau yang merantau karena alasan pelembagaan sosial dan dengan intensitas merantau paling tinggi.

(24)

8

geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis dengan melibatkan perubahan tempat tinggal (dari tempat asal ke tempat tujuan). Data Statistik Indonesia mengemukakan bahwa konsep migrasi merupakan perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik atau negara (migrasi internasional) untuk tujuan menetap atau relatif permanen.

Benang merah yang dapat diambil bahwa yang dikategorikan sebagai perantau jika ditinjau dari daerah tujuan rantau adalah: (1) mereka yang tempat kelahirannya berbeda dengan daerah tempat tinggalnya sekarang, dan sudah tinggal di sana dalam jangka waktu yang lama ataupun sebentar; (2) memiliki tujuan dan harapan tertentu terhadap daerah tujuan; (3) memiliki alasan yang membuat mereka harus pergi ke (tinggal di) daerah tujuan.

Masyarakat Minang sebagai Masyarakat yang Dinamis

Makna dinamika masyarakat

Soekanto (1990) mengemukakan bahwa dinamika berbicara soal perkembangan serta perubahan, baik yang sifatnya (1) tidak mencolok (stabil), (2) cepat dan tanpa pengaruh dari luar, (3) cepat karena pengaruh dari luar, dan (4) mencolok (tidak stabil). Perubahan tersebut bisa terjadi karena perubahan situasi (keadaan tempat hidup). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dinamika secara umum menggambarkan perkembangan yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan dikarenakan perubahan-perubahan situasi (tempat hidup). Abdullah et.al (2009) mengemukakan bahwa masyarakat adalah sebuah entitas yang bergerak tanpa henti, dan tidak mungkin ada masyarakat yang tidak memiliki tendensi untuk selalu berreposisi untuk menentukan masa depannya. Jenkins (2001) cit Abdullah et al. (2009) menambahkan bahwa menurut istilah Pierre Bourdieu, dinamika mencerminkan adanya sebuah struktur yang mengalami proses in dan out sehingga struktur tersebut berada pada posisi yang tidak stagnan. Adapun masyarakat dalam teori modernisasinya Thomas Khun (1970) dalam Ritzer dan Goodman (2008) adalah seperti gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan masyarakat

Berubahnya suatu kehidupan sosial mencakup banyak hal yang salah satunya berkaitan dengan fenomena sosial, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan. Adapun enam komponen yang berubah yakni: (1) identitas

Orientasi masa lalu

Orientasi masa depan

(25)

9 (terkait apa yang berubah); (2) level (Individu, kelompok, organisasi, institusi, community); (3) Time atau lamanya perubahan (long-term/short-term); (4) Arah perubahan (Progress (maju/berkembang), decline (menurun/menolak), linear (datar), cycles (siklus), stages (bertahap); (5) besaran/ magnitude (besar, kecil); dan (6) kecepatan/laju (cepat atau lambat).3 Selain komponen tersebut, maka perubahan tersebut juga berfokus pada pada perubahan nilai (culture/simbol). Dapat diambil benang merah bahwa dalam memahami suatu dinamika masyarakat yang perlu diamati adalah perubahan yang ingin dilihat dalam masyarakat yang bersangkutan (dengan terlebih dahulu membuat batasan waktu), dalam hal struktur sosial (berangkat dari posisi, status dan peran) dan culture (nilai, norma). Dinamika suatu masyarakat perlu dipelajari untuk mengetahui realitas kehidupan masyarakat yang bersangkutan, terutama untuk melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Simbol keutamaan dan martabat perempuan minang sebagai lambang kedinamisan masyarakat minangkabau

Pepatah adat yang menggambarkan susunan masyarakat di Minangkabau sebagai berikut:

Inggirih bakarek kuku, pangarek pisau sirawik, pangarek batuang tuonyo,

batuang tuo ambiak ka lantai. Nagari bakampek suku, dalam suku babuah

paruik, kampuang diagiah batuo, rumah dibari batungganai” (Hakimy

2004:119)

Masyarakat merupakan himpunan atas suku-suku atau beberapa keluarga saparuik (seibu), dengan ketentuan:

Kemenakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, penghulu

barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo, nan

manuruik aluah jo patuik” (Hakimy 2004:119)

Pepatah adat tersebut menurut Hakimy (2004) memberi makna bahwa suatu kaum disetiap paruik di Minangkabau diurus oleh mamak, dan di atas mamak ada penghulu (datuak) yang keputusannya adalah keputusan bersama (musyawarah), karena penghulu berpedoman kepada syara‟ (agama).

Masyarakat dibangun untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan, seperti yang tergambar dalam pepatah adat:

Bumi sanang padi manjadi, padi kuniang jaguang maupiah, taranak

bakambang biak, anak buah sanang santoso, bapak kayo mandeh barameh,

mamak disambah urang pula” (Hakimy 2004:119)

Pepatah-petitih merupakan salah satu peraturan adat teradat, yang dibuat bersama-sama oleh para ninik mamak (pemangku adat dalam suatu nagari).

3

(26)

10

Peraturan adat teradat harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, seperti yang disebut dalam pepatah:

Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain belalangnyo, baadat sapanjang

jalan, bacupak sapanjang batuang” (Hakimy 2004:120)

Rumah gadang adalah tempat bermufakat atau tempat lahirnya filsafat alam pikiran Minangkabau yang mashur (petatah-petitih), serta demokrasi menurut “alua jo patuik ” (alur dan patut atau seharusnya) sebagai lambang konsekwen

dalam melaksanakan demokrasi. Atap Rumah Gadang Minangkabau bergaya

“tajam dan runcing ke atas” merupakan gaya pergas yang tangkas dalam seni

bangunan khas alam Minangkabau yang melambangkan sifat rakyatnya yang dinamis, bekerja keras dan bercita-cita luhur untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Rumah gadang yang merupakan lambang adat di Minangkabau diperuntukkan untuk perempuan, sehingga perempuan Minang harus mampu mengkoordinir segala yang ada di dalam maupun di luar, bahkan sekelilingnya. Hal ini merupakan salah satu simbol (norma) tingginya posisi dan peranan serta sangat diutamakannya perempuan di Minangkabau.4

Kedudukan perempuan di Minang

Parameter kedudukan perempuan Minang adalah: kedudukan sosial, kedudukan politik, kedudukan ekonomi dan pemilikan harta, penguasaan terhadap anak dan keturunan, pengaturan rumah tangga, pemilikan hak asasi, pemilikan harga diri, kebebasan menentukan pilihan sendiri, serta kebebasan bergerak. Perempuan Minang secara fungsional berada pada posisi (kedudukan) tinggi atau memiliki harkat dan martabat yang tinggi secara simbol (norma) di Minangkabau. Perempuan Minang dikenal dengan istilah bundo kandung yang

artinya “ibu sejati”, melambangkan sifat keibuan dan kepemimpinan (Naim 1989). Harkat dan martabat perempuan Minang yang dikemukakan Naim tersebut, banyak diterangkan oleh Hakimy.

Nan gadang basa batuah, kaunduang-kaunduang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo” (Hakimy 2004: 24); menurut Hakimy perempuan dipandang mulia dan memegang fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau; perempuan adalah lambang kebanggaan dan kemuliaan yang dihormati, diutamakan, serta dipelihara; perempuan sebagai orang yang dihormati dan dimuliakan pun harus bertanggungjawab memelihara diri dan mendudukkan diri sendiri, seperti yang tertuang dalam pepatah.

Ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka rusak, jago limbago nan ka sumbiang” (Hakimy 2004: 81); menurut Hakimy bermakna bahwa perempuan adalah anggota yang melengkapi suatu masyarakat yang tanpanya tidak akan semarak; perempuan Minang kedudukannya sangat penting untuk menyambung keturunan, agar lingkungan yang bertali darah tidak punah; perempuan Minang sebagai penyambung keturunan harus menjaga nama baiknya (martabatnya).

Jan taruah bak katidiang, jan baserak bak anjalai, kok ado rundiang banan batin, patuik baduo jan batigo, nak jan lahia di danga urang” (Hakimy 2004: 82); menurut Hakimy pepatah tersebut bermakna bahwa seorang perempuan di Minangkabau harus memiliki faham, pandai dan berhati-hati dalam bergaul; hal

4

(27)

11 ini harus dihayati baik dalam kehidupan di dalam maupun di luar rumah tangga; tingginya prestise dan martabat seorang wanita dalam pandangan umum dilambangkan dengan sikap kehati-hatian dalam segala perbuatan dan tingkah laku, sehingga mampu mempertahankan rasa malu di dalam dirinya; perempuan Minang juga harus berilmu pengetahuan dan bermakrifat (taat beragama).

Maha tak dapek dibali, murah tak dapek dimintak, takuik paham ka tagadai, takuik di budi ka tajua...” (Hakimy 2004: 83); menurut Hakimy perempuan menurut adat di Minangkabau harus ramah dan rendah hati, serta tidak angkuh dan sombong. Perempuan Minang harus mampu menjaga kehormatannya yang dibentengi sifat malu dan sopan serta budi pekerti yang mulia.

Hakimy (2004) mengemukakan bahwa bundo kanduang dengan kaum laki-laki punya hak yang sama dalam bermusyawarah di Minangkabau; Pendapat wanita menurut adat sangat menentukan lancar tidaknya suatu yang akan dilaksanakan di dalam lingkungan kaum dan pesukuan; Perempuan berperan dalam menyepakati atau menyetujui setiap keputusan dalam musyawarah, belum sah jika salah seorang dari anggota kaum belum menyetujui; Keputusan yang memerlukan musyawarah seperti kenduri untuk mengawinkan anak, mendirikan gelar pusaka (gelar penghulu) dalam kaum, serta dalam mempergunakan harta pusaka sesuai dengan fungsinya guna kepentingan bersama (seperti: gadai dan hibah).

Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa sumber ekonomi (sawah-ladang) diutamakan bagi perempuan di Minangkabau, karena laki-laki punya kemampuan dan kebebasan yang lebih luas dibandingkan perempuan, maka laki-laki ditugaskan mengurus dan mengawasi sawah-ladang; Pemanfaatan sumber-sumber ekonomi yang diserahkannya kepada perempuan yang dalam pelaksanaannya dibantu laki-laki, adalah demi terjaminnya kelangsungan hidup matrilineal di Minangkabau; ini juga menjadi lambang penghormatan dalam memuliakan kaum perempuan.

Sigai mancari anau, anau tatap sigai baranjak” (Hakimy 2004:72); menurut Hakimy ini bermakna bahwa peraturan adat mengutamakan rumah tempat kediaman untuk perempuan yang menjadi bukti keutamaan perempuan di Minangkabau; Orang Minang erat dengan istilah pulang kerumah urang gaek (rumah ibu) atau ke rumah istri, seperti yang digambarkan pepatah; Perempuan tidak diperbolehkan tidur sembarangan, karena dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang akan merusak nama baik kaum; Lebih dari itu, mengingat pentingnya peran wanita dalam hidup dan kehidupan di Minangkabau, maka adat mengutamakan perlindungan terhadap kaum wanita, sesuai dengan ketentuan adat yang dikemukakan Hakimy (2004 :73) yaitu “Nan lamah ditueh, nan condong ditungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang”.

(28)

12

muliakan, segala perbuatan asusila terhadap perempuan merupakan kesalahan yang sangat besar dan tercela sekali, bahkan laki-laki (suami) yang berbuat kesalahan (misalnya selingkuh) dan telah menyakiti hati perempuan, akan diusir oleh kaum yang perempuan dari rumah serta dari lingkungan kaum perempuan tersebut, dan akan sulit menemui anaknya; Perempuan di Minangkabau sejatinya bertanggungjawab sebagai istri, pendidik, dan sebagai penyambung keturunan, sehingga seorang perempuan di Minang harus memelihara, mempersiapkan dan melatih dirinya agar dihormati dalam kaum; seorang perempuan menurut adat Minangkabau lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkannya, mau jadi apa generasinya kedepannya perempuan adalah penentunya, seperti pepatah yang disampaikan Hakimy (2004:72): Kalau karuah aia di hulu, sampai ka muaro karuah juo, kalau kuriek induaknyo, rintiak anaknyo, tuturan atap jatuah ka palambahan”.

Hakimy (2004) juga mengemukakan bahwa perempuan adalah pengatur keuangan (bendahara rumah), karena perempuan terkenal lebih ekonomis dalam kesehariannya dibandingkan laki-laki, sehingga oleh hukum adat dipercayakan untuk memegang dan menyimpan hasil sawah dan ladang, serta pada perempuan pulalah terpegang kunci ekonomi tersebut; Keberadaan rangkiang sebagai tempat menghimpun dan menyimpan hasil sawah dan ladang di depan rumah gadang yang ditempati oleh bundo kanduang merupakan lambang bahwa perempuan di Minang di posisikan sebagai pengelola harta kaum.

Posisi perempuan di Minangkabau ini, tergambar dalam pepatah adat yang disampaikan Hakimy (2004:74): “umbun puruak pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian...”, menurut Hakimy perempuan sebagai penyimpan hasil ekonomi (bendahara) atau perempuan pengatur keuangan keluarga. Laki-laki sendiri merupakan tulang punggung yang kuat bagi kaum wanita. Perempuan juga punya peranan sebagai seorang istri, yakni menghadapi suami lahir dan batin, sebagai teman hidup di dunia dan akhirat, mengikuti perkembangan jiwa suami, serta mendorongnya untuk giat mencapai kebahagiaan bersama.

“...manyurua babuek baik, malarang babuek nan mungka... (Hakimy 2004: 96); menurut Hakimy ini bermakna bahwa perempuan sebagai seorang ibu merupakan pendidik utama bagi anak-anaknya, seperti yang diungkapkan pepatah:. Perempuan punya tanggungjawab untuk menghasilkan generasi yang pintar dan beraklak mulia, yang dilambangkan dengan Limpapeh rumah nan gadang. Ini bermakna bahwa perempuan sebagai pendidik, pembimbing dan penggembleng anak dan semua anggota keluarga dalam rumah tangga dan tali temali (seperti bako, baki, handan pasumandan, dan sebagainya). Hal ini juga dikarenakan perempuan sebagai pusat terhimpunnya atau terpusatnya beberapa fungsi ilmu, sifat dan kecakapan secara bulat, yang dilambangkan dengan pusek jalo kumpulan tali.

Batasan perempuan Minang dalam bersikap dan bergerak

(29)

13 pergaulan; Perempuan Minang harus berhati-hati dalam segala perbuatan dan tingkahlaku yang dapat menghilangkan rasa malu di dalam diri; Seorang perempuan yang jatuh martabatnya dalam pandangan umum, menurut adat di Minangkabau akan merusak nama perempuan secara keseluruhan.

”...Manaruah malu jo sopan, manjauhi sumbang jo salah... manaruah malu dengan sopan..., labih kapado pihak laki-laki..., takuik di budi katajua, malu di paham katagadai...” (Hakimy 2004:106); menurut Hakimy ini bermakna bahwa perempuan Minang harus sopan dan menjauhi sikap yang tidak pada tempatnya, terutama harus mengetahui batas-batas pergaulan dengan laki-laki; Perempuan Minangkabau diajarkan untuk takut akan harga diri (wibawa) akan jatuh; Perempuan (terutama yang masih gadis) dalam pergaulan harus hati-hati terutama pergaulan dengan laki-laki, perempuan jangan bergaul bebas; Perempuan Minang terkenal memiliki malu, jangankan dengan laki-laki yang bukan keluarganya, dengan saudara laki-laki kandungnya perempuan Minang punya batas-batas tersendiri, seperti yang diajarkan adat: (a) tapakai taratik dengan sopan (sikap yang baik dan sopan), (b) memakai baso jo basi (tahu dengan basa basi), (c) memakai raso jo pareso (punya rasa kepedulian), (d) manaruah malu jo sopan manjauhi sumbang jo salah (menanamkan rasa malu dan sopan), (e) muluik manih baso katuju (mulut manis), (f) pandai bagaua samo gadang (pandai bergaul sama besar), (g) mamakai malu samo gadang, lebih kapado laki-laki (memakai malu dengan yang sama besar, terutama dengan laki-laki), (h) takuik di budi katajua, takuik di paham katagadai (takut hilang harga diri), (i) malatakkan suatu ditampeknyo (meletakkan sesuatu pada tempatnya), (j) bulieh ditiru dituladan (agar bisa dijadikan panutan). Ketika seorang perempuan pintar dalam menempatkan sikap sesuai pada tempatnya, dengan dasar bahwa sebagai perempuan tidak ingin kewibawaannya tergadai, maka sudah barang tentu perempuan tersebut akan disegani dan dijadikan panutan.

Identitas Sosial dan Identitas Diri

Identitas sosial

Baron dan Byrne (2004) berdasarkan beberapa pendapat para ahli kemudian

menyimpulkan bahwa identitas sosial sebagai “definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk didalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain, seperti gender dan ras”; empat dimensi identitas sosial yang dipahami Baron dan Byrne dari Jacson dan Smith (1999) yang kemudian juga dapat dipahami disini adalah: (1) antar kelompok (hubungan antara in-group seseorang dengan group yang lainnya); (2) daya tarik in-group (afek yang ditimbulkan); (3) keyakinan yang sama (nilai menghasilkan tingkah laku ketika mencapai tujuan yang sama); (4) depersonalisasi (memandang diri sendiri bukan sebagai individu yang unik, tapi sebagai contoh dari kategori sosial).

(30)

14

Identitas diri

Baron dan Byrne (2004) berdasarkan beberapa pendapat para ahli kemudian

menyimpulkan bahwa: “konsep diri adalah identitas diri seseorang sebagai sebuah skema dasar yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri yang terorganisir; konsep diri subjektif merupakan kemampuan organisme untuk membedakan dirinya dari lingkungan fisik dan sosialnya; dan

kesadaran diri objektif merupakan kapasitas organisme untuk menjadi objek perhatiannya sendiri, kesadaran akan keadaan pikirannya dan mengetahui bahwa ia ingat”. Baron dan Byrne menambahkan bahwa faktor yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perubahan pada konsep diri; saat membandingkan diri dengan orang lain apakah yang lebih baik atau lebih buruk dari dirinya, dapat berpengaruh positif ataupun negatif tergantung apakah orang lain tersebut orang asing, anggota dari in-group, sahabat dekat, atau keluarga.

Baron dan Byrne (2004) mengemukakan bahwa gender merupakan komponen lain dari identitas diri setelah self; gender merujuk pada tingkah laku, karakteristik kepribadian, serta harapan yang dihubungkan dengan jenis kelamin secara biologis dalam sebuah budaya yang ada; dan gender diciptakan oleh faktor lingkungan; konsep diri yang melibatkan identifikasi seseorang berdasarkan jenis kelamin disebut identitas gender; dan orang tua pun akan akan bertingkah laku tertentu terhadap gender tertentu tanpa disadari; sehingga setiap orang mengalami perkembangan dan belajar memberi label pada diri sendiri dan orang lain sebagai laki-laki atau perempuan, dan identitas gender sebagai bagian konsep diri, hingga mengadopsi sebuah peran gender berdasarkan streotipe gender dalam budayanya. Identitas diri perempuan Minang

(31)

15 perlu memiliki pengetahuan tentang kemasyarakatan menurut adat yang senantiasa mempunyai sistem secara bersama yang dilandasi budi luhur sesamanya; Pengetahuan tentang kekeluargaan menurut adat adalah yang berkait-kait satu sama lain, yang terdiri dari unsur-unsur seperti: ibu-bapak, mamak (paman), adik-adik, cucu-nenek, ipar-bisan, sumando, handan-pasumandan, bako-baki, dengan sistem kekerabatan yang erat. Sistem kekerabatan tersebut harus terbawa dimanapun perempuan Minang tersebut berada, mereka harus tahu siapa dunsanak yang akan menjadi tempat mengadu.

Label perempuan Minang tersebut agar tetap tersemat pada diri perempuan Minang, maka Hakimy (2004) juga mengemukakan mengenai perilaku sumbang (salah) bagi perempuan di Minangkabau (ada 12 bagian) yang harus dihindari seorang perempuan Minang, 3 (tiga) hal diantara: (1) sumbang perjalanan, perempuan Minang (baik gadis maupun bersuami) sumbang melakukan perjanan dengan orang (terutama laki-laki) yang bukan muhrim (keluarga) nya; perjalanan yang dinilai sumbang terutama perjalanan dalam waktu-waktu yang tidak wajar (seperti tengah malam atau jauh), terutama yang dilakukan seorang diri atu ditemani laki-laki yang bukan keluarga; Jika dibawakan ke kondisi sekarang, maka yang dianggap sumbang adalah perjalanan yang memungkinkan perempuan tersebut kemalaman di jalan, terutama yang melakukannya dengan sendiri-sendiri; (2) sumbang diam, perempuan Minang sumbang jika diam di tempat laki-laki lain, diam tanpa ada yang menemani (oleh yang lebih tua umurnya); Perempuan Minang sumbang diam bermalam di rumah orang yang bukan familinya, jika dibawakan ke kondisi sekarang, maka perempuan Minang di daerah tujuan rantau diharuskan tinggal di rumah keluarga atau kerabat ketika awal sampai di rantau; (3) sumbang pekerjaan, perempuan Minang dinilai sumbang jika mengerjakan sesuatu yang umumnya dikerjakan oleh laki-laki, seperti pekerjaan yang sulit-sulit dan berat, memikul yang berat, melompat, berlari, memanjat; Ini diukur juga dengan mungkin dan patut sesuai situasi dan kondisi. Perempuan adalah yang diberikan keutamaan (kemuliaan dan penghormatan) oleh adat, salah satunya pekerjaan yang ringan-ringan dan mudah.

Identitas perempuan Minang ditandai dengan tingkah laku berikut: (1) menjaga agar tidak melakukan perjalanan jauh tanpa ditemani oleh keluarga (menghindari perjalanan sumbang); (2) mengutamakan tinggal dengan keluarga atau kerabat di daerah tujuan rantau (menjauhi sumbang diam); (3) menjaga agar tidak melakukan pekerjaan fisik (yang umumnya dilakukan laki-laki) yang akan menjatuhkan harga dirinya (menghindari sumbang pekerjaan) yang dapat dilihat pada kondisi berikut; (4) menjaga tradisi pulang kampung (tradisi pulang ke rumah gaek atau Rumah Gadang); (5) mengutamakan berinteraksi dengan keluarga atau kerabat (menjaga hubungan kekeluargaan dan kekerabatan). Identitas ini akan dilihat mulai dari perjalanan menuju rantau hingga setelah menetap di rantau.

Penelitian Terdahulu: Kasus Merantaunya Perempuan

(32)

16

nafkah dalam keluarga, ditunjukkan bahwa kegiatan dagang yang dilakukan perempuan Batak Toba (inang-inang) pada kenyataannya telah menjadi sumber ekonomi utama dalam keluarga, terutama berkontribusi pada pendidikan anak-anak mereka; mereka punya tiga tujuan hidup (misi budaya), yaitu hagabeon (keturunan yang baik), homoroan (kekayaan) dan hasangapon (agar dihormati atau dihargai); pendidikan merupakan satu-satunya cara mencapai “hidup yang

mulia atau terpandang”, sehingga aktifitas dagang yang dilakukan perempuan Batak Toba telah mengantarkan mereka untuk mencapai tujuan budaya tersebut, ditandai dengan kemampuan mereka untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka.

(33)

17 untuk bekerja di tempatnya. Keberadaan jaringan mover ini penting bagi gerak penduduk sirkulasi terutama untuk pekerjaan yang membutuhkan kerjasama 2 (dua) orang atau lebih.

Rianty et al. (2004) melakukan penelitian tentang “Merantau Sebagai Refleksi Ideologi Gender Pada Masyarakat Motean, Desa Ujungalang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah”. Motean adalah sebuah pulau di Jawa Tengah, disana yang merantau adalah para gadis, akan tetapi masih sangat sedikit dan sifatnya ikut-ikutan demi melihat perempuan di sebelah desanya merantau. Kebanyakan dari gadis Motean bekerja sebagai pekerja rumah tangga, terutama di pulau Jawa (Jakarta dan Bandung khususnya). Ketika merantau ke Malaysia, Gadis Motean memilih sebagai buruh pabrik atau industri, namun tidak ada yang mau merantau ke Batam karena menurut mereka sedikit pekerjaan yang bisa dilakukan perempuan di Batam, justeru laki-laki dari Motean lah yang banyak mengisi lapangan kerja di Batam. Gadis Motean yang merantau kebanyakan adalah remaja yang putus sekolah (baik karena tidak ada biaya maupun karena tidak ingin melanjutkan sekolah). Mereka memilih merantau karena di daerah asal tidak ada pekerjaan, menganggur dan tidak ada masa depan. Gadis Motean termotivasi merantau lebih banyak karena ingin membantu orang tua, salah satunya ditandai dengan adanya upaya untuk membangun rumah di daerah asal. Adapun alasan pulangnya mereka ke daerah asal sering karena adanya tekanan dari keluarga yakni dijemput oleh ayah atau tunangannya. Riyanti et.al menambahkan bahwa wanita yang merantau ketika pulang ke daerah asal akan memperlihatkan perbedaan dari cara berpakaian, gaya bahasa maupun warna kulit.

Budijanto (2011) meneliti tentang “Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan wanita migran bermigrasi ke kota Malang”. Budijanto menemukan bahwa oleh karena berpendidikan rendah, kurang pengalaman, dan kurang bekal keterampilan lah maka wanita migran umumnya mendominasi sektor formal yang memang memungkinkan untuk menampung mereka, yakni sejumlah 84 persen (berdasarkan data Tahun 2010). Wanita pada kelompok usia sekolah SLTP dan SLTA sudah bisa mengambil keputusan untuk bermigrasi dengan inisiatif sendiri, yakni tidak banyak dari mereka yang memerlukan pertimbangan orang lain. Ada tiga alasan yang mendorong dan menarik wanita untuk melakuan migrasi, yaitu: (1) sulitnya mencari pekerjaan di daerah asal, (2) rendahnya upah kerja di daerah asal, dan (3) lebih tingginya upah kerja di daerah tujuan. Wanita migran kebanyakan telah berstatus menikah, dengan usia potensial 20 hingga 49 tahun dengan beban tanggungan keluarga lebih dari 3 orang. Status perkawinan sendiri sebetulnya sangat berpengaruh terhadap migran yang bermigrasi atas inisiatif sendiri ini, sehingga yang bermigrasi juga ditemukan adalah wanita muda yang lebih karena sempit dan terbatasnya lapangan kerja yang tersedia di daerah asal. Meskipun demikian, Budijanto tetap menekankan bahwa sebetulnya keputusan bermigrasi tidak ada hubungannya dengan ada tidaknya kesempatan kerja.

Naim (1979) membuat tulisan tentang “Mobilitas Penduduk Minangkabau”

(34)

18

migrasi horizontal (dari satu desa ke desa lain), yakni berjualan di pasar yang sifatnya mengikuti perputaran pekan dalam hal penjualan makanan, sayuran dan ada juga yang berjualan pakaian jadi dan kerajinan tangan. Intinya semakin kecil modalnya maka makin banyak wanita yang bergerak di dalamnya, dan masih terjadi dalam jarak yang masih pendek.

Naim (1983) menulis tentang “Wanita minangkabau Dan lapangan kerja” yang disampaikan pada simposium tanggal 7 April 1983 di Hotel Indonesia,

Jakarta mengenai “Peranan Adat Istiadat dan Kebudayaan Minangkabau terhadap Kehidupan Wanita”. Naim mengemukan bahwa konsekuensi dan imbalan dari pendidikanlah sesungguhnya yang membuat wanita banyak keluar rumah (merantau). Pendidikan telah menyiapkan anak-anak menjadi orang kota. Sehingga wanita menjadi sama dengan laki-laki, dan dunianyapun makin luas, seluas dunia laki-laki itu pula. Bukti bahwa adat Minang tidak bisa lagi bertahan karena perubahan dari dalam sendiri maupun pengaruh-pengaruh yang lebih besar

yang datang dari luar. Wanita Minang yang dikatakan sebagai “limpapeh,

amban puruak (penyimpanan harta pusaka)” dan “sumarak rumah nan gadang yang bekerja di rumah, konsekuensinya juga akan memudar karena hanya bisa hidup dalam struktur lama yang didasarkan kepada kehidupan berkaum dan bersuku. Jika sendi-sendi dasar ini betul yang sudah mulai berubah, maka fungsi-fungsi tersebut dengan sendirinya juga akan berubah. Padahal di dunia kerja pun wanita dijadikan warga kelas dua, mereka banyak ditemukan di pabrik-pabrik dari yang semi-mekanik kepada yang serba moderen sekalipun yang umumnya sangat membosankan, sangat repetitif (bersifat pengulangan), dan wanita diperlakukan layaknya alat.

Naim (1989) menulis tentang “Pergeseran Fungsi Wanita di Minangkabau” yang telah disampaikan pada Kegiatan Studi Wanita (KSW) IAIN Imam Bondjol

dalam diskusi panel terkait “Pergeseran Fungsi Wanita di Minangkabau”. Naim mengemukakan bahwa semakin terbukanya peluang untuk memperoleh pendidikan yang lebih luas dan tinggi maka yang keluar dari desa-desa bukan lagi hanya pria tapi juga wanita. Nilai fungsional (sesuai harkat dan martabat) membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh bagi wanita maupun laki-laki. Apakah pergeseran a priori identik dengan progres?. Yakni terkait kualitas pergeseran (Menurunkan atau meningkatkan harkat dan martabat wanita). Harkat dan martabat atau kedudukan menyangkut soal kedudukan sosial, kedudukan politik, kedudukan ekonomi, pemilikan harta, penguasaan terhadap anak dan keturunan, pengaturan rumah tangga, pemilikan hak asasi, pemilikan harga diri, kebebasan menentukan pilihan sendiri, kebebasan bergerak. Kualitas pergeseran akan terlihat dari mana yang lebih tinggi harkat dan martabat atau kedudukan perempuan Minang yang di kota atau di desa akan memberi arti penting pergeseran fungsi itu sendiri. Semakin cepat proses modernisasi dan semakin meningkatnya harkat dan martabat maka akan semakin banyak perempuan yang keluar dari desanya. Kesenjangan perkembangan dan kemajuan sektor industri dan jasa antar desa dan kota pun menyebabkan arus ke kota dan daya tarik kota semakin kuat. Wanita tidak hanya memasuki bidang yang selama ini dimasuki laki-laki, tapi bidang iu sendiri juga bervariasi baik secara horizontal maupun vertikal.

(35)

19

dan Universitas Ekasakti tertanggal 4 Juli 1991 di Padang terkait “Wanita di Mata Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat”. Naim mengemukakan bahwa dalam melihat wanita Minangkabau ada dua hal yang harus diklarifikasi yakni: siapa wanita Minangkabau tersebut dan apa batasan waktunya (dulu, kini, atau esok). Dulu wanita di Minang sebagai figur sentral dalam rumah tangga, dan secara material mereka terjamin karena sawah yang tersedia melebihi kebutuhan pokok yang waktu itu juga relatif terbatas. Tahun 1991 hasil sawah tidak lagi mencukupi untuk memelihara kaum perempuan seiring dengan tuntutan kehidupan yang semakin tinggi (seperti faktor pendidikan dan tuntutan kehidupan modern), sementara sawah hanya bisa bertahan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan semata. Esoknya manusia berupaya mengejar dan mencari kesenangan hidup didunia yang sifatnya materialistik tak terkecuali wanita, sekaligus didukung oleh gencarnya gender revolution. Dengan demikian wanita harus dikembalikan pada kodratnya sebagaimana yang digariskan agama padanya karena penyimpangan hanya akan berarti bencana dan ketidakstabilan dalam kehidupan dunia ini.

Wiyono (2003) meneliti tentang “Efek Jenis Migrasi pada Status Sosial Ekonomi Perempuan Indonesia : Penerapan Two-Part Model”. Wiyono menemukan perempuan yang bermigrasi secara individu (baik yang statusnya kawin maupun yang statusnya tidak kawin) peluang untuk bekerja lebih besar daripada perempuan tidak (non) migrasi individu. Perempuan desa lebih luwes dalam memasuki kerja sehingga peluang kerjanya lebih tinggi dibandingkan perempuan kota. Suku Minang dan Jawa merupakan suku yang memiliki peluang kerja yang lebih tinggi di bandingkan suku yang lain, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap status sosial ekonomi. Berdasarkan estimasi terbukti bahwa peluang untuk bekerja perempuan Minang 1,404 kali perempuan suku lainnya. Dilihat dari efek marjinal terlihat bahwa peluang untuk bekerja perempuan Minang meningkat menjadi 8,18 persen. Akan tetapi, meskipun demikian perempuan memiliki usia probabilitas usia puncak kerja yakni umur 44 tahun.

Naim (2004) menulis tentang “Wanita, Tuntutan Kerja dan Rumah Tangga”. Naim mengemukakan bahwa ibu-ibu muda yang bekerja dengan segala peraturan dunia kerja merupakan sebuah masalah yang berdampak pada anak-anak, karena sering mengorbankan anak-anak yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih darinya. Anak-anak tumbuh menjadi anak yang pembangkang, pembentak, serta memperlakukan ibunya sebagai pesuruh dengan bahasa tubuh yang memperlihatkan ketidaksenangan. Sehingga penghasilan tambahan dan keuntungan material yang diharapkan justeru menimbulkan kerugian. Menurut Naim ini merupakan wujud kerusakan generasi dan kerancuan struktural dalam rumah tangga dan masyarakat yang perlu diperbaiki. Banyak pekerjaan alternatif yang bisa menghasilkan uang yang bisa dikerjakan di rumah oleh perempuan tanpa harus meninggkan balita.

(36)

20

lebih dulu ada di Batam (chain migration/ migrasi berantai). Terutama bagi perempuan muda, keberadaan peran keluarga di daerah tujuan sangat penting dalam mempertimbangkan keberangkatan karena kekhawatiran dan keamanan untuk terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga yang ditinggalkan di daerah asal terutama orang tua. Disamping di Batam memang banyak lapangan kerja yang terbuka untuk wanita dan tidak menuntut keterampilan khusus, harapan suatu waktu bisa keluar negeri karena dekatnya kota Malaysia dan Singapur dari Batam juga menjadi alasan tersendiri dijadikannya Batam sebagai daerah tujuan migrasi. Migran mandiri, sumber dananya secara umum berasal dari hasil mereka bekerja sebelumnya dan ada juga yang dari orang tua, sedikit yang membiayai proses migrasinya dari pinjaman. Migran mandiri umumnya belum mendapat jaminan pekerjaan di Batam, karena yang dikateggorikan paling mudah memperoleh pekerjaan dan paling tinggi tingkat pendapatannya adalah migran yang dikelola oleh dinas tenaga kerja. Migran dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara awal-awal datang ke Batam melalui Dumai dan dari Dumai menuju Batam dengan menggunakan speed boat. Disamping digunakan untuk keperluan sehari-hari, migran perempuan juga mengirimkan materi ke daerah asal yang jumlahnya bervariasi dan frekuensi yang juga tidak menentu. Migran yang berasal dari pulau Jawa umumnya memanfaatkan materi yang diperoleh untuk membeli tanah dan ternak. Tindakan mereka (terutama anak gadis atau perawan) ini mulanya dipandang tidak tepat oleh masyarakat di daerah asal karena kesehariaannya wanita seharusnya tinggal di rumah. Kemudian, para migran di Batam umumnya lebih mempertimbangkan gaji atau pendapatan ketimbang jenis pekerjaan, dan gaji tersebut disamping digunakan untuk keperluan sehari-hari juga dikirimkan ke daerah asal yang jumlahnya bervariasi dan frekuensinya juga tidak menentu.

Teori Tindakan Sosial: Tindakan Rasional Weber

Weber (1921/1968) dalam Ritzer dan Goodman (2011) terkait “tindakan

sosial” memusatkan perhatiannya pada tindakan yang melibatkan proses pemikiran, dan mengemukakan bahwa “tindakan” berbeda dengan “perilaku”

yang sering bersifat otomatis tanpa melibatkan proses pemikiran. Dengan adanya proses pemikiran terlebih dahulu (antara stimulus dengan respon), maka akan lahir tindakan bermakna. Dalam arti lain, tindakan dikatakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan yang akan dilakukan. Sehingga analisis sosiologi menurut konsep Weber adalah dengan melakukan “penafsiran

pada tindakan menurut makna subjektifnya”. Sebagaimana pada pemikiran Weber

(37)

21 memiliki variasi rasional (seperti point 1 dan 2), ketimbang memahami tindakan yang di dominasi perasaan atau tradisi (seperti pada point 3 dan 4). Artinya Weber lebih fokus pada dua tindakan pertama.

Rasionalitas sarana-tujuan, yakni tindakan ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain, dan harapan

inilah yang kemudian dijadikan “syarat” atau “sarana” untuk mencapai tujuan

melalui upaya dan pertimbangan rasional. Ritzer (2012) mengemukakan juga bahwa terjadinya tindakan menurut konsepnya Weber adalah dengan pelekatan makna-makna subjektif kepada tindaan tersebut, sehingga dalam analisa ditekankan pada penafsiran tindakan dari segi makna subjektifnya. Adapun tipe tindakan rasional Weber yakni rasionalitas alat-tujuan dimaknai sebagai tindakan yang ditentukan oleh pengharapan-pengharapan yang digunakan sebagai “kondisi

-kondisi” atau “alat-alat” untuk pencapaian tujuan yang dikejar dan diperhitungkan secara rasional. Johnson (1986) juga telah berupaya memberikan pemahaman yang lebih mudah untuk dipahami, disini Johnson menyebut rasionalitas tujuan dengan rasionalitas instrumental. Menurut Johnson rasionalitas instrumental meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan (menentukan satu pilihan dari berbagai tujuan yang ada berdasarkan suatu kriteria), dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Mencakup pengumpulan informasi, kemungkinan-kemungkinan serta hambatan-hambatan yang ada, dan meramalkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu, hingga pada akhirnya suatu pilihan dibuat atas alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya. Sesudah tindakan dilakukan orang tersebut secara objektif dapat menentukan sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai dan keberhasilannya dapat dibuktikan.

Rasionalitas nilai, yakni tindakan ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilan. Artinya, setiap tindakan yang sudah dipertimbangkan pasti punya nilai tersendiri, diluar pemikiran apakah akan berhasil atau tidak. Johnson (1986) menambahkan bahwa rasionalitas yang berorientasi nilai, tujuan-tujuan dari tindakan sudah ada (bersifat absolut) atau merupakan nilai akhir baginya, alat-alat merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan sadar. Nilai-nilai akhir yang bersifat nonrasional (tidak dapat diperhitungkan secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih) dan individu mempertimbangkan alat untuk mencapai nilai-nilai, tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada.

Gambar

Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Data Penelitian, Deskripsi, Alat Analisa, Metode Analisa, dan Sumber
Gambar 3 Peta kota Jakarta
Tabel 2 Karakteristik responden ketika meninggalkan daerah asal
+7

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan di malam hari. Maka jawaban terhadap argumen ini bahwa terkadang seorang yang i’tikaf keluar dari masjid karena sebuah hajat, baik untuk buang air besar atau buang

Lakukanlah apa yang diperitahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia

Material komposit memiliki sifat mekanik yang lebih bagus dari pada logam, memiliki kekuatan bisa diatur yang tinggi (tailorability), memiliki kekuatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) hubungan status sosial ekonomi orang tua dengan minat siswa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (2) hubungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara sistem pengawasan dengan produktivitas kerja pegawai pada Dinas Tenaga Kerja

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan tanah hutan rakyat jamblang di

menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada perawat dan di dampingi oleh peneliti untuk mengisi kuesioner yaitu dari kelelahan kerja yaitu mengenai faktor individu

Teori Kuantitas, teori ini menyoroti masalah dalam proses inflasi dari (a) jumlah uang yang beredar, dan (b) psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan