• Tidak ada hasil yang ditemukan

8 IDENTITAS PEREMPUAN MINANG YANG DIPELIHARA SELAMA PROSES MERANTAU

Perempuan Minang sebagai pribadi yang memiliki harga diri tinggi harus menjalankan tugas dan kewajiban yang diembankan adat kepadanya, baik di dalam maupun diluar rumah tangga. Identitas perempuan Minang jika dikaitkan dengan aktifitas merantau, secara garis besar diantaranya: (1) manuruik alua nan luruih, salah satunya menaati aturan adat bahwa rumah untuk wanita, sehingga tempat pulangnya wanita adalah rumah gadang (rumah ibu); dan (2) Manampuah jalan nan pasa, salah satunya ditandai dengan penjagaan rasa kesatuan kekeluargaan dan terjalinnya hubungan baik (balimbago), yang bermuara pada empati yang tinggi (baadat). Perempuan Minang dalam menjaga prestise dan nama baik kaum tidak boleh melanggar larangan dan pantangan yang telah ditetapkan adat, jika dikaitkan dengan aktifitas merantau, secara garis besar diantaranya: (1) sumbang perjalanan, bermakna bahwa perempuan Minang dilarang melakukan perjalanan sendiri untuk jarak yang jauh; (2) sumbang diam, bermakna bahwa perempuan dilarang untuk bermalam di tempat yang bukan familinya; dan (3) sumbang pekerjaan, bermakna bahwa perempuan Minang dilarang mengerjakan pekerjaan yang pada umumnya hanya dikerjakan oleh laki-laki (pekerjaan fisik).

Berbicara terkait perempuan Minang yang merantau, maka harus dimulai dari saat perginya mereka dari daerah asal menuju daerah tujuan rantau, sampai saat mereka telah tinggal bahkan menetap di rantau. Identitas perempuan Minang yang berhubungan dengan proses bepergian merantau, terlihat dari penjagaan agar keputusan dan perjalanan merantau tersebut tidak dinilai salah oleh adat, sehingga segala hal yang membuat perjalan tersebut menjadi salah (sumbang) harus dihindari. Identitas sebagai perempuan Minang ketika mereka telah tinggal dan menetap di rantau pun harus tetap dijaga, yakni dengan menjalankan kewajibannya sebagai perempuan Minang, sebagaimana yang telah diatur oleh adat.

Identitas yang Dipelihara Semenjak Perjalanan Merantau

Periode merantaunya perempuan Minang tidak berhubungan signifikan dengan identitas perempuan Minang. Tabel 26 menunjukkan bahwa perempuan Minang hingga tahun 2000-an cenderung masih kuat identitasnya, namun demikian kecenderungan identitas melemah (memudar) memang ada, terutama periode tahun 2000 kesininya.

83 Tabel 26 Hubungan identitas perempuan Minang dengan periode merantau

Identitas perempuan Minang Periode Merantau Jumlah 1970-1979 1980-1989 1990-1999 > 2000 n % n % n % n % n % Lemah 0 0,0 1 25,0 2 16,7 18 46,2 21 35,0 Kuat 5 100,0 3 75,0 10 83,3 21 53,8 39 65,0 Jumlah 5 100,0 4 100,0 12 100,0 39 100,0 60 100,0

Hubungan status pernikahan dengan identitas sebagai perempuan Minang selama perjalanan merantau

Hubungan antara status pernikahan dengan identitas selama perjalanan merantau kuat, karena hubungan antara keduanya signifikan. Tabel 27 menunjukkan bahwa perempuan Minang yang berstatus tidak menikah-lah yang cenderung identitasnya lemah, sementara yang berstatus menikah secara keseluruhan identitasnya kuat. Ini bermakna bahwa perempuan Minang yang berstatus menikah, identitasnya kuat, karena tidak ada dari mereka yang bepergian merantau secara sendiri-sendiri, apalagi sampai tinggal disembarang tempat yang bukan keluarganya, karena kesemuanya merantau beserta keluarga. Perempuan Minang yang berstatus tidak menikah, sebaliknya punya kecenderungan pergi merantau secara sendiri-sendiri, dan tinggal dengan orang lain yang bukan keluarga kerabat awal sampai di rantau, serta beberapa ada yang tinggal sendiri (mengontrak).

Tabel 27 Hubungan status pernikahan dengan identitas sebagai perempuan Minang ketika meninggalkan daerah asal

Identitas perempuan

Minang

Status Perkawinan

Jumlah belum menikah menikah

n % n % n %

Lemah 21 43,8 0 0,0 21 35,0 Kuat 27 56,2 12 100,0 39 65,0 Jumlah 48 100,0 12 100,0 60 100,0

Perempuan Minang yang telah berstatus menikah sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya tidak ada yang merantau sendiri-sendiri, secara keseluruhan (100,0 persen) dari mereka merantau dengan cara berkelompok, dengan dua kondisi, yakni (1) bersama suami (bagi yang belum memiliki anak), dan (2) bersama suami dan anak (bagi yang memiliki anak). Perempuan Minang yang berstatus menikah ini, ketika sampai di daerah tujuan tentunya tinggal sekeluarga, tempat menginap ketika sampai di daerah tujuan juga ada dua kondisi, yakni: (1) mereka yang suaminya orang rantau, tinggal di tempat tinggal yang telah disediakan suaminya, (2) mereka yang baru pertama kali merantau, biasanya bermalam dulu di tempat keluarganya yang ada di rantau, sampai mendapat tempat tinggal sendiri (minimal kontrakan). Hal ini lah yang membuat identitas perempuan Minang yang merantau dalam status menikah, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, secara keseluruhan identitasnya kuat.

Kasus perempuan Minang yang merantau bersama suami ada beberapa kasus. Pertama, Bu NW (52 tahun) merantau bersama suami, tepat ketika bu NW berusia 22 tahun. Suami bu NW adalah salah seorang perantau yang telah lama hidup dan bekerja di jakarta, dan telah memiliki usaha (toko) di Jakarta. Mereka

84

merantau naik bus dari daerah asal, dan sesampai di daerah tujuan tinggal di kontrakan bersama suami, hingga akhirnya punya rumah sendiri. Kedua, Bu AF (32 tahun) merantau bersama suami ketika berusia 20 tahun setelah berhasil membujuk suami untuk tinggal di Jakarta, karena bu AF punya keluarga yang tinggal di Jakarta. Mereka merantau naik bus dari daerah asal, dan awal sampai di rantau tinggal di rumah keluarga (kakaknya), sekarang sudah punya rumah sendiri. Ketiga, Bu AT (54 tahun) telah merantau sejak usia 20 tahun bersama-sama suami memutuskan untuk merantau. Mereka merantau naik bus dari daerah asal, dan di daerah tujuan mereka mulanya mengontrak, hingga bisa punya rumah sendiri seperti sekarang. Keempat, Bu HN (61 tahun) merantau bersama suami dan 8 (delapan) orang anaknya yang masih kecil-kecil ikut istri dari adik ayahnya, dan waktu itu bu HN usianya sudah menginjak 35 tahun. Mereka pergi dari padang ke Jakarta dengan naik bus, karena jika naik pesawat tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Bu HN sekeluarga tinggal di rumah kerabat dekatnya ketika awal sampai di rantau, hingga mendapatkan kontrakan. Mereka tinggal di kontrakan sampai punya rumah sendiri di Jakarta, seperti sekarang. Kelima, Bu OM (44 tahun) merantau bersama suami dan 2 (dua) orang anaknya yang masih kecil-kecil, waktu itu bu OM berusia 29 tahun. Mereka pergi dari padang ke Jakarta naik pesawat, dan sesampai di rantau mereka tinggal di tempat keluarga, sampai dapat kontrakan. Mereka tinggal di kontrakan hingga punya rumah sendiri seperti sekarang. Keenam, Bu EW (41 tahun) adalah seseorang yang ketika di daerah asal berprofesi sebagai guru, memutuskan merantau ke Jakarta ketika berusia 35 tahun bersama suami dan 3 (tiga) orang anaknya, karena anak-anak trauma dengan gempa yang sering terjadi setelah musibah gempa besar di Sumatera Barat tahun 2009. Mereka merantau naik kendaraan pribadi, dan awal sampai di rantau tinggal di rumah keluarga (kakaknya), sampai dapat rumah kontrakan.

Perempuan Minang yang berstatus belum menikah memiliki beberapa perbedaan, mereka pergi merantau dengan dua cara, yaitu: (1) sendiri-sendiri (38,3 persen), dan (2) berkelompok (ikut keluarga atau kerabat, atau ikut teman), sejumlah 61,7 persen. Mereka yang berstatus belum menikah ini, tempat menginap ketika awal sampai di daerah tujuan pun ada dua, yaitu: (1) di tempat keluarga atau kerabat (famili), dan (2) di tempat yang bukan keluarga atau kerabat (non famili), biasanya teman. Dua kemungkinan cara pergi merantau dan cara tinggal di rantau inilah yang dikuatirkan dari merantaunya perempuan Minang yang berstatus belum menikah, dan pada kenyataannya, memang mereka yang berstatus belum menikah lah yang punya kecenderungan untuk melakukan perjalanan yang salah menurut adat, yakni merantau secara sendiri-sendiri dan tinggal di tempat yang bukan keluarga atau kerabatnya di rantau. Hal inilah yang kemudian yang mengakibatkan lemahnya identitas perempuan Minang yang berstatus belum menikah.

Perempuan Minang yang belum menikah ada yang merantau dengan cara sendiri-sendiri, berikut beberapa contoh kasus. Pertama, Bu BD (26 tahun) pergi merantau ketika usianya masih 23 tahun. Bu BD merantau untuk memenuhi panggilan kerja di Jakarta. Bu BD merantau naik pesawat, sehingga tidak harus kemalaman di Jakarta, karena memang tidak ada saudara yang dituju di rantau kecuali teman sekampung yang juga bekerja di Jakarta, akhirnya ketika awal sampai di rantau tinggal di tempat teman sesama orang Minang, hingga sekarang mereka tinggal di kontrakan yang sama. Kedua, Bu WI (21 tahun) pergi merantau

85 ketika berusia 19 tahun. Bu WI mengaku merantau untuk mencari kerja karena kebetulan ada keluarga di rantau. Bu WI yang pergi merantau sendiri memilih naik bus, sehingga membuatnya bermalam di jalan (di Bus). Bu WI sesampai di daerah tujuan pun tinggal di tempat teman. Ketiga, Bu EZ (30 tahun) pergi merantau ketika berusia 18 tahun. Bu EZ merantau untuk melanjutkan pendidikan nya di perguruan tinggi di Jawa (Bandung), sebelum akhirnya bekerja di Jakarta. Bu AY merantau naik pesawat, sehingga tidak harus kemalaman di jalan. Bu EZ tinggal dengan keluarga (kakak) sesampainya di daerah tujuan. Perjalanan merantau yang dinilai salah oleh adat, yang cenderung membuat identitas menjadi lemah (bepergian sendiri-sendiri, dan tinggal ditempat yang bukan keluarga atau kerabat).

Perantau perempuan Minang yang belum menikah ini juga ada yang merantau secara berkelompok. Pertama, Bu RS (22 tahun) merantau saat berusia 18 tahun bersama kakaknya untuk mencari kerja. Bu RS di daerah tujuan tinggal dengan keluarga (kakaknya). Kedua, Bu AM (27 tahun) merantau saat berusia 20 tahun bersama tante dari pihak ibunya (kerabat dekat) untuk mencari kerja. Ketiga, Bu AY (37 tahun) merantau dengan tante dari pihak ayahnya (kerabat jauh) untuk mencari kerja. Bu AY tinggal dengan tantenya ketika awal sampai di rantau. Keempat, Bu AL (25 tahun) merantau ketika berusia 23 tahun dengan diantar orang tua (ibu) setelah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi di Padang. Bu AL memutuskan tinggal di tempat kakaknya ketika awal sampai di daerah tujuan rantau, agar orang tuanya tidak cemas. Kelima, Bu PN (26 tahun) merantau pada usia 8 (delapan) tahun bersama mamaknya, karena sulitnya ekonomi keluarga. Bu PN tinggal dan dibiayai kehidupannya oleh mamaknya, sampai bu PN bisa mandiri dan menikah. Keenam, Bu NT (22 tahun) merantau bersama temannya ketika berusia 19 tahun karena anak mamaknya di rantau menawarkan pekerjaan. Bu NT tinggal di kontrakan bersama temannya. Perjalanan yang dinilai mengarah pada perbuatan salah menurut adat, yang juga cenderung membuat identitas menjadi lemah (bepergian ikut teman, dan tinggal ditempat yang bukan keluarga atau kerabat).

Perempuan Minang yang berstatus tidak menikah, namun ditemukan identitasnya kuat selama perjalanan merantau, ada dua kondisi, yakni: (1) mereka yang merantau ikut keluarga atau kerabat, dan minimal awal sampai di rantau tinggal (menginap) di tempat keluarga atau kerabat tersebut, dan (2) mereka yang merantau ikut keluarga atau kerabat, meskipun di daerah tujuan mereka memutuskan tinggal bukan dengan keluarga atau kerabat. Mereka yang merantau bersama keluarga atau kerabat, setidaknya mereka tidak sendiri-sendiri dalam merantau, sehingga orang tua tidak kuatir dan masyarakat pun tidak memandang sinis. Perempuan Minang yang berstatus tidak menikah walaupun tidak tinggal dengan keluarga dan kerabat sesampai dirantau, setidaknya masih ada keluarga atau kerabat di rantau yang memperhatikannya.

Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas sebagai perempuan Minang selama perjalanan merantau

Hubungan antara tingkat pendidikan dengan identitas selama perjalanan merantau lemah, karena hubungan antara keduanya tidak signifikan. Tabel 28 menunjukkan bahwa perantau perempuan Minang baik yang berpendidikan SMA maupun yang berpendidikan dibawah SMA identitasnya kuat, kecuali yang

86

berpendidikan di atas SMA, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan Minang dalam merantau, maka identitas mereka semakin lemah. Hal ini bermakna bahwa yang berpendidikan di bawah SMA-lah yang kebanyakan identitasnya kuat, karena hampir keseluruhan dari mereka yang merantau bersama keluarga atau kerabat, dan di daerah tujuan pun tinggal dengan keluarga atau kerabat. Mereka yang berpendidikan SMA, terutama di atas SMA, sebaliknya cenderung merantau secara sendiri-sendiri, dan di daerah tujuan pun kebanyakan tinggal dengan teman atau sendiri (ngontrak). Tabel 28 Hubungan tingkat pendidikan dengan identitas sebagai perempuan

minang ketika meninggalkan daerah asal

Identitas perempuan Minang Tingkat pendidikan Jumlah Di bawah

SMA SMA Di atas SMA

n % n % n % n % Lemah 2 25,0 15 36,6 4 36,6 21 35,0 Kuat 6 75,0 26 63,6 7 63,6 39 65,0 Jumlah 8 100,0 41 100,0 11 100,0 60 100,0

Perempuan Minang yang bependidikan di bawah SMA sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, secara keseluruhan merantau berkelompok, yakni: (1) ikut keluarga atau kerabat (83,3 persen dari keseluruhan responden yang berpendidikan di bawah SMA), dan (2) bersama teman (16,7 persen dari keseluruhan responden yang berpendidikan di bawah SMA). Perempuan Minang yang bependidikan di bawah SMA ini, awal sampai di daerah tujuan ada yang tinggal dengan keluarga atau kerabat (83,3 persen), ada juga yang tinggal di tempat teman (16,7 persen). Artinya, hanya yang pergi merantau bersama teman dan yang tinggal di tempat teman inilah yang dikuatirkan mengarah pada lemahnya identitas, namun dalam hal ini hanya satu kasus, karena sebagian besar dari mereka yang berpendidikan di bawah SMA, merantau dalam usia di bawah 15 tahun yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk merantau sendiri-sendiri. Kasus merantaunya perempuan Minang yang tingkat pendidikannya di bawah SMA ini, sebagai berikut. Pertama, Bu IT (54 tahun) pergi merantau bersama orang tua ketika berusia 13 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di SMP (Tsanawiyah). Bu IT waktu itu hanya mengikuti orang tuanya, karena orang tuanya perantau, dan di daerah tujuan pun, bu IT tinggal dimana orang tuanya tinggal. Kedua, Bu AS (41 tahun) pergi merantau bersama mamak atau paman (kerabat) ketika berumur 6 (enam) tahun. Bu AS waktu itu hanya ikut dengan mamaknya, dan sempat menyelesaikan sekolahnya sampai SMP. Bu AS pergi ke rantau manapun pamannya pergi, serta tinggal dimanapun pamannya tinggal. Ketiga, Bu YL (17 tahun) merantau ikut orang lain (teman), awalnya karena ingin mengunjungi ibunya yang menikah dengan orang Bogor. Oleh karena diajak teman tersebut ke Jakarta, dan iseng-iseng mencari kerja, akhirnya hingga sekarang bekerja di Jakarta. Bu YL tinggal (ngontrak) dengan teman di Jakarta, karena tidak memungkinkan untuk bolak-balik dari Bogor (tempat ibunya) ke Jakarta (tempat kerjanya), yang cenderung mengarah pada lemahnya identitas.

Perempuan Minang yang berpendidikan SMA ke atas, ada yang merantau sendiri-sendiri (perorangan) dan ada juga yang merantau berkelompok, yakni: (1) sendiri-sendiri (33,3 persen); (2) berkelompok (bersama keluarga atau kerabat

87 sejumlah 63,0 persen, dan sisanya bersama teman sejumlah 3,7 persen). Perempuan Minang yang berpendidikan SMA ke atas, awal sampai di daerah tujuan sebagian besar (72,2 persen) tinggal dengan keluarga atau kerabat, sisanya (27,8 persen) tinggal dengan yang bukan keluarga atau kerabat. Dua kemungkinan cara pergi merantau dan cara tinggal di rantau inilah yang dikuatirkan dari merantaunya perempuan Minang yang berpendidikan SMA ke atas, dan pada kenyataannya memang mereka lah yang punya kecenderungan untuk melakukan perjalanan yang salah menurut adat, yakni merantau secara sendiri-sendiri dan tinggal di tempat yang bukan keluarga atau kerabatnya di rantau. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan banyaknya perempuan Minang yang berpendidikan di atas SMA terutama yang lemahnya identitas. Kasus merantaunya perempuan Minang yang tingkat pendidikannya SMA ke atas ini, sebagai berikut.

Pertama, Bu WR (24 tahun) pergi merantau bersama kerabat ketika berusia 19 tahun, setelah menyelesaikan pendidikan di SMA. Bu WR pun tinggal di tempat kerabatnya tersebut ketika awal sampai di rantau. Kedua, Bu WI (21 tahun) pergi merantau sendiri ketika berusia 19 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA. Ketika sampai di rantau, orang pertama yang ditemui dan dituju oleh bu WI adalah teman sesama orang Minang, dan di tempat teman tersebutlah bu WI menumpang menginap sementara. Ketiga, Bu BD (26 tahun) pergi merantau sendiri ketika berumur 23 tahun, tepatnya setelah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi (strata satu). Bu BD ketika awal sampai di rantau tinggal di tempat teman se-kampusnya dulu, yang sama-sama orang Minang. Keempat, Bu YE (27 tahun) pergi merantau bersama kerabat ketika berusia 22 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi (strata satu). Bu YE tinggal di tempat kerabat yang membawanya merantau tersebut, dan disana pulalah bu YE menginap awal sampai di rantau. Kasus kedua dan ketiga perjalanan merantaunya cenderung membuat identitas perempuan Minang lemah.

Perempuan Minang yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas), namun ditemukan identitasnya kuat selama perjalanan merantau, ada dua kondisi, yakni: (1) mereka yang merantau ikut keluarga atau kerabat, dan minimal awal sampai di rantau tinggal (menginap) di tempat keluarga atau kerabat tersebut, dan (2) mereka yang merantau ikut keluarga atau kerabat, meskipun di daerah tujuan mereka memutuskan tinggal bukan dengan keluarga atau kerabat. Mereka yang merantau bersama keluarga atau kerabat, setidaknya mereka tidak sendiri-sendiri dalam merantau, sehingga orang tua tidak kuatir dan masyarakat pun tidak memandang sinis.

Hubungan daerah tujuan rantau dan identitas perempuan Minang selama perjalanan merantau

Hubungan antara daerah tujuan rantau dan identitas perempuan Minang lemah, karena hubungan antara keduanya tidak signifikan. Tabel 29 menunjukkan bahwa identitas perempuan Minang yang cenderung kuat, akan ada kecenderungan akan lemah bagi mereka yang merantau dengan pola merantau C (transit daerah sekitar Jawa), Pola merantau E (transit kabupaten atau kota dalam satu provinsi ditambah dengan transit daerah Jawa non Jakarta), serta lain-lain (transit daerah provinsi dalam satu pulau ditambah transit daerah daerah Jawa non Jakarta, dan transit antar pulau non Jawa). Perempuan Minang dengan pola

88

merantau A, pola merantau B dan pola merantau D cenderung kuat karena mereka umumnya pergi bersama keluarga atau kerabat (tidak sendiri-sendiri), dan di daerah tujuan rantau pun harus jelas dimana tempat menginap sementara ketika awal sampai di rantau.

Tabel 29 Hubungan pola merantau dengan identitas sebagai perempuan Minang ketika meninggalkan daerah asal

Identitas perempuan

Minang

Daerah tujuan rantau

Jumlah Pola merantau A Pola merantau B Pola merantau C Pola merantau D Pola merantau E lain-lain n % n % n % n % n % n % n % Lemah 0 0.0 0 0,0 5 71,4 11 28,2 3 100,0 2 100,0 21 21 Kuat 3 100,0 6 100,0 2 28,6 28 71,8 0 0,0 0 0,0 39 65,0 Jumlah 3 100,0 6 100,0 7 100,0 39 100,0 3 100,0 2 100,0 60 100,0

Mereka yang punya kecenderungan identitasnya lemah, yaitu: Pertama, Bu YR (27 tahun) sebelum ke Jakarta, sempat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Padang. Bu YR ke Jakarta sendiri ikut tante dan tinggal di tempat tantenya. Kedua, Bu GSH (25 tahun) sebelum ke Jakarta sempat transit di Padang untuk melanjutkan pendidikan. Bu GSH yang mendapat panggilan kerja di Tangerang, langsung berangkat dari Padang menuju Jawa secara individu, dan di daerah tujuan pun tinggal sendiri (bukan dengan keluarga atau famili). Selanjutnya pindah ke Jakarta pun sendiri, dan tinggal atau ngontrak sendiri (cenderung identitasnya lemah). Ketiga, Bu RS (28 tahun) merantau ke Pekanbaru ikut tante (adik ibu) untuk melanjutkan pendidikan, dan selama di Pekanbaru tinggal dengan tante; namun baru satu tahun kuliah merantau ke Jakarta karena dapat suami orang Minang yang lama tinggal di Jakarta. Keempat, Bu AD (48 tahun) pergi merantau sendiri ke Jambi, namun disana tinggal dengan keluarga (kakak). Setelah dapat panggilan kerja di Bogor, maka bu AD pun pergi ke Bandung, setelah satu tahun kerja, akhirnya meninggalkan pekerjaannya dan memutuskan tinggal dan bekerja di Jakarta. Kelima, HN (61 tahun) pergi merantau sendiri ketika berumur 35 tahun, yakni langsung ke Jakarta bersama suami dan 8 (delapan) orang anaknya untuk memulai usaha baru, dan ketika awal sampai di Jakarta tinggal dengan kerabat. Keenam, Bu BF (34 tahun) pergi merantau ikut kerabat ke Jakarta, dan di daerah tujuan rantau tinggal dengan kerabat.

Perempuan Minang yang merantau dengan pola merantau C (seperti sempat merantau ke Bogor, Bandung, Depok, dan Bekasi), biasanya lebih karena alasan pendidikan, dan kebanyakan dari mereka meninggalkan daerah asal dengan cara sendiri-sendiri, serta di daerah tujuan pun banyak yang tinggal sendiri-sendiri. Perantau perempuan Minang merantau dengan pola merantau E juga cenderung lemah identitasnya, dan sebagian besar dari mereka juga merantau untuk tujuan pendidikan, seperti halnya transit di sekitar Jawa. Kekuatiran orang tua terhadap anak-anak yang meninggalkan daerah asal untuk tujuan pendidikan dengan yang meninggalkan daerah asal untuk tujuan diluar pendidikan terlihat berbeda. Mereka yang merantau mulanya untuk tujuan pendidikan, banyak yang pergi sendiri-sendiri dan tinggal sendiri-sendiri di rantau, sementara yang pergi merantau untuk tujuan di luar pendidikan, kebanyakan pergi merantau bersama keluarga atau kerabat, dan di daerah tujuan pun tinggal dengan keluarga atau kerabat yang bersangkutan.

89 Perempuan Minang yang merantau transit ataupun yang langsung ke Jakarta, sama-sama punya dua cara merantau, yaitu: (1) merantau sendiri-sendiri, dan (2) merantau berkelompok (ikut keluarga atau kerabat, ikut orang tua, atau ikut teman). Mereka dalam memilih tempat tinggal ketika awal sampai di rantau pun ada dua, yakni: (1) dengan keluarga atau kerabat, dan (2) bukan dengan keluarga atau kerabat (di tempat teman atau sendiri). Dua kemungkinan cara pergi merantau dan cara tinggal di rantau inilah yang dikuatirkan dari merantaunya perempuan Minang, terutama yang langsung ke Jawa (transit sekitar Jawa atau langsung ke Jakarta) yang jaraknya tidak dekat, karena pada kenyataannya yang transit di sekitar Jawa-lah yang sebagian besar perjalanan merantaunya dipandang salah secara adat, yakni merantau secara sendiri-sendiri dan tinggal di tempat yang bukan keluarga atau kerabatnya di rantau. Hal inilah kemudian yang mengakibatkan lemahnya identitas perempuan Minang yang transit di sekitar Jawa. Kasus merantaunya perempuan Minang yang transit disekitar Jawa non Jakarta ini, sebagai berikut.

Pertama, Bu EZ (30 tahun) pergi merantau sendiri ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di UNPAD, dan tinggal dengan kakak di sana, sebelum akhirnya tinggal dan bekerja di Jakarta. Kedua, Bu EF (27 tahun) pergi dari daerah asal menuju Jawa (Depok) secara individu untuk melanjutkan pendidikan di UI, dan sesampainya di daerah tujuan juga tinggal sendiri (ngontrak), sebelum akhirnya tinggal dan bekerja di Jakarta (proses merantau yang mengarah pada lemahnya identitas sebagai perempuan Minang).

Perempuan Minang yang merantau transit daerah sekitar Jawa (selain Jakarta), yang identitasnya kuat selama perjalanan merantau adalah ketika mereka