• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh seluruh pemerintahan yang ada di dunia ini. Kemiskinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut antara lain tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan, lokasi goegrafis dan kondisi lingkungan.

Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas. Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation), baik secara geografis maupun sosiologis.

Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Chriswardani Suryawati, 2005).

Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidup, serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari

(2)

tingkat akses terhadap kekuasaan yang mempunyai pengertian tentang sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya. Secara sosial psikologi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan peningkatan produktivitas.

World Bank (2010) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan dalam

kesejahteraan, dan terdiri dari banyak dimensi. Ini termasuk berpenghasilan rendah dan ketidakmampuan untuk mendapatkan barang dasar dan layanan yang diperlukan untuk bertahan hidup dengan martabat. Kemiskinan juga meliputi rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, akses masyarakat miskin terhadap air bersih dan sanitasi, keamanan fisik yang tidak memadai, kurangnya suara, dan kapasitas memadai dan kesempatan untuk hidup yang lebih baik itu.

Castells (1998) mengemukakan kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standard kebutuhan hidup, minimum agar manusia dapat bertahan hidup. Adapun standard kebutuhan minimum dimaksud pada umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan.

United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan

kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung, ketidakmampuan berobat ke dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan buta huruf, tidak mempunyai pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam hitungan harian, ketidakmampuan mendapatkan air bersih, ketidakberdayaan, tidak ada keterwakilan dan kebebasan.

(3)

Kemiskinan terkait dengan masalah kekurangan pangan dan gizi, keterbelakangan pendidikan, kriminalisme, pengangguran, prostitusi, dan maslah-masalah lain yang bersumber dari rendahnya tingkat pendapatan perkapita penduduk. Kemiskinan merupakan masalah yang amat kompleks dan tidak sederhana penangananya. Menurut Mulyono (2006), kemiskinan berarti ketiadaan kemampuan dalam seluruh dimensinya (BAPPENAS, 2010).

Dengan demikian, kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Matias Siagian dalam bukunya yang berjudul “Kemiskinan dan Solusi” membagi kemiskinan menjadi sepuluh jenis. Jenis-jenis kemiskinan tersebut yakni:

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga orang tersebut memiliki taraf kehidupan yang rendah, dianggap tidak layak serta tidak sesuai dengan harkat martabat sebagai manusia.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif didasarkan pada eksisitensi manusia sebagai makhluk sosial yang dibatasi oleh wilayah atau lingkungan.

(4)

Kemiskinan massa dapat diartikan sebagai kemiskinan yang dialami secara massal penduduk dalam suatu lingkungan wilayah.

4. Kemiskinan Non Massa

Kemiskinan non massa adalah kemiskinan yang dihadapi oleh segelintir atau sebagian kecil dari penduduk di suatu wilayah.

4. Kemiskinan Alamiah

Kemiskinan alamiah diidentifikasikan sebagai kemiskinan yang terjadi sebagai konsekuensi dari kondisi alam, dimana seseorang atau sekelompok orang tersebut bermukim.

5. Kemiskinan Kultural

Kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju.

6. Kemiskinan Terinvolusi

Kemiskinan terinvolusi merupakan bentuk dan kondisi khusus dari kemiskinan kultural. Ciri khusus kemiskinan ini adalah telah terinternalisasinya nilai-nilai negatif dalam diri seseorang atau sekelompok orang dalam memandang diri dan kehidupannya, sehingga mereka menganggap kehidupan dengan segala kondisinya sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah.

7. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijalan ekonomi pemerintah,

(5)

penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan penjabat dan lain-lain.

8. Kemiskinan Situasional

Kemiskinan situasioanl adalah kondisi kehidupan masyarakat yang tidak layak yang disebabkan oleh situasi yang ada.

9. Kemiskinan Buatan

Kemiskinan buatan terjadi karena kelembagaan-kelembagaan yang ada melibatkan anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.

Menurut Todaro dan Smith (2006), tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yakni: tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Setinggi apapun tingkat pendapatan nasional perkapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti akan tetap parah. Demikian pula sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di suatu negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemiskinan juga akan semakin luas.

Menurut Sharp (dalam mudrajat Kuncoro, 2006), terdapat tiga faktor penyebab kemiskinan jika dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya yang terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas

(6)

sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau keturunan ketiga kemiskinan muncul karena perbedaan akses dalam modal.

Banyak ukuran yang menentukan angka kemiskinan, salah satunya adalah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah suatu ukuran yang menyatakan besarnya pengeluaran (dalam rupiah), untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan kebutuhan non makanan, atau standar yang menyatakan batas seseorang dikatakan miskin, bila dipandang dari sudut konsumsi. Garis kemiskinan digunakan untuk mengetahui batas seseorang dikatakan miskin atau tidak, sehingga garis kemiskinan dapat digunakan untuk mengukur dan menentukan jumlah kemiskinan. Untuk provinsi Sumatera Utara, menurut laporan Badan Pusat Statistik pada September 2013 garis kemiskinan Sumatera Utara secara total sebesar Rp 311.063,- per kapita per bulan.

Menurut Todaro dan Smith (2006), kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang akibat dari interaksi antara 6 karakteristik berikut:

1. Tingkat pendapatan nasional negara-negara berkembang terbilang rendah, dan laju pertumbuhan ekonominya tergolong lambat.

2. Pendapatan perkapita negara-negara Dunia Ketiga juga masih rendah dan pertumbuhannya amat sangat lambat, bahkan ada beberapa yang mengalami stagnasi.

(7)

4. Mayoritas penduduk di negara-negara Dunia Ketiga harus hidup dibawah tekanan kemiskinan absolut.

5. Fasilitas dan pelayanan kesehatan buruk dan sangat terbatas, kekurangan gizi dan banyaknya wabah penyakit, sehingga tingkat kematian bayi di negara-negara Dunia Ketiga sepuluh kali lebih tinggi dibanding dengan yang ada di negara maju.

6. Fasilitas pendidikan di kebanyakan negara-negara berkembang maupun isi kurikulumnya relatif masih kurang relevan, maupun kurang memadai.

2.1.1 Ukuran Kemiskinan

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan, yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.

Ukuran kemiskinan yang sering digunakan untuk melihat fenomena kemiskinan disuatu daerah adalah insiden kemiskinan. Insiden kemiskinan dapat diartikan sebagai persentase penduduk yang memiliki pendapatan (atau proksi pendapatan) kurang dari jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

(8)

dasar hidup. Walaupun demikian, kemiskinan memiliki banyak dimensi selain dimensi pendapatan. Dimensi lain kemiskinan dapat dilihat dari peluang memperoleh kesehatan dan umur panjang, peluang memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan lain-lain. Intinya adalah kemiskinan sangat terkait dengan sempitnya kesempatan seseorang dalam menentukan pilihan-pilihannya dalam hidup.

Jika kemiskinan berkaitan dengan semakin sempitnya kesempatan yang dimiliki, maka pembangunan manusia adalah sebaliknya. Konsep pembangunan manusia adalah memperluas pilihan manusia (enlarging choice), terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan kemampuan daya beli. Dengan hubungan yang berkebalikan tersebut, suatu daerah dengan kualitas pembangunan manusia yang baik idealnya memiliki persentase penduduk miskin yang rendah (IPM, 2007).

Menurut Samuelson dan Nordhaus (1997), penyebab dan terjadinya penduduk miskin di negara yang berpenghasilan rendah adalah karena dua hal pokok, yaitu rendahnya tingkat kesehatan dan gizi, dan lambatnya perbaikan mutu pendidikan. Oleh karena itu, upaya pertama yang dilakukan pemerintah adalah melakukan pemberantasan penyakit, perbaikan kesehatan dan gizi, perbaikan mutu pendidikan, pemberantasan buta huruf, dan peningkatan keterampilan penduduknya. Kelima hal itu adalah upaya untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM).

(9)

2.2 Angka Melek Huruf

Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang merata adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek huruf. Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Menurut UNESCO definisi dari melek huruf adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengkomunikasikan, membuat, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang, sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya. Kemampuan baca tulis ini juga berkaitan langsung dengan cara seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menggali potensi, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang luas.

Angka Melek Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis, dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Batas maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas minimum 0 (standar UNDP). Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan sebaliknya.

Salah satu indikator terlaksananya dengan baik pendidikan untuk masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya angka melek huruf atau kemampuan baca tulis dalam masyarakat tersebut. Indikator ini juga dapat menggambarkan mutu dari SDM yang ada di suatu wilayah yang diukur dalam

(10)

aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM (BPS, 2011).

Menurut Meier dan Baldwin (dalam Jhingan, 1992), negara terbelakang umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut “lingkaran setan kemiskinan”. Di dalam Gambar 2.1 dijelaskan bahwa lingkaran setan ini disebabkan karena keterbelakangan manusia dan sumber daya alam. Pengembangan sumber daya alam pada suatu negara tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Jika penduduk negara tersebut terbelakang dan buta huruf, langka akan keterampilan teknik, pengetahuan dan aktivitas kewiraswastaan, maka sumber daya alam yang ada akan tetap terbengkalai, kurang atau bahkan salah guna. Di lain pihak, keterbelakangan sumber daya alam ini menyebabkan keterbelakangan manusia. Keterbelakangan sumber daya alam merupakan sebab sekaligus akibat keterbelakangan manusia.

Ketidaksempurnaan Pasar

Keterbelakangan Sumber Daya Alam

Keterbelakangan Manusia Sumber : Jhingan (1992)

Gambar 2.1

Lingkaran Setan Keterbelakangan Manusia

Menurut Simmons (dikutip dari Todaro dan Smith, 2006), pendidikan merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan. Selanjutnya Todaro dan Smith (2006) menyatakan, bahwa pendidikan merupakan tujuan

(11)

pembangunan yang mendasar. Yang mana pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Dalam penelitian Hermanto dan Dwi (2007), diketahui bahwa pendidikan mempunyai pengaruh paling tinggi terhadap kemiskinan dibandingkan variabel pembangunan lain seperti jumlah penduduk, PDRB, dan tingkat inflasi.

2.3 Inflasi

Boediono (1996), mendefinisikan inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus. Inflasi juga diartikan sebagai suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Khalwaty, 2000). Inflasi dalam perekonomian disatu sisi selalu menjadi hal yang relatif menakutkan, karena inflasi dapat melemahkan daya beli dan dapat melumpuhkan kemampuan produksi yang mengarah pada krisis produksi dan konsumsi. Akan tetapi, disisi lain ketiadaan inflasi menandakan tidak adanya pergerakan positif dalam perekonomian karena relatif harga-harga tidak berubah dan kondisi ini dapat melemahkan sektor industri.

Boediono (1998) mengelompokkan teori mengenai inflasi menjadi beberapa kelompok:

1. Teori Kuantitas, teori ini menyoroti masalah dalam proses inflasi dari (a) jumlah uang yang beredar, dan (b) psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations).

(12)

2. Teori Keynes, teori ini didasarkan atas teori makronya dan menyoroti aspek lain dari inflasi, yaitu karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Keadaan permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melibihi jumlah barang-barang-barang-barang yang tersedia.

3. Teori Struturalis, teori ini mengenai tekanan pada ketegaran dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang, karena yang dapat menyebab inflasi:

a) Ketidakelastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.

b) Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan tidak tumbuh secepat pertumbuhan penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cendrung untuk naik melebihi kenaikan harga-harga barang lain.

Inflasi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan sebagai berikut:

1. Inflasi berdasarkan parahnya atau tidak, inflasi ini melihat dari kondisi keseluruhan inflasi yang terjadi yang melihat dari persentase perubahan harga-harga. Inflasi ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:

a) Inflasi ringan (≤ 10% setahun)

b) Inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun) c) Inflasi berat (antara 30% - 100% setahun) d) Hiperinflasi (≥ 100% setahun)

(13)

Sinungan (1995), berdasarkan asalnya inflasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti:

a) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

Inflasi yang yang berasal dari dalam negeri timbul, misalnya karena adanya defisit anggaran belanja yang di biayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya.

b) Inflasi yang berasal dari luar negeri (inported inflation)

Inflasi yang berasal dari luar negri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga diluar negeri atau di negara-negara langganan kita berdagang.

Berdasarkan sebabnya inflasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian: a) Demand full Inflation

Inflasi ini disebabkan karena kenaikan permintaan masyarakat akan berbagai barang dan jasa terlalu besar (kenaikan permintaan). Hal ini terjadi apabila dalam perekonomian terjadi peningkatan pengeluaran agregat melebihi barang yang diproduksi dan tersedia di pasar. Kelebihan permintaan ini akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga. Kenaikan harga ini akan semakin bertambah cepat bila perekonomian sudah mencapai full employment.

b) Cost Push Inflation

Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan biaya produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Kenaikan ongkos produksi tersebut bisa terjadi karena upah buruh, kenaikan bahan bakar, tarif listrik, ongkos pengangkutan atau

(14)

kenaikan harga barang impor yang masih akan digunakan dalam proses produksi dalam negeri.

Inflasi yang terjadi dalam suatu perekonomian memiliki beberapa dampak atau akibat sebagai berikut :

1. Inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan diantara anggota masyarakat, dan inilah yang dinamakan efek redistribusi dari inflasi (redistribution effect of inflation). Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi dari anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan yang terjadi akan menyebabkan pendapatan riil satu orang meningkat tapi pendapatan riil orang lain akan jatuh. Namun parah atau tidaknya dampak inflasi terhadap retribusi pendapatan dan kekayaan tersebut adalah sangat tergantung pada apakah inflasi itu bersifat dapat diantisipasi atau tidak dapat diantisipasi. Inflasi yang tidak dapat diantisipasi akan mempunyai dampak yang jauh lebih serius terhadap redistribusi pendapatan dan kekayaan, dibandingkan dengan inflasi yang dapat diantisipasi.

2. Inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi (economic

efficiency). Hal ini dapat terjadi karena inflasi dapat mengalahkan sumberdaya

dari investasi yang produktif (productive investment) ke investasi yang tidak produktiv (unproductive investment) sehingga mengurangi kapasitas ekonomi produktif. Ini disebut sebagai efficiency effect of inflation.

3. Inflasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam output dan kesempatan kerja, dengan cara lebih langsung dengan memotivasi perusahaan

(15)

untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini. Ini disebut “output and employment effect of inflation”.

2.4 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur prestasi ekonomi suatu negara. Dalam kegiatan ekonomi sebenarnya, pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi fisik. Beberapa perkembangan ekonomi fisik yang terjadi di suatu negara adalah pertambahan produksi barang dan jasa, dan perkembangan infrastruktur. Semua hal tersebut biasanya diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara dalam periode tertentu.

Robert Solow (dikutip oleh Todaro dan Smith, 2006), mengembangkan model pertumbuhan ekonomi yang disebut sebagai Model Pertumbuhan Solow. Model tersebut berangkat dari fungsi produksi agregat sebagai berikut:

𝑌 = 𝐾𝛼 (𝐴𝐿)1−𝛼

dimana Y adalah pendapatan domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia (akumulasi pendidikan dan pelatihan), L adalah tenaga kerja, dan A merupakan produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Faktor penting yang mempengaruhi modal fisik adalah investasi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia).

Menurut Mankiw (2004), suatu negara yang memberikan perhatian lebih kepada pendidikan terhadap masyarakatnya ceteris paribus akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik daripada tidak melakukannya. Dengan kata lain, investasi terhadap sumberdaya manusia melalui kemajuan pendidikan akan

(16)

menghasilkan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Apabila investasi tersebut dilaksanakan secara relatif merata, termasuk terhadap golongan berpendapatan rendah, maka kemiskinan akan berkurang.

Menurut Simon Kuznets (dikutip dari Boediono,1999), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologi terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Hal tersebut menjadikan pertumbuhan ekonomi dicirikan dengan 3 hal pokok, antara lain:

1. laju pertumbuhan perkapita dalam arti nyata (riil).

2. persebaran atau distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkahnya.

3. Pola persebaran penduduk.

Boediono (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah salah satu proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dimana penekanannya pada 3 aspek, antara lain:

1. proses, yaitu pertumbuhan ekonomi bukan merupakan suatu gambaran dari suatu perekonomian yang melihat, bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu.

2. output per kapita, yaitu pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan adanya kenaikan output per kapita dalam hal ini ada dua unsur yang penting, seperti output total dan jumlah penduduk.

(17)

3. jangka waktu, yaitu kenaikan output per kapita selama 1 – 2 tahun lalu diikuti penurunan output per kapita, bukan merupakan pertumbuhan ekonomi. Dikatakan tumbuh bila dalam jangka waktu yang lama (5 tahun atau lebih) mengalami kenaikan output per kapita.

Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu :

1. Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia dapat meningkatkan kualitas modal manusia, sehingga pada akhirnya akan membawa dampak positif yang sama terhadap angka produksi, bahkan akan lebih besar lagi mengingat terus bertambahnya jumlah manusia. Pendidikan formal, program pendidikan dan pelatihan kerja perlu lebih diefektifkan untuk mencetak tenaga-tenaga terdidik dan sumber daya manusia yang terampil.

2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja

(18)

semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

3. Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara-cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni:

a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.

b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama.

c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Untuk lebih jelas dalam menghitung angka-angka Produk Domestik Regional Bruto, ada tiga pendekatan yang cukup sering digunakan dalam melakukan suatu penelitian: 1. Menurut Pendekatan Produksi

Dalam pendekatan produksi, Produk Domestik Regional Bruto adalah menghitung nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksikan oleh suatu

(19)

kegiatan ekonomi di daerah tersebut dikurangi biaya antara masing-masing total produksi bruto tiap kegiatan subsektor atau sektor dalam jangka waktu tertentu. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi dan nilai biaya, antara lain yaitu bahan baku/penolong dari luar yang dipakai dalam proses produksi (Robinson Tarigan, 2005).

2. Menurut Pendekatan Pendapatan

Dalam pendekatan pendapatan, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi diperkirakan dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor produksi, yaitu upah dan gaji dan surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto pada sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Surplus usaha meliputi bunga yang dibayarkan neto, sewa tanah, dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan banyak dipakai pada sektor jasa, tetapi tidak dibayar setara harga pasar, misalnya sektor pemerintahan. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya data dan tidak adanya metode yang akurat yang dapat dipakai dalam mengukur nilai produksi dan biaya antara dari berbagai kegiatan jasa, terutama kegiatan yang tidak mengutip biaya (Robinson Tarigan, 2005). 3. Menurut Pendekatan Pengeluaran

Pendekatan dari segi pengeluaran adalah menjumlahkan nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Jika dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto

(20)

Cara penyajian Produk Domestik Regional Bruto disusun dalam dua bentuk, yaitu :

1. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan

Menurut BPS pengertian Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan, yaitu jumlah nilai produksi atau pengeluaran atau pendapatan yang dihitung menurut harga tetap. Dengan cara menilai kembali atau mendefinisikan berdasarkan harga-harga pada tingkat dasar dengan menggunakan indeks harga konsumen. Dari perhitungan ini tercermin tingkat kegiatan ekonomi yang sebenarnya melalui Produk Domestik Regional Bruto riilnya.

2. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku

Pengertian Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menurut BPS adalah jumlah nilai tambah bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Yang dimaksud nilai tambah, yaitu merupakan nilai yang ditambahkan kepada barang dan jasa yang dipakai oleh unit produksi dalam proses produksi sebagai input antara. Nilai yang ditambahkan ini sama dengan balas jasa atas ikut sertanya faktor produksi dalam proses produksi.

Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (Sadono Sukirno, 2005). Laju pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat diukur dengan menggunakan laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Berikut ini adalah rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2007):

𝐺 =

𝑃𝐷𝑅𝐵

1

− 𝑃𝐷𝑅𝐵

0

(21)

G = Laju pertumbuhan ekonomi

PDRB1 = PDRB ADHK pada suatu tahun

PDRB0 = PDRB ADHK pada tahun sebelumnya

2.5 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu N o Nama, Tahun, Judul Variabel Metode Analisis Hasil 1 Adit Agus Prastyo, 2010, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi kasus 35 kapubaten/kota di Jawa Tengah tahun 2003-2007) X1 = Pertumbuhan Ekonomi X2 = Upah Minimum X3 = Pendidikan X4 = Tingkat Pengangguran Y = Tingkat Kemiskinan Fixed Effect Model (FEM) 1. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 2. Upah minimum berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 3. Pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 4. Pengagguran

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan. 2 Merna Kumala Sari, 2011, Analisis Pertumbuhan Ekonomi, angka Harapan Hidup, Rata-rata Lama Sekolah, Pengeluaran Perkapita, dan X1 = Pertumbuhan Ekonomi X2 = Angka Harapan Hidup

X3 = Angka Melek Huruf

X4 = Rata-rata Lama Sekolah X5 = Pengeluaran Perkapita X6 = Jumlah Penduduk Fixed Effect Model (FEM) atau Least Square Dummy (LSDV)

Angka harapan hidup, pengeluaran perkapita, dan jumlah penduduk

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemisikinan.

(22)

Penduduk terhadap Tingkat Kemiskinan di Jawa Tengah 3 Samsubar Saleh, 2002, Faktor-faktor penentu Tingkat Kemiskinan Regional Di Indonesia X1 = Tingkat Pendapatan Perkapita X2 = Pengeluaran

Pemerintah Sumber Daya Manusia X3 = Pengeluaran Pemerintah Fisik Perkapita X4 = Angka Harapan Hidup

X5 = Angka Melek Huruf

X6 = Rata-rata Lama Sekolah X7 = IPM X8 = Indeks Partisipasi Wanita X9 = Rasio Gini X10 = Populasi tanpa Akses Kesehatan X11 = Populasi tanpa

Akses Air Bersih

Y = Tingkat Kemiskinan Estimasi data cross section 1. Pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan

2. Rasio Gini berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan

3. Angka harapan hidup mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan

4. Rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan 5. IPM berpengaruh

negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan

6. Investasi SDM tidak berpengaruh signifikan 7. Investasi fisik

berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan 8. Tingkat partisipasi

wanita berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan

9. Populasi tanpa akses kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan

10. Populasi tanpa akses air bersih berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan

(23)

Fitri, 2012, Pengaruh Kualitas SDM, Pertumbuhan Ekonomi, dan rasio Gender terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Sumatera Barat Hidup

X2 = Angka Melek Huruf

X3 = Pertumbuhan ekonomi X4 = Rasio Gender Y = Tingkat Kemiskinan ordinary least square (OLS) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan 2. Angka melek huruf berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan 3. Pertumbuhan ekonomi

berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan 4. Rasio gender berpengaruh tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan 5 Widiatma Nugroho, 2012, Analisis Pengaruh PDRB, Agrishare, dan Angka Melek Huruf terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia X1 = PDRB X2 = Agrishare X3 = Rata-rata Lama Sekolah

X4 = Angka Melek Huruf

Y = Jumlah Penduduk Miskin Metode fixed effect model (FEM) PDRB , Agrishare, Rata-rata lama sekolah berpengaruh signifikan terhadap jumlah penduduk miskin.

Angka melek huruf berpengaruh tidak

signifikan terhadap jumlah penduduk miskin 6 Apriliyah S. Napitupulu, 2007, Pengaruh Indikator Komposit Indeks Pembangunan Manusia terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin di Sumatera Utara X1 = Angka Harapan Hidup

X2 = Angka Melek Huruf

X3 = Konsumsi Perkapita Y = Jumlah Penduduk Miskin Metode ordinary least square (OLS)

1. Angka harapan hidup berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin

2. Angka melek huruf berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin

3. Konsumsi perkapita berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin 7 Hasporo, Dody Nursetyo Yekti, 201, Analisis Pengaruh X1 = PDRB X2 = Pengangguran X3 = Inflasi Y = Kemiskinan Metode fixed effect model (FEM) 1. PDRB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan 2. Pengangguran

(24)

Makroekonomi Regional Terhadap Tingkat Kemiskinan Perkotaan signifikan terhadap kemiskinan 3. Inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan

2.6 Kerangka Konseptual

Pengentasan penduduk miskin saat ini masih merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional, karena di dalam permasalahan kemiskinan terdapat beberapa aspek yang berkaitan di dalamnya. Kemiskinan merupakan masalah mutidimensi dan lintas sektor yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan (Bappenas, 2010).

Pendidikan merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan. Pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Semakin tinggi angka kecakapan baca tulis, semakin tinggi pula mutu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) (Todaro,2006).

Kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana orang tidak mempunyai cukup pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan minimum (makanan dan non makanan) (BPS: 2004). Ini mengartikan inflasi mengakibatkan harga terhadap barang-barang naik secara menyeluruh dan terus-menerus, yang mengakibatkan turunnya nilai mata uang terhadap barang-barang, sehingga

(25)

mengakibatkan konsumsi masyarakat turun, ini juga berarti bahwa dengan penurunan daya beli maka akan berakibat naiknya tingkat kemiskinan. Pola konsumsi yang turun bukan diakibatkan minimnya jumlah produksi barang-barang, tetapi karena daya untuk membeli barang tidak ada, sehingga sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan minimum. Kondisi ini mengakibatkan orang yang tadinya berada pada garis mendekati miskin menjadi miskin dengan adanya inflasi, secara otomatis ini meningkatkan tingkat kemiskinan.

Pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (Siregar, 2006). Gambar 2.2 Angka Melek Huruf (X1) Inflasi (X2) Pertumbuhan Ekonomi (X3) Tingkat Kemiskinan (Y)

(26)

2.7 Hipotesis

1. Angka Melek Huruf berpengaruh negatif terhadap Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara.

2. Inflasi berpengaruh positif terhadap Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara. 3. Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif terhadap Tingkat Kemiskinan di

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu  N o  Nama, Tahun, Judul  Variabel  Metode  Analisis  Hasil  1  Adit Agus  Prastyo, 2010,  Analisis  Faktor-faktor yang  Mempengaruhi  Tingkat  Kemiskinan  (Studi kasus 35  kapubaten/kota  di Jawa Tengah  tahun  2003-2007)

Referensi

Dokumen terkait

Nilai eigen Faktor 1 yang sebesar 2,7546 menunjukkan bahwa variansi yang terjelaskan oleh Faktor 1 adalah sebesar 2,7546 dari keseluruhan nilai variansi awal yang sebesar 5

Part of the difference between the simulation and the Case is probably due to the model overestimating the cost of developing software migration tools; even though we have taken

Hasil rekapitulasi di tingkat PPK Kecamatan Samarinda yang ditolak oleh para saksi dari partai-partai politik termasuk PDK, tidak pernah diperbaiki dan hal ini telah

Topik Kista Ovarium menjadi sangat menarik untuk dibahas karena sebagian besar pasien dengan kista ovarium berada dalam kondisi asimptomatik dan baru dapat didiagnosis

Plantar Pressure in Diabetic Peripheral Neuropathy Patients with Active Foot Ulceration, Previous Ulceration and No History of Ulceration: A Meta- Analysis of

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ervilah dan Fachriyah (2015), Bustamam, et al (2010) dan Kartika (2011) menemukan pengaruh antara total

Sebagai seorang ketua Sekretariat kongres Maria Ullfah dengan tegas mengatakan kepada organisasi perempuan yang masuk ke dalam Gerakan Massa untuk memilih Kongres

dengan hasil penelitian Kautsar (2012), atribut yang mempengaruhi preferensi konsumen dalam membeli yoghurt My Healthy, antara lain: (1) Faktor atribut produk,