• Tidak ada hasil yang ditemukan

(%) Riwayat pengobatan TB sebelumnya

5.1 Hubungan Faktor Provider dengan Pemanfaatan Rujukan Poli TB MDR RSUP Haji Adam Malik Medan

5.1.1 Hubungan Sikap Petugas Medis dengan Pemanfaatan

Hasil penelitian menunjukkan sikap petugas medis (dokter, perawat dan konselor) sebanyak 62,0% pada kategori tidak baik. Hal ini memberikan gambaran bahwa petugas medis di poli TB MDR belum sepenuhnya bersikap baik dalam memberikan pelayanan kepada pasien, sehingga pasien belum sepenuhnya memanfaatkan poli TB MDR. Tokoh kunci dalam proses penyembuhan suatu penyakit ialah petugas kesehatan. Umumnya masyarakat menganggap seorang dokter mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk mendiagnosa dan menyembuhkan penyakit, sehingga dia memiliki wewenang melakukan tindakan terhadap pasien demi pencapaian kesembuhannya.

Hasil wawancara terhadap pasien yang memanfaatkan poli TB MDR sebagian besar responden menyatakan bahwa petugas medis (dokter, perawat, konselor) kurang ramah dalam melayani pasien, dan petugas medis belum sepenuhnya dapat merespon keluhan pasien, serta dokter belum spenuhnya bersedia untuk membuat janji temu

untuk konsultasi, sehingga terasa kurang nyaman dalam berkomunikasi untuk mendapatkan informasi tentang penyakit yang diderita.

Sebagian besar responden menyatakan bahwa petugas kesehatan, yaitu perawat tidak ramah dalam memberikan pelayanan, salah satu yang dikeluhkan pasien adalah sikap perawat yang ketus, kurang komunikasi dengan pasien, tidak bertutur lembut dalam berkomunikasi, tidak mampu mengontrol emosi, tidak ramah dan sopan, kurng memiliki perhatian terhadap pasien. Hal ini dapat diamati secara pribadi dan mendengarkan pendapat dari sejawat yang lain tentang sikap perawat sewaktu dinas. Salah satu prosedur pembinaan yang dilakukan, yaitu teguran secara lisan hingga pemberian surat peringatan sesuai dengan peraturan rumah sakit. Selain itu manajemen rumah sakit perlu melakukan training of trainer bagi para kepala perawat. Penting bagi kepala perawat menyediakan waktu dan tempat khusus untuk melakukan pembinaan serta melakukan proses monitoring dan evaluasi agar menjamin bahwa perbaikan sikap memang dilakukan dengan baik oleh perawat. Hal ini menjadi masukan bagi manajemen RSUP HAM Medan melalui kepala instalasi poli TB MDR untuk perlunya suatu program pembinaan kepada perawat baru maupun perawat yang telah lama bekerja di rumah sakit dan mengikutsertakan petugas medis (perawat) didalam mutu rumah sakit.

Hasil wawancara dengan pasien yang tidak memanfaatkan poli TB MDR sebagian besar memberikan alasan bahwa sikap petugas medis (dokter, perawat, konselor) belum sepenuhnya bersahabat dan berpengalaman memberikan, sehingga kurang nyaman berkomunikasi dalam menjelaskan hasil pemeriksaan dan tindakan

yang dilakukan petugas medis serta penguatan dalam mengambil keputusan untuk menjalani pengobatan di Poli TB MDR.

Peran dokter dalam pengobatan TB sangat penting dalam hal menjalin komunikasi, memberikan informasi dan edukasi pada pasien. Hal ini terkat dengan karakteristik responden sebanyak 54,6% menyatakan bahwa petugas kesehatan tidak pernah menyampaikan kemungkinan terjadinya TB-MDR jika tidak teratur (patuh) minum obat pada saat pengobatan TB sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Soewono (2006) yang mengungkapkan interaksi antara dokter dan pasien dimana ada anggapan dari pasien bahwa dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sehingga membuat mereka enggan untuk bertanya. Pasien tidak memahami bagaimana cara berpartisipasi dengan dokter, sehingga tidak terlibat secara seimbang dalam berkomunikasi. Dokter juga biasanya bersikap judes atau acuh terhadap pasien, sehingga sulit diajak untuk berkomunikasi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2012), yang mengungkapkan bahwa struktur sikap seseorang terdiri dari komponen yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun ketiga komponen tersebut tidak selalu saling berinteraksi untuk membentuk sikap yang utuh (total attitude). Jika individu hanya mempunyai satu atau dua komponen saja, maka sikap untuk menghasilkan perilaku yang diharapkan belum tentu terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa sikap petugas medis dalam melayani pasien masih perlu ditingkatkan.

Salah satu faktor penyebab belum optimalnya pemanfaatan poli TB MDR RSUP HAM Medan didukung oleh teori Green dalam Notoatmodjo (2012), yang

menyatakan bahwa faktor predisposisi yang terwujud dalam sikap merupakan salah satu faktor yang mendukung seseorang dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan manajemen RSUP HAM Medan untuk dapat menyikapi masalah pasien TB MDR adalah dengan meningkatkan komunikasi petugas medis (dokter, perawat dan petugas konseling) melalui pemberian informasi dan eduksasi mengenai TB MDR dan pentingnya kepatuhan pasien dalam menjalani terapi.

Keadaan ini didukung pendapat Aditama (2002) bahwa keluhan pasien yang timbul atas pelayanan seorang dokter di rumah sakit, yaitu : tidak diberi cukup waktu oleh dokter, keangkuhan sikap dokter, tidak ada penjelasan tentang informasi penyakit, waktu tunggu datangnya dokter yang lama dan tidak ada kerjasama antar dokter yang merawat.

Hasil uji statistik secara multivariat menunjukkan variabel sikap petugas medis berhubungan positif dan signifikan drengan pemanfaatan poli TB MDR dengan nilai probabilitas p=0,024<p=0,05 dan nilai Exp (B) sebesar 9,984, artinya dengan sikap petugas medis yang baik responden mempunyai peluang 10 kali memanfaatkan poli TB MDR dibandingkan dengan sikap petugas medis tidak baik.

Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Nofizar dkk. (2010) menyimpulkan bahwa lebih dari separuh pasien tidak mendapatkan pengobatan TB secara benar walaupun telah memiliki komunikasi yang baik, informasi, dan edukasi tentang TB dari dokter mereka. Pasien TB sangat membutuhkan edukasi secara dini tentang pengobatannya serta faktor-faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan/

kegagalan terapi. Data menunjukkan bahwa pelaksanaan program nasional TB yang baik dan penggunaan obat secara efisien dapat menunda dan mengatasi epidemi TB MDR.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Donabedian (2005), menyatakan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan interaksi antara konsumen dengan provider (penyedia pelayanan). Salah satu faktor yang memengaruhi pemanfaatan tersebut adalah faktor sosial psikologis, yaitu sikap tentang pelayanan kesehatan.

5.1.2 Hubungan Penjelasan tentang Pengobatan dengan Pemanfaatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan rujukan poli TB MDR berdasarkan penjelasan tentang pengobatan sebanyak 50,9% pada kategori tidak baik. Hal ini memberikan gambaran bahwa petugas medis belum sepenuhnya memberikan penjelasan tentang pengobatan dengan baik karena sebagian besar responden masih ada yang belum memanfaatkan poli TB MDR.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien yang tidak memanfaatkan poli TB MDR sebagian besar menyatakan bahwa kadang-kadang perawat tidak menjelaskan efek obat jika tidak diminum dan tidak menjelaskan efek samping obat. Hal ini memberikan gambaran bahwa komunikasi petugas medis penjelasan tentang pengobatan dengan pasien belum sepenuhnya baik. Hal ini juga terkait dengan karakteristik responden dengan usia terbanyak 33-50 tahun, yaitu sebanyak 62,0%, jenis kelamin laki-laki 63,0% dengan tingkat pendidikan lebih banyak SLTA, yaitu 79,6% serta pekerjaan 52,8% buruh/tukang yang lebih kritis dalam hal tuntutan pelayanan. Hasil wawancara dengan responden yang memanfaatkan mereka berasalan

bahwa petugas menjelaskan tata cara penggunaan obat yang diresepkan, kegunaan obat yang diresepkan baik jumlah dan jenisnya, dan efek samping obat yang diresepkan. Hal ini memberikan gambaran bahwa komunikasi petugas medis dengan pasien yang memanfaatkan sudah baik, namun menurut pasien kadang-kadang petugas obat jika tidak ditanya maka petugas hanya memberikan obat saja dan tidak ada memberikan penjelasan, seharusnya petugas obat memberikan penjelasan kepada pasien sebelum pasien pulang, hal ini merupakan salah satu penghambat dalam memotivasi pasien dalam memanfaatkan poli TB MDR.

Poli TB MDR RSUP HAM Medan perlu mengupayakan peningkatan pelayanan petugas yang memberikan obat (keramahan petugas, kelengkapan obat, harga obat, kemudahan pelayanan, informasi kamanan obat), sehingga fungsi-fungsi manajerial dapat berjalan karena struktur manajerial dalam organisasi pelayanan kesehatan mempengaruhi penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Obat merupakan salah satu faktor utama dalam penanganan penderita TB MDR. Penjelasan tentang pengobatan untuk penderita TB mengikuti ketersediaan layanan kesehatan TB dimasyarakat. Bila layanan TB tidak tersedia maka dapat dipastikan obat-obatannya juga tidak tersedia. Penjelasan penggunaan obat ini terkait dengan upaya penyembuhan pasien TB-MDR. Menurut WHO (2003) walaupun telah diketahui obat-obat untuk mengatasi TB dan penyakit TB dapat disembuhkan dengan obat-obat TB, penanggulangan dan pemberantasannya sampai saat ini belum memuaskan. Angka drop out (mangkir, tidak patuh berobat) yang tinggi, pengobatan tidak adekuat, dan resistensi terhadap Obat Anti Tuberculosis (OAT), yaitu MDR TB merupakan kendala utama yang sering terjadi dalam pengendalian TB dan merupakan

tantangan terhadap program pengendalian TB. TB MDR terjadi bila penderita putus berobat sebelum masa pengobatan selesai atau penderita sering putus-putus minum obat selama menjalani pengobatan TB.

Muninjaya (2004) mengungkapkan bahwa sebagai organisasi rumah sakit harus melaksanakan fungsi manajerial seperti fungsi perencanaan belum secara optimal dilakukan. Salah satu perencanaan yang belum optimal dilakukan adalah perencanaan ketersediaan obat karena kadang-kadang masih terjadi kekurangan obat dikarenakan kurangnya monitoring dan evaluasi dari pimpinan secara struktural.

Menurut Anderson dkk (1974) dalam Notoatmodjo (2012) pada umumnya komponen dari sistem pelayanan kesehatan ditandai oleh dua unsur utama, yakni sumber daya dan organisasi. Sumber daya adalah tenaga kerja dan modal termasuk di dalamnya struktur dimana pelayanan dan pendidikan kesehatan disediakan, peralatan dan bahan yang digunakan dalam memberikan pelayanan. Organisasi mengacu kepada bagaimana tenaga dan fasilitas dikoordinasikan dan dikendalikan dalam proses pelayanan.

Hasil uji statistik secara multivariat menunjukkan variabel penjelasan tentang pengobatan berhubungan positif dan signifikan dengan pemanfaatan dengan nilai probabilitas p=0,036<p=0,05 dan nilai Exp (B) sebesar 8,167, artinya dengan penjelasan tentang pengobatan yang baik responden mempunyai peluang 8 kali memanfaatkan poli TB MDR dibandingkan dengan penjelasan tentang pengobatan yang tidak baik.

Hasil penelitian ini didukung pendapat WHO (2008) mengungkapkan bahwa resistensi obat antituberkulosis (OAT) sangat erat hubungannya dengan riwayat

pengobatan sebelumnya. Pasien yang pernah diobati sebelumnya mempunyai kemungkinan resisten 4 kali lebih tinggi dan untuk TB MDR lebih 10 kali lebih tinggi daripada pasien yang belum pernah menjalani pengobatan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Donabedian (2005), yang menyatakan bahwa sarana fisik dan peralatan merupakan komponen struktur. Baik tidaknya struktur sebagai masukan dapat diukur dari jumlah dan besarnya masukan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori Green dalam Notoatmodjo (2010), dimana faktor ketersediaan sarana dan prasarana merupakan faktor yang memengaruhi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

5.1.3 Hubungan Penyuluhan dengan Pemanfaatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan poli TB MDR berdasarkan penyuluhan sebanyak 51,9% pada kategori tidak pernah mendapat penyuluhan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang memanfaatkan poli TB MDR beralasan tidak mengetahui bahwa sewaktu berkunjung ke poli TB MDR ceramah dengan dokter merupakan penyuluhan, sehingga pasien lain yang hendak berkunjung menunggu lama karena dokter memberikan ceramah kepada pasien tentang TB MDR di ruang periksa. Hal ini memberikan gambaran bahwa pada poli TB MDR tidak ada petugas khusus memberikan penyuluhan tentang TB MDR, sehingga pasien TB memiliki persepsi penyuluhan tidak diberikan karena bukan melalui program khusus penyuluhan. Salah satu tujuan dokter memberikan cermah kepada pasien TB MDR agar pasien patuh dalam menjalani terapi, untuk mengatasi epidemi TB MDR. Berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya diketahui

sebanyak 52,8% responden telah menjalani 2 kali pengobatan, namun masih minim mendapat penyuluhan.

Penyuluhan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. Metode ceramah merupakan salah satu metode yang paling ekonomis. Adapun kelebihan metode ceramah adalah penceramah mudah menguasai kelompok, penceramah mudah menerangkan banyak bahan ajar berjumlah besar, dapat diikuti sejumlah orang dan mudah dilaksanakan. Salah satu kelemahan metode ceramah adalah pesan yang terinci mudah dilupakan setelah beberapa lama. Alat bantu lihat (visual aid) yang sering digunakan untuk meningkatkan efektivitas ceramah adalah leaflet (Depkes RI, 2001).

Dalam program penanggulangan tuberkulosis, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini untuk penderita suspek, dan keluarganya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, kader dan PMO. Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan untuk berhasil dibanding dengan cara penyuluhan melalui media (Depkes RI, 2008)

Penyuluhan kesehatan oleh petugas bagi penderita TB perlu disampaikan sewaktu penderita baru suspek TB mengenai penyakit TB, jadwal pengambilan

dahak, dan saat mau memulai pengobatan TB, dan sewaktu kontrol untuk mengambil obat tentang efek samping OAT (Depkes RI, 2008).

Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan promosi kesehatan rumah sakit dalam memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran pasien TB MDR menggunakan bahasa yang mudah dipahami penderita TB, sehingga dengan sadar mau mengubah perilakunya menjadi perilaku sehat, yaitu patuh menjalani dan mengikuti terapi sesuai dengan aturan. Upaya penyuluhan ini dilakukan di rumah sakit melalui ceramah maupun dengan menggunakan alat peraga.

Hasil uji statistik secara multivariat menunjukkan variabel penyuluhan berhubungan positif dan signifikan dengan pemanfaatan dengan nilai probabilitas

p=0,039<p=0,05 dan nilai Exp (B) sebesar 7,747, artinya responden yang mendapat penyuluhan mempunyai peluang 8 kali memanfaatkan poli TB MDR dibandingkan dengan responden yang tidak mendapat penyuluhan.

Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Amaliah (2012) yang menyimpulkan bahwa penderita yang menganggap penyuluhan kesehatan tidak dilaksanakan memiliki risiko terjadinya kegagalan konversi sebesar 3,500 kali lebih besar dibanding penderita yang menganggap penyuluhan kesehatan dilaksanakan. Secara statistik penyuluhan kesehatan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kegagalan konversi (p< 0.001). Demikian juga hasil penelitian Nofizar dkk. (2010) menyimpulkan bahwa informasi tentang kemungkinan untuk terjadinya TB MDR pada kasus-kasus pengobatan TB yang tidak teratur tidak pernah disampaikan oleh

dokter/tenaga medis, hal ini diakui oleh 98% pasien dan hanya 1 orang pasien yang mengatakan pemah mendengar hal tersebut.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Donabedian (2005), yang menyatakan bahwa fasilitas yang dimiliki provider merupakan faktor yang memengaruhi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Fasilitas dalam hal ini adalah petugas khusus yang memberikan penyuluhan tentang TB MDR.

5.2 Hubungan Faktor Consumer dengan Pemanfaatan Poli TB MDR RSUP

Dokumen terkait