• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Sosiodemografi dengan Infeksi Cacing pada Anak

5.1.1. Hubungan Jenis Kelamin Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44,2 % infeksi cacing terjadi pada anak laki-laki, sedangkan anak perempuan yang terinfeksi hanya 40,0%. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa infeksi cacing ditemukan lebih dominan terjadi pada laki-laki. Hal ini disebabkan anak laki-laki cenderung lebih sering berada di luar rumah dan mempunyai kebiasaan bermain yang secara kontinu terpapar dengan tanah yang mengandung telur cacing, sehingga sangat berpotensi terinfeksi cacing, sedangkan anak perempuan cenderung lebih dominan berada di dalam rumah dan relatif sedikit terpapar dengan tanah secara langsung, sehingga relatif kecil terinfeksi telur cacing.

Namun secara statistik perbedaan jenis kelamin justru tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan infeksi cacing yang ditunjukkan oleh nilai p=0,674 (p>0,05), artinya pada anak SD di Kecamatan Deli Tua, jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak berhubungan terhadap terjadinya infeksi cacing.

Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Hotez et.al (2003) bahwa laki- laki secara umum lebih rentan terhadap penyakit infeksi dibandingkan wanita. Hal ini juga benar untuk infeksi parasit. Tetapi perbedaannya prevalensi dari infeksi parasit

secara keseluruhan lebih tinggi pada wanita dibanding dengan pria tanpa memperhatikan umur. 55.8 60.0 44.2 40.0 0 10 20 30 40 50 60 70 Laki-laki Perempuan Jenis Kelam in P re v .R a te (% ) Negatif Positif

Gambar 5.1. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Jenis Kelamin pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

Namun hasil penelitian ini menjadi suatu fenomena menarik bahwa meskipun secara persentase menunjukkan perbedaan intensitas infeksi cacing antara laki-laki dengan perempuan namun secara serempak tidak menunjukkan hubungan secara statistik, artinya perbedaan jenis kelamin tidak berhubungan dengan infeksi cacing pada anak SD.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Widjana dan Sutrisna (2000) bahwa prevalensi infeksi ascaris dan trichuris tidak ada perbedaan signifikan antara pria dan wanita, tetapi infeksi cacing tambang lebih tinggi pada pria dibanding dengan wanita.

5.1.2. Hubungan Status Gizi Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan status gizi anak dengan infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua yang ditunjukkan oleh nilai p<0,05, artinya status gizi anak SD berhubungan terhadap infeksi cacing. Hal ini didukung oleh adanya perbedaan prevalence rate infeksi cacing berdasarkan status gizi. Prevalence Rate anak SD yang terinfeksi cacing 73,7% mempunyai status gizi kurang dibandingkan anak dengan status gizi sedang dan baik yaitu sebesar 34,6% seperti pada Gambar 5.2.

Berdasarkan nilai rasio prevalence (RP), diketahui RP=2,48 (95% CI : 1,151- 5,362), artinya anak sekolah dasar dengan status gizi kurang prevalensi infeksi cacing yang terjadi 2,48 kali lebih besar dibandingkan prevalensi infeksi cacing pada anak dengan status gizi baik. Lebih lanjut infeksi cacing dapat semakin memperburuk kondisi gizi anak, artinya terdapat hubungan timbal balik antara gizi anak dengan infeksi cacing. Anak dengan gizi kurang cenderung lebih rentan terinfeksi cacing karena berhubungan dengan kondisi imunitasnya, sebaliknya anak yang terinfeksi cacing cenderung lebih mudah memperburuk status gizinya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andrade (2001) bahwa prevalensi infeksi STHs 65% dengan intensitas infeksi berat 8,5%, ditemukan 16% anak wasted dan 27% anak stunted. Anak yang terinfeksi cacing biasanya mengalami penurunan nafsu makan, sehingga terjadi penurunan berat badan, gangguan

73.7 34.6 26.3 65.4 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0

Kurang Baik‐Sedang

STATUS GIZI P re v a le n si   Ra te   (% ) Positif Negatif

Gambar 5.2 Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Status Gizi Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Berdasarkan uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel status gizi anak merupakan salah satu variabel paling berhubungan terhadap infeksi cacing pada anak SD dengan nilai ß=1,953;RP=7,051, artinya rasio prevalen anak terinfeksi cacing pada anak dengan status gizi kurang adalah 7 kali dibanding anak dengan status gizi baik.

Sedangkan penelitian Calender (1992), yang dikutip Nurlila (2002) menunjukkan bahwa anak-anak dengan sindroma disentri karena trichuriasis mempunyai tinggi badan dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Penelitian Mohammad (1995) di Malaysia terhadap 331 murid sekolah dasar yang cukup gizi dan tidak anemia menyimpulkan bahwa infeksi cacing terutama askariasis dan trichuriasis menurunkan kecerdasan anak secara langsung dan bukan karena malnutrisi.

Infeksi cacing menyebabkan penderitanya kurang nafsu makan, sehingga akan menurunkan masukan gizi, berikutnya dapat mengganggu saluran cerna, gangguan pada absorpsi makanan sehingga zat gizi akan banyak yang hilang. Banyaknya zat gizi yang hilang maka akan mengakibatkan malnutrisi, anemia dan defesiensi gizi. Malnutrisi akan menyebabkan rendahnya cadangan tenaga atau energi dan tingkat kesegaran jasmani sehingga akan menurunkan produktifitas terutama pada orang dewasa, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan. Dengan kurangnya pendapatan maka akan mengurangi akses untuk mendapatkan makanan. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa kejadian infeksi cacing dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan malnutrisi, sedangkan kemiskinanan dan malnutrisi akan menambah beratnya infeksi.

5.1.3. Hubungan Personal hygiene Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal hygiene atau higiene

perorangan anak mempunyai hubungan signifikan dengan infeksi cacing pada anak SD dengan nilai p<0,05, artinya personal hygiene anak berhubungan terhadap terjadinya infeksi cacing. Anak yang menderita infeksi cacing secara keseluruhan 62,0% di antaranya memiliki personal hygiene yang kurang, dengan Prevalence Rate yang hampir sama pada ketiga kategori infeksi cacing. Hal ini mengindikasikan bahwa personal hygiene berhubungan terhadap infeksi cacing pada anak SD. Hal ini dapat didukung oleh nilai probabilitas anak SD yang terinfeksi cacing, sebesar 34,7%

Berdasarkan uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel personal hygiene merupakan salah satu variabel yang berhubungan terhadap infeksi cacing pada anak SD dengan nilai ß=1,595;RP=4,929, artinya rasio prevalensi anak terinfeksi cacing pada anak dengan personal hygiene kurang adalah 4,9 kali dibanding anak dengan personal hygiene baik.

Personal hygiene ini dilihat berdasarkan keadaan kuku anak dan kebersihan kuku anak. Kuku anak yang panjang biasanya mudah terkotaminasi dengan tanah yang tercemar dan jika tidak dibersihkan maka akan mudah terinfeksi cacing. Hasil penelitian menunjukkan kuku anak mayoritas (60,8%) mempunyai kuku yang panjang (tidak dipotong), dan 53,6% terlihat kotor dan tidak dibersihkan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Fernando et al (2002) di Brazil menunjukan hasil bahwa tingginya prevalensi infeksi cacing berhubungan dengan indeks hygiene yang rendah dengan tingkat kepercayaan 95%, dan OR= 4,58, artinya ada hubungan antara personal hygiene dengan risiko terinfeksi Ascaris

lumbricoides 4,6 kali lebih besar pada anak-anak yang higiene perorangannya kurang dibandingkan dengan higiene perorangan anak baik.

62.0 21.3 38.0 78.7 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 Kurang Baik

PERSONAL HYGIENE ANAK

P re v a le n si   Ra te   (% ) Positif Negatif

Gambar 5.3. Prevalensi Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Personal Hygiene di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Menurut Margono (1995), bahwa infeksi cacing juga disebabkan karena kebersihan diri yang buruk, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan, sikap dan perilaku atau kebiasaan hidup sehat yang belum membudaya, kondisi geografis (jenis tanah dan iklim tropis) yang sesuai untuk pertumbuhan cacing.

5.1.4. Hubungan Tindakan Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan perilaku anak dengan infeksi cacing dengan nilai p=0,006, artinya perilaku anak berhubungan terhadap infeksi cacing pada anak SD. Prevalence Rate anak terinfeksi cacing 54,7% terdapat pada anak dengan perilaku kategori kurang. Secara Prevalensi Rate

masing 80,0% anak dengan infeksi berat, 92,9% anak dengan infeksi sedang, dan 54,5% anak dengan infeksi ringan memiliki perilaku kurang. Artinya bahwa beratn intentitas infeksi cacing juga terjadi akibat tindakan anak itu sendiri.

ya 54.7 27.3 45.3 72.7 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 Kurang Bai k TINDAKAN ANAK P re v a le n si   Ra te   (% )

Posi tif Negatif

Gambar 5.4. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Tindakan Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

Tindakan anak dilihat berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang lazim dilakukan

ak

ian

,7% seperti memakai sandal, mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar, dan kebiasaan bermain dengan tanah. Semakin tinggi frekuensi an untuk tidak melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut di atas, maka semakin besar kemungkinan untuk terinfeksi cacing. Hal ini dapat diindikasikan dari hasil penelit bahwa 38,1% anak jarang mamakai sandal, sehingga berpotensi terhadap paparan telur cacing yang ada di tanah. Selain itu 43,3% anak sering makan di halaman rumah, 36,1% anak tidak pernah dan jarang mencuci tangan sebelum makan, 43 anak tidak pernah mencuci tangan pakai sabun setelah buang air besar, dan 39,2%

anak sering bermain tanah, sehingga secara keseluruhan menjadi faktor risiko terhadap infeksi cacing.

Hal ini sejalan dengan penelitian Wachdanijah, dkk (2002) pada Anak SD dan

i Taiwan menyebutkan bahwa kebiasaan

n

dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

tidak menunjukkan ilai di Kabupaten Kebumen menemukan bahwa anak yang tidak menggunakan sandal sering bermain tanah 76,9% terinfeksi cacing, dan anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan 63,7% terinfeksi cacing.

Hasil penelitian Sung, tahun 2001 d

murid bermain di tanah dan kebiasaan menggigit jari kuku berhubungan dengan terjadinya infeksi cacing. Hubungan faktor risiko dengan infeksi cacing tersebut adalah untuk kebiasaan bermain tanah (OR, 2.52; 95% CI, 1.80- 3.51, kebiasaan menggigit kuku (OR, 2.15; 95% CI, 1.58-2.93), kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makanan (OR, 1.71; 95% ci, 1.23-2.37), dan yang tinggal di rumah buka apartemen (OR, 1.56; 95% CI, 1.04-2.35).

5.1.5. Hubungan Sosioekonomi Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosial ekonomi

hubungan signifikan dengan infeksi cacing pada anak SD yang ditunjukkan oleh n p>0,05, artinya sosial ekonomi keluarga tidak berhubungan terhadap infeksi cacing pada anak SD. Anak yang menderita infeksi cacing 50,0% memiliki sosial ekonomi kategori miskin, dan 31,7% kategori tidak miskin. Berdasarkan angka prevalensi infeksi diketahui bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin 80,0% terinfeksi

ringan. Keadaan ini mencerminkan bahwa tinggi atau rendahnya suatu keluarga dari aspek pendapatan atau strata sosial cenderung tidak berhubungan dengan infeksi cacing pada anak SD.

50.0 31.7 50.0 68.3 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0

Miski n Tidak Mi skin

SOSIAL EKONOMI KELUARGA 

P re v a le n si   Ra te   (% )

Posi tif Negatif

Gambar 5.5. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Sosial Ekonomi Keluarga di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun

Hasil p an ini sejalan dengan penelitian Hotez et al (2003) bahwa status

n 2008

eneliti

sosioekonomi di area pinggiran kota maupun pedesaan tidak ada hubungan yang konsisten. Namun menurut Brown (1979) kondisi ekonomi yang buruk merupaka faktor yang menguntungkan untuk penyebaran infeksi cacing. Anak-anak secara sosial ekonomi masih tergantung pada orang tua dan menjadikan mereka sebagai contoh dalam berperilaku, sehingga tingkat pendidikan, pengetahuan dan sosial ekonomi orang tua juga memiliki pengaruh terhadap perilaku anak-anak.

5.1.6. Hubungan Sanitasi Perumahan dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

gan perumahan

empu 5),

iaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanitasi lingkun

m nyai hubungan signifikan dengan infeksi cacing pada anak SD (p<0,0 artinya variabel sanitasi lingkungan perumahan yang dilihat berdasarkan ketersed jamban keluarga, kebersihan lingkungan rumah berhubungan terhadap infeksi cacing anak. Prevalence Rate anak yang terinfeksi cacing 57,8% berasal dari keluarga dengan sanitasi lingkungan yang kurang dibandingkan anak dari keluarga yang sanitasi perumahannya kategori baik. Keadaan ini memberikan suatu gambaran bahwa sanitasi perumahan erat kaitannya dengan infeksi cacing pada anak SD.

57.8 28.8 42.2 71.2 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 Buruk Baik

SANITASI LINGKUNGAN PERUMAHAN 

P re v a le n si   Ra te   (% ) Posi ti f Negatif

Gambar 5.6. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Sanitasi Lingkungan Perumahan di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

Sanitasi perumahan yang dimaksud adalah ketersediaan dan kebersihan jamban keluarga, kondisi kebersihan lingkungan sekitar rumah. Menurut Slamet (2001), bahwa sarana sanitasi seperti jamban, saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah, sarana air bersih dan lainya yang tidak sehat/tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi media penularan penyakit atau menjadi tempat berkembang biaknya vektor penyebar penyakit.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wibowo (2000) menyatakan ada hubungan bermakna antara kondisi sanitasi lingkungan dengan infeksi cacing pada anak SD. Penelitian Margono di daerah Joglo, Jakarta Barat menyatakan 18,5% sampel tanah tercemar oleh A. lumbricoides.

Pembuangan kotoran, air limbah, sampah dan pemeliharan lingkungan perumahan sangat berperan dalam penanggulangan penyebaran infeksi cacing. Terjadinya infeksi baru maupun yang berulang lebih banyak disebabkan karena terjadinya pencemaran tanah oleh tinja penderita (Kusnoputranto, H, 1997). Pernyataan ini dibuktikan penelitian Margono (1987) yang menyebutkan bahwa 18,5% sampel tanah telah tercemar oleh telur cacing A.Lumbricoides. Menurut Ismid dkk (1980) dikutip dari Nurlila (2002) telur A.lumbricoides banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan tempat teduh di bawah pohon (33,3%).

Penelitian Hadidjaja, dkk (1989), mendapatkan bahwa sampel air limbah (got) ternyata positip mengandung telur A.lumbricoides. Telur A.lumbricoides juga banyak ditemukan di sekitar sumur, jamban, tempat cuci, di pinggir kali/sungai bahkan ada yang di dalam rumah. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan dalam penyediaan

sarana sanitasi lingkungan seperti air bersih, tempat mencuci, jamban, tempat mandi, sampah dan lain sebagainya, hal ini penting dilakukan guna memutus mata rantai penyebaran infeksi cacing.

5.1.7. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu mempunyai hubungan signifikan dengan infeksi cacing pada anak SD (p<0,05), artinya semakin baik pengetahuan ibu maka semakin kecil kemungkinan anaknya terinfeksi cacing. Pengetahuan ibu tersebut berhubungan dengan pemahamannya tentang penyakit cacing, upaya pencegahan dan pengobatan anak yang terinfeksi cacing. Hasil penelitian menunjukkan infeksi cacing 58,0% terdapat pada anak dari ibu berpengetahuan kategori kurang.

58.2 21.4 41.8 78.6 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 Kurang Baik PENGETAHUAN IBU P re v a le n si   Ra te   (% ) Positif Negatif

Selain itu berdasarkan pengujian secara serempak dengan uji regresi logistik ganda juga menunjukkan variabel pengetahuan ibu berhubungan secara signifikan dengan infeksi cacing, dan merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan infeksi cacing yang ditunjukkan oleh nilai β tertinggi yaitu β=9,141.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wachidanijah, dkk (2002) pengetahuan dan perilaku anak memiliki hubungan yang signifikan dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen. Penelitian Hosain et al, (2003) infeksi parasit intestinal secara signifikan ditemukan lebih rendah pada anak dengan penggunaan jamban yang bersih dan yang telah mendapatkan pendidikan kesehatan.

Pengetahuan ibu tersebut menjadi faktor penting untuk diperhatikan

mengingat anak usia sekolah dasar cenderung lebih dominan di bawah pengawasan ibu, sehingga diperlukan pemahaman ibu tentang infeksi cacing, pencegahan dan pengobatan infeksi cacing.

Walaupun pada penelitian ini, secara statistik ditemukan bahwa pengetahuan ibu merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan infeksi cacing, tidak berarti pengetahuan ibu menjadi faktor yang paling penting untuk terjadi atau tidak terjadinya infeksi cacing, mengingat infeksi cacing merupakan penyakit yang bersifat multicausal, artinya faktor pengetahuan ibu hanya merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya infeksi cacing, disamping faktor risiko lainnya.

5.1.8. Hubungan Tindakan Ibu dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan tindakan ibu dengan infeksi cacing pada anak SD dengan nilai p<0,05. Secara keseluruhan 58,0% anak yang menderita infeksi cacing adalah anak dari ibu dengan tindakan kurang. Secara Prevalence Rate anak yang terinfeksi cacing dengan intensitas tinggi 80,0% terjadi pada anak dengan tindakan ibu kategori kurang, anak yang terinfeksi cacing dengan intensitas sedang 64,3% juga terdapat pada ibu dengan perilaku yang kurang, dan 72,7% anak yang terinfeksi cacing dengan intensitas ringan juga terdapat pada anak dari ibu dengan pengetahuan kategori kurang.

Keadaan tersebut mencerminkan bahwa tindakan ibu sangat erat kaitannya dengan infeksi cacing pada anaknya. Tindakan ibu dilihat berdasarkan kebiasaan ibu mencuci tangan anaknya sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar anaknya, kebiasaan mencuci sayuran sebelum dimasak dan kebiasaan membersihkan jamban keluarga. Hasil penelitian menunjukkan 36,1% ibu tidak pernah dan jarang mencuci tangan anaknya sebelum makan, 43,7% ibu tidak pernah mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar.

Gambar 5.8. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Tindakan Ibu di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Tindakan ini merupakan bukti nyata dari pengetahuan seseorang terhadap objek dan merupakan faktor kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Oleh sebab itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka tindakan atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Tindakan terhadap faktor lingkungan fisik adalah dalam bentuk perbaikan sanitasi lingkungan, sedangkan tindakan terhadap lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam bentuk program-program peningkatan pendidikan, perbaikan sosial ekonomi masyarakat, penstabilan politik dan keamanan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Pendidikan kesehatan merupakan bentuk tindakan terutama terhadap faktor perilaku, namun demikian tindakan terhadap faktor-faktor lainnya seperti lingkungan, pelayanan kesehatan dan hereditas juga memerlukan tindakan pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Seperti diketahui sampai saat ini telah banyak fasilitas kesehatan lingkungan yang dibangun seperti jamban keluarga, jamban umum, tempat sampah dan sebagainya. Namun karena perilaku masyarakat, sarana atau fasilitas tersebut kurang atau tidak dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik. Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan, artinya pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit, dan sebagainya. Kesadaran masyarakat di atas disebut tingkat kesadaran/pengetahuan masyarakat tentang kesehatan atau disebut “melek kesehatan” (health literacy) (Notoatmodjo, 2003).

5.2. Hubungan Tindakan Pengobatan dengan Infeksi Cacing pada Anak SD

Dokumen terkait