• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Faktor Sosiodemografi Dan Tindakan Pengobatan Dengan Infeksi Cacing Pada Anak Sekolah Dasar Di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hubungan Faktor Sosiodemografi Dan Tindakan Pengobatan Dengan Infeksi Cacing Pada Anak Sekolah Dasar Di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alemina Sri., 2003. Hubungan antara Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara.

Andrade C, Alava T, et.al., 2001. Prevalence and Intensity of Soil-transmitted Helminthiasis in the City of Portoviejo. Mem Inst Oswaldo Cruz Rio de Janeiro Vol.96(8).

Ariawan Iwan, 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jurusan Biostatistik dan Kependudukan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Jakarta.

Awasthi S, DAP Bundy, Lorenzo Savioli., 2003. Clinical Review. Helminthic Infections. BMJ Volume 327 23 Agustsus 2003.

Badan Pusat Statistik, 2007. Tingkat kemiskinan dan Pengangguran di Sumatera Utara. Berita Resmi Statistik BPS Propinsi Sumatera Utara. No.07/03/12/Th X.

Badan Pusat Statistik, 2006. Deli Serdang dalam Angka. BPS Deli Serdang dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Deli Serdang.

__________, 2006. Kecamatan Deli Tua dalam Angka. BPS Deli Serdang dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Deli Serdang.

Brooker Simon, 2002. Human Helminth Infection in Indonesia. Report to Unicef East Asia & Pacific Region Office. Departement of Infection & Tropical Diseases. London School of Hygiene & Tropical Medicine.

Buuts Christine & Henderson O Sean, 2003. Ascariasis. Topics in Emergency Medicine Frederick Jan-Mar 2003. Vol.25 Iss.1.www.proquest.umi.com. Chandrashekhar TS, Joshi HS et.el., 2005. Prevalence and Distribution of

(2)

Departemen Kesehatan RI., 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan.

www.depkes.go.id.

D.Sur., 2003. A study of the impact of albendazole on the nutritional status of children between 2-5 years of age in an urban slum of Kolkata. National Institute of Cholera and Enteric Diseases (NICED) Annual Report.

DWT.Crompton et.al., 2003. Controlling Diseases due to Helminth Infection WHO, Geneva. Book Reviews. Indian Journal Med Res 120.August 2004. DWT Crompton and MC Nesheim., 2002. Nutritional Impact of Intestinal

Helminthiasis during the Human Life Cycle. Annual Review of Nutrition Journal.

Ghaffar A., 2007. Parasitology Chapter Four. Microbiology and Immunology Online. University of South Carolina.

Hotez JP, Donald AP Bundy, Kathleen Beegle et al., 2003. Disease Control Helminth Infections: Soil-Transmitted Helminth Infections and Scistosomiasis.

Hotez JP et al., 2004. Hookworm Infection. The New England Journal of Medicine Review Article. Vol 351 No.8.

Judarwanto W., 2006. Permasalahan Umum Kesehatan Anak Usia Sekolah. Pada Seminar Ilmiah Populer Kesehatan Anak Usia Sekolah.

Mahiswaty Mundy, 2005. Cacing Isap Ratusan Miliar Rupiah dan Miliaran Liter Darah. Yayasan Kusuma Buana (YKB)`- Program Pemberantasan Cacingan di Jakarta. www.korantempo.online.com. 29 Maret 2005.

Mascie Nicholas CG, 2006. Risk and Management Issues in Intestinal Parasite Control. University of Cambridge,Uka

Notoatdmodjo S, 2003. Promosi Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.

(3)

Odile Loreille and Franchoise Bouchet, 2003. Evolution of Ascariasis in Humans and Pigs: a Multi-disciplinary Approach. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. Vol. 98.

P O’Lorcain, CV Holland., 2000. The Public Health Importance of Ascaris lumbricoides., www.bioinfo.pl/merd. 26-02-2006.

Sheik KA, Khan AH, et.al., 2002. Appendicular Perforation due to Ascariasis in Children of Kashmir. JK Practitioner Jan-Mar;9(1).

Sugiarto, Siagian Dergibson dkk., 2003. Teknik Sampling. Cetakan II. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Supanasa I Dewa Nyoman, MPS dkk., 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Cetakan I. Kerjasama EGC dengan Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan RI dan WHO dalam Rangka Proyek Pengembangan Materi Pendidikan Kesehatan.

Tanner.N.Susan, 2005. A Population in Transition: Health, Culture Change, and Intestinal Parasitism Among the Tsimane of Lowland Bolivia. University of Michigan.

Uneke.J.Chigozie M.Sc.,Eze.O.Kelvin B,Sc et.al., Soil-Transmitted Helminth Infection in School Children in South-Eastern Nigeria: The Public Health Implication. The Internet Journal of Third World Medicine.2007.Vol.4(1). Wachidanijah, 2002. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Anak serta Lingkungan

Rumah dan Sekolah dengan Kejadian Infeksi Kecacingan Anak Sekolah Dasar : Studi di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Widjana DP & Sutisna P, 2000. Prevalence of STHs Infections in the Rural Population of Bali, Indonesia. Department of Parasitology Faculty of Medicine Udayana University Indonesia. Southeast Asian Journal Trop Med Public Health 2000.September 31(3).

www.stanford.edu/class/humbio 103/parasites., 2005. Ascariasis. 30-05-2006.

(4)

www. Microbiology Syllabus. Nematodes Review Notes SOM 208.Digitized by USU Digital Library.

(5)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths (STHs)

Terdapat dua puluh jenis cacing yang terutama menginfeksi manusia, dan memiliki hubungan yang signifikan dengan masalah kesehatan masyarakat, tetapi yang paling umum menginfeksi seluruh manusia adalah Soil Transmitted Helminths (STHs) atau infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. Infeksi STHs terutama disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, cacing kait Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, dan cacing cambuk Trichuris trichiura (Awastni et.al, 2003).

STHs tidak terdistribusi di tempat tertentu, tetapi akan terjadi di manapun juga pada kondisi sanitasi yang kurang dan lingkungan tropis. Infeksi dimulai dengan telur pada feses manusia mengkontaminasi tanah. Manusia terinfeksi pada saat menelan telur melalui makanan atau tangan yang tidak dicuci, atau untuk cacing kait melalui penetrasi kulit. Kondisi sosial ekonomi yang buruk merupakan faktor yang berkaitan dengan lebih tingginya angka prevalensi ascariasis, antara lain kebiasaan defekasi, perbedaan kultural berkaitan dengan personal higiene dan higiene makanan, pekerjaan, faktor agraria, perumahan, kelas sosial dan gender (Lorcain and Holland, 2000).

(6)

fase yang berbeda selama siklus hidup manusia. Berkurangnya konsumsi pakan, kegagalan digesti, dan tingkat pertumbuhan yang buruk seringkali diobservasi pada anak-anak yang menderita trichuriasis dan ascariasis. Rendahnya kadar Fe dan anemia defisiensi Fe merupakan tanda-tanda infeksi hookworms. Parahnya penyakit yang disebabkan oleh infeksi STHs bergantung pada jumlah cacing yang ditemukan pada hospes (Crompton and Nesheim, 2002).

2.1.1. Ascaris lumbricoides

(7)

dan 8% di Amerika Selatan. Pada beberapa populasi angka infeksi mencapai 95% (www.stanford.edu., 2005).

Walaupun ascariasis terjadi pada semua umur, tetapi paling sering terjadi pada anak usia 2 – 10 tahun, atau mencapai intensitas maksimum pada usia 5 – 10 tahun dan kemudian prevalensi menurun setelah usia 15 tahun dan terus persisten sampai masa dewasa (Awastni et.al, 2003). Infeksi berhubungan dengan keluarga, di mana intensitas infeksi berhubungan dengan jumlah orang yang tinggal di dalam rumah (www.stanford.edu., 2005).

Tingginya prevalensi infeksi ascariasis bergantung kepada luasnya distribusi, keberadaan telur pada kondisi lingkungan yang bervariasi, jumlah telur yang tinggi yang diproduksi setiap hari, dan kondisi sosioekonomi yang buruk memfasilitasi penyebaran. Tidak ada hewan reservoir untuk ascariasis, tetapi Ascaris suum yang menginfeksi babi secara morfologi mirip dengan Ascaris lumbricoides, dan bentuk larvanya dapat menginfeksi manusia (www.stanford.edu., 2005).

(8)

Cacing dewasa tinggal di lumen usus halus, di mana cacing betina menghasilkan 200.000 telur per hari yang dikeluarkan bersama feses. Telur yang fertil mengalami embrionasi dan menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu, tergantung kondisi lingkungan. Telur infektif tertelan dan larva menetas masuk ke dalam mukosa usus dan melalui sirkulasi darah masuk ke paru-paru. Larva menjadi dewasa di paru-paru dalam 10-14 hari, penetrasi dinding alveoli, bronchus, dan tenggorokan, kemudian tertelan. Berkembang menjadi dewasa di usus halus dalam 2-3 bulan sejak termakan, dan dapat hidup di usus halus selama 1-2 tahun (Microbiology Syllabus, 2006).

2.1.2. Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus

(9)

sekolah mengalami defisit pertumbuhan/perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkan infeksi cacing kait memiliki kontribusi terjadinya anemia pada anak kelompok umur tersebut (Brooker S, Hotez JP et.al, 2004).

Di area endemik infeksi cacing kait, terdapat variasi beban penyakit diantara setiap orang. Intensitas tinggi dan intensitas rendah ditemukan pada orang yang tinggal dalam kondisi yang hampir sama untuk terpapar penyakit. Karena cacing tidak mengalami replikasi dalam tubuh manusia, angka kesakitan akibat infeksi akan tinggi pada pasien dengan infeksi yang paling berat. Ada pendapat yang mengatakan, beberapa orang memiliki faktor predisposisi untuk terinfeksi cacing kait dengan intensitas berat atau rendah berkaitan dengan faktor genetik, di samping faktor kesempatan terpapar (Brooker et.al, 2004).

Ancylostoma duodenale dan Necator americanus sangat sering menginfeksi manusia, dan terdistribusi di seluruh dunia, tetapi paling banyak terjadi di daerah lembab dan hangat. Anemia defisiensi Fe merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Anemia disebabkan kehilangan darah pada titik tempat melekatnya cacing dewasa pada intestinum. Gatal pada kulit terjadi pada saat larva filariform menembus kulit, sementara gejala pernafasan dapat terjadi selama migrasi larva ke paru-paru (Microbiology Syllabus, 2006).

(10)

dengan manusia, larva penetrasi melalui kulit dan masuk ke jantung dan paru-paru melalui pembuluh darah, masuk ke alveoli, bronchus, dan pharynx kemudian tertelan. Larva mencapai usus halus dan menjadi dewasa. Cacing dewasa tinggal di dalam lumen usus halus, melekat pada dinding usus sehingga menimbulkan kehilangan darah hospesnya. Kebanyakan cacing dewasa akan dieliminasi dalam 1-2 tahun tetapi dapat juga mencapai beberapa tahun. Beberapa larva setelah masuk melalui kulit hospes, dapat menjadi infektif di dalam usus atau otot. Infeksi dapat juga terjadi melalui oral atau transmammary (Microbiology Syllabus, 2006).

2.1.3. Trichuris trichiura

(11)

bersifat asimtomatis, sementara infeksi berat paling sering ditemukan pada anak-anak penderita malnutrisi. Pada kasus berat diare kronis sering terjadi. Pada anak-anak menimbulkan masalah pada saluran gastrointestinal dan peradangan saluran usus yang dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan (www.astrographics.com., 2006). Telur Trichuris trichiura membutuhkan minimal 10 hari masa inkubasi di dalam tanah sebelum menjadi infektif. Tidak terjadi autoinfeksi, dan tidak ada migrasi melalui jaringan tubuh. Dapat bertahan hidup selama 6 tahun di dalam tubuh hospes, rata-rata 3 tahun. Cacing tinggal di usus besar dengan kepala menempel pada jaringan mukosa usus. Diagnosa ditetapkan dengan menemukan telur di dalam feses. Infeksi biasanya asimtomatis. Infeksi berat pada anak dapat menyebabkan prolaps rectal diikuti dengan diare berdarah kronis (Microbiology Syllabus, 2006).

(12)

subtropis di Asia, terutama di Cina, India, dan Asia Tenggara. Dari 1-2 milyar yang terinfeksi, 300 juta diantaranya menimbulkan morbiditas yang berat yang berhubungan dengan infeksi berat. Beratnya infeksi erat kaitannya dengan faktor genetik, imonologi, dan komponen lingkungan. Penelitian di beberapa negara berkembang menunjukkan anak usia sekolah merupakan populasi dengan risiko terbesar untuk mengalami infeksi berat oleh Ascaris dan Trichuris (Hotez P.J. et al, 2003).

2.2. Faktor Risiko Infeksi STHs 2.2.1. Faktor Risiko Lingkungan

a. Lingkungan Kota dan Pedesaan

Prevalensi ascariasis dan trichuriasis yang tinggi biasanya ditemukan di pinggiran kota terutama di perkampungan miskin dan kotor, dan di pedesaan, tetapi pada beberapa kejadian prevalensi ascariasis benar-benar lebih besar di lingkungan pinggiran kota (Hotez et.al, 2003).

Penelitian yang dilakukan Program Kesehatan Sekolah Mercy Corps di Sumatera (Sumatera Healthy Schools Program) di Bengkulu prevalensi infeksi di wilayah perkotaan dan pedesaan masing-masing 17,70% dan 54,14%; di Sumatera Barat masing-masing 14,44% dan 25,5%; sementara di Riau ternyata di wilayah perkotaan 65% dan pedesaan 35%.

(13)

kota menunjukkan perbedaan prevalensi infeksi parasit intestinal yang signifikan. Prevalensi infeksi lebih tinggi di daerah pedesaan (24,1%), dibandingkan prevalensi infeksi di daerah pinggiran kota (18,7%).

Perbedaan pinggiran kota dan pedesaan terhadap ascariasis dan trichuriasis dibandingkan dengan infeksi cacing kait dapat dipahami berdasarkan perbedaan siklus hidupnya. Stadium infektif ascaris dan trichuris memiliki kapasitas yang sangat besar untuk dapat bertahan terhadap perbedaan situasi lingkungan, sehingga masih dapat ditemukan di dalam sampel tanah setelah lebih dari 10 tahun.

Berbeda dengan cacing kait. Telur cacing kait menetas di dalam tanah dan berkembang menjadi stadium larva I, yang akan berubah menjadi stadium larva infektif hanya pada kondisi sesuai. Perkembangan telur di tanah tergantung beberapa faktor, termasuk suhu terutama 20-30 C, tempat teduh dan kelembaban yang mencukupi (Hotez et al, 2003).

b. Iklim

(14)

c. Musim

Pada beberapa area endemik infeksi STHs sangat dipengaruhi oleh iklim. Di beberapa wilayah di mana musim panas dan hujan terjadi, tingkat transmisi infeksi cacing kait lebih tinggi selama musim hujan (Hotez et al, 2003).

2.2.2. Faktor Risiko Genetik

Penyebaran yang berlebihan dari infeksi STHs pada manusia, menyebabkan beberapa peneliti menyimpulkan bahwa populasi manusia kemungkinan dapat meningkatkan kerentanan genetik. Predisposisi terhadap ketiga STHs tersebut dapat berupa imunologik, genetik, atau bahkan kombinasi imunogenetik (Hotez et al, 2003).

2.2.3. Perilaku, Pekerjaan, dan Sosioekonomi

Pekerjaan tertentu dan perilaku mempengaruhi prevalensi dan intensitas infeksi STHs. Karena tingkat infeksi cacing kait tinggi pada orang dewasa, pekerjaan kemungkinan memiliki pengaruh tinggi terhadap epidemiologi cacing kait. Pekerjaan pada bidang pertanian merupakan pendukung untuk terjadinya infeksi. Infeksi berat di China dan Vietnam sebagai contoh dihubungkan dengan penggunaan feses sebagai pupuk secara luas. Beberapa studi menunjukkan efek status sosioekonomi di area pinggiran kota maupun pedesaan tidak ada hubungan yang konsisten (Hotez et al, 2003).

(15)

Penelitian Hosain et.al, (2003) infeksi parasit intestinal secara signifikan ditemukan lebih rendah pada anak dengan penggunaan jamban yang bersih dan yang telah mendapatkan pendidikan kesehatan.

2.2.4. Etnis dan Kultur

Beberapa dokumentasi menunjukkan ada hubungan yang nyata antara prevalensi, beban infeksi cacing dan etnis. Sebagai contoh ditemukan angka infeksi yang lebih tinggi di Malaysia dan India dibandingkan di China (Hotez et al, 2003). 2.2.5. Jumlah dalam Keluarga

Prevalensi ascaris dan beban infeksi cacing telah dicatat lebih tinggi pada anak-anak yang berasal dari keluarga besar. Kondisi dimana anak lahir dalam keluarga besar juga dapat mempengaruhi kebiasaan untuk menjadi terinfeksi. Di Panama, rumah yang terbuat dari kayu dan bambu berhubungan signifikan dengan lebih tingginya infeksi STHs daripada rumah beton (Hotez et al, 2003).

Penelitian Uneke et al, (2007) terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah dalam keluarga dengan infeksi STHs. Prevalensi infeksi meningkat dengan peningkatan jumlah orang yang tinggal di dalam rumah, dengan prevalensi infeksi tertinggi dengan jumlah orang yang tinggal di dalam rumah 13 orang atau lebih. 2.2.6. Makanan

(16)

di Maroko buangan kotoran digunakan untuk irigasi pertanian menunjukkan prevalensi lebih tinggi secara signifikan infeksi ascaris dan trichuris jika dibandingkan dengan anak-anak lain (Hotez et al, 2003).

2.2.7. Umur

Infeksi cacing kait pada manusia menunjukkan pola epidemiologi bergantung umur dibandingkan dengan infeksi ascaris dan trichuris. Dari beberapa survei yang dilakukan di daerah yang endemik ascariasis dan trichuriasis ditemukan pola penyebaran penyakit, dimana prevalensi meningkat dengan cepat pada usia balita dan cenderung tetap tinggi, dan kemudian intensitas meningkat dengan cepat dan mencapai puncak pada usia sekolah 5-15 tahun sebelum akhirnya akan terus menurun (Hotez et al, 2003).

Penelitian Nishiura et al, (2002) terhadap 492 anak di Pakistan menunjukkan infeksi ascaris paling tinggi ditemukan pada anak usia 5-8 tahun, berkaitan dengan faktor perilaku dan ditambah dengan kontribusi faktor lingkungan.

Menurut penelitian Widjana & Sutisna (2000), perbedaan prevalensi infeksi berdasarkan umur sangat signifikan, prevalensi infeksi hookworm cenderung meningkat seiring dengan peningkatan umur, dan paling tinggi pada usia 18 tahun, sementara prevalensi infeksi ascaris dan trichuris tertinggi ditemukan pada anak usia sekolah dasar.

(17)

cenderung meningkat dengan meningkatnya umur, sementara infeksi ascaris cenderung menurun dengan meningkatnya umur.

2.2.8. Gender

Pria secara umum lebih rentan terhadap penyakit infeksi dibandingkan wanita. Hal ini juga benar untuk infeksi parasit. Tetapi perbedaannya prevalensi dari infeksi parasit secara keseluruhan lebih tinggi pada wanita dibanding dengan pria tanpa memperhatikan umur. Untuk cacing kait, hubungannya dengan gender seringkali lebih signifikan, tetapi dampaknya sangat bervariasi, tergantung wilayah. Di beberapa tempat seperti di Zimbabwe, Zanzibar, dan Papua pria menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan wanita, sementara di China dan Vietnam wanita prevalensi infeksi lebih tinggi (Hotez et al, 2003).

Menurut penelitian yang dilakukan Widjana & Sutisna (2000), prevalensi infeksi ascaris dan trichuris tidak ada perbedaan signifikan antara pria dan wanita, tetapi infeksi cacing kait lebih tinggi pada pria dibanding dengan wanita.

2.3. Infeksi STHs dan Status Gizi

Setiap tahunnya 13 juta balita dan anak-anak meninggal dunia di negara berkembang, dan sebagai penyebab utama kematian tersebut berhubungan dengan penyakit infeksi dan penyakit parasit, dan terbanyak anak-anak tersebut meninggal akibat terjadinya malnutrisi (Mason et al, 2001).

(18)

kegagalan pertumbuhan anak, dan dapat menyebabkan turunnya daya tahan tubuh. Defisiensi protein dan vitamin A dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa, menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi patogen (Mason et al, 2001).

Penyakit:

• Insidensi

• Keparahan

• Durasi

• Penurunan berat badan

• Gangguan pertumbuhan

• Penurunan daya tahan tubuh

• Kerusakan mukosa

• Hilangnya nafsu makan

• Hilangnya zat makanan

• Malabsorpsi

• Gangguan metabolisme

Intake Pakan Rendah

Gambar 2.1. Hubungan Gizi dengan Infeksi Penyakit

Infeksi STHs dengan intensitas berat memiliki dampak negatif yang paling besar terhadap status gizi, tetapi beberapa studi yang dilakukan oleh Bundy (1994), Chan et al (1994), Crompton et al (2000), Mc.Garvey et al (1993), Wilson et al (1999), dan Quihui Cola et al (2004), menunjukkan infeksi STHs dengan intensitas ringan dan intensitas sedang menimbulkan retardasi pertumbuhan yang linear pada anak-anak (Tanner, 2005).

Penelitian terhadap anak sekolah di Ecuador menunjukkan prevalensi infeksi STHs 65% dengan intensitas infeksi berat 8,5%, ditemukan 16% anak wasted dan 27% anak stunted. Terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas infeksi dengan derajat stunted (Andrade et al, 2001).

(19)

terhadap anak sekolah di Indonesia 3-7 minggu setelah pengobatan, menunjukkan peningkatan berat badan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat pengobatan. Penelitian terhadap anak di Kenya setelah 4 bulan pengobatan menunjukkan peningkatan berat badan, berat badan menurut umur, tinggi badan, dan tinggi badan menurut umur, yang berbeda sangat signifikan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat pengobatan (Mascie, 2006).

2.4. Diagnosis Infeksi STHs

Pemeriksaan mikroskopis terhadap telur nematode pada feses manusia untuk mendiagnosa infeksi cacing, di mana konsentrasi telur digunakan untuk mengestimasi jumlah cacing dalam hospes. Di dalam masyarakat prevalensi infeksi dan rata-rata jumlah telur dapat memberikan informasi yang berguna terhadap luasnya masalah kesehatan masyarakat, dan dapat digunakan sebagai dasar di dalam upaya membangun penanggulangan infeksi cacing (A.Hall. et al, 2000).

2.5. Landasan Teori

(20)

bersifat ringan, sedang, maupun berat. Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya infeksi dan intensitas infeksi, antara lain faktor geografis suatu wilayah, faktor genetik, dan faktor demografi. Faktor pengetahuan yang tercermin melalui perilaku, dan faktor ada tidaknya interfensi yang telah dilakukan dalam bentuk pendidikan kesehatan, khususnya berkaitan dengan mekanisme penularan dan penyebaran infeksi cacing, maupun interfensi dalam bentuk pengobatan turut berperan terhadap prevalensi dan intensitas infeksi. Kurangnya perhatian terhadap infeksi cacing, karena sangat jarang menimbulkan kematian juga menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan meningkatnya prevalensi infeksi.

Anak usia sekolah dasar memiliki risiko terbesar untuk terinfeksi. Infeksi cacing memiliki dampak yang cukup signifikan di dalam mengganggu pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Seorang anak dapat kehilangan kesempatan untuk menjadi sehat dan bebas dari penyakit. Seorang anak yang merupakan aset masa depan suatu bangsa akan mengalami pertumbuhan yang terputus akibat mekanisme gangguan yang ditimbulkan oleh cacing yang tersembunyi di dalam tubuhnya.

(21)

FAKTOR GEOGRAFI

ƒ KOTA/DESA

FAKTOR DEMOGRAFI FAKTOR GENETIK

Gambar 2.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Cacing dan Dampak yang Ditimbulkan (Modifikasi)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan kepustakaan, maka dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

(22)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain studi cross sectional untuk mengetahui hubungan faktor sosiodemografi dan tindakan pengobatan dengan infeksi cacing pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar se Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang, dengan pertimbangan masih terjadi infeksi cacing pada anak SD di wilayah administrasi Kabupaten Deli Serdang, dan Kecamatan Deli Tua dipilih secara purposive dengan pertimbangan kecamatan Deli Tua terletak di daerah pinggiran kota/urban, dan 9 SD yang ada di Kecamatan Deli Tua terdistribusi merata sehingga dapat memberi gambaran keseluruhan infeksi cacing yang terjadi pada wilayah sebuah Kecamatan Deli Tua, karena wilayah administratif Kecamatan Deli Tua yang relatif kecil.

(23)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah anak Sekolah Dasar (SD) kelas I di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang yang berjumlah 929 orang yang tersebar di 9 (sembilan) SDN di Kecamatan Deli Tua.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari anak SD kelas I di 9 (sembilan) SDN di Kecamatan Deli Tua. Besar sampel penelitian dihitung dengan menggunakan dengan rumus (Lameshow, 1990):

(24)

Untuk mengambil 97 anak SD yang tersebar di sembilan SD di Kecamatan Deli Tua diambil dengan menggunakan teknik proporsional sampling to size sampai memenuhi jumlah sampel yang diinginkan (distribusi sampel menurut SD terlampir).

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran terhadap variabel-variabel penelitian (data primer) meliputi pengukuran intensitas infeksi cacing dengan metode Kato Katz, pengukuran status gizi melalui pengukuran berat badan per umur, dan variabel sosiodemografi serta tindakan pengobatan diperoleh melalui wawancara dan observasi.

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini yaitu (1) sosiodemografi meliputi: sosioekonomi, jenis kelamin, status gizi anak, , higiene anak, tindakan anak, sanitasi lingkungan, pengetahuan ibu, tindakan ibu, dan (2) faktor tindakan pengobatan. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah infeksi cacing.

3.5.2. Definisi Operasional

1. Jenis kelamin dibedakan atas laki-laki dan perempuan.

(25)

3. Personal Hygiene anak adalah keadaan kebersihan pribadi anak berdasarkan kebersihan kuku dan kebersihan umum.

4. Tindakan anak adalah tindakan yang dilakukan anak atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh anak kaitannya dengan infeksi cacing.

5. Sosioekonomi adalah gambaran tingkat ekonomi keluarga responden sesuai dengan ketentuan Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. berdasarkan perbandingan jumlah pendapatan keluarga untuk kebutuhan makan (Rp) dalam sebulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga, dengan parameter lebih dari dan sama dengan Rp. 142.966,- kategori tidak miskin, dan kurang dari Rp.142.966,- kategori miskin.

6. Sanitasi lingkungan adalah keadaan lingkungan perumahan responden berdasarkan kebersihan, ketersediaan sarana sanitasi

7. Tindakan ibu adalah kebiasaan ibu kaitannya dengan infeksi cacing anaknya. 8. Pengetahuan ibu adalah segala sesuatu yang ibu ketahui tentang infeksi cacing

pada anak SD, dan upaya pencegahan serta pengobatannya.

9. Tindakan pengobatan adalah tindakan pemberian obat cacing kepada anak.

(26)

3.6. Metode Pengukuran

3.6.1. Pengukuran Variabel Dependen

Pengukuran variabel dependen (infeksi cacing) didasarkan pada hasil pemeriksaan feses dengan metode Kato Katz menurut intensitas infeksi, kemudian dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu:

1. Positif, jika responden terinfeksi cacing baik A.lumbricoides, T.trichiura, A.duodenale maupun N.americanus.

2. Negatif, jika responden tidak terinfeksi cacing A.lumbricoides, T.trichiura, A.duodenale atau N.americanus.

Sedangkan hasil pengukuran responden yang positif terinfeksi cacing dapat dilihat berdasarkan jumlah telur cacing, seperti pada Tabel 3.1:

Tabel 3.1. Kategori Responden Berdasarkan Infeksi Cacing

Intensitas A.lumbricoides T.trichiura A.duodenale dan N.americanus

1. Ringan 1 – 4.999 1 - 999 1 – 1.999

2. Sedang 5.000 – 49.999 1.000 – 9.999 2.000 – 3.999

3. Berat ≥ 50.000 ≥ 10.000 ≥ 4.000

3.6.2. Pengukuran Variabel Independen

1. Jenis kelamin adalah skala ukur nominal, dibedakan atas laki-laki dan perempuan. 0. Laki – laki

(27)

2. Status gizi adalah keadaan gizi anak berdasarkan pengukuran antopometri berat badan menurut umur, dengan kategori sebagai berikut:

0. Status Gizi Baik : > 81% BB/U 1. Status Gizi Kurang : 61-80% BB/U

3. Personal Hygiene Anak adalah tingkat kebersihan pribadi anak berdasarkan penilaian terhadap kebersihan kuku dan kebersihan umum, dengan kategori sebagai berikut:

0. Baik : skoring personal hygiene 8 1. Buruk : skoring personal hygiene 4 - 6

4. Tindakan Anak adalah penilaian terhadap perilaku/kebiasaan anak kaitannya dengan infeksi cacing dengan kategori sebagai berikut:

0. Baik : skoring tindakan anak 13 - 18 1. Kurang : skoring tindakan anak 6 - 12

5. Sosioekonomi adalah tingkat ekonomi keluarga berdasarkan Garis Kemiskinan (GK) menurut BPS Sumatera Utara, yang diukur berdasarkan perbandingan jumlah pendapatan keluarga untuk kebutuhan makan (Rp) dalam sebulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga. GK Propinsi Sumatera Utara tahun 2004 (Rp/Kapita/Bulan) di daerah kota/urban adalah Rp.142.966. Kategori pengukuran sebagai berikut:

(28)

6. Sanitasi lingkungan adalah kebersihan lingkungan berdasarkan penilaian terhadap ketersediaan dan kebersihan sarana sanitasi, dengan kategori sebagai berikut: 0. Baik : skoring sanitasi lingkungan 12 - 15

1. Kurang : skoring sanitasi lingkungan 7 - 11

7. Tindakan ibu adalah penilaian terhadap perilaku/kebiasaan ibu kaitannya dengan infeksi cacing, dengan kategori sebagai berikut:

0. Baik : skoring tindakan ibu 13 - 18 1. Kurang : skoring tindakan ibu 6 - 12

8. Pengetahuan ibu adalah penilaian terhadap pengetahuan ibu kaitannya dengan infeksi cacing, dengan kategori sebagai berikut:

0. Baik : skoring tindakan ibu 29 - 38 1. Kurang : skoring tindakan ibu 19 - 28

9. Tindakan pengobatan adalah tindakan pengobatan infeksi cacing yang dilakukan, dibedakan atas 2 kategori berdasarkan waktu pengobatan yang dilakukan sebagai berikut:

(29)

Secara lebih rinci metode pengukuran variabel independen ini dapat dilihat pada tabel 3.2. sebagai berikut:

Tabel 3.2. Metode Pengukuran Variabel Independen

Variabel Kategori dan

Bobot Nilai 2. Status Gizi Anak Berdasarkan

Perbandingan BB/U

0. Gizi Baik (BB/U≥81%) 1. Gizi Kurang (61-80%)

Pengukuran

5. Sosioekonomi Berdasarkan Rupiah 0. Tidak miskin 1. Miskin

(30)

2. Untuk melihat hubungan variabel independen dengan dependen secara bivariat dilakukan dengan uji Chi Square. Uji Chi Square ini juga digunakan sebagai uji kandidat atas variabel independen (p≤ 0,25) untuk diikut sertakan dalam uji

multivariat regresi logistik ganda.

(31)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Deli Tua adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Deli Serdang dengan luas wilayah 9,36 km2 dengan jarak ke ibukota Kabupaten Deli Serdang yaitu Lubuk Pakam 38 km. Secara administrasi Kecamatan Deli Tua mempunyai desa/kelurahan sebanyak 3 desa dan 3 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 56.691 jiwa yang terdiri dari 28.299 laki-laki dan 28.392 perempuan dengan jumlah rumah tangga sebanyak 11.842 rumah tangga.

Berdasarkan status kesehatan anak usia sekolah di Kecamatan Deli Tua untuk sekolah SD/Madrasah Ibtidaiyah terdapat 7.047 siswa kelas I SD hanya 22,7% telah dilakukan perawatan kesehatan dasar.

Berdasarkan cakupan perilaku hidup bersih dan sehat, diketahui 51,2% rumah tangga di Kecamatan Deli Tua yang memiliki sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, dan 52,7% rumah tangga mempunyai jamban sehat.

4.2. Analisis Univariat

(32)

keluarga, sanitasi lingkungan, tindakan ibu, perilaku ibu, dan (2) variabel tindakan pengobatan serta variabel dependen yaitu infeksi cacing.

4.2.1. Variabel Sosiodemografi a. Jenis Kelamin Anak

Tabel 4.1. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Jenis Kelamin Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Jenis Kelamin Anak Jumlah (n) Persentase (%)

1 Laki-laki 52 53.6

2 Perempuan 45 46.4

Total 97 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, mayoritas anak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 52 orang (53,6%) dibandingkan perempuan yaitu sebanyak 45 orang (46,4%).

b. Status Gizi Anak

Tabel 4.2. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Status Gizi Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Status Gizi Anak Jumlah (n) Persentase (%)

1 Baik 31 31.9

2 Sedang 48 49.5

3 Kurang 18 18.6

Total 97 100.0

(33)

c. Personal Hygiene Anak

Personal Hygiene anak dilihat dari keadaan kuku dan kebersihan kuku. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan keadaaan kuku anak, mayoritas anak tidak memotong kukunya yaitu sebanyak 59 anak (60,8%) dibandingkan anak yang memotong kukunya yaitu sebanyak 38 anak (39,2%).

Berdasarkan kebersihan kuku anak, mayoritas anak mempunyai kuku yang kotor, yaitu sebanyak 52 anak (53,6%) dibandingkan anak yang mempunyai kuku yang bersih yaitu sebanyak 45 anak (46,4%), seperti pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Indikator Personal

Hygiene Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Tahun 2008

No Indikator Personal Hygiene Anak Jumlah (n) Persentase (%)

1 Keadaan Kuku

a. Kuku Dipotong 38 39.2

b. Kuku Tidak Dipotong 59 60.8

Total 97 100.0

2 Kebersihan Kuku

a. Tidak Ada Kotoran 45 46.4

b. Ada Kotoran 52 53.6

Total 97 100.0

Berdasarkan indikator personal hygiene anak tersebut di atas, maka secara akumulasi personal hygiene anak dapat dikategorikan seperti pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Personal Hygiene Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Personal Hygiene Anak Jumlah (n) Persentase (%)

1 Baik 47 48.5

2 Kurang 50 51.5

(34)

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, mayoritas anak mempunyai personal hygiene kategori kurang yaitu sebanyak 50 orang (51,5%) dibandingkan personal hygiene kategori baik yaitu sebanyak 47 orang (48,5%).

d. Tindakan Anak

Tindakan anak dilihat dari kebiasaan-kebiasaan anak meliputi kebiasaan menggunakan sandal, makan di halaman rumah, mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan kebiasaan makan makanan jajanan di tempat terbuka. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Tindakan Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Tindakan Anak Jumlah (n) Persentase (%)

3 Mencuci Tangan Sebelum Makan

a) Sering 27 27.8

b) Jarang 35 36.1

c) Tidak Pernah 35 36.1

Total 97 100.0

4 Mencuci Tangan Pakai Sabun Setelah BAB

a) Sering 24 27.6

b) Jarang 25 28.7

c) Tidak Pernah 38 43.7

(35)

Lanjutan Tabel 4.5

5 Kebiasaan Main Tanah

a) Sering 38 39.2

b) Jarang 33 34.0

c) Tidak Pernah 26 26.8

Total 97 100.0

6 Jajan Makanan Terbuka

a) Sering 30 30.9

b) Jarang 38 39.2

c) Tidak Pernah 29 29.9

Total 97 100.0

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, berdasarkan kebiasaan memakai sandal, mayoritas anak kadang-kadang memakai sandal yaitu sebanyak 37 anak (38,1%) diikuti anak yang tidak memakai sandal yaitu sebanyak 32 tahun (33,0%) dan anak yang sering memakai sandal sebanyak 28 anak (28,9%).

Berdasarkan kebiasaan makan di halaman rumah mayoritas anak sering makan di halaman yaitu sebanyak 42 anak (43,3%), diikuti tidak pernah makan di halaman yaitu sebanyak 29 orang dan anak jarang makan di halaman sebanyak 26 (26,8%).

Berdasarkan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan sama antara anak yang tidak pernah mencuci tangan dengan anak yang jarang mencuci tangan masing-masing sebanyak 35 orang (36,1%), sedangkan anak yang sering mencuci tangan sebelum makan hanya 27 orang (27,8%).

(36)

Berdasarkan kebiasaan anak bermain tanah, mayoritas anak sering bermain tanah yaitu sebanyak 28 anak (39,2%), dikuti anak yang jarang yaitu sebanyak 33 anak (34,0%), sedangkan anak yang tidak pernah bermain tanah sebanyak 26 anak (26,8%).

Berdasarkan kebiasaan jajan makanan terbuka, mayoritas anak jarang jajan makanan terbuka yaitu sebanyak 38 anak (39,2%), sedangkan anak yang sering dan tidak pernah jajan makanan terbuka relatif sama masing-masing yaitu sebanyak 30 anak (30,9%), dan 29 anak (29,9%). Berdasarkan skor dari akumulasi kebiasaan anak tersebut, maka variabel tindakan anak dapat dikategorikan seperti pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Tindakan Anak

di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Tindakan Anak Jumlah (n) Persentase (%)

1 Baik 44 45.4

2 Kurang 53 54.6

Total 97 100.0

Berdasarkan Tabel 4.6 di atas, diketahui mayoritas anak mempunyai tindakan kategori kurang yaitu sebanyak 53 anak (54,6%) dibandingkan anak dengan tindakan baik yaitu sebanyak 44 anak (45,4%).

e. Sosioekonomi Keluarga

Tabel 4.7. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Sosioekonomi Keluarga di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Sosioekonomi Keluarga Jumlah (n) Persentase (%)

1 Miskin 56 57.7

2 Tidak Miskin 41 42.3

(37)

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas, diketahui mayoritas anak berasal dari keluarga kategori miskin yaitu sebanyak 56 anak (57,7%) dibandingkan anak yang berasal dari keluarga tidak miskin yaitu sebanyak 41 anak (42,3%).

f. Sanitasi Lingkungan

Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Sanitasi Lingkungan di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Sanitasi Lingkungan Jumlah (n) Persentase (%)

1 Baik 52 53.6

2 Buruk 45 46.4

Total 97 100.0

Berdasarkan Tabel 4.8 di atas, diketahui mayoritas anak berasal dari keluarga dengan sanitasi lingkungan kategori baik yaitu sebanyak 52 anak (53,6%) dibandingkan anak dari keluarga dengan sanitasi perumahan kategori buruk yaitu sebanyak 46,4%.

g. Tindakan Ibu

(38)

Tabel 4.9. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Indikator Tindakan Ibu di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Indikator Tindakan Ibu Jumlah (n) Persentase (%)

1 Memberi makan anak di Halaman Rumah

a. Selalu 42 43.3

b. Jarang 26 26.8

c. Tidak Pernah 29 29.9

Total 97 100.0

2 Mencuci Tangan anak Sebelum Makan

a. Selalu 27 27.8

b. Jarang 35 36.1

c. Tidak Pernah 35 36.1

Total 97 100.0

3 Mencuci Tangan Anak Pakai Sabun Setelah BAB

a. Sering 24 27.6

Berdasarkan Tabel 4.9 di atas, diketahui bahwa berdasarkan kebiasaan ibu memberi makan anak di halaman rumah diketahui mayoritas ibu selalu memberi makan anak di halaman rumah yaitu sebanyak 42 ibu (43,3%), sedangkan ibu yang jarang dan tidak pernah relatif sama masing-masing yaitu sebanyak 26 ibu (26,8%) dan 29 ibu (29,9%).

(39)

Berdasarkan tindakan ibu mencuci tangan anak menggunakan sabun setelah buang air besar mayoritas tidak pernah yaitu sebanyak 38 ibu (43,7%), sedangkan ibu yang sering dan jarang relatif sama masing-masing yaitu sebanyak 24 ibu (27,6%), dan 25 ibu (28,7%).

Berdasarkan tindakan ibu mencuci sayur sebelum diolah, mayoritas ibu sering yaitu sebanyak 38 ibu (39,2%) diikuti ibu yang jarang yaitu sebanyak 33 ibu (34,0%) dan tidak pernah sebanyak 26 ibu (26,8%).

Secara akumulasi berdasarkan indikator tindakan ibu tersebut, maka variabel tindakan ibu dapat dikategorikan seperti pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Tindakan Ibu di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Tindakan Ibu Jumlah (n) Persentase (%)

1 Baik 47 48.5

2 Kurang 50 51.5

Total 97 100.0

Berdasarkan Tabel 4.10 di atas, mayoritas ibu mempunyai tindakan kurang yaitu sebanyak 50 ibu (51,5%) dibandingkan ibu dengan tindakan yang baik yaitu sebanyak 47 ibu (48,5%).

h. Pengetahuan Ibu

Tabel 4.11. Distribusi Proporsi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Pengetahuan Ibu Jumlah (n) Persentase (%)

1 Baik 42 43.3

(40)

Berdasarkan Tabel 4.11 di atas, mayoritas anak berasal dari keluarga dengan pengetahuan ibu kategori kurang yaitu sebanyak 55 orang (56,7%) dibandingkan ibu dengan pengetahuan baik yaitu sebanyak 42 orang (43,3%).

4.2.2. Tindakan Pengobatan

Tindakan pengobatan dalam penelitian ini didasarkan pada frekuensi keluarga memberikan obat cacing kepada anaknya berdasar bulan. Adapun distribusi frekuensi tindakan pengobatan dapat dilihat pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12. Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Tindakan Pengobatan pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Tindakan Pengobatan Jumlah (n) Persentase (%)

1 ≤ 6 Bulan 52 53.6

2 >6 Bulan 45 46.4

Total 97 100.0

Berdasarkan Tabel 4.12 di atas, diketahui mayoritas ibu memberikan tindakan pemberian pengobatan ≤6 bulan yaitu sebanyak 52 orang (53,6%) dibandingkan pemberian pengobatan >6 bulan yaitu sebanyak 45 orang (46,4%).

4.2.3. Infeksi Cacing

(41)

Tabel 4.13. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Intensitas Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Infeksi Cacing Jumlah (n) Prevalensi Rate

1

Berdasarkan Tabel 4.13 di atas, diketahui bahwa pada anak SD di Kecamatan Deli Tua infeksi positif 42,3% dengan intensitas infeksi terdistribusi 5,2% infeksi berat, 22,7% infeksi ringan, dan 14,4% infeksi sedang. Atau dengan kata lain Prevalence Rate infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang adalah 42,3%.

4.2.4. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Jenis Cacing

Prevalence Rate infeksi cacing berdasarkan jenis cacing yang menginfeksi anak SD, terdiri dari tiga jenis cacing yaitu A.lumbricoides, T.trichiura dan N.americanus. Distribusi frekuensi jenis infeksi cacing dapat dilihat pada Tabel 4.14. Tabel 4.14. Distribusi Prevalence Rate Infeksi Cacing pada Anak SD

di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

No Jenis Infeksi Cacing Jumlah

(42)

Berdasarkan Tabel 4.14 di atas, diketahui bahwa dari 41 anak yang terinfeksi cacing pada anak SD kecamatan Deli Tua kabupaten Deli Serdang 18,6% menderita infeksi tunggal cacing Ascaris lumbricoides 7,3% infeksi Trichuris trichiura, dan 16,4% infeksi campuran. Berdasarkan data ini diketahui infeksi cacing yang paling dominan terjadi pada anak SD di kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang adalah infeksi Ascaris lumbricoides dan infeksi Trichuris trichiura sekitar 97% dari kasus sementara infeksi cacing kait Necator americanus sekitar 3% dari kasus.

4.3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan proporsi variabel independen yaitu variabel sosiodemografi meliputi jenis kelamin anak, status gizi anak, personal hygiene anak, tindakan anak, sosial ekonomi keluarga, sanitasi lingkungan perumahan, tindakan ibu, perilaku ibu, dan variabel tindakan pengobatan dengan variabel dependen yaitu infeksi cacing. Kemudian dilanjutkan dengan analisa statistik dengan menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan dependen tersebut.

(43)

4.3.1. Hubungan Sosiodemografi dengan Infeksi Cacing

Tabel 4.15. Hubungan Sosiodemografi dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

Infeksi Cacing

Positif Negatif Total

Sosiodemografi

*signifikan pada α<0,05 dan dimasukkan dalam analisis multivariat

(44)

dengan infeksi cacing dengan nilai p=0,674 dengan nilai rasio prevalence = 0,929 (95% CI : 0,662-1,306).

Berdasarkan status gizi anak, diketahui proporsi anak yang terinfeksi cacing mayoritas (73,7%) terjadi pada anak dengan status gizi kurang dibandingkan status gizi sedang dan baik yaitu sebesar 34,6%. Hasil uji chi square pada nilai χ2=7,240,

dengan nilai p=0,002 menunjukkan terdapat hubungan signifikan status gizi anak dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 2,48 (95% CI : 1,151-5,362). Berdasarkan personal hygiene anak, diketahui proporsi anak yang terinfeksi cacing mayoritas (62,0%) terjadi pada anak dengan personal hygiene kurang dibandingkan anak dengan personal hygiene baik yaitu sebesar 21,3%. Hasil uji chi square pada nilai χ2=16,465, dengan nilai p=0,000 menunjukkan terdapat hubungan

signifikan personal hygiene anak dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 2,02 (95% CI : 1,411-3,041).

Berdasarkan tindakan anak, diketahui proporsi anak yang terinfeksi cacing mayoritas (54,7%) terjadi pada anak dengan perilaku kategori kurang dibandingkan anak dengan perilaku kategori baik yaitu sebesar 27,3%. Hasil uji chi square pada nilai χ2=7,240, dengan nilai p=0,006 menunjukkan terdapat hubungan signifikan

perilaku anak dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 1,60 (95% CI : 1,135 - 2,272).

(45)

dari keluarga tidak miskin yaitu sebesar 31,7%. Hasil uji chi square pada nilai

χ2

=3,246, dengan nilai p=0,0,072 menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan

sosial ekonomi keluarga dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 0,73 (95% CI : 0,524-1,023).

Berdasarkan sanitasi lingkungan perumahan, diketahui proporsi anak yang terinfeksi cacing mayoritas (57,8%) terjadi pada anak dari keluarga dengan sanitasi perumahan kategori buruk dibandingkan anak dari keluarga dengan sanitasi lingkungan perumahan kategori baik yaitu sebesar 28,8%. Hasil uji chi square pada nilai χ2=8,275, dengan nilai p=0,004 menunjukkan terdapat hubungan signifikan

sanitasi lingkungan dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 1,69 (95% CI : 1,149 - 2,472).

Berdasarkan tindakan ibu, diketahui proporsi anak yang terinfeksi cacing mayoritas (58,0%) terjadi pada anak dari ibu dengan perilaku kategori kurang dibandingkan anak dari ibu dengan perilaku kategori baik yaitu sebesar 25,5%. Hasil uji chi square pada nilai χ2=10,466, dengan nilai p=0,001 menunjukkan terdapat

hubungan signifikan perilaku ibu dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 1,77 (95% CI:1,149-2,472).

(46)

terdapat hubungan signifikan pengetahuan ibu dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 1,888 (95% CI: 1,325-2,665).

4.3.2. Hubungan Tindakan Pengobatan dengan Infeksi Cacing

Tabel 4.16. Hubungan Tindakan Pengobatan dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

Infeksi Cacing

Positif Negatif Total

Tindakan

Berdasarkan Tabel 4.16 di atas, diketahui proporsi anak yang terinfeksi cacing mayoritas (63,4%) terjadi pada anak dengan tindakan pengobatan >6 bulan dibandingkan anak dengan tindakan pengobatan ≤ 6 bulan yaitu sebesar 33,9%. Hasil uji chi square pada nilai χ2=8,275, dengan nilai p=0,004 menunjukkan terdapat

hubungan signifikan tindakan pengobatan dengan infeksi cacing dengan rasio prevalence sebesar 1,68 (95% CI: 1,149-2,472).

4.4. Analisis Multivariat

(47)

(6) tindakan ibu, dan (7) tindakan pengobatan. Uji statistik yang digunakan dalam analisis multivariat ini adalah uji regresi logistik ganda dengan metode foward conditional stepwise dengan pertimbangan hasil ukur variabel dependen adalah biner (dikotomi), dan skala ukurnya merupakan skala ordinal, serta variabel independen juga bineri. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17. Hasil Uji Regresi Logistik Ganda

Variabel Nilai B Nilai Sig Nilai RP

Exp (B)

Pengetahuan Ibu 2,213 0,000 9,141

Status Gizi Anak 1,953 0,009 7,051

Personal Hygiene 1,595 0,003 4,929

Sanitasi Lingkungan 1,084 0,042 2,956

Konstanta -3,400

Berdasarkan Tabel 4.17 di atas, diketahui bahwa berdasarkan hasil pengujian regresi logistik ganda terdapat empat variabel yang mempunyai hubungan signifikan dengan infeksi cacing, yaitu status gizi anak, personal hyegiene, sanitasi lingkungan dan pengetahuan ibu. Adapun variabel paling berhubungan dengan infeksi cacing pada anak SD adalah pengetahuan ibu dengan nilai Exp B paling besar yaitu 9,141 pada α=0,000. Maka dapat dibuat model regresi logistik ganda untuk memprediksikan determinan terjadinya infeksi cacing yaitu:

)

Sedangkan nilai probabilitas anak SD terinfeksi kecacingan, adalah sebagai berikut:

(48)

Berdasarkan model persamaan regresi logistik ganda tersebut, maka dapat dibuat probabilitas anak SD untuk terinfeksi kecacingan seperti pada Tabel 4.18:

Tabel 4.18. Nilai Probabilitas Anak SD Terinfeksi Cacing

Variabel Penelitian Probabilitas Anak SD

(49)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Sosiodemografi dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

5.1.1. Hubungan Jenis Kelamin Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44,2 % infeksi cacing terjadi pada anak laki-laki, sedangkan anak perempuan yang terinfeksi hanya 40,0%. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa infeksi cacing ditemukan lebih dominan terjadi pada laki-laki. Hal ini disebabkan anak laki-laki cenderung lebih sering berada di luar rumah dan mempunyai kebiasaan bermain yang secara kontinu terpapar dengan tanah yang mengandung telur cacing, sehingga sangat berpotensi terinfeksi cacing, sedangkan anak perempuan cenderung lebih dominan berada di dalam rumah dan relatif sedikit terpapar dengan tanah secara langsung, sehingga relatif kecil terinfeksi telur cacing.

Namun secara statistik perbedaan jenis kelamin justru tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan infeksi cacing yang ditunjukkan oleh nilai p=0,674 (p>0,05), artinya pada anak SD di Kecamatan Deli Tua, jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak berhubungan terhadap terjadinya infeksi cacing.

(50)

secara keseluruhan lebih tinggi pada wanita dibanding dengan pria tanpa

Gambar 5.1. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Jenis Kelamin pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

Namun hasil penelitian ini menjadi suatu fenomena menarik bahwa meskipun secara persentase menunjukkan perbedaan intensitas infeksi cacing antara laki-laki dengan perempuan namun secara serempak tidak menunjukkan hubungan secara statistik, artinya perbedaan jenis kelamin tidak berhubungan dengan infeksi cacing pada anak SD.

(51)

5.1.2. Hubungan Status Gizi Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan status gizi anak dengan infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua yang ditunjukkan oleh nilai p<0,05, artinya status gizi anak SD berhubungan terhadap infeksi cacing. Hal ini didukung oleh adanya perbedaan prevalence rate infeksi cacing berdasarkan status gizi. Prevalence Rate anak SD yang terinfeksi cacing 73,7% mempunyai status gizi kurang dibandingkan anak dengan status gizi sedang dan baik yaitu sebesar 34,6% seperti pada Gambar 5.2.

Berdasarkan nilai rasio prevalence (RP), diketahui RP=2,48 (95% CI : 1,151-5,362), artinya anak sekolah dasar dengan status gizi kurang prevalensi infeksi cacing yang terjadi 2,48 kali lebih besar dibandingkan prevalensi infeksi cacing pada anak dengan status gizi baik. Lebih lanjut infeksi cacing dapat semakin memperburuk kondisi gizi anak, artinya terdapat hubungan timbal balik antara gizi anak dengan infeksi cacing. Anak dengan gizi kurang cenderung lebih rentan terinfeksi cacing karena berhubungan dengan kondisi imunitasnya, sebaliknya anak yang terinfeksi cacing cenderung lebih mudah memperburuk status gizinya.

(52)

73.7

Gambar 5.2 Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Status Gizi Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Berdasarkan uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel status gizi anak merupakan salah satu variabel paling berhubungan terhadap infeksi cacing pada anak SD dengan nilai ß=1,953;RP=7,051, artinya rasio prevalen anak terinfeksi cacing pada anak dengan status gizi kurang adalah 7 kali dibanding anak dengan status gizi baik.

(53)

Infeksi cacing menyebabkan penderitanya kurang nafsu makan, sehingga akan menurunkan masukan gizi, berikutnya dapat mengganggu saluran cerna, gangguan pada absorpsi makanan sehingga zat gizi akan banyak yang hilang. Banyaknya zat gizi yang hilang maka akan mengakibatkan malnutrisi, anemia dan defesiensi gizi. Malnutrisi akan menyebabkan rendahnya cadangan tenaga atau energi dan tingkat kesegaran jasmani sehingga akan menurunkan produktifitas terutama pada orang dewasa, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan. Dengan kurangnya pendapatan maka akan mengurangi akses untuk mendapatkan makanan. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa kejadian infeksi cacing dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan malnutrisi, sedangkan kemiskinanan dan malnutrisi akan menambah beratnya infeksi.

5.1.3. Hubungan Personal hygiene Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal hygiene atau higiene

(54)

Berdasarkan uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel personal hygiene merupakan salah satu variabel yang berhubungan terhadap infeksi cacing pada anak SD dengan nilai ß=1,595;RP=4,929, artinya rasio prevalensi anak terinfeksi cacing pada anak dengan personal hygiene kurang adalah 4,9 kali dibanding anak dengan personal hygiene baik.

Personal hygiene ini dilihat berdasarkan keadaan kuku anak dan kebersihan kuku anak. Kuku anak yang panjang biasanya mudah terkotaminasi dengan tanah yang tercemar dan jika tidak dibersihkan maka akan mudah terinfeksi cacing. Hasil penelitian menunjukkan kuku anak mayoritas (60,8%) mempunyai kuku yang panjang (tidak dipotong), dan 53,6% terlihat kotor dan tidak dibersihkan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Fernando et al (2002) di Brazil menunjukan hasil bahwa tingginya prevalensi infeksi cacing berhubungan dengan indeks hygiene yang rendah dengan tingkat kepercayaan 95%, dan OR= 4,58, artinya ada hubungan antara personal hygiene dengan risiko terinfeksi Ascaris

(55)

62.0

PERSONAL HYGIENE ANAK

P

Gambar 5.3. Prevalensi Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Personal Hygiene di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 Menurut Margono (1995), bahwa infeksi cacing juga disebabkan karena kebersihan diri yang buruk, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan, sikap dan perilaku atau kebiasaan hidup sehat yang belum membudaya, kondisi geografis (jenis tanah dan iklim tropis) yang sesuai untuk pertumbuhan cacing.

5.1.4. Hubungan Tindakan Anak dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

(56)

masing 80,0% anak dengan infeksi berat, 92,9% anak dengan infeksi sedang, dan 54,5% anak dengan infeksi ringan memiliki perilaku kurang. Artinya bahwa beratn intentitas infeksi cacing juga terjadi akibat tindakan anak itu sendiri.

ya

Gambar 5.4. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Tindakan Anak di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

Tindakan anak dilihat berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang lazim dilakukan

ak

ian

(57)

anak sering bermain tanah, sehingga secara keseluruhan menjadi faktor risiko terhadap infeksi cacing.

Hal ini sejalan dengan penelitian Wachdanijah, dkk (2002) pada Anak SD dan

i Taiwan menyebutkan bahwa kebiasaan

n

dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

tidak menunjukkan ilai di Kabupaten Kebumen menemukan bahwa anak yang tidak menggunakan sandal sering bermain tanah 76,9% terinfeksi cacing, dan anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan 63,7% terinfeksi cacing.

Hasil penelitian Sung, tahun 2001 d

murid bermain di tanah dan kebiasaan menggigit jari kuku berhubungan dengan terjadinya infeksi cacing. Hubungan faktor risiko dengan infeksi cacing tersebut adalah untuk kebiasaan bermain tanah (OR, 2.52; 95% CI, 1.80- 3.51, kebiasaan menggigit kuku (OR, 2.15; 95% CI, 1.58-2.93), kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makanan (OR, 1.71; 95% ci, 1.23-2.37), dan yang tinggal di rumah buka apartemen (OR, 1.56; 95% CI, 1.04-2.35).

5.1.5. Hubungan Sosioekonomi Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosial ekonomi

(58)

ringan. Keadaan ini mencerminkan bahwa tinggi atau rendahnya suatu keluarga dari aspek pendapatan atau strata sosial cenderung tidak berhubungan dengan infeksi cacing pada anak SD.

SOSIAL EKONOMI KELUARGA 

P

Gambar 5.5. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Sosial Ekonomi Keluarga di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun

Hasil p an ini sejalan dengan penelitian Hotez et al (2003) bahwa status

n 2008

eneliti

(59)

5.1.6. Hubungan Sanitasi Perumahan dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

gan perumahan

empu 5),

iaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanitasi lingkun

m nyai hubungan signifikan dengan infeksi cacing pada anak SD (p<0,0 artinya variabel sanitasi lingkungan perumahan yang dilihat berdasarkan ketersed jamban keluarga, kebersihan lingkungan rumah berhubungan terhadap infeksi cacing anak. Prevalence Rate anak yang terinfeksi cacing 57,8% berasal dari keluarga dengan sanitasi lingkungan yang kurang dibandingkan anak dari keluarga yang sanitasi perumahannya kategori baik. Keadaan ini memberikan suatu gambaran bahwa sanitasi perumahan erat kaitannya dengan infeksi cacing pada anak SD.

57.8

SANITASI LINGKUNGAN PERUMAHAN 

P

(60)

Sanitasi perumahan yang dimaksud adalah ketersediaan dan kebersihan jamban keluarga, kondisi kebersihan lingkungan sekitar rumah. Menurut Slamet (2001), bahwa sarana sanitasi seperti jamban, saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah, sarana air bersih dan lainya yang tidak sehat/tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi media penularan penyakit atau menjadi tempat berkembang biaknya vektor penyebar penyakit.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wibowo (2000) menyatakan ada hubungan bermakna antara kondisi sanitasi lingkungan dengan infeksi cacing pada anak SD. Penelitian Margono di daerah Joglo, Jakarta Barat menyatakan 18,5% sampel tanah tercemar oleh A. lumbricoides.

Pembuangan kotoran, air limbah, sampah dan pemeliharan lingkungan perumahan sangat berperan dalam penanggulangan penyebaran infeksi cacing. Terjadinya infeksi baru maupun yang berulang lebih banyak disebabkan karena terjadinya pencemaran tanah oleh tinja penderita (Kusnoputranto, H, 1997). Pernyataan ini dibuktikan penelitian Margono (1987) yang menyebutkan bahwa 18,5% sampel tanah telah tercemar oleh telur cacing A.Lumbricoides. Menurut Ismid dkk (1980) dikutip dari Nurlila (2002) telur A.lumbricoides banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan tempat teduh di bawah pohon (33,3%).

(61)

sarana sanitasi lingkungan seperti air bersih, tempat mencuci, jamban, tempat mandi, sampah dan lain sebagainya, hal ini penting dilakukan guna memutus mata rantai penyebaran infeksi cacing.

5.1.7. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu mempunyai hubungan signifikan dengan infeksi cacing pada anak SD (p<0,05), artinya semakin baik pengetahuan ibu maka semakin kecil kemungkinan anaknya terinfeksi cacing. Pengetahuan ibu tersebut berhubungan dengan pemahamannya tentang penyakit cacing, upaya pencegahan dan pengobatan anak yang terinfeksi cacing. Hasil penelitian menunjukkan infeksi cacing 58,0% terdapat pada anak dari ibu berpengetahuan kategori kurang.

(62)

Selain itu berdasarkan pengujian secara serempak dengan uji regresi logistik ganda juga menunjukkan variabel pengetahuan ibu berhubungan secara signifikan dengan infeksi cacing, dan merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan infeksi cacing yang ditunjukkan oleh nilai β tertinggi yaitu β=9,141.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wachidanijah, dkk (2002) pengetahuan dan perilaku anak memiliki hubungan yang signifikan dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen. Penelitian Hosain et al, (2003) infeksi parasit intestinal secara signifikan ditemukan lebih rendah pada anak dengan penggunaan jamban yang bersih dan yang telah mendapatkan pendidikan kesehatan.

Pengetahuan ibu tersebut menjadi faktor penting untuk diperhatikan

mengingat anak usia sekolah dasar cenderung lebih dominan di bawah pengawasan ibu, sehingga diperlukan pemahaman ibu tentang infeksi cacing, pencegahan dan pengobatan infeksi cacing.

(63)

5.1.8. Hubungan Tindakan Ibu dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan tindakan ibu dengan infeksi cacing pada anak SD dengan nilai p<0,05. Secara keseluruhan 58,0% anak yang menderita infeksi cacing adalah anak dari ibu dengan tindakan kurang. Secara Prevalence Rate anak yang terinfeksi cacing dengan intensitas tinggi 80,0% terjadi pada anak dengan tindakan ibu kategori kurang, anak yang terinfeksi cacing dengan intensitas sedang 64,3% juga terdapat pada ibu dengan perilaku yang kurang, dan 72,7% anak yang terinfeksi cacing dengan intensitas ringan juga terdapat pada anak dari ibu dengan pengetahuan kategori kurang.

(64)
(65)

Pendidikan kesehatan merupakan bentuk tindakan terutama terhadap faktor perilaku, namun demikian tindakan terhadap faktor-faktor lainnya seperti lingkungan, pelayanan kesehatan dan hereditas juga memerlukan tindakan pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Seperti diketahui sampai saat ini telah banyak fasilitas kesehatan lingkungan yang dibangun seperti jamban keluarga, jamban umum, tempat sampah dan sebagainya. Namun karena perilaku masyarakat, sarana atau fasilitas tersebut kurang atau tidak dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik. Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan, artinya pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit, dan sebagainya. Kesadaran masyarakat di atas disebut tingkat kesadaran/pengetahuan masyarakat tentang kesehatan atau disebut “melek kesehatan” (health literacy) (Notoatmodjo, 2003).

5.2. Hubungan Tindakan Pengobatan dengan Infeksi Cacing pada Anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang

(66)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pengobatan anak yang terinfeksi cacing mempunyai hubungan signifikan dengan infeksi cacing pada anak SD dengan nilai p=0,004 (p <0,05), artinya tindakan pengobatan berhubungan terhadap terjadinya infeksi cacing pada anak SD.

Tindakan pengobatan yang dimaksud adalah kurun waktu pemberian obat cacing kepada anak SD didasarkan pada bulan. Adanya hubungan variabel tersebut menunjukkan bahwa pengobatan anak dengan obat cacing erat kaitannya dengan terjadinya infeksi cacing pada anak.

Gambar 5.9. Prevalence Rate Infeksi Cacing Berdasarkan Tindakan Pengobatan di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008

(67)

yang menjadi sasaran program, tetapi hanya kepada penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif, dan (2) Selective Treatment, adalah pengobatan

di sarana kesehatan bagi penderita yang datang berobat sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif atau hasil pemeriksaan klinis dinyatakan positif menderita cacingan. Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukan prevalensi di atas 30%, maka harus dilakukan pengobatan massal, dan apabila prevalensinya kurang dari 30% lakukan pengobatan selektif yaitu pengobatan pada penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif mengandung cacing (Depkes RI, 2004).

5.3. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup beberapa aspek yaitu: 5.3.1. Aspek Disain Penelitian

(68)

5.3.2. Kualitas Data

Pada penelitian ini karena data mengenai paparan faktor risiko diperoleh dengan mengandalkan daya ingat atau catatan medik, maka akan terjadi recall bias. Hal ini karena responden lupa atau responden yang mengalami efek cenderung lebih mengingat paparan terhadap faktor risiko dari responden yang tidak mengalami efek.

Pada proses pemeriksaan juga bisa terjadi bias diagnosis. Penggunaan data sekunder, dalam hal ini catatan medik yang sering dipakai sebagai sumber data kadang kala tidak begitu akurat. Kualitas data juga dipengaruhi oleh kemampuan responden mencerna pertanyaan dalam kuesioner serta bias yang berasal dari

pewawancara di mana pewawancara meskipun sudah dilatih terlebih dahulu, bias ini mungkin saja terjadi mengingat keterbatasan pengetahuan pewawancara.

5.3.3. Parameter

Parameter yang digunakan untuk mengukur berbagai variabel dalam

penelitian terbatas, sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya parameter lain yang lebih tepat untuk menggambarkan tiap-tiap variabel.

5.3.4. Aspek Peneliti

(69)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Prevalensi infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang 42,3%.

2. Prevalensi infeksi cacing berdasarkan jenis cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang, prevalensi ascariasis 18,6%, trichuriasis 7,2%, infeksi campuran 16,4%.

3. Prevalensi infeksi cacing berdasarkan intensitas infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang, infeksi berat 5,2%, infeksi sedang 14,4%, infeksi ringan 22,7%.

4. Terdapat hubungan signifikan variabel status gizi (p=0,001), personal Hygiene anak (p=0,000), perilaku anak (p=0,006), sanitasi lingkungan (p=0,0004), perilaku ibu (p=0,001), dan pengetahuan ibu (p=0,000) dengan infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

5. Terdapat hubungan signifikan tindakan pengobatan (p=0,004) dengan infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

(70)

7. Variabel pengetahuan ibu merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan infeksi kecacingan pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Serdang dengan nilai p=0,000; β=9,141.

6.2. Saran

1. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang

a. Perlu peningkatan upaya promosi kesehatan melalui Usaha Kesehatan Sekolah dan penyuluhan berkala kepada masyarakat tentang pentingnya pola hidup sehat dan bersih dalam upaya pencegahan infeksi cacing pada anak SD.

b. Perlu pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kesehatan lingkungan yang memenuhi persyaratan kesehatan.

c. Perlu dilakukan pengobatan secara selektif melalui pemeriksaan feses anak SD yang terdapat wilayah kerjanya guna mengidentifikasi secara komprehensif angka prevalensi infeksi cacing dan pemberian obat secara gratis kepada masyarakat untuk pencegahan infeksi cacing.

2. Kepada Puskesmas Deli Tua

(71)

b. Agar meningkatkan intensitas penyuluhan ke institusi pendidikan untuk meningkatkan pemahaman pendidik beserta anak didiknya tentang infeksi cacing, mekanisme penularan, dampak yang ditimbulkan, dan upaya penanggulangannya.

c. Agar merekomendasikan kepada institusi pendidikan untuk penyediaan sarana dan prasarana kebersihan dan kesehatan lingkungan di sekolah antara lain penyediaan sarana toilet yang sehat dan bersih, serta penataan lingkungan sekolah yang memenuhi persyaratan kesehatan.

d. Agar mengadakan pembinaan secara berkesinambungan dengan berkoordinasi dengan institusi pendidikan agar diusulkan sebuah program atau kegiatan jangka pendek dan jangka panjang untuk dapat membentuk perilaku pola hidup sehat dan bersih pada anak sekolah dengan dana bersumber dari dana institusi pendidikan.

3. Penelitian selanjutnya

Gambar

Gambar 2.1. Hubungan Gizi dengan Infeksi Penyakit
Gambar 2.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Cacing      dan Dampak yang Ditimbulkan (Modifikasi)
Tabel 3.1. Kategori Responden Berdasarkan Infeksi Cacing
Tabel 3.2. Metode Pengukuran Variabel Independen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan uraian kedudukan, tugas, fungsi dan Tata Kerja Organisasi Kelurahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Peraturan Daerah ini ditetapkan dengan Keputusan

Pemerintah Terhadap Penggunaan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Dalam Kegiatan Operasional Pelaku Usaha Di Kota Semarang ” ini tidak terdapat karya yang pernah

Metode penelitian menurut Sugiyono (2010, hlm. 2) merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam penelitian ini,

Dari Quality Assurance System tersebut akan dapat diketahui prosedur yang membentuk system, fungsi-fungsi yang terkait, dokumen-dokumen yang digunakan, dan catatan-catatan

thayyibah basmallah secara berkelompok. Indikator pada siklus III ini adalah mengartikan thayyibah basmallah. Metode yang digunakan adalah metode tanya jawab.

Sedangkan untuk dapat dikatakan turut serta dalam tindak pidana perzinahan yaitu apabila laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku Pasal 27

Analisis kadar abu dengan metode pengabuan kering dilakukan dengan cara mendestruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi di dalam suatu tanur pengabuan ( furnace ), tanpa

Disamping itu untuk menumbuhkan kepercayaan pengguna terhadap warnet tersebut Pada penulisan ilmiah ini peulus mencoba membuat suatu aplikasi penghitungan biaya yang dikeluarkan